Kamis, 08 November 2012

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Beberapa Syubhat Tentang Sejarah Rosululloh Saw



BEBERAPA SYUBHAT TENTANG SEJARAH ROSULULLOH SAW
Tuduhan Nabi saw adalah seorang gay
Keutamaan Al-Hasan dan Al_Husein bin Ali
Diriwayatkan dari al-Bara’ bin ‘Azib 4& ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. menggendong al-Hasan bin Ali di atas pundak beliau seraya berkata, “Ya Allah SWT., aku mencintainya maka cintailah dia.”
Diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dari hadits Syu’bah.1158 Imam Ahmad1159 meriwayatkan dari Abu Hurairah ia berkata, “Pada suatu hari Rasulullah saw. pergi ke pasar Bani Qainuqa’ dengan dituntun oleh kedua tanganku. Beliau berkeliling di pasar tersebut. Kemudian kembali dan duduk di dalam masjid. Beliau berkata, ‘Di mana si Laka’ ? Panggil kemari si Laka’!’ Lalu datanglah al-Hasan berlari ke arah beliau lalu duduk di pang-kuan beliau. Rasulullah saw. memasukkan lidah beliau ke dalam mulutnya sembari berkata, “Ya Allah SWT., aku mencintainya maka cintailah dia dan cintailah orangorang yang mencintainya.” Beliau katakan sebanyak tiga kali.
Abu Hurairah berkata, “Tidaklah aku melihat al-Hasan melainkan menetes air mataku atau berlinang air mataku atau melainkan aku menangis.” Hadits ini shahih sesuai dengan syarat Muslim dan tidak dikeluarkan oleh keduanya.
Imam Ahmad1160 meriwayatkan dari Abu Hurairah bahwa ia berkata, “Rasulullah saw. keluar menemui kami bersama al-Hasan dan al-Husain. Keduaduanya beliau gendong di atas pundak beliau. Sekali-kali beliau men-cium al-Hasan dan sekali kali mencium al-Husain, hingga beliau sampai di hadapan kami. Seorang lelaki berkata, “Wahai Rasulullah saw., engkau kelihatannya sangat mencintai keduanya.” Rasulullah saw. berkata, “Barangsiapa mencintai keduanya berarti ia telah mencintaiku dan barang-siapa membuat keduanya marah berarti ia telah membuatku marah.” Imam Ahmad terpisah seorang diri dalam periwayatan hadits ini.
Diriwayatkan dalam hadits Ali, Abu Sa’id, Buraidah1161 dan Hudzaifah bahwa Rasulullah saw. bersabda: “Al-Hasan dan al-Husain adalah pemimpin para pemuda penduduk Surga, dan ayah mereka lebih baik daripada mereka.” Dalam hadits Abdullah bin Syaddad dari ayahnya disebutkan bahwa suatu ketika Rasulullah saw. mengimami mereka shalat dalam sebuah shalat di malam hari. Beliau sujud dan memperpanjang sujud. Setelah salam beliau berkata kepada para makmum: ” Sesungguhnya cucuku ini -yakni al-Hasan- naik ke atas punggungku dan aku tidak ingin mengusirnya hingga ia merasa puas. ” 1162
Ats-Tsauri1163 meriwayatkan dari Abu Zubair dari Jabir ia berkata, “Aku menemui Rasulullah saw. sementara beliau membawa al-Hasan dan al-Husain di atas pundak beliau. Beliau berjalan merangkak sambil menggen-dong mereka di atas punggung beliau. Aku berkata, “Sebaik-baik unta adalah unta kalian berdua.” Rasulullah saw. menimpali, “Sebaik-baik anak unta adalah kalian berdua.”
Sanadnya sesuai dengan syarat Muslim dan belum dikeluarkan oleh mereka. Imam Ahmad 1164 berkata, Hasyim bin al-Qasim telah menyampaikan kepada kami dari Jarir dari Abdurrahman bin Abi Auf al-Jursyi dari Mu’awiyah ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mencium lidahnya.” Atau ia berkata, “Aku melihat Rasulullah saw. mencium bibirnya.” Yakni al-Hasan bin Ali . Sesungguhnya tidak akan terkena siksa lidah atau bibir yang dicium oleh Rasulullah saw. .” Imam Ahmad terpisah seorang diri dalam periwayatan hadits ini.
Dalam kitab ash-Shahih telah diriwayatkan dari Abu Bakrah, demikian pula diriwayatkan oleh Ahmad dari Jabir bin Abdillah bahwa Rasulullah saw. bersabda:
” Sesungguhnya cucuku ini adalah sayyid, kelak Allah SWT. Akan mendamaikan dua kelompok besar kaum muslimin melalui dirinya. Al-Hasan turun jabatan dan menyerahkan kepemimpinan kepada Mu’awiyah. Terjadilah apa yang dikatakan oleh Rasulullah saw. tadi.
Jadi ciuman Rasulullah kepada cucunya tak lebih dari ciuman kasih sayang seorang kakek kepada cucunya. Bukankah Rasulullah juga menikahi perempuan bahkan berpoligami. Apa mungkin seorang gay berpoligami?!

