Oleh : Nanang Imam Syafi’’i
Ma’had Aly Al-Islam
NASIKH DAN MANSUKH
A. MUQODIMAH
Tasyri’ samawi diturunkan dari Allah keda
para Rosul-Nya untuk memperbaiki umat dibidang aqidah, ibadah dan muamalah.
Oleh karena aqidah semua ajaran samawi itu satu dan tidak mengalami perubahan
karena di tegakkan oleh tauhid uluhiyah rububiyah maka seruan atau dakwah para
Rosul kepada aqidah yang satu itu sama. Allah berfirman:
25. Dan kami tidak
mengutus seorang rasulpun sebelum kamu melainkan kami wahyukan kepadanya:
"Bahwasanya tidak ada Tuhan (yang hak) melainkan aku, Maka sembahlah
olehmu sekalian akan aku".
Mengenai bidang ibadah
dan muamalah maka prinsip dasar umumnya adalah sama, yaitu bertujuan
membersihkan jiwa dan memelihara keselamatan masyarakat serta mengikatnya
dengan ikatan kerjasama dan persaudaraan. Walaupun demikian, tuntutan kebutuhan
setiap ummat kadang berbeda satu dengan yang lain. Apa yang cocok untuk suatu
kaum pada suatu masa mungkin tidak cocok lagi pada masa yang lain. Disamping
itu, perjalanan dakwah pada taraf pertumbuhan dan pembentukan tidak sama dengan
perjalanannya sesudah memasuki era perkembangan dan pembangunan. Demikian pula,
hikmah tasyri’ pada suatu periode akan berbeda dengan hikmah tasyri’pada
periode yang laen. Tetapi tidak diragukan lagi bahwa pembuat syari’at yaitu
Allah rahmat dan Ilmu-Nya meliputi segala sesuatu, dan otoritas memerintah dan
melarang pun hanya milik-Nya. Allah berfirman dalam syrat al-Anbiya’ 26.
Oleh karena itu
wajarlah jika allah menghapuskan suatu tasyri’ dengan tasyri’ yang lain untuk
menjaga kepentingan para hamba berdasarkan pengetahuan-Nya yang azali tentang
yang pertama dan yang terkemudian.
Adapun pada makalah
saya kali ini,
saya telah membagi pembahasan “Nask
Wal Mansukh” menjadi beberapa pasal, yakni :
a. Muqodimah
b. Urgensi ilmu nasikh dan
mansukh
c. Pengertian naskh
d. Cara mengetahui naskh dan
mansukh
e.
Beberapa
pendapat tentang naskh dan mansukh
f. Dalil tentang adanya nasikh dan
mansukh dalam syariat
g. Syarat naskh dan mansukh
h. Pembagian naskh
i.
Pembagian naskh
dalam alquran
j.
Pembagian
naskh kepada naskh badal dan ghoiru badal
k.
Hikmah
dari adanya naskh dan mansukh
l.
Contoh
naskh dan mansukh
m.
yang
menyerupai naskh
n.
Penutup
Berikut hasil dari kajian saya
tentang naskh dan mansukh yang telah diawali dengan penyampaian muqodimah
diatas.
B.
URGENSI
ILMU NASIKH DAN MANSUKH
Pada
suatu hari, Ali bin Abi Thalib memasuki sebuah masjid di Kufah. Di masjid
tersebut, ia melihat seorang lelaki, yang menurut al-Syuyuti dalam al-Itqan,
adalah seorang Qadhi, sedang dikelilingi oleh banyak orang, kepada
lelaki ini diajukan berbagai persolan. Ketika Ali melihat Qadhi tersebut
mencampur adukkan perintah dan larangan. Ali pun bertanya kepadanya : “Ata’rif
al-Nasikh min al-Mansukh?”. Lelaki itu menjawab ; : “Tidak”. Mendengar
jawaban demikian, Ali berkata kepadanya ; “(Kalau demikian) berarti engkau
telah celaka dan mencelakakan (orang lain)”[1]. Pertanyaan Ali diatas, paling tidak
menegaskan akan urgensi ilmu Nasikh-Mansukh sebagai bagian dari Ulum
al-Qur’an. Oleh karenanya mana’ul qathn menyebutkan ddidalam
pembahasan unrgensi naskh dan mansukh bahwa naskh dan mansukh itu sangat
penting dan harus dimiliki oleh ahlul ilmiy, mulai para fuoha, ushuliyyin, dan
para mufasirin sehingga hukum hukum yang ada tidak tercampur[2]. Bahkan, sehubungan dengan urgensi dari Nasikh-Mansukh
ini, pendapat Jalaluddin al-Syuyuti dalam al-Itqan,
yang banyak dikutip oleh para penulis Ulum al-Qur’an menegaskan : “Para
Ulama’ (A’imah)
mengatakan bahwa seseorang tidak boleh menafsirkan kitab Allah kecuali terlebih
dahulu mengetahu ayat-ayat yang terdapat dalam al-Qur’an, yang me-naskh-kan
dan di-naskh-kan”.
