Hadits
Shahih [Taysîr Mushthalah al-Hadîts karya Mahmûd ath-Thahân]
1.
DEFINISI SHAHÎH
a. Secara bahasa (etimologi)
kata )الصحيح (sehat) adalah antonim dari kata السقيم
(sakit). Bila diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya
(haqiqi) tetapi bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian
lainnya, maka maknanya hanya bersifat kiasan (majaz).
b. Secara istilah (terminologi)
Maknya adalah : Hadits yang
bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat
yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur
transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat
(penyakit)
2.
PENJELASAN DEFINISI
- Sanad bersambung : Bahwa setiap
rangkaian dari para periwayatnya telah mengambil periwayatan itu secara
langsung dari periwayat di atasnya (sebelumnya) dari permulaan sanad hingga
akhirnya.
- Periwayat Yang ‘Adil : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya memiliki kriteria seorang Muslim,
baligh, berakal, tidak fasiq dan juga tidak cacat maruah (harga diri)nya.
- Periwayat Yang Dlâbith : Bahwa
setiap rangkaian dari para periwayatnya adalah orang-orang yang hafalannya
mantap/kuat (bukan pelupa), baik mantap hafalan di kepala ataupun mantap di
dalam tulisan (kitab)
- Tanpa Syudzûdz : Bahwa hadits yang
diriwayatkan itu bukan hadits kategori Syâdz (hadits yang diriwayatkan seorang
Tsiqah bertentangan dengan riwayat orang yang lebih Tsiqah darinya)
- Tanpa ‘illat : Bahwa hadits yang diriwayatkan itu bukan
hadits kategori Ma’lûl (yang ada ‘illatnya). Makna ‘Illat adalah suatu sebab
yang tidak jelas/samar, tersembunyi yang mencoreng keshahihan suatu hadits
sekalipun secara lahirnya kelihatan terhindar darinya.
3.
SYARAT-SYARATNYA
Melalui definisi di atas dapat
diketahui bahwa syarat-syarat keshahihan yang wajib terpenuhi sehingga ia
menjadi hadits yang Shahîh ada lima:
Pertama, Sanadnya bersambung
Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil
Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith
Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat
Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz
Ke-dua, Para periwayatnya ‘Adil
Ke-tiga, Para periwayatnya Dlâbith
Ke-empat, Tidak terdapat ‘illat
Ke-lima, tidak terdapat Syudzûdz
Bilamana salah satu dari lima syarat
tersebut tidak terpenuhi, maka suatu hadits tidak dinamakan dengan hadits
Shahîh.
4.
CONTOHNYA
Untuk lebih mendekatkan kepada
pemahaman definisi hadits Shahîh, ada baiknya kami berikan sebuah contoh untuk
itu.
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Yaitu, hadits yang dikeluarkan oleh Imam al-Bukhari di dalam kitabnya Shahîh al-Bukhâriy, dia berkata: (‘Abdullah bin Yusuf menceritakan kepada kami, dia berkata, Malik memberitakan kepada kami, dari Ibn Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari ayahnya, dia berkata, aku telah mendengar Rasulullah Shallallâhu ‘alaihi Wa Sallam telah membaca surat ath-Thûr pada shalat Maghrib)
Hadits ini dinilai Shahîh karena:
a) Sanadnya bersambung, sebab
masing-masing dari rangkaian para periwayatnya mendengar dari syaikhnya.
Sedangkan penggunaan lafazh عن (dari) oleh Malik, Ibn Syihab dan Ibn Jubair termasuk
mengindikasikan ketersambungannya karena mereka itu bukan periwayat-periwayat
yang digolongkan sebagai Mudallis (periwayat yang suka mengaburkan riwayat).
b)
Para periwayatnya dikenal sebagai orang-orang yang ‘Adil dan
Dlâbith. Berikut data-data tentang sifat mereka itu sebagaimana yang dinyatakan
oleh ulama al-Jarh wa at-Ta’dîl : ‘Abdullah bin Yusuf : Tsiqah Mutqin. Malik
bin Anas : Imâm Hâfizh. Ibn Syihab : Faqîh, Hâfizh disepakati keagungan dan
ketekunan mereka berdua. Muhammad bin Jubair : Tsiqah. Jubair bin Muth’im :
Seorang shahabat
c)
Tidak terdapatnya kejanggalan (Syudzûdz) sebab tidak ada
riwayat yang lebih kuat darinya.
d)
Tidak terdapatnya ‘Illat apapun.
