TAKHRIJ DAN TARJIH
Yang
dimaksud dengan takhrij disini adalah menyimpulkan suatu hukum perkara
yang belum diketahui adanya pendapat imam-imam madzhab dalam masalah tersebut.
Dan takhrij ini didasari atas perkara-perkara ushul (pokok) yang
telah disimpulkan dalam madzhab ini.
Inilah
pekerjaan para mukhorrij dalam madzhab ini dan mereka termasuk para
mujtahid.
Yang
dimaksud dengan tarjih disini adalah menjelaskan mana yang rojih dari
pendapat-pendapat atau riwayat-riwayat berbeda para imam madzhab. Hal ini
merupakan pekerjaan para murojjih fuqoha madzhab yang mereka memiliki
kapabelitas ilmu dalam melakukan tarjih, mengetahui pendapat yang kuat,
mengetahui pendapat dan riwayat yang lebih kuat. Mereka para murojjih
tidak ada hak dalam mengistibatkan (menyimpulkan) hukum yang tidak ada nash
didalamnya, mereka hanya membedakan mana yang rojih, mana yang lebih rojih,
mana yang lemah, mana yang kuat, mana riwayat yang lemah dan mana riwayat yang
shohih.
PENTARJIHAN DHOHIR RIWAYAT PADA
KESEPAKATAN IMAM MADZHAB
Jika
para imam madzhab bersepakat pada suatu riwayat dari dhohirur riwayat
maka seorang mujtahid hendaknya mengikuti atau condong kepada mereka dan
berfatwa menurut perkataan mereka dan tidak menyelisihi mereka dengan
pendapatnya sendiri.
Qodhikhan
(Al Hasan bin Mansur) telah menerangkan hal itu, “Karna sesungguhnya yang
dhohir itu adalah kaq (kebenaran) menurut sahabat-sahabat kami dan mereka tidak
menentangnya, ijtihadnya tidak menyamai ijtihad mereka, dan janganlah ia
melirik atau melihat pada pendapat yang menyelisihi mereka, hujjahnya juga
tidak diterima karena mereka mengetahui dalil-dalil serta membedakan antara
yang shohih, tsabit dan yang
kebalikannya”
MENRTARJIH PERBEDAAN PENDAPAT PARA
IMAM MADZHAB
1.
JIKA DUA SAHABAT ABU HANIFAH (ABU YUSUF,
MUHAMMAD) SEPENDAPAT DENGAN BELIAU
Jika
salah satu sahabat Abu Hanifah sepakat dengan pendapat beliau maka pendapatnya
bisa diambil (dijadikan peangan) karena telah terpenuhinya syarat-syarat dan
terkumpulnya dalil-dalil yang benar pada keduanya.
2.
JIKA DUA SAHABAT ABU HANIFAH MENYELISIHI BELIAU
Jika
dua sahabat Abu Hanifah menyelisihi beliau maka jika perbedaan mereka seputar
perbedaaan masa dan zaman seperti keputusan menilai ‘adalah (ketakwaan
pribadi) seseorang secara dhohir maka seorang mujtahid mengambil pendapat kedua
sahabat Abu Hanifah tersebut dikarenakan adanya perubahan keadaan seorang
tersebut. Jika perbedaan pendapatnya seputar cocok tanam, muamalah dan yang
semisalnya maka pendapat keduanya lah yang dipilih (Abu Hanifah dan sahabatnya)
berdasarkan kesepakatan ulama mutaakhirin (kontemporer).
Ada
sebagian ulama yang berkata, “Seorang mujtahid memmilih (pendapat yang
menurutnya benar) dan mengamalkan apa yang dipilih oleh pendapatnya”
Abdullah
bin Al Mubarak berkata, “Pendapat Abu Hanifah lah yang diambil, karena beliau
melihat sahabat, beliau seorang tabi’in yang paling banyak berfatwa maka
pendapatnya lebih berbobot dan lebih kuat”.
MENTARJIH
JIKA PADA IMAM ABU HANIFAH TIDAK ADA PILIHAN
Jika pada Abu Hanifah tidak ada pilihan (pendapat mana yang benar)
maka dahulukan pilihannya Abu Yusuf ra yang mana beliau merupakan pembesar
sahabat Abu Hanifah. Telah menjadi kebiasaan Muhammad bin Al Hasan menyebutkan
kunyah “Abu Yusuf” pada Ya’qub kecuali jika pada nama Abu Yusuf ada nama Abu
Hanifah juga maka ia menyebut Abu Yusuf dengan nama asli beliau yakni Ya’qub,
hal ini sebagaimana wasiat Abu Yusuf sendiri kepada Muhammad bin Al Hasan
sebagai rasa hormat dan adab kepada gurunya yakni Imam Abu Hanifah.
Jika pada Abu Yusuf tidak ada pilihan maka dahulukan pendapat
Muhammad bin Al Hasan seorang terbaik diantara sahabat-sahabat Abu Hanifah
setelah Abu Yusuf. Kemudian dahulukan pendapat Zafar dan Al Hasan bin Zayad
jika kedua pendapatnya sama, sebagaimana perkataan Ibnu ‘Abidin, “Dan jika
tidak didapati pada Abu Hanifah pilihan maka pendapat Ya’qub lah yang dipilih
kemudian Muhammad bin Al Hasan kemudian Zafar dan Ibnu Zayyad”.
MENTARJIH
JIKA PADA IMAM ABU HANIFAH ATAU SALAH SATU SAHABATNYA TIDAK DIDAPATI NASH PADA
SUATU MASALAH
Jika pada suatu masalah yang hendak diketahui hukumnya tidak
didapati jawaban yang jelas dari Imam Abu Hanifah atau salah satu sahabatnya
maka :
1.
Jika para masyayikh (orang yang tidak
bertemu Abu Hanifah) bersepakat atas satu pendapat maka itulah yang dijadikan
pegangan.
2.
Jika para masyayikh itu berselisih
pendapat maka yang diambil adalah perkara yang terbanyak dari pembesar-pembesar
masyayikh yang telah dikenal seperti ; Abu Hafsh, Abu Ja’far, Abu Al Laits, Ath
Thahawi dan yang lainnya yang berpegangan pada beliau Abu Hanifah.
3.
Jika pada para masyayikh itu tidak
ditemukan jawaban yang jelas maka hendaknya seorang mufti meneliti dan
berijtihad untuk mendapatkan pendapat atau solusi yang baik dan hendaknya ia
takut kepada Allah serta bertaqarrub kepada-Nya karena ini merupakan masalah
besar.
MENTARJIH
PADA MASALAH PERBEDAAN PERKATAAN YANG DIRIWAYATKAN PADA DHOHIR RIWAYAT
Jika ada dua pendapat pada satu masalah diantara masalah-masalah
dhohir riwayat maka kita teliti ; jika masyayikh menshohihkan salah
satunya dan tashih ini dengan sigoh tafdhil (melebihkan) maka mufti memilih
diantara dua riwayat. Dan jika tidak dishohihkan dengan sigoh tafdhil
maka hendaknya mufti berfatwa dengan yang shohih saja.
Dan jika masyayikh menshohihkan dua pendapat :
-
Jika tashihnya dengan sigoh tafdhil maka
ia berfatwa dengan yang lebih shohih, ada yang mengatakan dengan yang shohih
saja pun tidak mengapa.
-
Jika tashihnya tidak dengan sigoh tafdhil
maka seorang mufti memilih diantara dua riwayat.
0 komentar:
Posting Komentar