C. PENGERTIAN NASKH
a. Naskh secara etimologi
Naskh
ini muthlaq memiliki makna الازالة
: penghilangan.
b. Naskh secara terminologi
Yakni : Mengangkat (menghapuskan) hukum syara’
dengan dalil hukum (khitab) syara’ yang lain. Tetapi penghapusan ini
tidak termasuk al-bara’ah al-ashliyah, yang bersifat asli, kecuali
disebabkan mati atau gila ataupun penghapusan dengan ijma’ atau qiyas.
106. ayat mana saja[81] yang Kami
nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang
lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya. tidakkah kamu mengetahui bahwa
Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?
D. CARA MENGETAHUI NASKH DAN MANSUKH
untuk mengetahui nasikh dan
mansukh dapat dikeahui dengan beberapa jalan, yakni :
1. Dengan adanya
hadits nabi yang menunjukan bahwa dalil tersebut adalah naskh/mansukh. Sebagai
mana sabda nabi SAW : "Dahulu
aku melarang kamu dari berziarah kubur, maka sekarang hendaklah kamu berziarah
(kubur)." (HR Muslim)
2. Ijma’ ummah
(ulama salafusholeh) bahwa dalil ini adalah nasikh dan dalil ini adalah
mansukh.
3. Pengetahuan
tentang history yang dimiliki orang jaman sekarang dari orang orang terdahulu.
E.
BEBERAPA PENDAPAT TENTANG NASKH DAN MANSUKH
1)
pendapat
yang Menentang Adanya Nasakh
Mereka yang menentang adanya
nasakh dalam ayat-ayat Allah SWT adalah kalangan Yahudi, di mana mereka dahulu
pun pernah menerima kitab dari Allah SWT. Dasar pertimbangan mereka adalah
semata-mata logika, yaitu bila Allah SWT mengganti hukumnya, maka hal itu
menunjukkan bahwa Allah SWT itu tidak Mengetahui apa-apa yang akan terjadi. Dan
hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT. Padahal di dalam Taurat mereka pun ada
juga kasus nasakh yang pada dasarnya sudah mereka terima tanpa sadar. Misalnya
Taurat mengakui bahwa dahulu Allah SWT membolehkan kepada umat nabi Adam as
untuk menikah dengan saudara kandung, lalu pada syariat mereka hal itu dirubah
dan dihapuskan. Juga diharamkannya banyak jenis binatang dalam syariat mereka
setelah sebelumnya dihalalkan.
2)
pendapat
yang Berlebihan dalam Menerapkan Nasakh
Dan berseberangan dengan Yahudi
ada kelompok Rawafidh yang merupakan pecahan dari kelompok Syiah, yang justru
berlebihan dalam mengaplikasikan nasakh, hingga sampai batas menerima logika
bahwa Allah SWT itu tidak mengerti dan tidak tahu apa yang akan terjadi.
3) pendapat yang
menerima nasakh tapi dengan membedakan rinciannya
Yaitu Abu Muslim Al-Ashfahani, seorang mufassir Al-Quran
Al-Karim dan juga penganut paham mu’tazilah. Dia mengatakan bahwa nasakh itu
secara logika bisa diterima tapi secara syariat tidak bisa.
4) pendapat yang menerima naskh
secara logika dan syari’at
pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama yang
membolehkan dan menerima naskh dan mansukh, dengan argument argument sebagai
berikut :
1. Keberadaannya adalah kehendak Allah SWT dan sama sekali bukan
mencerminkan ketidak-tahuan Allah SWT atas apa yang akan terjadi. Dan merupakan
hak Allah SWT untuk mengubah perintah-Nya sendiri, membatalkannya atau
menambahkannya kepada hamba-Nya. Justru adanya nasakh dan mansukh itu
menunjukkan kekuasan-Nya dan Kemahakuasaan-Nya. Sama sekali tidak ada yang
kurang dan hina dari apa yang Dia lakukan. Dan ia maha
mengetahui kemaslahatan para hambaNya.
2. Karena nash dari alquran menunjukan
akan diperbolehkannya naskh dan mansukh, dalil nya adalah sebagai berikut :
Firman Alloh
101. Dan apabila kami letakkan suatu ayat di
tempat ayat yang lain sebagai penggantinya padahal Allah lebih mengetahui apa
yang diturunkan-Nya, (QS. Annahl : 101)
Dan firmanNya lagi :
Ayat mana saja yang kami nasakhkan, atau kami jadikan (manusia) lupa
kepadanya, kami datangkan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding
dengannya. (QS. Al baqarah : 106)
F. DALIL TENTANG ADANYA NASIKH DAN
MANSUKH DALAM SYARIAT
Oleh karena banyak
kontroversi mengenai adanya naskh dan mansukh dalam syariat ini, maka kami akan
menyebutkan argumen dari pada naskh dan mansuk yang ditinjau dari berbagai
sisi,
1. Dalil Naql
Firman Allah SWT:
"Apa saja ayat yang kami nasakhkan (hapuskan)..." (QS Al Baqarah:
106).