5. HUKUMNYA
Wajib mengamalkannya menurut
kesepakatan (ijma’) ulama Hadits dan para ulama Ushul Fiqih serta Fuqaha yang
memiliki kapabilitas untuk itu. Dengan demikian, ia dapat dijadikan hujjah
syari’at yang tidak boleh diberikan kesempatan bagi seorang Muslim untuk tidak
mengamalkannya.
6. MAKNA UNGKAPAN ULAMA HADITS “HADITS INI SHAHÎH” “HADITS INI
TIDAK SHAHÎH”
Yang dimaksud dengan ucapan mereka
“Hadits ini Shahîh” adalah bahwa lima syarat keshahihan di atas telah
terealisasi padanya, tetapi dalam waktu yang sama, tidak berarti pemastian
keshahihannya pula sebab bisa jadi seorang periwayat yang Tsiqah keliru atau
lupa.
7. YANG DIMAKSUD DENGAN UCAPAN MEREKA “HADITS INI TIDAK SHAHÎH”
adalah bahwa semua syarat yang lima tersebut ataupun
sebagiannya belum terealisasi padanya, namun dalam waktu yang sama bukan
berarti ia berita bohong sebab bisa saja seorang periwayat yang banyak
kekeliruan bertindak benar.
8. APAKAH ADA SANAD YANG DIPASTIKAN MERUPAKAN SANAD YANG PALING
SHAHIH SECARA MUTLAK?
Pendapat yang terpilih, bahwa tidak dapat dipastikan sanad
tertentu dinyatakan secara mutlak sebagai sanad yang paling shahih sebab
perbedaan tingkatan keshahihan itu didasarkan pada terpenuhinya syarat-syarat
keshahihan, sementara sangat jarang terelasisasinya kualitas paling tinggi di
dalam seluruh syarat-syarat keshahihan. Oleh karena itu, lebih baik menahan
diri dari menyatakan bahwa sanad tertentu merupakan sanad yang paling shahih
secara mutlak. Sekalipun demikian, sebagian ulama telah meriwayatkan pernyataan
pada sanad-sanad yang dianggap paling shahih, padahal sebenarnya, masing-masing
imam menguatkan pendapat yang menurutnya lebih kuat.
Diantara pernyataan-pernyataan itu menyatakan bahwa riwayat-riwayat
yang paling shahih adalah:
·
Riwayat az-Zuhriy dari Salim dari ayahnya (‘Abdulah bin
‘Umar ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ishaq bin Rahawaih dan Imam
Ahmad (bukan ahli hadits).
·
Riwayat Ibn Sirin dari ‘Ubaidah dari ‘Aliy (bin Abi Thalib)
; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Ibn al-Madiniy dan al-Fallas.
·
Riwayat al-A’masy dari Ibrahim dari ‘Alqamah dari ‘Abdullah
(bin Mas’ud) ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Yahya bin Ma’in.
·
Riwayat az-Zuhriy dari ‘Aliy dari al-Husain dari ayahnya
dari ‘Aliy ; ini adalah pernyataan yang dinukil dari Abu Bakar bin Abi Syaibah.
·
Riwayat Malik dari Nafi’ dari Ibn ‘Umar ; ini adalah
pernyataan yang dinukil dari Imam al-Bukhariy.
9. KITAB YANG PERTAMA KALI DITULIS DAN HANYA MEMUAT HADITS
SHAHIH SAJA
Kitab pertama yang hanya memuat hadits shahih saja adalah
kitab Shahîh al-Bukhâriy, kemudian Shahîh Muslim. Keduanya adalah kitab yang
paling shahih setelah al-Qur’an. Umat Islam telah bersepakat (ijma’) untuk
menerima keduanya.
a.
Mana Yang Paling Shahih Diantara
Keduanya?
Yang paling shahih diantara keduanya adalah Shahîh
al-Bukhâriy, disamping ia paling banyak faidahnya. Hal ini dikarenakan
hadits-hadist yang diriwayatkan al-Bukhariy paling tersambung sanadnya dan
paling Tsiqah para periwayatnya. Juga, karena di dalamnya terdapat
intisari-intisari fiqih dan untaian-untaian bijak yang tidak terdapat pada
kitab Shahîh Muslim.
Tinjauan ini bersifat kolektif, sebab terkadang di dalam
sebagian hadits-hadits yang diriwayatkan Imam Muslim lebih kuat daripada sebagian
hadits-hadits al-Bukhariy.
