BEBERAPA PERTANYAAN SEPUTAR QIYAS
1.
Pertanyaan : apakah boleh qiyas
dalam masalah ibadah?
Jawaban
: Pendapat Imam Syafi'i tentang Qiyas (Analogi)
Imam
Syafi'i berkata tidak ada Qiyas (analogi) dalam urusan Ibadah dan berkata imam
Ahmad aku pernah bertanya kepada Imam Syafi'i tentang Qiyas maka beliau
menjawab ketika darurat....
Wal
hasil:
Qiyas adalah dasar hukum yang keempat dalam
Islam setelah al-Qur'an, Sunnah, dan Ijma' -dapat dipergunakan hujjah dalam
agama, dan dapat dipakai atau dipergunakan hanya dalam urusan adat, muamalat,
dan keduniyaan yang memang tidak ada nash-nya dalam al-Qur'an dan/ atau dalam
Sunnah dan Ijma' yang muktabar.
Qiyas tidak sekali - kali dapat dipakai
atau dipergunakan untuk urusan ibadah,
Aqidah, dan keagamaan. karena urusan agama (Ibadah dan Aqidah) adalah Tauqifiah
-harus didasarkan atas nash yang sharih (terang) dari kitabullah (al-Qur'an)
dan/atau dari Sunnah. Ibadah yang dilakukan dengan jalan Qiyas adalah bid'ah
hukumnya. yang membawa kesesatan bagi orang yang mengerjakannya.
Imam
Ibnu Katsir Rahimahullah berkata: dalam masalah peribadatan hanya terbatas pada
dalil (Nash - nash) dan tidak boleh dipalingkan dengan berbagai macam Qiyas dan
Ro'yu (pikiran).
(Kitab
Tafsir Ibnu Katsir Juz IV hlm. 272)[1]
2.
Pertanyaan
: bolehkah tayamum
diniatkan dengan wudlu?
Jawaban
: menurut madzhab
Hanafiyah bahwa syarat sahnya tayammum untuk syarat sahnya shalat adalah
berniat dengan 3 perkara :
1.
Niat
bersuci dari hadats
2.
Niat
untuk sayarat sahnya shalat
3.
Niat
dengan untuk melakukan ibadah yang tidak sah hukumnya jika tidak bersuci
seperti shalat.[2]
dan dalam hal ini tidak ada dimasukkan dengan niat wudhu’. Wallahu
‘alam.
3.
Pertanyaan : apakah boleh beristinja
dengan bolpen, ataupun dengan kain, tisyu?
Jawaban : Dalam pembahasan menghilangkan najis ini, para
ulama berbeda pandapat. Paling tidak ada dua pendapat yang masyhur:
Pertama,
disyaratkan air untuk menghilangkan najis. Tidak sah menghilangkannya dengan
selainnya, kecuali berdasarkan dalil. Hal didasarkan pada sifat air yang telah
Allah tetapkan sebagai benda suci lagi menyucikan.
1.
Allah Ta'ala berfirman:
وَيُنَزِّلُ
عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ
"Dan
Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk menyucikan kamu dengan hujan
itu." (QS. Al-Anfal: 11) dan ayat-ayat lainnya yang
menunjukkan kesucian air.
2.
Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam untuk
menyiramkan air pada air seni orang Arab Badui. Menurut mereka perintah ini
menunjukkan kewajiban, maka tidak sah menghilangkan najis dengan selain air.
(Muttafaq 'alaih)
3.
Perintah Nabi shallallaahu 'alaihi wasallam,
sebagaimana disebutkan dalam hadits Abu Tsa’labah, untuk mencuci bejana-bejana
ahli kitab dengan air. (Muttaq ‘alaih)
4.
Al-Syaukani berkata, “Air adalah asal untuk menyucikan najis. Karena
syaari’ menyifatinya sebagai benda yang suci. Tidak dapat dipindahkan kepada
selainya, kecuali ada ketetapan yang sah darinya. Jika tidak ada, maka tidak
boleh menggantinya. Karena hal itu termasuk berpaling dari sesuatu yang sudah
dimaklumi kesuciannya kepada sesuatu yang belum dimaklumi kesuciannya. Hal itu
berarti keluar dari jalur syariat.
Pendapat
ini adalah yang masyhur dikalangan madzhab Malik, Ahmad, dan al-syafi’i dalam
qaul jadidnya. Pendapat ini juga didukung oleh imam Al-Syaukani dan orang-orang
yang mengikutinya.
Kedua, sah
menyucikan dengan segala benda yang dapat menghilangkan najis dan tidak
disyaratkan air. Ini adalah madzhab Abu Hanifah, satu riwayat dari Imam Malik
dan Imam Ahmad serta Imam Al-Syafi’i dalam qaul qadimnya. Ibnu Hazm, Ibnu
Taimiyah, dan Syaikhul Utsaimin berpendapat dengannya. Dan oleh Syaikh Abu
Malik Kamal bin al-Sayyid Salim dalam Shahih Fiqih Sunnah merajihkan pendapat
ini dengan alasan sebagai berikut:
1.