Makna kata “ayat”
di dalam firman Allah ini adalah ayat Al-Qur’an, sebagaimana penafsiran
Salafush Shalih yang kami ketahui. Seperti riwayat dari Ibnu Abbas, Mujahid,
sahabat-sahabat Ibnu Mas’ud, Abul ‘Aliyah, Muhammad bin Ka’b Al-Qurodhi,
Adh-Dhahhak, ‘Atho’, As-Suddi, Ibnu Abi Hatim, Ibnu Jarir, dan Ibnu Katsir.
Adapun manafsirkan
kata “ayat” pada firman Allah di atas dengan “mukjizat”, sebagaimana dalam
Tafsir Qur’an Al-Furqan, karya A Hassan, maka kami khawatir itu merupakan
tafsir bid’ah. Walaupun secara bahasa dibenarkan, namun bertentangan dengan
ijma’ ahli tafsir sebagaimana di atas.
Firman Allah:
"Dan apabila Kami mengganti suatu ayat di tempat ayat yang lain." (QS
An Nahl: 101).
Demikian juga ayat
ini juga nyata menunjukkan adanya ayat Al-Qur’an yang nasikh dan mansukh, bukan
hanya nasikh saja! Ayat yang Allah jadikan pengganti adalah nasikh, ayat yang
digantikan adalah ayat mansukh. Dan ini sangat jelas, sebagaimana kita lihat.
Adapun sebagian dari contoh-contoh ayat mansukh akan kami sampaikan di bawah
insya Allah. Lebih luas dapat dilihat dalam kitab-kitab ushul fiqih.
2. Dalil Aql
Syeikh Muhammad bin
Shalih Al-Utsaimin berkata, “Naskh boleh terjadi menurut akal dan nyata terjadi
menurut syari’at. Adapun bolehnya terjadi menurut akal, karena segala perkara
di tangan Allah, segala hukum (keputusan) milik-Nya, karena Dia adalah Ar-Rabb
(Sang Penguasa) Al-Malik (Sang Pemilik). Maka Dia berhak mensyari’atkan bagi
hamba-hamba-Nya apa yang dituntut oleh hikmah-Nya dan rahmat-Nya. Apakah akal
menolak jika Sang Pemilik memerintahkan kepada apa yang Dia miliki dengan apa
yang Dia kehendaki?"
3. Dalil Ijma’
Banyak ulama telah
menyatakan adanya ijma’ tentang adanya naskh dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Al-Baji berkata,
“Seluruh umat Islam berpendapat bolehnya/ mungkinnya naskh syari’at menurut
akal dan syara’.”
Al-Kamal Ibnul
Humam berkata, “Pengikut syari’at-syari’at telah sepakat atas bolehnya (naskh,
secara akal) dan terjadinya (secara syari’at).”
G. SYARAT NASKH DAN MANSUKH
Dari
sini dapat kita lihat bahwa Nasikh-Mansukh mensyaratkan,
1), Hukum yang di-mansukh adalah hukum
syara’.
2), Dalil penghapusan hukum tersebut adalah hukum
syara’ yang datang lebih kemudian, yang hukumnya mansukh. (maksudnya adalah
nasikh dalilnya datang setelah dalil yang hendak dimansukh <<<<ini
tentunya pasti>>>>>.
contoh :
berkata makiy bin abi thollib humusy bin Muhammad
bin mukhtar al qiisyiy al maqriyiiyaki aba Muhammad (ia banyak mengarangkitab
dengan tema ulumul quran dan arabiyah) : telah disebutkan oleh jama’ah
(kumpulan para ulama) bahwa yang dimaksud dengan hukum syar’I yang terikat
degan waktu dan tujuan adalah seperti firman Alloh SWT :
Maka ma'afkanlah dan biarkanlah mereka, sampai
Allah mendatangkan perintah-Nya.
Ayat ini termasuk darid ayat yang muhkam dan bukan
mansukh. Karena konteks perintah ini berakhir sampai datang perintah Alloh, dan
ini adalah mu’jal yang ditunda, dan yang ayat yang ditunda itu bukanah ayat
naskh.