Sekalipun demikian, ada juga para ulama yang menyatakan
bahwa Shahîh Muslim lebih shahih, namun pendapat yang benar adalah pendapat
pertama, yaitu Shahîh al-Bukhâriy lebih shahih.
b.
Apakah Keduanya Mencantumkan Semua
Hadits Shahih Dan Komitmen Terhadap Hal itu?
Imam al-Bukhariy dan Imam Muslim tidak mencantumkan semua
hadits ke dalam kitab Shahîh mereka ataupun berkomitmen untuk itu. Hal ini
tampak dari pengakuan mereka sendiri, seperti apa yang dikatakan Imam Muslim,
“Tidak semua yang menurut saya shahih saya muat di sini, yang saya muat
hanyalah yang disepakati atasnya.”
c.
Apakah Hanya Sedikit Hadits Shahih
Lainnya Yang Tidak Sempat Mereka Berdua Muat?
Ada ulama yang mengatakan bahwa hanya sedikit saja yang
tidak dimuat mereka dari hadits-hadits shahih lainnya. Namun pendapat yang
benar adalah bahwa banyak hadits-hadits shahih lainnya yang terlewati oleh
mereka berdua. Imam al-Bukhariy sendiri mengakui hal itu ketika berkata,
“Hadits-hadits shahih lainnya yang aku tinggalkan lebih banyak.”
Dia juga mengatakan, “Aku hafal sebanyak seratus ribu hadits
shahih dan dua ratus ribu hadits yang tidak shahih.”
d.
Berapa Jumlah Hadits Yang Dimuat Di
Dalam Kitab ash-Shahîhain?
·
Di dalam Shahîh al-Bukhariy terdapat 7275 [a1] hadits termasuk yang diulang,
sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak 4000 hadits. (beliau hafal hadits
kurang lebih 100.000 hadits, akan tetapi cuman 4000 yang dibukukan, hal ini
karena takut kepanjangan, dan hadits yang mencangkup didalamnya adalah sudah
mencangkup semuannya.pent)
·
Di dalam Shahîh Muslim terdapat 12.000 hadits termasuk yang
diulang, sedangkan jumlahnya tanpa diulang sebanyak lebih kurang 4000 hadits
juga.
e.
Dimana Kita Mendapatkan
Hadits-Hadits Shahih Lainnya Selain Yang Tidak Tercantum Di Dalam Kitab ash-Shahîhain?
Kita bisa mendapatkannya di dalam
kitab-kitab terpercaya yang masyhur seperti Shahîh Ibn Khuzaimah, Shahîh Ibn
Hibbân, Mustadrak al-Hâkim, Empat Kitab Sunan, Sunan ad-Dâruquthniy, Sunan
al-Baihaqiy, dan lain-lain.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
Hanya dengan keberadaan hadits pada kitab-kitab tersebut tidak cukup, tetapi harus ada pernyataan atas keshahihannya kecuali kitab-kitab yang memang mensyaratkan hanya mengeluarkan hadits yang shahih, seperti Shahîh Ibn Khuzaimah.
9.
SEPUTAR KITAB
AL-MUSTADRAK KARYA AL-HÂKIM, SHAHÎH IBN KHUZAIMAH DAN SHAHÎH IBN HIBBÂN
al-Mustadrak karya al-Hâkim
Sebuah kitab
hadits yang tebal memuat hadits-hadits yang shahih berdasarkan persyaratan yang
ditentukan oleh asy-Syaikhân (al-Bukhari dan Muslim) atau persyaratan salah
satu dari mereka berdua sementara keduanya belum mengeluarkan hadits-hadits
tersebut.
Demikian
juga, al-Hâkim memuat hadits-hadits yang dianggapnya shahih sekalipun tidak
berdasarkan persyaratan salah seorang dari kedua Imam hadits tersebut dengan
menyatakannya sebagai hadits yang sanadnya Shahîh. Terkadang dia juga memuat
hadits yang tidak shahih namun hal itu diingatkan olehnya. Beliau dikenal
sebagai kelompok ulama hadits yang Mutasâhil (yang menggampang-gampangkan) di
dalam penilaian keshahihan hadits.
