Jumat, 23 November 2012

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Beberapa Pertanyaan Seputar Qiyas


BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR QIYAS
1.      Pertanyaan    : apakah boleh qiyas dalam masalah ibadah?
Jawaban        :  Pendapat Imam Syafi'i tentang Qiyas (Analogi)
Imam Syafi'i berkata tidak ada Qiyas (analogi) dalam urusan Ibadah dan berkata imam Ahmad aku pernah bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas maka beliau menjawab ketika darurat....
Wal hasil:
    Qiyas adalah dasar hukum yang keempat dalam Islam setelah al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma' -dapat dipergunakan hujjah dalam agama, dan dapat dipakai atau dipergunakan hanya dalam urusan adat, muamalat, dan keduniyaan yang memang tidak ada nash-nya dalam al-Qur'an dan/ atau dalam Sunnah dan Ijma' yang muktabar.
    Qiyas tidak sekali - kali dapat dipakai atau  dipergunakan untuk urusan ibadah, Aqidah, dan keagamaan. karena urusan agama (Ibadah dan Aqidah) adalah Tauqifiah -harus didasarkan atas nash yang sharih (terang) dari kitabullah (al-Qur'an) dan/atau dari Sunnah. Ibadah yang dilakukan dengan jalan Qiyas adalah bid'ah hukumnya. yang membawa kesesatan bagi orang yang mengerjakannya.
Imam Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada dalil (Nash - nash) dan tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam Qiyas dan Ro'yu (pikiran).
(Kitab Tafsir Ibnu Katsir Juz IV hlm. 272)[1]