Jika ketiga syarat tersebut, disepakati menjadi grand
desaind bagi adanya istilah Nasikh-Mansukh, maka nasikh hanya
belaku pada lingkup perintah dan larangan an sich, dan tidak terjadi
pada khabar atau berita, seperti janji (al-Wa’d), dan ancaman (al-Wa’id),
selama perintah dan larangan tersebut tidak menyentuh pada persoalan
pokok-pokok ibadah dan mu’amalah, aqidah, etika dan akhlaq. Karena persoalan
itu adalah tidak lepas dari kaidah ushul yang telah muttaffaq fiiha (telah
disepakati di dalamnya).
Alloh SWT berfirman :
Dia Telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama
apa yang Telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang Telah kami wahyukan
kepadamu dan apa yang Telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu:
Tegakkanlah agama[1340] dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya. (QS asyuro’
ayat 13)
Dan firmanNya lagi
Hai orang-orang yang berimn, diwajibkan atas kamu
berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu (QS. Al baqarah :
183)
Dan firmannya lagi
Ø Al hajj ayat 27
Ø Al maidah ayat
45 (ayat qishosh)
Ø Al imron ayat
145 (ayat jihad)
Ø Luqman ayat 18
(ayat tentang akhlaq)
H. PEMBAGIAN NASKH
a. Naskh alquran dengan alquran
Naskh ini telah disepakati akan kebolehannya. Contoh dari Nasikh ayat al-Qur’an dengan
al-Qur’an adalah kasus hukum iddah (masa tenggang) bagi seorang
wanita janda yang semula satu tahun (QS. al-Baqarah/2 : 240), beberapa waktu
kemudian ditetapkan bahwa masa tenggangnya hanya 4 bulan 10 hari (QS. al-Baqarah/2
: 234). Juga bisa kita lihat pada kasus penetapan hukum masalah arak (khamr),
yang pada mulanya al-Qur’an hanya menyampaikan tentang positif dan negatifnya khamr tersebut,
kemudian al-Qur’an meminta kaum Muslimin untuk tidak mabok ketika sholat (QS.
al-Nisa/4 : 43). Dan terakhir al-Qur’an menegaskan kepada kaum Muslimin untuk
tidak menggunakan atau meminum khamr (QS. al-Maidah/5 : 90 – 91).
b. Naskh alquran dengan sunnah.
Dalam hal ini ada dua macam pembahasan yakni :
a. Naskh alquran dengan sunnah ahad
Adapun dalam hal ini jumhur bersepakat untuk
melarangnya. Karena alquran itu mutawatir (sudah diyakini kebenarannya) dan
hadits ahad madznun (belum diyakini kebenarannya). maka tidaklah benar pabila
kemudian yang mutawatir dihapus dengan yang madznun.
b. Naskh alquran degnan sunnah
mutawatir.
Ada dua pendapat di dalam pembahasan ini yaitu :
I.
Pendapat yang
membolehkan
Mereka ayng membolehkan adalah : malik, abu hanifah, imam ahmad dalam
riwayatnya, dengan argumen bahwa keduanya adalah wahyu. Alloh berfirman :
3. Dan tiadalah yang diucapkannya itu (Al-Quran)
menurut kemauan hawa nafsunya.
4. Ucapannya itu tiada lain
hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya). (QS. Annajm 3-4)
II.
Pendapat yang tidak
membolehkan.
. Ini dikemukakan oleh syafi’I, ahlu dhohir, dan imam ahmad dalam
riwayatnya yang lain.
Pendapat ini memgang argument dengan firman Alloh SWT :
106. Ayat mana saja[81] yang kami nasakhkan, atau
kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, kami datangkan yang lebih baik
daripadanya atau yang sebanding dengannya. (QS. Al baqoroh : 106).
Dan sunnah ataupun yang semisal dnegnanya bukanlah lebih baik dari pada
alquran.
c. Nasikh sunnah dengan al quran
Dalam hal ini jumhur bersepakat akan kebolehannya.
Adapun contoh nasikh sunnah
dengan al-Qur’an adalah ketika “tradisi” Nabi yang masih berkiblat di Bait
al-Maqdis, dan enam bulan kemudian setelah hijrah ke Madinah, maka
turunlah ketetapan dari al-Qur’an (QS. al-Baqarah/2 : 144). Juga kebiasaan Nabi
yang telah menetapkan bulan al-Syura sebagai bulan wajib puasa, lalu di kounter
oleh al-Qur’an dengan turunnya sebuah ayat “maka barang siapa yang melihat bulan ramadhan,
hendaknya berpuasalah ia” (QS. al-Baqarah/2 : 185). Akan tetapi,
model ini pun ditolak oleh al-Syafi’i, karena apa saja yang ditetapkan oleh
Sunnah tentu didukung oleh al-Qur’an, begitu juga sebaliknya, ketetapan
al-Qur’an tentunya tidak bertentangan dengan Sunnah. Sehingga antara al-qur’an
dan Sunnah saling bersinergi, tidak kontradiktif.
d. Nasikh sunnah dengan sunnah.