Oleh karena itu,
perlu diadakan pemantauan (follow up) dan penilaian terhadap kualitas
hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Imam adz-Dzahabi telah
mengadakan follow up terhadapnya dan memberikan penilaian terhadap kebanyakan
hadits-haditsnya tersebut sesuai dengan kondisinya. Namun, kitab ini masih
perlu untuk dilakukan pemantauan dan perhatian penuh. (Salah seorang yang juga
mengadakan pemantauan dan studi terhadap hadits-hadits yang belum diberikan
penilaian apapun oleh Imam adz-Dzhabi dan memberikan penilaian yang sesuai
dengan kondisinya adalah Syaikh. Dr. Mahmud Mirah -barangkali sekarang ini
sudah rampung-)
Shahîh Ibn Hibbân
Sistematika penulisan kitab ini tidak rapih (ngacak), ia
tidak disusun per-bab ataupun per-musnad. Oleh karena itulah, beliau menamakan
bukunya dengan “at-Taqâsîm Wa al-Anwâ’ ” (Klasifikasi-Klasifikasi Dan Beragam
Jenis). Untuk mencari hadits di dalam kitabnya ini sangat sulit sekali.
Sekalipun begitu, ada sebagian ulama Muta`akhkhirin (seperti al-Amir ‘Alâ`
ad-Dîn, Abu al-Hasan ‘Ali bin Bilban, w.739 H dengan judul al-Ihsân Fî Taqrîb
Ibn Hibbân) yang telah menyusunnya berdasarkan bab-bab.
Ibn Hibbân dikenal sebagai ulama yang Mutasâhil juga di
dalam menilai keshahihan hadits akan tetapi lebih ringan ketimbang al-Hâkim.
(Tadrîb ar-Râwy:1/109)
Shahîh Ibn Khuzaimah
Kitab ini lebih tinggi kualitas keshahihannya dibanding
Shahîh Ibn Hibbân karena penulisnya, Ibn Khuzaimah dikenal sebagai orang yang
sangat berhati-hati sekali. Saking hati-hatinya, dia kerap abstain (tidak
memberikan penilaian) terhadap suatu keshahihan hadits karena kurangnya pembicaraan
seputar sanadnya.
10. MUSTAKHROJAAT ATAS SHOHIHAIN
a. Penjelasan Mustakhrojat
Seorang ulama mendatangkan kitab
hadits kemudian ia mengeluarkan hadits tersebut dengan sanadnya sendiri juga
dari jalan yang berbeda dari kitab tersebut. Namun sanadnya dengan sanad kitab
tersebut berkumpul pada gurunya atau yang di atasnya.
Mustakhrojat
Yang Paling Terkenal Atas Shohihain
Ø Mustakhroj milik
abi bakr al isma’ili atas bukhory
Ø Mustakhroj milik
abu ‘awanah al asfiroyaini atas muslim
Ø Mustakhroj milik
abi nu’aim al asbahani atas kedua imam tersebut
b. Apakah diharuskan bagi pemilik mustakhroj untuk menyesuaikan
dengan shohihain dalam lafadnya?
Tidak diharuskan bagi penyusunnya untuk
menyesuaikan dengan shohihain dalam lafadznya, karena mereka hanyalah
meriwaytkan lafadz suatu hadits yang sampai kepada mereka dari jalur guru guru
mereka. Maka dari itulah terdapat sedikit perselisihan di dalam beberapa
lafadz.
Dan begitu juga apa yang telah
dikeluarkan oleh para pengarang kitab yang terdahulu di dalam karya-karya
mereka, seperti baihaqi, albaghowi dan yang serupa dengan mereka berdua dengan
mengatakan “diriwayatkan oleh bukhory ataupun oleh muslim” dan terjadilah
perbedaan di sebagian (hadits yang ditakhrij oleh para muallif) dalam hal makna
dan lafadz, maka maksud dari perkataan mereka “diriwayatkan oleh bukhory dan
muslim” bahwasanya mereka berdua (bukhory dan muslim) periwayat aslinya.
c. Apakah boleh kita menukil dari (mustakhroj) kemudian kita
nisbatkan kepada kedua (shohihain).
Sebagaimana pembahasan di atas maka
tidak diperbolehkan bagi seseorang untuk menukil hadits dari mustakhroj ataupun
kitab-kitab yang telah tersebutkan tadi kemudian mengakatakan riwayat bukhori
ataupun muslim dengan pengecualian salah satu dari dua perkara berikut ini:
1. haruslah hadits itu sesuai menurut periwayatan
bukhori muslim.
2. atau si pemilik
mustakhroj/mushonnif itu mengeluarkan hadits tersebut dengan lafadznya.
d. Faedah mustakhroj menurut shohihain.
