Jumat, 23 November 2012

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Beberapa Contoh Ijtihad Yang Dilakukan Oleh Para Shahabat


Oleh : Nanang Imam Safi’i
Ma’had ‘Aly Al-Islam

BEBERAPA CONTOH IJTIHAD YANG DILAKUKAN OLEH PARA SHAHABAT
1.      Ijtihad yang dilakukan oleh 'amar bin yasir, sebagai berikut : artinya: "saya telah berjunub dan tidak mendapatkan air. Maka saya berguling-guling pada debu kemudian saya mengerjakan shalat. Lalu hal itu, saya sampaikan kepada nabi saw. Maka beliau bersabda: sesungguhnya cukup kamu melakukan begini nabi menepuk tanah dengan dua telapak tangannya kemudian meniupnya, lalu menyapukannya ke wajahnya dan dua telapak tanganya." (hr. Bukhari dan muslim). Pada hadits di atas, 'ammar bin yasir mengqiyaskan debu dan air untuk mandi dalam menghilangkan junubnya, sehingga ia dalam menghilangkan junub karena tidak mendapatkan air itu, dilakukan dengan berguling-guling di atas debu. Namun hasil ijtihadnya ini tidak dibenarkan oleh rasulullah saw. Hasil ijtihad para sahabat tidak dapat dijadikan sumber hukum atau tidak mempunyai kekuatan hukum yang dapat dipedomani oleh kaum muslimin, kecuali jika hasil ijtihadnya telah mendapat pengesahan atau pengakuan dari rasulullah saw dan tidak diturunkan wahyu yang tidak membenarkannya.
2.      Umar bin khattab ra tidak menjatuhkan hukuman potong tangan kepada seseorang yang mencuri karena kelaparan (darurat/terpaksa)
3.      Ali bin abi thalib berpendapat bahwa wanita yang suaminya meninggal dunia dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, hanya berhak mendapatkan mut'ah. Ali menyamakan kedudukan wanita tersebut dengan wanita yang telah dicerai oleh suaminya dan belum dicampuri serta belum ditentukan maharnya, yang oleh syara' ditetapkan hak mut'ah baginya, sebagaimana disebutkan dalam firman allah:
artinya: "tidak ada sesuatupun (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. Dan hendaklah kamu memberikan mut'ah (pemberian) kepada mereka. Orang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. Yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan." (al-baqarah : 236).[1]

Contoh ijtihad yang satu sama lain berbeda pendapatnya dikalangan shohabah :
4.       Dimaklumi bahwa Alquran melarang seorang wanita yang bercerai, menikah dengan pria lain sebelum habis masa iddahnya. Di masa Umar r.a. terdapat kasus, seorang janda melanggar aturan ini, menikah dengan pria lain ketika masa iddahnya belum habis. Sebagai pemegang otoritas, Umar menjatuhkan hukuman terhadap kedua orang ini dan memutuskan tali perkawinan ini mereka. Kemudian Umar r.a. berkata: “Perempuan manapun yang dinikahkan pada masa iddahnya, jika suami yang memperistrikannya sempat dukhul maka keduanya diceraikannya dan perempuan itu beriddah dengan sisa iddahnya dari suami yang pertama kemudian laki-laki itu melamar seperti pelamar-pelamar lain. Bila terlanjur dukhul maka keduanya diceraikan kemudian perempuan itu beriddah dengan sisa iddah suami kedua, kemudian laki-laki itu tidak boleh mengawininya selama-lamanya.” Ali berkata “jika isteri telah habis iddahnya dari suami yang pertama, maka orang lain jika mau boleh memperistrikannya”. Keduanya berbeda pendapat dalam mengekalkan haramnya nikah atas suami yang kedua setelah dukhul dengan perempuan yang sedang beriddah. Tentang kasus semacam ini tidak terdapat di dalam Alquran maupun as-Sunnah. Ali r.a. dalam menjawab masalah ini berpegang pada prinsip umum, tidak ada larangan abadi. Maka cukuplah diberikan hukuman fisik dari perceraian, serta iddah ganda. Sementara Umar r.a. dalam mengambil sikap keras itu karena menutup pintu kesalahan yang sama bagi orang lain.
5.      Abu Bakar tidak memberikan warisan kepada saudara-saudara kakek. Adapun Umar memberikan bagian mereka. Abu Bakar menjadikan kakek sebagai ayah dan saudara tidak mewaris bersama ayah, berdasarkan nash dan Umar tidak menjadikannya demikian, dan Zaid bin Tsabit sependapat dengan ini.
6.      Ibnu Mas’ud berfatwa dan Umar bin Khattab menyetujuinya bahwa: wanita yang dicerai, tidak haidnya yang ketiga. Zaid bin Tsabit berfatwa, bahwa: wanita itu keluar dari iddahnya kapan saja ia masuk dalam haid yang ketiga. Tempat timbulnya perbedaan adalah perbedaan mereka dalam kata quru’, apakah quru’ itu berarti suci sebagaimana dipahamkan oleh Zaid bin Tsabit dan orang lain apakah quru’ itu haid, sebagaimana dipahamkan oleh Ibnu Mas’ud.
7.      Umar bin Khattab berfatwa bahwa: wanita yang dicerai putus (Thalak Bain) itu, mendapat nafkah dan tempat tinggal. Ketika sampai pada hadis Fathimah binti Qais bahwasanya Rasulullah tidak memberikan nafkah dan tidak pula tempat tinggal baginya setelah perceraian yang ketiga, maka ia berkata: kita tidak meninggalkan kitab Tuhan dan Sunnah Nabi kita karena perkataan seorang perempuan yang barangkali ia hafal atau lupa.
8.      Umar dan Ibnu Mas’ud menetapkan bahwa: iddah perempuan hamil yang kematian suaminya ialah sampai ia melahirkan kandungannya. Ibnu Mas’ud berpendapat bahwa: ketentuan iddah hamil adalah pengecualian (Mukhashshis) dari iddah wafat, karena surah al-Thalak diturunkan sesudah al-Baqarah. Berbeda dengan itu, Ali bin Abi Thalib dan Ibnu Abbas berpendapat bahwa: terhadap perempuan tersebut diberi iddah yang panjang dari iddah hamil dan wafat.
9.       Abu Musa al-Asy’ari berfatwa bahwa: cucu perempuan (anak perempuan dari anak laki-laki) tidak mendapat warisan bila ia mewarisi bersama anak perempuan dan saudara perempuan, akan tetapi setelah kasus yang sama diajukan kepada Ibnu Mas’ud, ia menetapkan sesuai dengan keputusan Rasulullah yaitu bagi anak perempuan seperdua, cucu perempuan seperenam dan sisanya untuk saudara perempuan.[2]


Sumber :
2.      http://kitabrisalah.blogspot.com


[1] http://kitabrisalah.blogspot.com
[2] http://jurnaltahkim.wordpress.com/

0 komentar:

Posting Komentar