ISLAM MENGECAM HOMOSEKS (GAY), KRISTEN MALAH MELEGALKANNYA
Tudingan bahwa Allah dan Nabi adalah orang yang homoseks, adalah fitnah yang benar-benar keji.
Sebab Allah SWT dalam Al-Qur’an secara jelas mengutuk dan melaknat praktik homoseksual karena bertentangan dengan kodrat dan kenormalan manusia. Allah menggambarkan azab-Nya kepada kaum homo dalam Al-Qur’an surat Al-A’raf 80-84 :  Surat al A’raf [7]80-84:
Allah Berfirman:
وَلُوطًا إِذْ قَالَ لِقَوْمِهِ أَتَأْتُونَ الْفَاحِشَةَ مَا سَبَقَكُم بِهَا مِنْ أَحَدٍ مِّن الْعَالَمِينَ
“Dan (Kami juga telah mengutus) Luth (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada mereka: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan faahisyah itu [551], yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini) sebelummu?”
إِنَّكُمْ لَتَأْتُونَ الرِّجَالَ شَهْوَةً مِّن دُونِ النِّسَاء بَلْ أَنتُمْ قَوْمٌ مُّسْرِفُونَ
“Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka), bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas”.
وَمَا كَانَ جَوَابَ قَوْمِهِ إِلاَّ أَن قَالُواْ أَخْرِجُوهُم مِّن قَرْيَتِكُمْ إِنَّهُمْ أُنَاسٌ يَتَطَهَّرُونَ
“Jawab kaumnya tidak lain hanya mengatakan: “Usirlah mereka (Luth dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang-orang yang berpura-pura mensucikan diri.”
فَأَنجَيْنَاهُ وَأَهْلَهُ إِلاَّ امْرَأَتَهُ كَانَتْ مِنَ الْغَابِرِينَ
“Kemudian Kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali isterinya; dia termasuk orang-orang yang tertinggal (dibinasakan).”
وَأَمْطَرْنَا عَلَيْهِم مَّطَرًا فَانظُرْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُجْرِمِينَ
“Dan Kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu. (QS. Al A’raf (7) :80-84)
“Sudah jelas, kaum Luth diazab karena liwath yang mereka lakukan,”
Firna Allah dalam QS. Hud:82-83.
“Maka tatkala datang azab Kami, Kami jadikan negeri kaum Luth itu yang di atas ke bawah (Kami balikkan), dan Kami hujani mereka dengan batu dari tanah yang terbakar dengan bertubi-tubi, yang diberi tanda oleh Tuhanmu, dan seksaan itu tiadalah jauh dari orang- orang yang lalim. ” (QS. Hud: 82-83)
Rasulullah SAW  juga bukan orang yang homo, justru beliau bersikap tegas dalam memerangi penyimpangan seksual ini, dalam sabdanya:
”Siapa saja yang kalian temukan melakukan perbuatan kaum Luth (liwath/homoseks) maka hukum matilah baik yang melakukan maupun yang diperlakukannya” (HR. Al-Khomsah kecuali An-Nasa’i).
Faktanya, wacana dan gaya hidup homo maupun gay justru tumbuh dalam tubuh kekristenan.
Tanggal 27 Februari 2004, The Associated Press Wire menyiarkan satu tulisan berjudul Two Studies Cite Child Sex  terhadap anak-anak yang dilakukan oleh 4 persen pastur gereja Katolik. Setelah tahun 1970, 1 dari 10 pastur akhirnya tertuduh melakukan pelecehan seksual itu. Dari tahun 1950 sampai 2002, sebanyak 10.667 anak-anak dilaporkan menjadi korban pelecehan seksual oleh 4.392 pastur. Studi ini dilakukan olehThe American Catholic Bishops tahun 2002 sebagai respon terhadap tuduhan adanya penyembunyian kasus-kasus pelecehan seksual yang dilakukan para tokoh gereja. (Adian Husaini, Wajah Peradaban Barat Dari Hegemoni Kristen ke Dominasi Sekuler Liberal, 2005).
Jadi tuduhan bahwa Rasulullah adalah seorang gay sangat tidak masuk akal.


