Jumat, 16 November 2012

Posted by UKM Al-Islam 1 Comments Category:

Nasikh Dan Mansukh

Oleh : Nanang Imam Syafi’’i
Ma’had Aly Al-Islam
                                                                                                                         
NASIKH DAN MANSUKH
A.    MUQODIMAH
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah keda para Rosul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang aqidah, ibadah dan muamalah. Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan karena di tegakkan oleh tauhid uluhiyah rububiyah maka seruan atau dakwah para Rosul kepada aqidah yang satu itu sama. Allah berfirman:

25.  Dan kami tidak mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya: "Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah olehmu sekalian akan aku".

Mengenai bidang ibadah dan muamalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan setiap ummat kadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk suatu kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian pula, hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’pada periode yang laen. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at yaitu Allah rahmat dan Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan melarang pun hanya milik-Nya. Allah berfirman dalam syrat al-Anbiya’ 26.

Oleh karena itu wajarlah jika allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ yang lain untuk menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang yang pertama dan yang terkemudian.

Adapun pada makalah saya kali ini, saya telah membagi pembahasan “Nask Wal Mansukh” menjadi beberapa pasal, yakni :
a.       Muqodimah
b.      Urgensi ilmu nasikh dan mansukh
c.       Pengertian naskh
d.      Cara mengetahui naskh dan mansukh
e.       Beberapa pendapat tentang naskh dan mansukh
f.       Dalil tentang adanya nasikh dan mansukh dalam syariat
g.      Syarat naskh dan mansukh
h.      Pembagian naskh
i.        Pembagian naskh dalam alquran
j.        Pembagian naskh kepada naskh badal dan ghoiru badal
k.      Hikmah dari adanya naskh dan mansukh
l.        Contoh naskh dan mansukh
m.    yang menyerupai naskh
n.      Penutup
Berikut hasil dari kajian saya tentang naskh dan mansukh yang telah diawali dengan penyampaian muqodimah diatas.
B.     URGENSI  ILMU NASIKH DAN MANSUKH
Pada suatu hari, Ali bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di Kufah. Di masjid tersebut, ia melihat seorang lelaki, yang menurut al-Syuyuti dalam al-Itqan, adalah seorang Qadhi, sedang dikelilingi oleh banyak orang, kepada lelaki ini diajukan berbagai persolan. Ketika Ali melihat Qadhi tersebut mencampur adukkan perintah dan larangan. Ali pun bertanya kepadanya : “Ata’rif al-Nasikh min al-Mansukh?”. Lelaki itu menjawab ; : “Tidak”. Mendengar jawaban demikian, Ali berkata kepadanya ; “(Kalau demikian) berarti engkau telah celaka dan mencelakakan (orang lain)”[1]. Pertanyaan Ali diatas, paling tidak menegaskan akan urgensi ilmu Nasikh-Mansukh sebagai bagian dari Ulum al-Qur’an. Oleh karenanya mana’ul qathn menyebutkan ddidalam pembahasan unrgensi naskh dan mansukh bahwa naskh dan mansukh itu sangat penting dan harus dimiliki oleh ahlul ilmiy, mulai para fuoha, ushuliyyin, dan para mufasirin sehingga hukum hukum yang ada tidak tercampur[2]. Bahkan, sehubungan dengan urgensi dari Nasikh-Mansukh ini, pendapat Jalaluddin al-Syuyuti dalam al-Itqan, yang banyak dikutip oleh para penulis Ulum al-Qur’an menegaskan : “Para Ulama’ (A’imah) mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan kitab Allah kecuali terlebih dahulu mengetahu ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, yang me-naskh-kan dan di-naskh-kan”.
C.    PENGERTIAN NASKH
a.       Naskh secara etimologi
Naskh ini muthlaq memiliki makna الازالة  : penghilangan.
b.      Naskh secara terminologi
Yakni : Mengangkat (menghapuskan) hukum syara’ dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Tetapi penghapusan ini tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali disebabkan mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.