Keberadaan air sebagai benda yang menyucikan tidak menafikan benda lain
yang bisa menyucikan seperti air.
2.
Syariat hanya mmerintahkan untuk membersihkan najis dengan air pada kasus
tertentu saja, dan tidaklah memerintah secara umum untuk menghilangkan semua
najis dengan air.
3.
Syariat telah mengizinkan untuk membersihkan sebagian najis dengan
sebagian air seperti: beristinja’ dengan batu, mengosok sandal dengan tanah,
membersihkan ujung pakaian dengan tanah, dan lainnya.
4.
Menghilangkan najis bukan termasuk bab ma’mur (sesuatu yang
diperintahkan) tetapi bab ijtinab al-mahdzur (menjauhi sesuatu yang dilarang).
Pada saat seseorang terkena najis dengan sebab apapun, ketika itu
berlakulah hukumnya. Karenanya, untuk menghilangkan najis tidak disyaratkan
niat. Akan tetapi, jika najis tersebut hilang dengan perbuatan seseorang
disertai dengan niat, maka ia mendapatkan pahala. Jika najis hilang dengan
sendirinya, tanpa sengaja menghilangkannya, maka hilanglah mafsadah itu. Tapi
dalam hal ini ia tidak mendapatkan pahala dan tidak pula mendapat dosa.
Kemudian Syaikh Kamal Sayyid salim menambahkan, “Jika najis hilang dengan
sesuatu, maka hukumnya juga hilang dan benda kembali suci.” (Shahih Fiqih
Sunnah: I/112-113)
Maka
dalam hal ini bisa diambil kesimpulan bahwa cebok dengan tisyu dan benda benda
lainnya diperbolehkan selama ia bersih dari najis, karena larangan dalam benda
yang digunakan dalam beristinja adalah benda itu berupa tulang dan benda najis.[3]
4.
Pertanyaan : Hukum
memegang dubur setelah wudlu, apakah batal wudlunya?
Jawaban : secara dhohir tidak ada hadits yang
menunjukan akan batalnya wudlu ketika menyentuh dubur. Namun dalam hal ini ini
para ulama berargumen tentangnnya dengan dalil hadits nabi akan larangan
“menyentuh kemaluan dengan tangan”. Rosululloh bersabda : مَنْ مَسَّ ذَكَرَهُ فَلْيَتَوَضَّأ [4], Dan para ulama juga memasukkan dubur
sebagai bahagian dari yang jika tersentuh membatalkan wudhu.[5]
5.
Pertanyaan :
hukum membasuh sepatu yang terbuat dari kain atau dari kayu, atau dari kaca?
Jawaban : Hukum mengusap
khuf (sepatu) ketika wudhu adalah boleh
secara mutlak. Sebagaimana Rasulallah shalallahu ‘alaihi wasallam pernah
mencontohkannya. Kebolehannya sudah disepakati para ulama, sebagaimana
dikatakan oleh Imam Nawawi di dalam Syarh Shahih Muslim (3/164). Bahkan Hasan
al Bashri mengatakan : “Aku diberitahu oleh tujuh puluh orang sahabat
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, bahwa Rasulullah Shallallahu 'alaihi
wa sallam pernah mengusap sepatunya”
Dan hadits Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berikut:
عَنْ عُرْوَةَ بْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِيهِ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ ذَهَبَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِبَعْضِ حَاجَتِهِ فَقُمْتُ أَسْكُبُ عَلَيْهِ الْمَاءَ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا قَالَ فِي غَزْوَةِ تَبُوكَ فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَذَهَبَ يَغْسِلُ ذِرَاعَيْهِ فَضَاقَ عَلَيْهِ كُمُّ الْجُبَّةِ فَأَخْرَجَهُمَا مِنْ تَحْتِ جُبَّتِهِ فَغَسَلَهُمَا ثُمَّ مَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Artinya; “Dari 'Urwah bin Al Mughirah dari Bapaknya, Al Mughirah bin Syu'bah dia berkata; Nabi shallallahu 'alaihi wasallam pernah pergi untuk melaksanakan hajatnya. Maka aku pun menuangkan air untuknya. -Sepengetahuanku bapakku berkata pada saat perang Tabuk-. Lalu beliau membasuh wajahnya, mencuci kedua lengannya, namun lubang lengannya sangat sempit. Maka beliau mengeluarkan tangannya dari bahwa pakaiannya. Kemudian beliau mencuci lengannya dan membasuh kedua khufnya.” (HR. Bukhari no.4069)
عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ قَالَ بَيْنَا أَنَا مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ لَيْلَةٍ إِذْ نَزَلَ فَقَضَى حَاجَتَهُ ثُمَّ جَاءَ فَصَبَبْتُ عَلَيْهِ مِنْ إِدَاوَةٍ كَانَتْ مَعِي فَتَوَضَّأَ وَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
Artinya; “Dari Al-Mughirah bin Syu'bah dia berkata, "Ketika kami bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam suatu malam, tiba-tiba beliau turun lalu buang hajat, setelah beliau datang maka aku menuangkan air dari kantong kulit yang ada bersamaku untuk beliau, lalu beliau berwudlu dan mengusap bagian atas kedua khufnya.” (HR. Muslim no.405)
Dan masih banyak lagi hadits yang semakna dengan itu. Lalu bagaimana hukumnya jika sepatu yang dipakai terbuat dari kain, kayu atau kaca?