Kisah sesungguhnya larangan dari Rasulullah, Kenapa Sayyidah Fatimah tidak boleh dipoligami oleh Ali bin Abu Tholib ?
Debater Kristen copas fitnah Faithfreedom:
Mari kita lihat pendapat putrinya nabi muhamamad,fatimah ketika hendak dipoligami sama Ali bin Abi Thalib,
Ali bin Abi Thali berniat menikahi putri Abu Jahal. Ali bin Abi Thalib meminta izin kepada istrinya. mendengar berita itu, Fatimah marah dan melaporkannya kepada ayahanda, Muhammad. Seketika nabi Muhammad marah besar. para sahabat bersaksi bahwa mereka tidak pernah melihat muhammad semarah itu. Muhammad berkata kepada putrinya, “engkau adalah putriku. siapa yang membuatmu marah, berarti membuatku marah juga.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah : kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu; Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku menikahkan anakku dengan Abul As bin Robi’ dan diatidak membohongiku, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya sangat membenci orang yang membuatnya marah. Demi Allah putri Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam naungan seorang laki-laki maka kemudian Ali membatalkan (lamaran itu)”. diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
Rasulullah saw bersabda:
فاطمة بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها
“Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang menyakitinya.”
Rasulullah berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum muslimin. di situ hadir Ali bin Abi Thalib. maka Rasulullah berkata, “Demi Allah, selama Fatimah adalah putri Rasulullah, maka aku tidak akan mengizinkan putriku serumah dengan putri musuh Allah.”
Ali bin Abi Thalib pulang dari mesjid dengan sedih, karena merasa telah membuat rasulullah marah besar. sesampainya di rumah, Ali bin Abi Thalib langsung berbicara kepada Fatimah. “Wahai istriku, aku minta maaf, karena telah berniat menikahi putri Abu Jahal. hari ini, dimesjid rasulullah berkhutbah dan dengan marah mengatakan bahwa beliau tidak akan mengizinkan engkau serumah dengan putri abu jahal. aku tidak ingin membuat rasulullah dan putrinya marah. sudikah engkau memaafkanku?”
Fatimah menganggukan kepala dan menyatakan bersedia memaafkan Ali Bin Abi Thalib.. yg akhirnya tidak melakukan poligami. na loh kalian yg setujuh poligami !.. Fatimah aja nggak mau di madu !! Mengenai Fathimah Azzahra ra tentulah tak mengingkari poligami, dan ia tak akan mengingkari semua hukum Allah dan Sunnah Rasul saw.
Jawaban:
Sebagaimana ketika Usamah bin Zeyd ra meminta keringanan untuk seorang wanita muhajirin yg mencuri, maka Rasul saw naik mimbar dan berwasiat, “sungguh ummat sebelum kalian bila oran orang terhormat maka diringankan atas mereka, bila kaum dhuafa maka didirikanlah hukum, Demi Allah bila Fathimah putri muhammad mencuri maka Muhammad akan memotong tangannya” (shahih Bukhari hadits no.6406).
ini menunjukkan bahwa tak mungkin Rasul saw mengajarkan sunnah poligami namun melarang khusus untuk putrinya, maka ini adalah pemahaman yg keliru, dan tentunya Putri Rasulullah saw ini sangat mulia dg mencintai sunnah Nabi saw, dan bisa dipastikan bahwa wanita mulia ini adalah wanita yg paling mencintai sunnah, karena Fathimah ra adalah didikan Rasulullah saw.
Mengenai Rasul saw melarang Ali  bin Abu Tholib berpoligami, itu karena Ali Bin Abu Tholib berencana menikah dengan  putri Abu Jahal, dan tentunya Ali bin Abu Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal yang muslimah dari kekejian ayahnya, namun Rasul saw tak menyetujui itu, karena mensejajarkan putri beliau saw dengan Putri Abu Jahal akan membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul saw memerangi kuffar namun berbesan dengan musuh Allah, memerintahkan muslimin memerangi orang orang kafir namun menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan Musuh Allah.
Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits: Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah (kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku, aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi’ al-Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).
Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt, Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari Hadits yang sama dari riwayat lain.
Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama akan terganggu. “Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Sebab yang paling mungkin adalah sesuai perkataan beliau sendiri, bahwa mengguncang Fatimah sama saja dengan mengguncang Rasul. Beliau mencintai putrinya dan tidak ingin membiarkan keguncangan (apapun yg bisa beliau cegah, termasuk poligami) menyusahkan putrinya itu. Rasulullah pastilah sangat mengenal putrinya, tahu apa yg sanggup menguatkannya dan apa yg mengguncangkannya. Kalau Abu Bakar melepaskan putrinya Aisya mjd istri ke-sekian Nabi, maka itu adalah hak Abu Bakar karena ia mengenal putrinya itu. Tapi kalau Rasulullah melarang putrinya di poligami, hadis itu memberi pelajaran pada saya, bahwa seorang ayah bisa saja melepas putrinya dipoligami tapi bisa juga ia mencegahnya.
Selain itu penolakan Fatimah untuk dipoligami adalah memang karena Fatimah tidak siap dipoligami. Kesiapan setiap perempuan berbeda-beda. Dan seorang laki-laki tidak bisa menyamaratakan semua perempuan. Sebagaimana diisyaratkan dalam riwayat berikut ini:
Ibn Sa‘ad (168 H/764 M–230 H/845 M) dalam kitabnya, Al-Thabaqât Al-Kabîr, mencatat dialog menarik berikut ini: Amrah binti Abdurrahman berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Rasulullah, mengapa engkau tidak menikahi perempuan dari kaum Anshar? Beberapa di antara mereka cantik-cantik.’ Rasulullah menjawab, ‘Mereka perempuan-perempuan yang mempunyai kecemburuan besar yang tidak akan bersabar dengan madunya. Aku mempunyai beberapa istri, dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal itu.’”
Kesiapan mental setiap perempuan berbeda-beda. Karena itu, suami bijak yang ingin meneladani Nabi tidak akan memaksakan kehendaknya untuk berpoligami jika istrinya tidak siap dan sabar dimadu serta sangat pencemburu. Sebab, Nabi pun tidak suka menyakiti perasaan perempuan dalam hal ini. Memaksakan poligami terhadap istri yang tidak sanggup dimadu hanya akan menimbulkan gejolak yang tidak perlu dalam kehidupan berumah tangga. Ini tentunya menyalahi tujuan perkawinan sebagaimana diajarkan Allah:
untuk menciptakan ketenteraman (sakînah) dalam hati suami-istri (QS Al-Rûm [30]: 21).
Kutipan dari ENSIKLOPEDI MUHAMMAD, Afzalur Rahman, Jilid 4 (Muhammad sebagai Suami dan Ayah), h. 99, Pelangi Mizan, 2009):