Mustakhroj mempunyai banyak faedah
kurang lebih mencapai 10 yang disebutkan oleh imam suyuthi di dalam kitab tadribnya, yang paling penting diantaranya:
1. bertambahnya kadar keshohihan
(hadits yang ada di dalam mustakhroj)
2.kuat karena banyaknya jalur
periwayatan.
3.bertambah tingginya kedudukan sanad
yang dia riwayatkan di dalam mustakhroj karena adanya tambahan periwayatan dari
jalur bukhori.
11. APA SAJA HADITS YANG SUDAH DIPASTIKAN SHAHÎH DARI
HADITS-HADITS YANG DIRIWAYATKAN OLEH IMAM AL-BUKHARI DAN MUSLIM?
Sebagaimana yang telah kita singgung
sebelumnya, bahwa Imam al-Bukhari dan Muslim tidak memuat pada kedua kitab
Shahih mereka selain hadits-hadits yang shahih dan umat Islam telah menerima
kedua kitab tersebut secara penuh.
Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu?
Oleh karena itu, apa saja hadits-hadits yang telah dipastikan shahih dan yang diterima oleh umat Islam itu?
Jawabnya: Bahwa hadits yang diriwayatkan
keduanya dengan sanad yang bersambung, maka ialah yang dipastikan shahih.
Sedangkan hadits yang dibuang pada permulaan
sanad (jalur trasmisi hadits)nya satu orang periwayat atau lebih -yang dinamai
dengan hadits al-Mu’allaq- dimana jenis ini di dalam shahih al-Bukhari agak
banyak namun hanya terdapat pada bagian tarjamah bab (penamaan babnya) dan
muqaddimahnya saja sedangkan di bagian inti bab tidak ada sama sekali.
Sementara yang di dalam shahih Muslim, tidak ada satupun yang jenis itu kecuali
satu hadits saja di dalam bab tentang Tayammum yang belum sempat beliau sambung
sanadnya di tempat yang lain dari kitabnya itu; terhadap hadits-hadits yang
kriterianya seperti hal tersebut, maka penilaian terhadapnya dan menyikapinya
adalah sebagai berikut:
Hadits yang diriwayatkan dengan shîghah al-Jazm (bentuk
ucapan pasti), seperti dengan ungkapan قال (Qâla/berkata); أمر
(Amara/memerintahkan) dan ذكر
(Dzakara/menyebutkan); maka penilaian terhadap keshahihannya didasarkan pada
sumbernya (orang yang dinisbatkan kepadanya). [Artinya, bila di dalam riwayat
itu dinyatakan, misalnya قال فلان (si fulan berkata), maka berarti perkataan itu adalah shahih
bersumber dari si fulan yang mengatakannya itu]
Hadits yang diriwayatkan tidak dengan shîghah al-Jazm
seperti dengan ungkapan يورى (yurwa/diriwayatkan [masa sekarang]); يذكر(yudzkar/disebutkan [masa sekarang]); يحكى (yuhka/dihikayatkan [masa sekarang]); يورى (ruwiya/diriwayatkan [masa lampau]) dan ذكر (dzukira/disebutkan
[masa lampau]), maka berarti hadits itu tidak dapat dinisbatkan keshahihannya
dari sumbernya itu (orang yang dinisbatkan kepadanya), namun sekalipun
demikian, tidak ada satupun di dalamnya hadits yang lemah karena ia sudah
dimuat di dalam kitab yang bernama ash-Shahîh
12.
TINGKATAN KESHAHIHAN
Pada bagian yang lalu telah kita kemukakan
bahwa sebagian para ulama telah menyebutkan mengenai sanad-sanad yang
dinyatakan sebagai paling shahih menurut mereka. Maka, berdasarkan hal itu dan
karena terpenuhinya persyaratan-persyaratan lainnya, maka dapat dikatakan bahwa
hadits yang shahih itu memiliki beberapa tingkatan:
Ø Tingkatan paling tingginya adalah
bilamana diriwayatkan dengan sanad yang paling shahih, seperti Malik dari Nafi’
dari Ibn ‘Umar.
Ø Yang dibawah itu tingkatannya, yaitu
bilamana diriwayatkan dari jalur Rijâl (rentetan para periwayat) yang
kapasitasnya di bawah kapasitas Rijâl pada sanad pertama diatas seperti riwayat
Hammâd bin Salamah dari Tsâbit dari Anas.
Ø Yang dibawah itu lagi tingkatannya,
yaitu bilamana diriwayatkan oleh periwayat-periwayat yang terbukti dinyatakan
sebagai periwayat-periwayat yang paling rendah julukan Tsiqah kepada mereka
(tingkatan Tsiqah paling rendah), seperti riwayat Suhail bin Abi Shalih dari
ayahnya dari Abu Hurairah.
