Hadits ke-36
عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رضي الله عنها - زَوْجِ النَّبِيِّ - صلى الله
عليه وسلم - - قَالَتْ :(( جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ امْرَأَةُ أَبِي طَلْحَةَ -
إلَى رَسُولِ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ,
إنَّ اللَّهَ لا يَسْتَحْيِي مِنْ الْحَقِّ , فَهَلْ عَلَى الْمَرْأَةِ مِنْ
غُسْلٍ إذَا هِيَ احْتَلَمَتْ ؟ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ - صلى الله عليه وسلم - :
نَعَمْ , إذَا رَأَتِ الْمَاءَ )) .
Artinya : Dari Ummu Salamah rodhiaAllohu ‘anha-istri Nabi- Sholallohu
‘alaihi wa Salam—mengatakan bahwa Ummu Sulaim,istri Abu Thalhah, menemui
Rosululloh Sholallohu ‘alaihi wa Salam dan bertanya,”Wahai Rosululloh,
sesungguhnya Alloh tidak malu untuk menjelaskan kebenaran. Apakah seorang
wanita itu diwajibkan mandi jika dia mimpi basah?” Rosululloh sholallohu
‘alaihi wa Salam bersabda,”Ya, jika dia memang melihat air (di pakainnya).
Makna
Umum:
Telah datang Ummu Sulaim dari kaum Al-Anshori kepada Nabi Sholallohu
‘alahi wa Salam untuk menanyakan kepada beliau. Dan ketika itu
pertanyaannya berkaitan dengan kemaluan , yaitu malu untuk disebutkannya. Dia mengajukan
muqoddimah (prolog) sebelumnya untuk memberikan pertanyaan sehingga diringankan
bebannya atas orang-orang yang mendengarnya. Maka dia berkata : Sesungguhnya
Alloh jalla wa ‘ala Yang Maha Hidup, tidak menghalangi dari penyebutan
kebenaran yang malu untuk disebutkan selama di dalamnya mengandung faidah. Maka
ketika Ummu Sulaim telah menyampaikan muqoddimah yang dengannya melembutan
pertanyaaan, masuk ke tema inti, maka dia berkata : Wajibkah bagi wanita mandi
apabila dia berkhayal dalam tidurnya (baca : mimpi) sesungguhnya digauli
? Rosululloh Sholallohu ‘alahi wa Salam bersabda : Ya, wajibnya baginya
mandi apabila telah melihat air syahwat.
Kesimpulan:
1.
Sesungguhnya
wanita wajib baginya mandi ketika setelah bermimpi, apabila keluarnya air dan
melihatnya.
2.
Wanita
mengeluarkan air sebagaimana laki-laki mengeluarkan air, dan air yang keluar
menjadi seperti pada ayah dan ibunya. Sebagaimana yang diisyaratkan pada sisa
hadits tersebut.
3.
Menetapkan
sifat malu bagi Alloh jalla wa ‘alaa , dengan penetapan yang sesuai
kemuliaan-Nya bahwasannya tidak menghalangi
bagi Alloh Ta’ala dari perkataan yang malu diucapkan dan yang merupakan
kebenaran.
Ibnu Qoyyim berkata dalam kitabnya Al-Bada’I :
Sesungguhnya sifat negatif yang murni tidak di masukkan pada sifat-sifat Alloh
Ta’ala kecuali apabila meliputi penetapannya, sebagaimana pengkhabaran dari-Nya
tentang sifat negatif sebagaimana dalam
firman-Nya : (لاتأخذه سنة ولانوم) tidak mengantuk dan tidak tidur. Maka sesungguhnya mencakup
kesempurnaan kesempurnaan hidup-Nya dan pendirian-Nya.
4.
Sesungguhnya
malu itu tidak menjadikan seseorang terhalangi untuk mempelajari ilmu,
sampai-sampai dalam masalah yang malu untuk disebutkan.
5.
Bahwasannya
adab dan baiknya pembicaraan dengan memulai muqoddimah di depan pembicaraan
yang orang-orang malu darinya dengan muqoddimah sesuai dengan kejadian, sebagai muqoddimah dalam
berbicara untuk meringankan beban baginya dan tidak menisbatkan atau
menyandarkan penanya kepada kebodohan.
Wallahu
A’lam Bis Shawwab
Referensi
:
1.
Umdatul Ahkam, Syaikh Abdul Ghoni Al Maqdisi
2.
Taisiru A’lam fi syarh umdatul ahkaml, Abdullah bin Abdurrahman bin
Sholih Ali Bisam
0 komentar:
Posting Komentar