Syubhat yang dilontarkan oleh  kaum nashroni kepada kaum muslimin tantang riasalah beliau ynag ia sampaikan kepadaraja najasi.

Orang  anshroni berkata : t kami membaca sejarah perjalanan Nabi kalian, kami menemukan beberapa perkara aneh; diantaranya adalah suratnya kepada Heraclius, Raja Romawi, dimana datang dalam surat itu tulisan “Masuk Islamlah, kamu akan selamat”. Maka apakah kalimat ini sudah cukup untuk menegakkan hujjah atas Heraclius? Itu adalah satu ajakan yang terang-terangan untuk peperangan jika Heraclius dan kaumnya tidak masuk Islam. Tidakkah Anda melihat bersama saya bahwa ini adalah suatu perkara yang menakjubkan, yang bisa menjadikan Anda sekalian menilik kembali pandangan terhadap agama Anda sekalian?
Jawaban atas syubhat tersebut :
Pertama, dalam surat tersebut tidak hanya terdapat kalimat tersebut. Di dalam surat tersebut juga datang firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

قُلْ يَا أَهْلَ الْكِتَابِ تَعَالَوْا إِلَى كَلِمَةٍ سَوَاءٍ بَيْنَنَا وَبَيْنَكُمْ أَلا نَعْبُدَ إِلا اللَّهَ وَلا نُشْرِكَ بِهِ شَيْئًا وَلا يَتَّخِذَ بَعْضُنَا بَعْضًا أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ

“Katakanlah: ‘Hai ahli Kitab, marilah (berpegang) kepada suatu kalimat (ketetapan) yang tidak ada perselisihan antara kami dan kamu, bahwa tidak kita sembah kecuali Allah dan tidak kita persekutukan Dia dengan sesuatu pun dan tidak (pula) sebagian kita menjadikan sebagian yang lain sebagai Tuhan selain Allah.” (QS. Ali Imran: 64)
Telah disebutkan dalam shahih al-Bukhari:

فَأَذِنَ هِرَقْلُ لِعُظَمَاءِ الرُّومِ فِى دَسْكَرَةٍ لَهُ بِحِمْصَ ثُمَّ أَمَرَ بِأَبْوَابِهَا فَغُلِّقَتْ ، ثُمَّ اطَّلَعَ فَقَالَ يَا مَعْشَرَ الرُّومِ ، هَلْ لَكُمْ فِى الْفَلاَحِ وَالرُّشْدِ وَأَنْ يَثْبُتَ مُلْكُكُمْ فَتُبَايِعُوا هَذَا النَّبِىَّ ، فَحَاصُوا حَيْصَةَ حُمُرِ الْوَحْشِ إِلَى الأَبْوَابِ ، فَوَجَدُوهَا قَدْ غُلِّقَتْ ، فَلَمَّا رَأَى هِرَقْلُ نَفْرَتَهُمْ ، وَأَيِسَ مِنَ الإِيمَانِ قَالَ رُدُّوهُمْ عَلَىَّ .وَقَالَ إِنِّى قُلْتُ مَقَالَتِى آنِفًا أَخْتَبِرُ بِهَا شِدَّتَكُمْ عَلَى دِينِكُمْ ، فَقَدْ رَأَيْتُ . فَسَجَدُوا لَهُ وَرَضُوا عَنْهُ ، فَكَانَ ذَلِكَ آخِرَ شَأْنِ هِرَقْلَ .

“Maka Heraclius mengizinkan para pembesar Romawi di dalam satu istana di sekitar rumah miliknya di Himsh, kemudian dia memerintahkan pintu-pintunya untuk ditutup. Kemudian dia muncul seraya berkata, ‘Wahai sekalian orang-orang Romawi, apakah kalian mau mendapatkan keberuntungan dan petunjuk, dan kerajaan kalian akan diteguhkan, maka berbaiatlah kepada Nabi ini. Maka mereka pun berlarian seperti keledai liar menuju pintu dan mereka mendapati pintu itu telah tertutup. Maka saat Heraclius melihat larinya mereka, dan dia putus asa dari keimanan, dia berkata, ‘Kembalikanlah mereka kepadaku.’ Lalu dia berkata, ‘Sesungguhnya perkataanku tadi, adalah aku ingin menguji kekuatan kalian terhadap agama kalian, dan sungguh aku telah melihatnya.’ Maka mereka pun sujud dan ridha kepadanya. Maka itulah akhir dari perkara Heraclius.”

Di dalam hadits itu juga disebutkan, bahwa Heraclius berkata:

فَلَوْ أَنِّى أَعْلَمُ أَنِّى أَخْلُصُ إِلَيْهِ لَتَجَشَّمْتُ لِقَاءَهُ ، وَلَوْ كُنْتُ عِنْدَهُ لَغَسَلْتُ عَنْ قَدَمِهِ

“Seandainya aku tahu bahwa aku bisa bebas kepadanya, pastilah aku akan berupaya untuk menemuinya, dan seandainya aku di sisinya, pastilah aku akan membasuh kakinya.”

Kemudian ketahuilah bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah diberikan jawami’ul kalim (kalimat ringkas yang memiliki makna dalam), dan tulisan tersebut, dengan keringkasannya, adalah kalimat yang menyeluruh lagi memberikan manfaat, lagi mengandung sastra tinggi bahasa Arab.

An-Nawawi Rahimahullah berkata dalam Syarah Muslim: “Diantaranya, disunnahkannya bersastra, dan meringkas, serta memilih lafal-lafal yang pendek dalam tulisan. Maka sesungguhnya sabda beliau Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, aslim taslam (masuk Islamlah, kamu akan selamat) ada pada puncak peringkasan, dan puncak sastra, serta mengumpulkan segala makna bersamaan dengan keindahannya, serta kesempurnaannya demi keselamatan Heraclius dari kesengsaraan dunia dengan peperangan, penawanan, pembunuhan, pengambilan rumah, harta dan dari adzab akhirat.”

Kemudian, sesungguhnya orang yang memperhatikan dialog yang terjadi antara Heraclius dan Abu Sufyan sebelum keIslamannya, maka dia akan mengetahui bahwa Heraclius telah tahu bahwa Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam adalah benar-benar utusan Allah.[1]
Maka terajwab sudah syubhat mereka itu.

Nabi dan syaudah

 Apakah boleh Nabi kalian -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- menceraikan istrinya, Saudah, karena dia telah tua, dan di saat wanita itu masih muda dia menikmati masa mudanya, dan saat dia berusia tua, dia langsung menceraikannya?
Jawaban : Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam tidak pernah menceraikannya. Akan tetapi yang terjadi adalah bahwa saat ummul mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha telah berusia sangat tua, Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam merasa kesulitan untuk merawatnya, terutama saat sudah banyak dari keluarganya yang telah masuk Islam. Maka berkatalah Ummul Mukminin Saudah Radhiallahu ‘Anha, ‘Sesungguhnya aku sudah tua, dan kaum laki-laki pun tidak punya hajat dengan aku, akan tetapi aku ingin dibangkitkan nanti di tengah-tengah istri Anda pada hari kiamat.’ Maka turunlah firman Allah Subhanahu wa Ta’ala:

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الأنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

“Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. an-Nisa`: 128)

Ayat ini mengajari kita bahwa jika seorang wanita mengkhawatirkan larinya, atau berpalingnya suami darinya, maka dia boleh untuk menggugurkan sebagian haknya untuk suaminya, apakah itu sebagian nafkah, pakaian, atau jatah menginap. Dan boleh bagi suami untuk menerima hal itu. Tidak ada masalah atas sang istri dalam pengorbanannya itu untuk suami, dan tidak masalah atas suami dalam menerimanya. Maka Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam kembali kepada Saudah dan memperlakukannya dengan sebaik-baiknya.

Maka di manakah sekarang klaim bahwa beliau telah menceraikannya?! Di manakah bukti bahwa beliau menikahi Saudah Radhiallahu ‘Anha pada saat dia masih gadis?! Percayalah kepada saya, sesungguhnya kepayahan saya dalam menjawab bukanlah dari Anda akan tetapi dari mereka yang telah menanamkan syubhat ini di akal Anda, sementara saat kami mengajak mereka untuk berdialog, kami tidak melihat seorang pun dari mereka.[2]

Syubhat orang nashroni ketika pemindahan kiblat dari baitul maqdis kea rah ka’bah.

Mengapa saat kaum muslimin berhijrah dari Makkah ke Madinah, mereka shalat mengarah ke kiblatnya orang-orang Yahudi (Baitul Maqdis), akan tetapi setelah mereka berhasil mengusir orang-orang Yahudi, Muhammad -Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam- dengan hujjah telah turun kepadanya wahyu untuk mengubah arah kiblati dari Baitul Maqdis ke Makkah yang di dalamnya terdapat Ka’bah?
Jawaban :
Pertama, Baitul Muqaddas bukanlah kiblat untuk orang Yahudi saja, melainkan juga untuk orang Nasrani. Akan tetapi kala itu orang-orang Yahudi yang marah karena adanya perubahan arah kiblat dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Penghadapan kiblat kearah Baitul Maqdis kala itu dijadikan oleh orang-orang Yahudi sebagai alasan untuk menolak masuk Islam, dimana mereka di Madinah mengatakan dengan lisan mereka bahwa pengarahan Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang yang bersamanya ke kiblat (Baitul Maqdis) adalah sebuah dalil bahwa agama mereka (Yahudi) adalah agama yang sebenarnya, dan kiblat mereka adalah kiblat yang sebenarnya. Maka merekalah yang asli dan agama yang benar. Mereka (Yahudi itu) mengatakan, bahwa yang lebih utama bagi Muhammad Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama mereka adalah kembali ke agama mereka (Yahudi), tidak mengajak mereka untuk masuk Islam.

Pada waktu yang sama, perkara itu menjadi berat atas kaum muslimin bangsa Arab yang mereka sudah terbiasa di zaman jahiliyah untuk mengagungkan Baitul Haram dan menjadikannya sebagai Ka’bah dan kiblat mereka. Perkara itu semakin menjadi sulit saat mereka mendengar dari orang-orang Yahudi kebanggaan mereka dengan perkara ini dan menjadikannya sebagai alasan untuk membenarkan yahudi. Adalah Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam sendiri membolak-balikkan wajah beliau ke langit, bermunajah kepada Tuhan, tanpa berbicara dengan lisannya, sebagai bentuk adab kepada Allah, serta menunggu arahan yang diridhai-Nya. Kemudian turunlah al-Qur’an mengabulkan apa yang ada di dalam dada Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala menurunkan wahyu dengan firman-Nya:

قَدْ نَرَى تَقَلُّبَ وَجْهِكَ فِي السَّمَاء فَلَنُوَلِّيَنَّكَ قِبْلَةً تَرْضَاهَا فَوَلِّ وَجْهَكَ شَطْرَ الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ وَحَيْثُ مَا كُنتُمْ فَوَلُّواْ وُجُوِهَكُمْ شَطْرَهُ

“Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan di mana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya….” (QS. Al-Baqarah: 144)

Ketika kaum muslimin mendengar pengalihan arah kiblat, sebagian dari mereka tengah berada di dalam shalat mereka. Maka mereka pun mengalihkan wajah mereka ke arah Masjidil Haram di tengah shalat mereka dan menyempurnakan shalat mereka ke arah kiblat yang baru.

Saat itulah hilang sudah terompet orang-orang Yahudi yang membanggakan mereka, dengan mengalihkannya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan orang-orang yang bersama beliau dari kiblat mereka, yang dengannya mereka kehilangan hujjah yang menyandarkan kebanggaan mereka kepadanya.