106. ayat mana saja[81] yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?

D.    CARA MENGETAHUI NASKH DAN MANSUKH
untuk mengetahui nasikh dan mansukh dapat dikeahui dengan beberapa jalan, yakni :
1.      Dengan adanya hadits nabi yang menunjukan bahwa dalil tersebut adalah naskh/mansukh. Sebagai mana sabda nabi SAW : "Dahulu aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah (kubur)." (HR Muslim)
2.      Ijma’ ummah (ulama salafusholeh) bahwa dalil ini adalah nasikh dan dalil ini adalah mansukh.
3.      Pengetahuan tentang history yang dimiliki orang jaman sekarang dari orang orang terdahulu.


E.     BEBERAPA PENDAPAT TENTANG NASKH DAN MANSUKH

1)      pendapat yang Menentang Adanya Nasakh
Mereka yang menentang adanya nasakh dalam ayat-ayat Allah SWT adalah kalangan Yahudi, di mana mereka dahulu pun pernah menerima kitab dari Allah SWT. Dasar pertimbangan mereka adalah semata-mata logika, yaitu bila Allah SWT mengganti hukumnya, maka hal itu menunjukkan bahwa Allah SWT itu tidak Mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Dan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT. Padahal di dalam Taurat mereka pun ada juga kasus nasakh yang pada dasarnya sudah mereka terima tanpa sadar. Misalnya Taurat mengakui bahwa dahulu Allah SWT membolehkan kepada umat nabi Adam as untuk menikah dengan saudara kandung, lalu pada syariat mereka hal itu dirubah dan dihapuskan. Juga diharamkannya banyak jenis binatang dalam syariat mereka setelah sebelumnya dihalalkan.

2)      pendapat yang Berlebihan dalam Menerapkan Nasakh
Dan berseberangan dengan Yahudi ada kelompok Rawafidh yang merupakan pecahan dari kelompok Syiah, yang justru berlebihan dalam mengaplikasikan nasakh, hingga sampai batas menerima logika bahwa Allah SWT itu tidak mengerti dan tidak tahu apa yang akan terjadi.

3)      pendapat yang menerima nasakh tapi dengan membedakan rinciannya
Yaitu Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang mufassir Al-Quran Al-Karim dan juga penganut paham mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa nasakh itu secara logika bisa diterima tapi secara syariat tidak bisa.

4)  pendapat yang menerima naskh secara logika dan syari’at
pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama yang membolehkan dan menerima naskh dan mansukh, dengan argument argument sebagai berikut :
1.      Keberadaannya adalah kehendak Allah SWT dan sama sekali bukan mencerminkan ketidak-tahuan Allah SWT atas apa yang akan terjadi. Dan merupakan hak Allah SWT untuk mengubah perintah-Nya sendiri, membatalkannya atau menambahkannya kepada hamba-Nya. Justru adanya nasakh dan mansukh itu menunjukkan kekuasan-Nya dan Kemahakuasaan-Nya. Sama sekali tidak ada yang kurang dan hina dari apa yang Dia lakukan. Dan ia maha mengetahui kemaslahatan para hambaNya.
2.      Karena nash dari alquran menunjukan akan diperbolehkannya naskh dan mansukh, dalil nya adalah sebagai berikut :
Firman Alloh
101.  Dan apabila kami letakkan suatu ayat di tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa yang diturunkan-Nya,  (QS. Annahl : 101)
Dan firmanNya lagi :
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al baqarah : 106)

F.     DALIL TENTANG ADANYA NASIKH DAN MANSUKH DALAM SYARIAT
Oleh karena banyak kontroversi mengenai adanya naskh dan mansukh dalam syariat ini, maka kami akan menyebutkan argumen dari pada naskh dan mansuk yang ditinjau dari berbagai sisi,
1.      Dalil Naql
Firman Allah SWT: "Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah: 106).
Makna kata “ayat” di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid, sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi, Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah: "Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS An Nahl: 101).
Demikian juga ayat ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat. Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
2.      Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb (Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa yang Dia kehendaki?"
3.      Dalil Ijma’
Banyak ulama telah menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata, “Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh, secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”