Adapun macam naskh kali ini terbagi menjadi 4 macam
yakni :
a. Naskh sunnah mutawatir dengan mutawatir
b. Naskh ahad dengan ahad
c. Naskh ahad dengan mutawatir
d. Naskh mutawatir dengan ahad
Untuk macam naskh ini yang diperbolehkan adalah naskh pertama, kedua,
dan ketiga, adapun yang ke empat, didalamnya terdapat ikhtilaf, dan jumhur
ulama berpendapat akan ketidak bolehannya naskh ke empat ini.
I. PEMBAGIAN NASKH DALAM ALQURAN
Naskh alquran terbagi menjadi tiga macam yakni :
a) Nask Tilawah Dan Juga Hukumnya Secara
Bersamaan
yaitu hilangnya teks
al-Qur’an dan hukumnya. Ini terlihat apa yang disampaikan oleh Aisyah yang diriwayatkan oleh
Muslim bahwa “Diantara yang diturunkan kepada Nabi adalah
sepuluh kali isapan susuan yang diketahui diharamkan. Kemudian ketentuan ini di
nasikh oleh “lima isapan susuan yang maklum”. Maka setelah Nabi
wafat, lima susunan ini termasuk ayat al-Qur’an yang di baca”.
Hadits yang disampaikan oleh Aisyah ini, menurut
Zarqani adalah sahih. Hal ini, justru semakin mempertegas bahwa ada teks yang
“hilang” dalam mushaf Usman, meskipun setelah Nabi wafat ayat ini masih dibaca
oleh sebagian sahabat.
Laporan-laporan ini, semakin mempertegas bahwa ada
teks-teks yang di nasikh, untuk tidak dikatakan
sebagai teks yang (di) hilang (kan).
Bahkan sejumlah riwayat
mengatakan bahwa surat al-Ahzab/33, yang didalam mushaf Usmani hanya 73 ayat, dikabarkan pada mulanya memiliki sekitar 200 ayat atau sepanjang surat
al-Baqarah/2. begitu juga surat al-Taubah/9 dan surat al-bayyinah/98,
dikabarkan pada awalnya memiliki jumlah ayat yang lebih banyak dari mushaf
Usmani. Yang lebih fantastik adalah ungkapan al-Thabrani bahwa Umar ibn Khattab
pernah mengatakan kalau al-Qur’an itu terdiri dari 1.027.000 kata atau ayat.[3]
“Al-Thabrani dari Umar menyebutkan bahwa al-Qur’an itu
terdiri dari satu juta dua puluh tujuh ribu huruf[4]
maka barang siapa yang membaca setiap
hurufnya akan mendapat bidadari”
Riwayat ini kemudian didukung
oleh riwayat Ibn Umar, putra Umar Ibn Khathab ; Sungguh
seorang diantara kamu akan berkata “Saya telah mendapatkan al-Qur’an yang
lengkap”, dan tidak mengetahui taraf kelengkapannya. Sesungguhnya banyak bagian
al-Qur’an yang hilang (dzahaba), dan karena itu seharusnya
ia berkata “Saya telah mendapatkan yang masih ada”[5]
Dan yang jelas bahwa tilawah ada yang dihapuskan namun naskh itu belum
sampai kepada setiap manusia, kecuali setelah wafatnya rosululloh SAW, maka
ketika beliau meninggal, sebagian manusia membaca naskh tersebut.
Dan diceritakan oleh abu bakar (di dalam al intishor) tentang kau yang
mengingkari macam naskh ini (nask tilawah dan hukumnya) mereka berpendapat
bahwa khobar (hadits) yang termasuk khobar ahad (bukan mutawatir sebagaimana
alquran), maka tidak boleh menghilangkan ayat alquran dan menaskhnya dengan
khobar ahad, dan tidak ada argument di dalamnya yang memberikan manfaat qoth’I,
akan tetapi itu adalah dhonni.
Dan jaawaban atas permasalahan diatas adalah :
bahwasanya penetapan naskh dengan sesuatu, dan penetapan turnnya alqran dengan
sesuatu yang berbeda. Maka penetapan ‘pengahapusan” cukup dengan dalil dhonni
dengan khobar ahad. Adapun penetapan nuzulul quran harus ada di dalamnya syarat
sebuah dalil qothi’y degnan khobar mutawatir. Dan yang diatas adalah penetapan
penghapusan bukan penetapan alquran, maka cukup dengan khobar ahad. Walaupun
dikatakan bacaan ini belum ditetapkan dengan khobar mutawatir maka yang seperti
itu benar.
b) Penghapusan Hukum Dengan Tetapnya Tilawah
Yakni hukunya
dihapus tetapi tilawahnya tetap ada.