Sekarang, biarkanlah saya menjelaskan kepada Anda dan juga kepada kaum muslimin, terutama para penuntut ilmu, akan hikmah dialihkanya kiblat dari Ka’bah pada awal tinggal mereka di Madinah. Sungguh ini adalah sebuah kejadian besar di hati mereka dan memiliki pengaruh besar dalam kehidupan mereka. Hikmahnya adalah agar menjadi jelas siapa yang mengikut Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dan siapa yang membelot. Adalah orang Arab mengagungkan Baitul Haram dalam masa jahiliyah mereka. Mereka menjadikannya sebagai simbol keagungan mereka. Saat Islam ingin membersihkan hati untuk Allah, serta melepaskannya dari ketergantungan kepada selain-Nya, dan membebaskannya dari segala keterpikatan dan segala kefanatikan kepada selain manhaj Islam yang terikat dengan Allah secara langsung, yang bersih dari segala endapan sejarah dan kesukuan, maka mencabut mereka dengan sekali cabutan dari arah baitul haram yang kemudian memilihkan mereka untuk sementara waktu ke arah masjidil Aqsha, demi membersihkan mereka dari endapan jahiliyah, dan segala sesuatu yang berkaitan dengan masa jahiliyah agar menjadi tampak siapa yang mengikuti Rasul Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam dengan ikhlas dan siapa yang membelot karena bangga dengan keterpikatan jahiliyah yang berkaitan dengan jenis, kaum, bumi, dan sejarah.

Dikarenakan pembimbing dan pengajarnya adalah Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam, maka pasrahlah kaum muslimin dan menghadap ke arah kiblat yang telah ditentukan untuk mereka. Saat perintah Allah Subhanahu wa Ta’ala turun untuk mengarah ke Masjidil Haram, maka hati kaum muslimin pun terikat dengan hakikat yang agung, yaitu bahwa rumah tersebut adalah rumah yang dibangun oleh Ibrahim dan Isma’il ‘Alaihima Salam agar menjadi murni untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala.*[3]

Syubhat tentang pembedahan dada nabi SAW.

Ada sebagian orang menolak kebenaran berita ini. Berbagai alasan dilontarkan untuk menolak kebenaran kejadian ini. Atau minimal membuat kaum muslimin menjadi bimbang dan ragu. Bahkan ada di antara orientalis yang menyuarakan dengan lantang, bahwa peristiwa itu hanya dongeng belaka. Syubhat yang dilontarkan para orientalis, mereka menganggap peristiwa itu hanyalah pengalaman ruhani, bukan sebuah fakta dalam dunia nyata. Dan ada juga yang mengatakan, bahwa hadits tentangnya adalah mursal.
Jawaban :
diriwayatkan Imam Muslim dari Anas bin Malik diceritakan :
"Bahwasanya Rasulullah SAW didatangi Malaikat Jibril ketika beliau SAW sedang bermain dengan beberapa anak. Jibril kemudian menangkapnya, menelentangkannya, lalu Jibril membelah dada. Jibril mengeluarkan hatinya, dan mengeluarkan dari hati beliau nsegumpal darah beku sambil mengatakan “Ini adalah bagian setan darimu”. Jibril kemudian mencucinya dalam wadah yang terbuat dari emas dengan air zam-zam, lalu ditumpuk, kemudian dikembalikan ke tempatnya. Sementara teman-temannya menjumpai ibunya (maksudnya orang yang menyusuinya) dengan berlari-lari sembari mengatakan: “Sesungguhnya Muhammad telah dibunuh”. Kemudian mereka bersama-bersama menjumpainya, sedangkan dia dalam keadaan berubah rona kulitnya (pucat). Anas mengatakan: “Saya pernah diperlihatkan bekas jahitan di dadanya”.
Dari riwayat tersebut dapat diketahui, peristiwa pembedahan dada Rasulullah SAW adalah benar-benar terjadi. Dan kejadianny adalah mutlak bukan sebuah gambaransecara roknani.
Imam al Qurthubi, di dalam kitab al Mufhim mengatakan, pengingkaran terhadap peristiwa pembedahan dada pada malam Isra’ dan Mi’raj tidak perlu dihiraukan, karena orang-orang yang meriwayatkannya adalah orang-orang tsiqah atau terpercaya dan terkenal.
Fitnah pernikahan nabi dengan aisyah dengam mengatakan nabi pedofilia.