G.    SYARAT NASKH DAN MANSUKH
Dari sini dapat kita lihat bahwa Nasikh-Mansukh mensyaratkan,
1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum syara’.
2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh. (maksudnya adalah nasikh dalilnya datang setelah dalil yang hendak dimansukh <<<<ini tentunya pasti>>>>>.
3), Hukum yang mansukh, hukumnya tidak terikat atau dibatasi oleh waktu tertentu.
contoh :
berkata makiy bin abi thollib humusy bin Muhammad bin mukhtar al qiisyiy al maqriyiiyaki aba Muhammad (ia banyak mengarangkitab dengan tema ulumul quran dan arabiyah) : telah disebutkan oleh jama’ah (kumpulan para ulama) bahwa yang dimaksud dengan hukum syar’I yang terikat degan waktu dan tujuan adalah seperti firman Alloh SWT :
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya.
Ayat ini termasuk darid ayat yang muhkam dan bukan mansukh. Karena konteks perintah ini berakhir sampai datang perintah Alloh, dan ini adalah mu’jal yang ditunda, dan yang ayat yang ditunda itu bukanah ayat naskh.
Jika ketiga syarat tersebut, disepakati menjadi grand desaind bagi adanya istilah Nasikh-Mansukh, maka nasikh hanya belaku pada lingkup perintah dan larangan an sich, dan tidak terjadi pada khabar atau berita, seperti janji (al-Wa’d), dan ancaman (al-Wa’id), selama perintah dan larangan tersebut tidak menyentuh pada persoalan pokok-pokok ibadah dan mu’amalah, aqidah, etika dan akhlaq. Karena persoalan itu adalah tidak lepas dari kaidah ushul yang telah muttaffaq fiiha (telah disepakati di dalamnya).
Alloh SWT berfirman :
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS asyuro’ ayat 13)
Dan firmanNya lagi
Hai orang-orang yang berimn, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS. Al baqarah : 183)
Dan firmannya lagi
Ø  Al hajj ayat 27
Ø  Al maidah ayat 45 (ayat qishosh)
Ø  Al imron ayat 145 (ayat jihad)
Ø  Luqman ayat 18 (ayat tentang akhlaq)