2.      Pertanyaan    : bolehkah tayamum diniatkan dengan wudlu?
Jawaban        : menurut madzhab Hanafiyah bahwa syarat sahnya tayammum untuk syarat sahnya shalat adalah berniat dengan 3 perkara :
1.      Niat bersuci dari hadats
2.      Niat untuk sayarat sahnya shalat
3.      Niat dengan untuk melakukan ibadah yang tidak sah hukumnya jika tidak bersuci seperti shalat.[2]
dan dalam hal ini tidak ada dimasukkan dengan niat wudhu’. Wallahu ‘alam.
3.      Pertanyaan    : apakah boleh beristinja dengan bolpen, ataupun dengan kain, tisyu?
Jawaban      :  Dalam pembahasan menghilangkan najis ini, para ulama berbeda pandapat. Paling tidak ada dua pendapat yang masyhur:
Pertama, disyaratkan air untuk menghilangkan najis. Tidak sah menghilangkannya dengan selainnya, kecuali berdasarkan dalil. Hal didasarkan pada sifat air yang telah Allah tetapkan sebagai benda suci lagi menyucikan.
1.    Allah Ta'ala berfirman:
وَيُنَزِّلُ عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"Dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan itu." (QS. Al-Anfal: 11) dan ayat-ayat lainnya yang menunjukkan kesucian air.
2.    Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk menyiramkan air pada air seni orang Arab Badui. Menurut mereka perintah ini menunjukkan kewajiban, maka tidak sah menghilangkan najis dengan selain air. (Muttafaq 'alaih)
3.    Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam, sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Tsa’labah, untuk mencuci bejana-bejana ahli kitab dengan air. (Muttaq ‘alaih)
4.    Al-Syaukani berkata, “Air adalah asal untuk menyucikan najis. Karena syaari’ menyifatinya sebagai benda yang suci. Tidak dapat dipindahkan kepada selainya, kecuali ada ketetapan yang sah darinya. Jika tidak ada, maka tidak boleh menggantinya. Karena hal itu termasuk berpaling dari sesuatu yang sudah dimaklumi kesuciannya kepada sesuatu yang belum dimaklumi kesuciannya. Hal itu berarti keluar dari jalur syariat.
Pendapat ini adalah yang masyhur dikalangan madzhab Malik, Ahmad, dan al-syafi’i dalam qaul jadidnya. Pendapat ini juga didukung oleh imam Al-Syaukani dan orang-orang yang mengikutinya.
Kedua, sah menyucikan dengan segala benda yang dapat menghilangkan najis dan tidak disyaratkan air. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, satu riwayat dari Imam Malik dan Imam Ahmad serta Imam Al-Syafi’i dalam qaul qadimnya. Ibnu Hazm, Ibnu Taimiyah, dan Syaikhul Utsaimin berpendapat dengannya. Dan oleh Syaikh Abu Malik Kamal bin al-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqih Sunnah merajihkan pendapat ini dengan alasan sebagai berikut:
1.    Keberadaan air sebagai benda yang menyucikan tidak menafikan benda lain yang bisa menyucikan seperti air.
2.    Syariat hanya mmerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada kasus tertentu saja, dan tidaklah memerintah secara umum untuk menghilangkan semua najis dengan air.
3.    Syariat telah mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan sebagian air seperti: beristinja’ dengan batu, mengosok sandal dengan tanah, membersihkan ujung pakaian dengan tanah, dan lainnya.
4.    Menghilangkan najis bukan termasuk bab ma’mur (sesuatu yang diperintahkan) tetapi bab ijtinab al-mahdzur (menjauhi sesuatu yang dilarang). Pada saat seseorang terkena najis  dengan sebab apapun, ketika itu berlakulah hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan najis tidak disyaratkan niat. Akan tetapi, jika najis tersebut hilang dengan perbuatan seseorang disertai dengan niat, maka ia mendapatkan pahala. Jika najis hilang dengan sendirinya, tanpa sengaja menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu. Tapi dalam hal ini ia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapat dosa. Kemudian Syaikh Kamal Sayyid salim menambahkan, “Jika najis hilang dengan sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan benda kembali suci.” (Shahih Fiqih Sunnah: I/112-113)
Maka dalam hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa cebok dengan tisyu dan benda benda lainnya diperbolehkan selama ia bersih dari najis, karena larangan dalam benda yang digunakan dalam beristinja adalah benda itu berupa tulang dan benda najis.[3]
4.      Pertanyaan      : Hukum memegang dubur setelah wudlu, apakah batal wudlunya?
Jawaban           : secara dhohir tidak ada hadits yang menunjukan akan batalnya wudlu ketika menyentuh dubur. Namun dalam hal ini ini para ulama berargumen tentangnnya dengan dalil hadits nabi akan larangan “menyentuh kemaluan dengan tangan”. Rosululloh bersabda : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ [4], Dan para ulama juga memasukkan dubur sebagai bahagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.[5]
5.      Pertanyaan      : hukum membasuh sepatu yang terbuat dari kain atau dari kayu, atau dari kaca?
Jawaban           : Hukum mengusap khuf  (sepatu) ketika wudhu adalah boleh secara mutlak. Sebagaimana Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah mencontohkannya. Kebolehannya sudah disepakati para ulama, sebagaimana dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (3/164). Bahkan Hasan al Bashri mengatakan : “Aku diberitahu oleh tujuh puluh orang sahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam pernah mengusap sepatunya”
Dan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِيهِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ ذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقُمْتُ أَسْكُبُ عَلَيْهِ الْمَاءَ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذَهَبَ يَغْسِلُ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ عَلَيْهِ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَهُمَا مِنْ تَحْتِ جُبَّتِهِ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Artinya; “Dari 'Urwah bin Al Mughirah dari Bapaknya, Al Mughirah bin Syu'bah dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah pergi untuk melaksanakan hajatnya. Maka aku pun menuangkan air untuknya. -Sepengetahuanku bapakku berkata pada saat perang Tabuk-. Lalu beliau membasuh wajahnya, mencuci kedua lengannya, namun lubang lengannya sangat sempit. Maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa pakaiannya. Kemudian beliau mencuci lengannya dan membasuh kedua khufnya.” (HR. Bukhari no.4069)
 
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ بَيْنَا أَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ إِذْ نَزَلَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَبَبْتُ عَلَيْهِ مِنْ إِدَاوَةٍ كَانَتْ مَعِي فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
 