Maka hal itu sama saja hukumnya, yaitu boleh. Karena dalil-dalil yang membolehkannya bersifat umum. Sehingga yang diambil adalah keumuman hukumnya, selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya dan tidak bertentangan dengan dalil rajih yang lain.
6.
Pertanyaan :
bagaimana hukum mengusap jilbab atau imamah ketika wudlu?
Jawaban : boleh. Adapun dalil yang
menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah (sorban) adalah hadits yang
diriwayatkan dari sahabat Al-Mughirah bin Syu’bah radhiallahu ‘anhu,
أن
النبيَّ صلّى الله عليه وسلّم: مسح بناصيته، وعلى العِمامة، وعلى خُفّيه
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap
jambul rambutnya, ‘imamah dan kedua khuf-nya.” [6]
Hadits di atas menunjukkan bolehnya mengusap ‘imamah
berdasarkan perkataan beliau (al-Mughirah bin Syu’bah).
7. Pertanyaan :
bolehkah sholat ketika ada gempa (bencana) dikiaskan dengan sholat gerhana?
Jawaban : rosululloh bersabda :
عن
الْمُغِيرَةَ بْنَ شُعْبَةَ يَقُولُ انْكَسَفَتْ الشَّمْسُ يَوْمَ مَاتَ
إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ النَّاسُ انْكَسَفَتْ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ فَقَالَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ
مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَا يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلَا لِحَيَاتِهِ فَإِذَا
رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ
“Dari
Al-Mughiroh Bin Syu’bah beliau berkata; Matahari mengalami gerhana di hari
wafatnya Ibrahim (putra Rasulullah SAW). Maka orang-orang berkata; Dia (matahari)
mengalami gerhana karena kematian Ibrahim. Maka Rasulullah SAW bersabda;
Sesungguhnya matahari dan bulan adalah dua ayat di antara ayat-ayat Allah.
Keduanya tidak mengalami gerhana karena kematian atau hidupnya seseorang. Jika
kalian melihatnya, maka berdoalah, dan Shalatlah sampai terang (normal)
kembali” (HR. Bukhari)
Hadits
di atas jelas menyebut gerhana matahari dan bulan. Perintah untuk Shalat
gerhana tidak dikhususkan untuk gerhana matahari. Karena itu sunnahnya Shalat
gerhana berlaku untuk gerhana matahari sekaligus gerhana bulan. Diriwayatkan,
Ibnu Abbas Shalat gerhana bulan di Bashroh mengimami penduduknya dan mengatakan
bahwa beliau melihat Rasulullah SAW melakukannya.
Untuk
gempa, gunung meletus, banjir, angin kencang dan tanda-tanda alam yang lain,
maka tidak disyariatkan Shalat karena Nash yang ada hanya untuk gerhana.
Tanda-tanda alam yang lain tidak bisa diqiyaskan karena tidak ada Qiyas dalam
ibadah.[7]
Dan juga karena berbeda waqi’nya[8]
8.
Pertanyaan :
bolehkah menganggukan kepala kesamping ketika sholat jika dia tidak mampu untuk
berdiri ketika sakit?
Jawaban : Sholat bagi orang sakit, apabila dia
masih sanggup berdiri maka lebih baik berdiri, jika hannya sanggup berbaring
maka berbaring, jika hannya sanggup dengan menggunakan isyarat mata juga di
bolehkan. Dalam pertanyaan di atas jelas di bolehkan jika memang seperti itu
yang bisa dilakukan oleh orang yang sakit tersebut. Yang penting dengan gerakan
apapun asalkan seseorang tidak meninggalkan sholat meskipun dalam keadaan
sakit.
Bagi orang
sakit seharusnya juga sujud menempel ketempat sujud, tidak ada udzur bagi
seseorang untuk tidak melakukannya kecuali dengan hal yang tidak mampu sama
sekali seperti sakit.[9]
Oleh : Nanang
Imam Syafi’i
Ma’had
‘Aly Al_Islam
[1]
http://majlistalimal-umm.blogspot.com/2011/05/pendapat-imam-syafii-tentang-qiyas.html
[2]
Mausu’atu fiqh ibadah
[3] Ustadz zain
annajah
[4] HR attirmidzi
[5] http://eramuslim.com/ustadz/thr/8311222951-menyentuh-kemaluan-batalkah-wudhu039-saya.htm oleh Ahmad
Sarwat, Lc
[6] HR. Muslim
dalam kitaabuth-thahaarah:
bab mengusap ujung rambut dan ‘imamah No. 274
[8] Ustadz zain
annajah
[9]
Al-jami’ Liahkamu Sholah,
0 komentar:
Posting Komentar