H.    PEMBAGIAN NASKH
a.      Naskh alquran dengan alquran
Naskh ini telah disepakati akan kebolehannya. Contoh dari Nasikh ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an adalah kasus hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang wanita janda yang semula satu tahun (QS. al-Baqarah/2 : 240), beberapa waktu kemudian ditetapkan bahwa masa tenggangnya hanya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah/2 : 234). Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr), yang pada mulanya al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr tersebut, kemudian al-Qur’an meminta kaum Muslimin untuk tidak mabok ketika sholat (QS. al-Nisa/4 : 43). Dan terakhir al-Qur’an menegaskan kepada kaum Muslimin untuk tidak menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah/5 : 90 – 91).
b.      Naskh alquran dengan sunnah.
Dalam hal ini ada dua macam pembahasan yakni :
a.      Naskh alquran dengan sunnah ahad
Adapun dalam hal ini jumhur bersepakat untuk melarangnya. Karena alquran itu mutawatir (sudah diyakini kebenarannya) dan hadits ahad madznun (belum diyakini kebenarannya). maka tidaklah benar pabila kemudian yang mutawatir dihapus dengan yang madznun.
b.      Naskh alquran degnan sunnah mutawatir.
Ada dua pendapat di dalam pembahasan ini yaitu :
                               I.            Pendapat yang membolehkan
Mereka ayng membolehkan adalah : malik, abu hanifah, imam ahmad dalam riwayatnya, dengan argumen bahwa keduanya adalah wahyu. Alloh berfirman :
3.  Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran) menurut kemauan hawa nafsunya.
4.  Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. Annajm 3-4)
                            II.            Pendapat yang tidak membolehkan.
. Ini dikemukakan oleh syafi’I, ahlu dhohir, dan imam ahmad dalam riwayatnya yang lain.
Pendapat ini memgang argument dengan firman Alloh SWT :
106.  Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al baqoroh : 106).
Dan sunnah ataupun yang semisal dnegnanya bukanlah lebih baik dari pada alquran.
c.       Nasikh sunnah dengan al quran
Dalam hal ini jumhur bersepakat akan kebolehannya.
Adapun contoh nasikh sunnah dengan al-Qur’an adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2 : 144). Juga kebiasaan Nabi yang telah menetapkan bulan al-Syura sebagai bulan wajib puasa, lalu di kounter oleh al-Qur’an dengan turunnya sebuah ayat “maka barang siapa yang melihat bulan ramadhan, hendaknya berpuasalah ia” (QS. al-Baqarah/2 : 185). Akan tetapi, model ini pun ditolak oleh al-Syafi’i, karena apa saja yang ditetapkan oleh Sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an, begitu juga sebaliknya, ketetapan al-Qur’an tentunya tidak bertentangan dengan Sunnah. Sehingga antara al-qur’an dan Sunnah saling bersinergi, tidak kontradiktif.
d.      Nasikh sunnah dengan sunnah.
Adapun macam naskh kali ini terbagi menjadi 4 macam yakni :
a.       Naskh sunnah mutawatir dengan mutawatir
b.      Naskh ahad dengan ahad
c.       Naskh ahad dengan mutawatir
d.      Naskh mutawatir dengan ahad
Untuk macam naskh ini yang diperbolehkan adalah naskh pertama, kedua, dan ketiga, adapun yang ke empat, didalamnya terdapat ikhtilaf, dan jumhur ulama berpendapat akan ketidak bolehannya naskh ke empat ini.
I.       PEMBAGIAN NASKH DALAM ALQURAN
Naskh alquran terbagi menjadi tiga macam yakni :
a)      Nask Tilawah Dan Juga Hukumnya Secara Bersamaan
yaitu hilangnya teks al-Qur’an dan hukumnya. Ini terlihat apa yang disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh Muslim bahwa Diantara yang diturunkan kepada Nabi adalah sepuluh kali isapan susuan yang diketahui diharamkan. Kemudian ketentuan ini di nasikh oleh “lima isapan susuan yang maklum”. Maka setelah Nabi wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang di baca”.
 Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini, menurut Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru semakin mempertegas bahwa ada teks yang “hilang” dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat ayat ini masih dibaca oleh sebagian sahabat.
Laporan-laporan ini, semakin mempertegas bahwa ada teks-teks yang di nasikh, untuk tidak dikatakan sebagai teks yang (di) hilang (kan). Bahkan sejumlah riwayat mengatakan bahwa surat al-Ahzab/33, yang didalam mushaf Usmani hanya 73 ayat, dikabarkan pada mulanya memiliki sekitar 200 ayat atau sepanjang surat al-Baqarah/2. begitu juga surat al-Taubah/9 dan surat al-bayyinah/98, dikabarkan pada awalnya memiliki jumlah ayat yang lebih banyak dari mushaf Usmani. Yang lebih fantastik adalah ungkapan al-Thabrani bahwa Umar ibn Khattab pernah mengatakan kalau al-Qur’an itu terdiri dari 1.027.000 kata atau ayat.[3]
“Al-Thabrani dari Umar menyebutkan bahwa al-Qur’an itu terdiri dari satu juta dua puluh tujuh ribu huruf[4]
maka barang siapa yang membaca setiap hurufnya akan mendapat bidadari”
Riwayat ini kemudian didukung oleh riwayat Ibn Umar, putra Umar Ibn Khathab ; Sungguh seorang diantara kamu akan berkata “Saya telah mendapatkan al-Qur’an yang lengkap”, dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian al-Qur’an yang hilang (dzahaba), dan karena itu seharusnya ia berkata “Saya telah mendapatkan yang masih ada”[5]
Dan yang jelas bahwa tilawah ada yang dihapuskan namun naskh itu belum sampai kepada setiap manusia, kecuali setelah wafatnya rosululloh SAW, maka ketika beliau meninggal, sebagian manusia membaca naskh tersebut.
Dan diceritakan oleh abu bakar (di dalam al intishor) tentang kau yang mengingkari macam naskh ini (nask tilawah dan hukumnya) mereka berpendapat bahwa khobar (hadits) yang termasuk khobar ahad (bukan mutawatir sebagaimana alquran), maka tidak boleh menghilangkan ayat alquran dan menaskhnya dengan khobar ahad, dan tidak ada argument di dalamnya yang memberikan manfaat qoth’I, akan tetapi itu adalah dhonni.
Dan jaawaban atas permasalahan diatas adalah : bahwasanya penetapan naskh dengan sesuatu, dan penetapan turnnya alqran dengan sesuatu yang berbeda. Maka penetapan ‘pengahapusan” cukup dengan dalil dhonni dengan khobar ahad. Adapun penetapan nuzulul quran harus ada di dalamnya syarat sebuah dalil qothi’y degnan khobar mutawatir. Dan yang diatas adalah penetapan penghapusan bukan penetapan alquran, maka cukup dengan khobar ahad. Walaupun dikatakan bacaan ini belum ditetapkan dengan khobar mutawatir maka yang seperti itu benar.
b)     Penghapusan  Hukum Dengan Tetapnya Tilawah
Yakni hukunya dihapus tetapi tilawahnya tetap ada.
Cotohnya : Menurut al-Zarqani, ayat “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa), membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin (QS. al-Baqarah/2 : 184) di nasakh dengan ayat “karena itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) pada bulan itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….( QS. al-Baqarah/2 : 185).[6]
Dan telah disebutkan tentang hikamah adanya macam naskh yang ini yakni :
Ø  Bahwasanya alquran sebagaimana yang dibaca adalah untuk diketahui hukum yang terkandung di dalamnya, dan untuk diamalkan. Dan alquran itu juga dibaca untuk pengagungan kalam alloh SWT dan agar untuk mendapatkan pahala, dan tetapnya tilawah ini adalah sebuah hikmah untuk  kauniyyah Alloh dan agar orang dapat memeroleh pahala darinya.
Ø  Bahwasaya ayat yang di naskh itu untuk dijadikan keinganan (dalam hukunmnya. Pent). Maka tetapnya tilwah merupakan sebagia bahan renungan tentang kenikamatan dalam tercabutnya kesulitan.