Dapat juga rincian diatas dikaitkan dengan
pembagian hadits shahih kepada tujuh tingkatan:
·
Hadits yang diriwayatkan secara sepakat oleh al-Bukhari dan
Muslim (Ini tingkatan paling tinggi)
·
Hadits yang diriwayatkan secara tersendiri oleh al-Bukhari
·
Hadits yang dirwayatkan secara tersendiri oleh Muslim
·
Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan keduanya
sedangkan keduanya tidak mengeluarkannya
·
Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan al-Bukhari
sementara dia tidak mengeluarkannya
·
Hadits yang diriwayatkan berdasarkan persyaratan Muslim
sementara dia tidak mengeluarkannya
·
Hadits yang dinilai shahih oleh ulama selain keduanya
seperti Ibn Khuzaimah dan Ibn Hibbân yang bukan berdasarkan persyaratan kedua
imam hadits tersebut (al-Bukhari dan Muslim).
13.
PENGERTIAN
PERSYARATAN ASY-SYAIKHÂN
Sebenarnya, kedua imam hadits, al-Bukhari dan
Muslim tidak pernah menyatakan secara jelas (implisit) perihal persyaratan yang
disyaratkan atau ditentukan oleh mereka berdua sebagai tambahan atas
persyaratan-persyaratan yang telah disepakati di dalam menilai hadits yang
shahih pada pembahasan sebelumnya. Akan tetapi para ulama peneliti melalui
proses pemantauan (follow up) dan analisis terhadap metode-metode yang
digunakan oleh keduanya mendapatkan apa yang dapat mereka anggap sebagai
persyaratan yang dikemukakan oleh keduanya atau salah seorang dari keduanya.
Dapat dikatakan bahwa yang dimaksud dengan
persyaratan asy-Syaikhân atau salah satu dari keduanya adalah bahwa hadits
tersebut hendaklah diriwayatkan dari jalur Rijâl (para periwayat) dari kedua
kitab tersebut atau salah satu darinya dengan memperhatikan metode yang
digunakan keduanya di dalam meriwayatkan hadits-hadits dari mereka.
14.
MAKNA KATA
“MUTTAFAQUN ‘ALAIH”
Maksudnya adalah hadits tersebut disepakati
oleh kedua Imam hadits, yaitu al-Bukhari dan Muslim, yakni kesepakatan mereka
berdua atas keshahihannya, bukan kesepakatan umat Islam. Hanya saja, Ibn
ash-Shalâh memasukkan juga ke dalam makna itu kesepakatan umat sebab umat
memang sudah bersepakat untuk menerima hadits-hadits yang telah disepakati oleh
keduanya. (‘Ulûm al-Hadîts:24)
15.
APAKAH AGAR DINILAI
SHAHIH, HADITS TERSEBUT HARUS MERUPAKAN HADITS ‘AZÎZ ?
Hadits ‘Aziz adalah hadits yang diriwayatkan
pada setiap level periwayatannya (thabaqat sanad) tidak kurang dari dua orang
periwayat. Dalam hal ini, apakah agar suatu hadits dinyatakan shahih, maka
syaratnya harus paling tidak diriwayatkan oleh tidak kurang dari dua periwayat
pada setiap level periwayatannya?.
Pendapat yang benar, bahwa hal itu tidak
disyaratkan sebab di dalam kedua kitab shahih (ash-Shahîhain) dan selain
keduanya juga terdapat hadits-hadits shahih padahal ia bukan hadits ‘Aziz itu,
tetapi malah hadits Gharîb (yang diriwayatkan pada oleh seorang periwayat
saja).
Ada sementara kalangan ulama seperti ‘Ali
al-Jubaiy, tokoh mu’tazilah dan al-Hâkim yang mengklaim hal itu namun pendapat
mereka ini bertentangan dengan kesepakatan umat Islam.
Dinukil dari kitab mushtholah hadits
Oleh :
1.
Ony cahyo putra
2.
Nanang imam syafi’i
[a1]Hajim
: ada yang kitab yang menjelaskan bahwa yang tercantum di dalam shohih al
bukhory adalah 10.000 bagaimana dengannya ?
Jawaban : yang kami paparkan adalah berdasarkan kitab
taisir mustholahul hadits, adapun kalau ada pernyataan yang berbeda, maka itu
adalah ilmu baru bagi kami.
0 komentar:
Posting Komentar