GHAIB
itroh dari manusia yang tidak dapat di ungkiri adalah menyukai
sesuatu yang nyata (real),
dibandingkan dengan sesuatu yang tidak nyata (ghaib). Padahal perlu kita ketahui bersama keimanan seseorang dibangun di atas rukun
iman, yang keseluruhan dari rukun iman tersebut terdiri dari hal ghaib.
Ghaib adalah kata yang digunakan untuk segala
sesuatu yang menunjukan tidak dapat ditangkap oleh panca indra. Iman kepada
yang ghaib berarti percaya kepada sesuatu yang tidak bisa dijangkau oleh
panca indra dan tidak bisa dicapai oleh akal biasa, akan tetapi ia terdapat
pada wahyu yang diterima oleh para nabi dan rasul.
Iman kepada yang hal ghaib
adalah salah satu di antara sifat- sifat orang beriman sebagaimana firman Allah
Ta'ala:
“Alif laam mim. Kitab (Al-Qur’an) ini
tidak ada keraguan padanya. Petunjuk bagi orang yang bertaqwa, yaitu mereka
yang beriman kepada yang ghaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian
rizki yang Kami anugerahkan kepada mereka.” [Al-Baqarah: 1-3]
Ada dua pendapat tentang makna iman tersebut:
1.
Bahwasanya
mereka mengimani segala yang ghaib yang tidak bisa dijangkau oleh panca
indra (dan akal), yaitu hal-hal yang telah diberitakan tentang Allah Ta'ala dan
tentang para rasul-Nya.
2.
Bahwasanya
mereka beriman kepada Allah Ta'ala di waktu ghaib sebagaimana
mereka beriman kepada Allah Ta'ala di waktu hadir, dan hal ini berbeda
dengan orang-orang munafiq yang mana mereka hanya beriman kepada Allah Ta'ala di waktu hadir saja, dan kufur
kepada Allah di waktu ghaib.
Kedua makna di atas
tidaklah saling bertentangan, bahkan keduanya haruslah ada pada diri seorang
muslim.
Pengaruh
Iman Kepada Yang Ghaib Dalam Aqidah Seorang Muslim.
Iman kepada yang ghaib mempunyai pengaruh yang besar sekali
sehingga terpantul aplikasi dalam tingkah laku seseorang yang berupa perangai
dan tingkah lakunya kepada orang di sekitarnya sehari-hari. Ia merupakan
motivator yang sangat kuat untuk melahirkan amal kebajikan dan meninggalkan keburukan. Dengan beriman kepada hal yang ghaib
inilah melahirkan banyak kebaikan, seperti hal-hal berikut ini:
A.
Ikhlas
beramal
Dalam hal ini ialah untuk memperoleh pahala dan menghindarkan diri
dari siksa di akhirat, bukan menginginkan
balasan dunia dan pujian manusia. Dikarenakan
salah satu hal yang mampu menjerumuskan manusia ke dalam perbuatan menyekutukan
Allah Ta'ala ialah hilangnya rasa ikhlas dalam hati seseorang
dikarenakan ia menginginkan balasan dunia dan pujian manusia, sebagaiman firman
Allah subhanahu waa ta'ala :
“Dan mereka memberikan makanan yang disukai kepada orang miskin,
anak yatim dan orang-orang yang ditawan. Sesunguhnya kami memberikan makanan
kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridho’an Allah, kami tidak menghendaki
balasan dari kamu dan dan tidak pula ucapan terimakasih.” [Al-Insan
Insan: 8-9]
B.
Kuat dan tegas dalam pembenaran
Kuat, tegas dan tegar dalam pembenaran. Apa yang dijanjikan Allah
untuk orang yang beriman menjadikan seseorang teguh dalam menjalankan segala
perintah-Nya, menjelaskan yang haq, mengajak kepada yang haq, menjelaskan yang
batil dan memeranginya. Jika tidak ada yang membantu maka dia pun kuat karena
Allah Ta’alla, terasa mudah baginya kehidupan dunia dan segala
penderitaannya, dibandingkan dengan kehidupan akhirat. Allah Ta’alla telah menjelaskan tentang perkataan kekasih-Nya,
Ibrahim alaihis salam kepada
kaumnya.
“Demi Allah, sesungguhnya aku akan
melakukan tipu daya terhadap berhala-berhalamu sesudah kamu pergi
meninggalkannya. Maka Ibrahim membuat berhala-berhala itu hancur terpotong-potong,
kecuali yang terbesar
(induk) dari patung-patung yang lain; agar mereka kembali (untuk bertanya)
kepadanya.” [Al-Anbiya’: 57-58]
C.
Meremehkan penampilan dunia.
Meremehkan bentuk-bentuk penampilan duniawi. Hal ini merupakan pengaruh
dan makmurnya hati kerana keimanan, dan bahwasanya dunia berserta kenikmatannya
akan lenyap, sedangkan akhirat adalah kehidupan kekal. Maka tidak masuk akal jika
lebih memilih hal yang fana daripada yang kekal. Allah Ta’ala berfirman:
“Dan tiadalah
kehidupan dunia ini melainkan senda gurau dan main-main. Dan sesungguhnya
akhirat itulah yang sebenarnya kehidupan, kalau mereka mengetahui.” [Al-Ankabut: 64]
D.
Lenyapnya kebencian
dan kedengkian
Lenyaplah kebencian dan kedengkian. Sesungguhnya usaha mewujudkan
keinginan nafsu tanpa melalui jalan yang benar menyebabkan kebencian dan
kedengkian antara manusia. Sedangkan iman kepada yang ghaib, berupa
janji-janji Allah dan ancaman-Nya menjadikan seseorang itu sentiasa mengawasi
dirinya dengan sebaik mungkin, dan sentiasa memperbaiki diri sendiri dalam
setiap gerak-geriknya demi mendapatkan pahala dari-Nya dan menjauhi
siksaan-Nya.
“Dan orang-orang yang telah menempati
kota Madinah dan telah beriman (Anshor) sebelum (kedatangan) mereka
(Muhajirin), mereka (Anshor) 'mencintai' orang yang berhijrah kepada mereka
(Muhajirin). Dan mereka (Anshor) tiada menaruh keinginan dalam hati mereka
terhadap apa-apa yang diberikan kepada mereka (Muhajirin); dan mereka
mengutamakan (orang-orang Muhajirin), atas diri mereka sendiri, sekalipun
mereka dalam kesusahan. Dan siapa yang dipelihara dari kekikiran dirinya,
mereka itulah orang orang yang beruntung. Dan orang-orang yang datang sesudah
mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: "Ya Rabb kami, beri ampunlah
kami dan saudara-saudara kami yang telah beriman lebih dulu dari kami, dan
janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang
yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha
Penyayang.” [Al-Hasyr: 9-10]
Itulah sebahagian daripada pengaruh iman terhadap yang ghaib. Pengaruh-pengaruh tersebut akan berkurang disebabkan oleh lemahnya iman. Bila pengaruh iman sudah tidak ada, maka bisa jadi suatu masyarakat insani berubah menjadi masyarakat hewani, yang hidupnya memangsa yang mati, yang kuat menindas yang lemah, ketakutan merajalela, musibah meluas, kemuliaan hilang dan kehinaan yang naik takhta.
Wallahu Ta’ala A’lam! Semoga kita dilindungi oleh Allah dari
hal yang demikian.
0 komentar:
Posting Komentar