Cotohnya : Menurut al-Zarqani, ayat “Dan
wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa),
membayar fidyah (yaitu) memberi makan seorang miskin (QS.
al-Baqarah/2 : 184) di nasakh dengan ayat “karena
itu, barang siapa diantara kamu hadir (dinegeri tempat tinggalnya) pada bulan
itu, hendaklah ia berpuasa pada bulan itu….( QS. al-Baqarah/2 :
185).[6]
Dan telah disebutkan tentang hikamah adanya macam
naskh yang ini yakni :
Ø Bahwasanya
alquran sebagaimana yang dibaca adalah untuk diketahui hukum yang terkandung di
dalamnya, dan untuk diamalkan. Dan alquran itu juga dibaca untuk pengagungan
kalam alloh SWT dan agar untuk mendapatkan pahala, dan tetapnya tilawah ini
adalah sebuah hikmah untuk kauniyyah
Alloh dan agar orang dapat memeroleh pahala darinya.
Ø Bahwasaya ayat
yang di naskh itu untuk dijadikan keinganan (dalam hukunmnya. Pent). Maka
tetapnya tilwah merupakan sebagia bahan renungan tentang kenikamatan dalam
tercabutnya kesulitan.
c)
Naksh tilawah tanpa hukum.
Artinya
: tulisan dihapus tetapi hukumnya tetap ada.
Al-Aamidi menyatakan bahwa ulama telah bersepakat atas
terjadinya naskh (penghapusan) tulisan/lafazh, tanpa naskh hukumnya, berbeda
dengan anggapan kelompok yang menyendiri dari kalangan Muktazilah.
Hikmah naskh jenis ini adalah agar kadar ketaatan umat
kepada Allah menjadi nampak, yaitu di dalam bersegera melakukan ketaatan dari
sumber yang zhanni rojih (persangkaan kuat), yaitu sebagian dari As-Sunnah,
bukan dari sumber yang seluruhnya yaqin, yaitu Al-Qur’an. Sebagaimana Nabi
Ibrahim AS bersegera akan melaksanakan penyembelihan terhadap anaknya, Nabi
Ismail, dengan sumber mimpi. Sedangkan mimpi adalah tingkatan terendah jalan
wahyu kepada para nabi.
Selain itu, di antara hikmahnya adalah apa yang dikatakan
oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin. Ia berkata, “Hikmah naskh lafazh
tanpa (naskh) hukumnya adalah untuk menguji umat terhadap amalan yang tidak
mereka dapati di dalam Al-Qur’an, dan mewujudkan keimanan mereka dengan apa
yang Allah turunkan. Berbeda dengan orang-orang Yahudi yang berusaha menutupi
nash rajam di dalam Taurat.”
Contoh jenis naskh ini
adalah ayat rajam. Umar bin Al-Khathab berkata, "Sesungguhnya aku
khawatir, zaman akan panjang terhadap manusia sehingga seseorang akan berkata:
“Kita tidak mendapati rajm di dalam kitab Allah”, sehingga mereka menjadi sesat
dengan sebab meninggalkan satu kewajiban yang telah diturunkan oleh Allah.
Ingatlah, sesungguhnya rajam adalah haq atas orang yang berzina dan dia telah
menikah, jika bukti telah tegak, atau ada kehamilan, atau ada pengakuan.”
Sufyan berkata, “Demikianlah yang aku ingat. Ingatlah, Rasulullah SAW telah
melakukan rajam, dan kita telah melakukan rajam setelah beliau.” (HR Bukhari)
Adapun lafazh ayat rajam, disebutkan oleh sebagian
riwayat dengan bunyi; "Laki-laki yang tua (maksudnya yang sudah menikah)
dan wanita yang tua (maksudnya yang sudah menikah) jika berzina, maka rajamlah
keduanya sungguh-sungguh, sebagai hukuman yang mengandung pelajaran dari Allah,
dan Allah Maha Perkasa, Maha Bijaksana."
J.
PEMBAGIAN NASKH KEPADA NASKH BADAL DAN GHOIRU
BADAL
Dalam pembagian
naskh ini beliau mana’ul qathn menyebutkan ada empat macam dari selain macam
naskh yang diatas, namun untuk mempermudah perinciannya kami akan membaginya
menjadi 2 macam sebagaimana banyak orang yang merangkum tentang pembahasan dari
pada nasakh dan mansukh ini.
I.
Nashk
badal
Yakni naskh yang ada
penggantinya.
seperti nasakh terahadap keharusan memberi sedekah kepada
orang miskin ketika hendak melakukan pembicaraan dengan nabi.
Naskh ini terbagi menjadi tiga
macam yaitu :
-
Nasakh dengan badal akhof
(pengganti yang lebih ringan)
-
Nasakh mumatsil (pengganti
serupa)
-
Badal atsqal (pengganti yang
lebih berat)
II.