c)      Naksh tilawah tanpa hukum.
Artinya : tulisan dihapus tetapi hukumnya tetap ada.
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah, bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata: “Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah. Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.” Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah) dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah, dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
J.      PEMBAGIAN NASKH KEPADA NASKH BADAL DAN GHOIRU BADAL
Dalam pembagian naskh ini beliau mana’ul qathn menyebutkan ada empat macam dari selain macam naskh yang diatas, namun untuk mempermudah perinciannya kami akan membaginya menjadi 2 macam sebagaimana banyak orang yang merangkum tentang pembahasan dari pada nasakh dan mansukh ini.
       I.            Nashk badal
Yakni naskh yang ada penggantinya.
seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
Naskh ini terbagi menjadi tiga macam yaitu :
-          Nasakh dengan badal akhof (pengganti yang lebih ringan)
-          Nasakh mumatsil (pengganti serupa)
-          Badal atsqal (pengganti yang lebih berat)
    II.            Naskh ghoiru badal
Yakni nasakh yang tidak ada gantinya
seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.

K.    HIKMAH DARI ADANYA NASKH DAN MANSUKH
1.      Memelihara kepentingan hamba.
2.      Perkembangan tasyri' menuju tingkat sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3.      Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf untuk mengikutinya atau tidak.
4.      Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung kemudahan dan keringanan.

L.     CONTOH NASKH
Problem Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an ini, mengalami perdebatan panjang. Dimana proses pengkajian doktrin Nasikh-Mansukh mulai abad ke-8 sampai ke-11, telah mencapai suatu proporsi yang sangat dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Shihab al-Zuhri (w. 742), menyebut 42 ayat yang di-nasikh. Al-Nahhash (w. 949) mengidentifikasi ayat nasikh sebanyak 138 ayat[7]. Ibn Salamah (w. 1020) mengemukakan 238 ayat. Hingga Musa Ibn al-Ata’iqi (w. 1308) yang menyebut 231 ayat yang terhapus. Namun pada periode berikutnya, ratusan ayat mansukhah itu pelan-pelan mulai direduksi, misalnya al-Syuyuti menyebut ayat mansukhat hanya 21 ayat[8]. Kemudian al-Syaukani menyebut hanya 8 ayat[9]. Sementara pada masa Syah Wali Allah, jumlah yang di-Naskh tinggal lima ayat.[10] Lalu pada masa Sayyid Ahmad Khan (1898), secara terbuka menyatakan bahwa tidak ada lagi doktrin Nasikh-Mansukh sebagaimana yang dipahami oleh Fuqoha’. Kemudian diikuti oleh Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqi, dan al-Khudhari.[11]
Dan contoh dari pada ayat ayat yang di nasnk adalah sebagai berikut :
a.       Firman alloh al baqoroh ayat 115 telah dimansukh dengan surat al baqoroh ayat 44
b.      Firman alloh surat al baqoroh ayat 180, ada y ang berkata mansukh degnan ayat ayat waris, dan ada juga yang mengatakan dengan hadits nabi :
ان الله قد اعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية[12]
c.       Firman alloh surat al baqoroh ayat 184 di mansukh dnegna surat al baqoroh ayat 175.
d.      Firman alloh surat al baqoroh ayat 217 dimansukh dengna surat attaubah ayat 36.
e.       Firman alloh SWT surat al baqoroh ayat 240 dimansukh dengan surat al baqoroh ayat 234
f.       Firman allloh surat al baqoroh ayat 274 dimansukh dengan surat al baqo ayat 286
g.      Dsb
M.   YANG MENYERUPAI NASKH
Naskh da mansukh hamper sama dengan contoh hukum yang lain. Adapun ulama menjelaskan sebagi berikut :
1.      Diantara para ulama banyak yang masih samar samar dalam urusan naskh dan mansukh, maka terkadang mereka memasukan suatu hukum sebagai naskh padahal bukan.
2.      Diantara para ulama mereka menyelidiki nash nash yang bersandar pada dalil shohih yang dinukil di dalam naskh
3.      Anggapan bahwa takhsish adalah naskh (dalam pembahasan al ‘amm dan al khosh)
4.      Anggapan penjelasan adalah naskh (dalam pembahasan muthlaq dan muqoyyad)
5.      Anggapan tentang apa apa yang disyari’atkan karena suatu sebab kemudian sebabnya hilang karena di mansukh.  Contohnya adalah seperti anjuran untuk bersabar dan menanggung penderitaan atas orang orang kafir di dalam memulai dakwah ketika dalam keadaan lemah dan muslimin sedikit. Yang demikian di mansukh dengan ayat ayat perang. Dan yang benar adalah yang pertama yakni kewajiban untuk bersabar dan menanggung cobaan, karena ketika itu dalam kondisi yang lemah dan dengan jumlah yang sedikit. Dan kalau sudah banyak dan kuat maka diwajibkan untuk di lawan dengan perang. Dan yang demikian adalah hukum yang kedua.
6.      Anggapan tentang apa apa yang mebatalkan islam dari urusan urusan jahiliyah ataupu dari imam imam yang terdahulu, di naskh. Seperti batasan jumlah istri yang 4, dll

N.    PENUTUP
Naskh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya, tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji loyalitas seorang hamba.

Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.

 Disusun dari kitab fie mabahits ulumul quran oleh manna’ul qathn

Wallohu A’lam Bishowab
Referensi :
1.      Fie mabahit ulumul quran oleh mana’ul qathn
2.      Al itqan oleh عبد الرحمن بن الكمال جلال الدين السيوطي
3.      Replubika.co.id


NB : Artikel ini dapat dikases di http://kajianummat.blogspot.com


[1] Fie mabahits ulumul quran karya mana’ul qathn hal 233
[2] ibid
[3] Hadits ini Shohih, kecuali Thabrani Muhammad Ibn ‘Abid Ibn Adam Ibn Abi Iyas yang disebut-sebut sebagai seorang Dzahabi. Lihat al-Itqan, Jilid. I. hlm. 72.
[4] Taufiq Adnan Amal mengartikan huruf ini sebagai kata, sehingga menurutnya al-Quran sekarang ini jelas tidak mencapai dari sepertiga bagian dari kitab suci yang hilang itu. Lihat Taufiq Adnan Amal. Rekontruksi….hlm. 230.
[5] Al-Itqan, Jilid II. hlm 25
[6] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an” dalam Sukardi (ed), Belajar Mudah ‘Ulumul Qur’an. (Jakarta : Lentera. 2002) hlm.154.
[7] Ibn Salamah menyebutkan bahwa ada 43 Surat yang tidak Nasikh-Mansukh, ada 6 surat yang Nasikh  tanpa Mansukh, 40 surat dengan Mansukh tanpa Nasikh, 25 Surat dengan Nasikh sekaligus Mansukh. Lihat Ahmad Von Denffer, Ilmu al-Qur’an ; Pengenalan dasar, (Jakarta : Rajawali Pers. 1988), hlm. 125.
[8] ayat tersebut menurut al-Syuyuti adalah ; 1). Sikap Muslim terhadap musuh, QS. al-Anfal : 65. di Naskh oleh QS. al-Anfal : 66. 2). Keharusan bersedekah bagi orang yang hendak menanyakan pertanyaan kepada Nabi, QS. al-Mujadalah : 12, di Nasikh oleh ayat 13. 3), Haramnya minuman keras, QS. al-Nisa’ : 43, lalu al-Baqarah : 219 dan QS. al-Maidah : 90. 4). Qiyam  al-Lail, QS. al-Muzammil : 1 – 4 di Nasikh oleh ayat 20. lihat dalam daftar contoh Nasikh wa Manisukh dalam bukunya Manna Khalil al-Qattan,  hlm 243 – 244.
[9] Hasybi al-Syiddiqi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta : Bulan Bintang. 1972), hlm. 109.
[10] Ahmad Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung : Pustaka. 1984) hlm. 62). dalam catatan Shah Wali Allah bahwa hanya 5 dari 21 kasus yang diajukan oleh al-Syuti yang dianggap benar-benar asli, yaitu QS. al-baqarah : 180 di Naskh dengan QS. al-Nisa’ : 11 dan 12. QS. al-Baqarah : 240 di Naskh dengan QS. al-Baqarah : 234. QS. al-Anfal : 65 di Naskh dengan QS. al-Anfal : 62. QS.  al-Rum : 50 di Naskh oleh QS. al-Akhzab : 52. dan QS. al-Mujadalah : 12 di Naskh oleh QS. al-Mujadalah : 13.
[11] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an”. hlm. 161.
[12] Riwayat abu dawud dan attirmidzi

1 komentar:

Anonim mengatakan...

terima kasih makalahnya mas....

Posting Komentar