Ada orang yang mengatakan fitnah keji kepada baginda rosul bahwa ia seorang Pedofilia (na’udzubilah), adapuan sebagaiannya berargument dari pernyataan berikut :
“Low self esteem. Many pedophiles, although by no means all, do not have a great sense of capacity for adopting a sexual demeanor towards adults or those of their own age or older. They feel unhappy and fearful at the prospect of sexual behaviour with adults and hence turn to children due to the fact that they are unable to have the strength of personality to seek adults for sexual demeanor. When considering treatment therefore it is important to establish and develop a higher sense of self-esteem in such individuals.”
Artinya:
Rendah diri. Pada umumnya penderita pedofilia, meskipun tidak semuanya, tidak mempunyai keinginan untuk melakukan hubungan seksual dengan orang dewasa atau yang seusia dengan dia atau lebih tua. Mereka merasa tidak bahagia dan takut akan prospek hubungan seksual dengan orang dewasa, oleh karena itu mereka mengarahkannya kepada anak-anak. Di karenakan mereka tidak mempunyai kepribadian yang kuat untuk melakukannya dengan orang dewasa. Maka diperlukan terapi yang dapat membantu mereka untuk menumbuhkan rasa percaya diri.
Jawaban :
Hal diatas sama sekali tidak bisa dihubungkan dengan nabi Muhammad, beliau sama sekali bukan seorang yang rendah diri (minder). Semasa hidupnya beliau mempunyai ribuan pengikut, mustahil seorang yang minder dapat melakukan seperti yang beliau telah lakukan 14 abad lalu.
Hal kedua, nabi Muhammad saw tidak mempunyai rasa takut untuk melakukan hubungan sexual dengan wanita dewasa, contohnya ialah dengan Siti Khadidjah ra, istri pertama beliau yang usianya 15 tahun lebih tua.
Pada saat di Mekkah — sebelum peristiwa Hijrah — rumah tangga nabi terdiri dari beliau (saw) dan istrinya Khadidja binti Khuwailid. Beliau berusia 25 tahun dan Khadidjah (ra) berusia 40 tahun disaat mereka menikah. Ia wanita pertama yang beliau nikahi. Ia satu-satunya istri yang beliau miliki hingga siti Khadidjah (ra) wafat. Beliau memiliki beberapa orang putra dan putrid dari hasil perkawinannya dengan Siti Khadidjah (ra). Namun tidak satupun putranya yang hidup hingga dewasa. Semuanya wafat. Putri-putrinya adalah Zainab (ra), Ruqaiya (ra), Ummu Kulthum (ra). dan Fatimah (ra).
Lebih lanjut mengenai pidofilia:
Jelas sekali deskripsi diatas sama sekali tidak cocok dengan Nabi Muhammad, nabi Muhammad saw orang yang paling tangguh dalam menguasai dirinya dan hawa nafsunya. Dan istri beliau Siti Aisyah (ra) memberikan kesaksian tentang hal ini:
Sahih Al-Bukhari
Volume 1, Kitab 6,r 299:
Diriwayatkan ‘Abdur-Rahman bin Al-Aswad:
…”Aisyah pernah berkata :”Setiap kali Rasulullah SAW ingin membelaiku (to fondle) selama masa-masa haid, Nabi SAW menyuruhku mengenakan izar (pembalut wanita) yang dikenakan dibawah pinggang…dst Aisyah menambahkan,”Tidak ada satupun dari kalian yang dapat mengendalikan nafsu seksualnya seperti Nabi.”
Jika beliau adalah seorang pedofilia maka ia sudah pasti akan menggauli Aisyah tepat saat ia berusia 6 tahun (usia Aisyah menikah) dan sudah barang tentu beliau akan menikahi sejumlah gadis lain yang seusia Aisyah atau dibawahnya dan menggauli mereka, namun beliau tidak pernah melakukannya.
Ciri dan gejala lain seorang pedofilia ialah kesepian, lagi-lagi hal ini tidak ada pada diri nabi Muhammad saw, beliau selalu dikelilingi istri-istrinya dan para sahabatnya, bahkan mungkin beliau tidak memiliki privasi. Dan gejala lain ialah, seorang pedofilia adalah yang mempunyai pengalaman mendapat pelecehan seksual semasa kecil atau dalam hidupnya. Dan hal ini lagi-lagi tidak pernah ada pada diri nabi Muhammad saw.[4]



[1] http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/
[2] http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/
[3] http://alhilyahblog.wordpress.com/2012/01/23/jawaban-tuduhan-tuduhan-buruk-kaum-nasrani-dan-orang-orang-kafir-terhadap-islam-bag-1/
[4] http://abibakarblog.com/polemik/apakah-nabi-muhammad-seorang-pedofilia/

0 komentar:

Posting Komentar