Naskh
ghoiru badal
Yakni nasakh yang tidak ada gantinya
seperti nasakh terahadap
keharusan memberi sedekah kepada orang miskin ketika hendak melakukan
pembicaraan dengan nabi.
K.
HIKMAH DARI ADANYA NASKH DAN MANSUKH
1. Memelihara kepentingan hamba.
2. Perkembangan tasyri' menuju tingkat
sempurna sesuai dengan perkembangan kondisi umat manusia.
3. Cobaan dan ujian bagi orang mukallaf
untuk mengikutinya atau tidak.
4. Menghendaki kebaikan dan kemudahan bagi
umat. Sebab jika naskh itu beralih ke hal yang lebih ringan maka ia mengandung
kemudahan dan keringanan.
L. CONTOH NASKH
Problem Nasikh-Mansukh dalam al-Qur’an ini,
mengalami perdebatan panjang. Dimana proses pengkajian doktrin Nasikh-Mansukh
mulai abad ke-8 sampai ke-11, telah mencapai suatu proporsi yang
sangat dramatis dalam sejarah pemikiran Islam. Ibn Shihab al-Zuhri (w. 742),
menyebut 42 ayat yang di-nasikh. Al-Nahhash (w. 949)
mengidentifikasi ayat nasikh sebanyak 138 ayat[7].
Ibn Salamah (w. 1020) mengemukakan 238 ayat. Hingga
Musa Ibn al-Ata’iqi (w. 1308) yang menyebut 231 ayat yang terhapus. Namun pada
periode berikutnya, ratusan ayat mansukhah itu pelan-pelan mulai
direduksi, misalnya al-Syuyuti menyebut ayat mansukhat hanya 21 ayat[8]. Kemudian al-Syaukani menyebut hanya 8 ayat[9]. Sementara pada masa Syah Wali Allah, jumlah yang di-Naskh tinggal
lima ayat.[10]
Lalu pada masa Sayyid Ahmad Khan (1898), secara terbuka menyatakan bahwa tidak
ada lagi doktrin Nasikh-Mansukh sebagaimana yang
dipahami oleh Fuqoha’. Kemudian diikuti oleh
Muhammad Abduh, Rasyid Ridha, Taufiq Sidqi, dan al-Khudhari.[11]
Dan contoh dari pada ayat ayat yang di nasnk
adalah sebagai berikut :
a. Firman alloh al baqoroh
ayat 115 telah dimansukh dengan surat al baqoroh ayat 44
b. Firman alloh surat al
baqoroh ayat 180, ada y ang berkata mansukh degnan ayat ayat waris, dan ada
juga yang mengatakan dengan hadits nabi :
ان الله قد اعطى كل ذي حق حقه, فلا وصية[12]
c.
Firman
alloh surat al baqoroh ayat 184 di mansukh dnegna surat al baqoroh ayat 175.
d.
Firman
alloh surat al baqoroh ayat 217 dimansukh dengna surat attaubah ayat 36.
e.
Firman
alloh SWT surat al baqoroh ayat 240 dimansukh dengan surat al baqoroh ayat 234
f.
Firman
allloh surat al baqoroh ayat 274 dimansukh dengan surat al baqo ayat 286
g.
Dsb
M.
YANG MENYERUPAI NASKH
Naskh da mansukh
hamper sama dengan contoh hukum yang lain. Adapun ulama menjelaskan sebagi
berikut :
1.
Diantara
para ulama banyak yang masih samar samar dalam urusan naskh dan mansukh, maka
terkadang mereka memasukan suatu hukum sebagai naskh padahal bukan.
2.
Diantara
para ulama mereka menyelidiki nash nash yang bersandar pada dalil shohih yang
dinukil di dalam naskh
3.
Anggapan
bahwa takhsish adalah naskh (dalam pembahasan al ‘amm dan al khosh)
4.
Anggapan
penjelasan adalah naskh (dalam pembahasan muthlaq dan muqoyyad)
5.
Anggapan
tentang apa apa yang disyari’atkan karena suatu sebab kemudian sebabnya hilang
karena di mansukh. Contohnya adalah
seperti anjuran untuk bersabar dan menanggung penderitaan atas orang orang
kafir di dalam memulai dakwah ketika dalam keadaan lemah dan muslimin sedikit.
Yang demikian di mansukh dengan ayat ayat perang. Dan yang benar adalah yang
pertama yakni kewajiban untuk bersabar dan menanggung cobaan, karena ketika itu
dalam kondisi yang lemah dan dengan jumlah yang sedikit. Dan kalau sudah banyak
dan kuat maka diwajibkan untuk di lawan dengan perang. Dan yang demikian adalah
hukum yang kedua.
6.