Artinya; “Dari Al-Mughirah bin Syu'bah dia berkata, "Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suatu malam, tiba-tiba beliau turun lalu buang hajat, setelah beliau datang maka aku menuangkan air dari kantong kulit yang ada bersamaku untuk beliau, lalu beliau berwudlu dan mengusap bagian atas kedua khufnya.” (HR. Muslim no.405)
Dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengan itu. Lalu bagaimana hukumnya jika sepatu yang dipakai terbuat dari kain, kayu atau kaca?
Maka hal itu sama saja hukumnya, yaitu boleh. Karena dalil-dalil yang membolehkannya bersifat umum. Sehingga yang diambil adalah keumuman hukumnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak bertentangan dengan dalil rajih yang lain.
6.      Pertanyaan      : bagaimana hukum mengusap jilbab atau imamah ketika wudlu?
Jawaban           : boleh. Adapun dalil yang menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah (sorban) adalah hadits yang diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu,
أن النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم: مسح بناصيته، وعلى العِمامة، وعلى خُفّيه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap jambul rambutnya, ‘imamah dan kedua khuf-nya.” [6]
Hadits di atas menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah berdasarkan perkataan beliau (al-Mughirah bin Syu’bah).
7.      Pertanyaan      : bolehkah sholat ketika ada gempa (bencana) dikiaskan dengan sholat gerhana?
Jawaban           : rosululloh bersabda :
عن الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“Dari Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di hari wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang berkata; Dia (matahari) mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda; Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah. Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Jika kalian melihatnya, maka berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal) kembali” (HR. Bukhari)
Hadits di atas jelas menyebut gerhana matahari dan bulan. Perintah untuk Shalat gerhana tidak dikhususkan untuk gerhana matahari. Karena itu sunnahnya Shalat gerhana berlaku untuk gerhana matahari sekaligus gerhana bulan. Diriwayatkan, Ibnu Abbas Shalat gerhana bulan di Bashroh mengimami penduduknya dan mengatakan bahwa beliau melihat Rasulullah SAW melakukannya.
Untuk gempa, gunung meletus, banjir, angin kencang dan tanda-tanda alam yang lain, maka tidak disyariatkan Shalat karena Nash yang ada hanya untuk gerhana. Tanda-tanda alam yang lain tidak bisa diqiyaskan karena tidak ada Qiyas dalam ibadah.[7] Dan juga karena berbeda waqi’nya[8]
8.      Pertanyaan      : bolehkah menganggukan kepala kesamping ketika sholat jika dia tidak mampu untuk berdiri ketika sakit?
Jawaban           : Sholat bagi orang sakit, apabila dia masih sanggup berdiri maka lebih baik berdiri, jika hannya sanggup berbaring maka berbaring, jika hannya sanggup dengan menggunakan isyarat mata juga di bolehkan. Dalam pertanyaan di atas jelas di bolehkan jika memang seperti itu yang bisa dilakukan oleh orang yang sakit tersebut. Yang penting dengan gerakan apapun asalkan seseorang tidak meninggalkan sholat meskipun dalam keadaan sakit.
Bagi orang sakit seharusnya juga sujud menempel ketempat sujud, tidak ada udzur bagi seseorang untuk tidak melakukannya kecuali dengan hal yang tidak mampu sama sekali seperti sakit.[9]


Oleh : Nanang Imam Syafi’i
Ma’had ‘Aly Al_Islam





[1] http://majlistalimal-umm.blogspot.com/2011/05/pendapat-imam-syafii-tentang-qiyas.html
[2] Mausu’atu fiqh ibadah
[3] Ustadz zain annajah
[4] HR attirmidzi
[6] HR. Muslim dalam kitaabuth-thahaarah: bab mengusap ujung rambut dan ‘imamah No. 274
[7]
[8] Ustadz zain annajah
[9] Al-jami’ Liahkamu Sholah,

0 komentar:

Posting Komentar