Anggapan
tentang apa apa yang mebatalkan islam dari urusan urusan jahiliyah ataupu dari
imam imam yang terdahulu, di naskh. Seperti batasan jumlah istri yang 4, dll
N. PENUTUP
Naskh adalah perbuatan Allah yang Maha Bijaksana lagi
Mengetahui, Dia memerintahkan dan melarang hamba-Nya apa yang dikehendaki-Nya,
tidak berarti Dia sewenang-wenang dan menganiaya, akan tetapi semua hukum dan
perbuatan-Nya penuh dengan hikmah dan pengetahuan, terkadang dapat dideteksi
oleh rasio dan kadang pula tersembunyi di balik tirai alam ghaib untuk menguji
loyalitas seorang hamba.
Apakah mustahil jika Dia memerintahkan kepada yang
dimiliki-Nya dengan apa yang dikehendaki-Nya? Suatu maslahat dan hikmah akan
berbeda tergantung kondisi dan waktu, terkadang suatu hukum pada suatu waktu
atau kondisi adalah lebih bermaslahat bagi para hamba lain, dan terkadang hukum
yang lain pada waktu dan kondisi yang lain pula adalah lebih bermaslahat, dan
Allah Maha Mengetahui dan Maha Bijaksana.
Disusun dari kitab fie mabahits ulumul quran oleh manna’ul qathn
Wallohu A’lam Bishowab
Referensi :
1. Fie mabahit
ulumul quran oleh mana’ul qathn
2. Al itqan oleh عبد
الرحمن بن الكمال جلال الدين السيوطي
3. Replubika.co.id
NB : Artikel ini dapat dikases di http://kajianummat.blogspot.com
[3] Hadits ini Shohih, kecuali Thabrani Muhammad
Ibn ‘Abid Ibn Adam Ibn Abi Iyas yang disebut-sebut sebagai seorang Dzahabi.
Lihat al-Itqan,
Jilid. I. hlm. 72.
[4] Taufiq Adnan Amal mengartikan huruf ini sebagai kata, sehingga
menurutnya al-Quran sekarang ini jelas tidak mencapai dari sepertiga bagian
dari kitab suci yang hilang itu. Lihat Taufiq Adnan Amal. Rekontruksi….hlm.
230.
[5] Al-Itqan,
Jilid II. hlm 25
[6] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an” dalam Sukardi
(ed), Belajar
Mudah ‘Ulumul Qur’an. (Jakarta : Lentera. 2002) hlm.154.
[7] Ibn Salamah menyebutkan bahwa ada 43 Surat yang tidak Nasikh-Mansukh,
ada 6 surat yang Nasikh tanpa Mansukh,
40 surat dengan Mansukh tanpa Nasikh, 25
Surat dengan Nasikh sekaligus Mansukh.
Lihat Ahmad Von Denffer, Ilmu al-Qur’an ; Pengenalan dasar, (Jakarta
: Rajawali Pers. 1988), hlm. 125.
[8] ayat tersebut menurut al-Syuyuti adalah ; 1). Sikap Muslim terhadap
musuh, QS. al-Anfal : 65. di Naskh oleh QS. al-Anfal : 66. 2).
Keharusan bersedekah bagi orang yang hendak menanyakan pertanyaan kepada Nabi,
QS. al-Mujadalah : 12, di Nasikh oleh ayat 13. 3), Haramnya
minuman keras, QS. al-Nisa’ : 43, lalu al-Baqarah : 219 dan QS. al-Maidah : 90.
4). Qiyam
al-Lail, QS. al-Muzammil : 1 – 4 di Nasikh oleh ayat 20. lihat dalam
daftar contoh Nasikh wa Manisukh dalam bukunya
Manna Khalil al-Qattan, hlm 243 – 244.
[9] Hasybi al-Syiddiqi. Ilmu-Ilmu al-Qur’an, (Jakarta :
Bulan Bintang. 1972), hlm. 109.
[10] Ahmad Hasan. Pintu Ijtihad Sebelum Tertutup, (Bandung
: Pustaka. 1984) hlm. 62). dalam catatan Shah Wali Allah bahwa hanya 5 dari 21
kasus yang diajukan oleh al-Syuti yang dianggap benar-benar asli, yaitu QS.
al-baqarah : 180 di Naskh dengan QS. al-Nisa’ : 11 dan
12. QS. al-Baqarah : 240 di Naskh dengan QS. al-Baqarah : 234.
QS. al-Anfal : 65 di Naskh dengan QS. al-Anfal : 62.
QS. al-Rum : 50 di Naskh oleh QS. al-Akhzab : 52. dan
QS. al-Mujadalah : 12 di Naskh oleh QS. al-Mujadalah : 13.
[11] Agus Effendi. “Kontroversi di Seputar Naskh al-Qur’an”. hlm. 161.
1 komentar:
terima kasih makalahnya mas....
Posting Komentar