Jumat, 04 Januari 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Syarh Matan Aqidah Thahawiyah 73-78

Syarh Matan Aqidah Thahawiyah  73-78


ونتبع السنة والجماعة ونجتنب الشذوذ والخلاف والفرقة
‘Kami mengikuti As-Sunnah dan Al- Jama’ah dan meningalkan sikap mengikuti diri sendiri (asy- syudzud), perselisihan (al-khilaf), dan perpecahan (al-furqah).”
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW. Pernah Bersabda:
فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِى فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ
“… karena barangsiapa yang hidup di antara kalian, maka dia akan menyaksikan banyak perselisihan. Maka hendaklah kalian berpegang teguh pda sunnahku, dan sunnah Khulafa’ur Rasyidin yang mendapatkan petunjuk dan hidayah setelah ku. Pegang teguhlah ia dan gigitlah ia dengan gigi geraham. Dan jauhilah ajaran yang di buat-buat, karena sesunguhnya semua  ajaran yang di buat-buat itu adalah bid’ah, semua bid’ah itu kesesatan, dan semua kesesatan itu di neraka.”
Jelas, bahwa tatkala Nabi SAW. Memerintahkan tuk berpegang dengan As-Sunnah maka Nabi SAW. juga melarang dari perbuatan bid’ah.
Bid’ah ialah apa-apa yang di buat di dalam agama yang bukan bersumber dari Nabi Muhammad SAW.
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهْوَ رَدٌّ.
‘ Barang siapa yang mengerjakan suatau amal yang tidak bersumber dari dari perintah kami, maka amalan itu tertolak.”
Maka dari hadist ini jelaslah bahwa Nabi Muhammad SAW. Jelas sangat melarang umatnya dari perbuatan bid’ah, walaupun hal yang ia lakukan adalah baik di mata manusia, dan melakukannya dengan suka cita sebagai bentuk ia mencintai Islam. Maka tanda kencintaan yang benar ialah kita mengikuti ajaran Rosulullah SAW. Sesuai dengan apa yang diperintahkanya dan tidak menyelisihinya, yaitu sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah.
Bahkan suatu hadist yang diriwayatkan dari jalur yang shahih, akan tetapi dalam hadist tersebut terdapat hal yang menyelisihi hadist yang lebih shahih derajatnya (hadist Syadz), maka kita tidaklah mengamalkan hadist tersebut sebagaimana yang di lakukan oleh para ulama’ salaf terdahulu, karana di takutkan akan terjadi perselisihan di antara kaum muslimin, yang mampu mengakibatkan perpecahan di antara umat Islam. Adapun perkara bid’ah pada umumnya hal ini muncul akibat orang yang sok berilmu yang mana ia tidaklah mempelajari Aqidah yang shahih dan fikih. Orang itu belajar berdasarkan pemahaman ia sendiri, kemudian ia menambahkanya pada agama Allah Ta’alla apa yang sebenarnya bukan merupakan bagian dari padanya.
ونحب أهل العدل والأمانة ونبغض أهل الجور والخيانة
“ Kami mencintai orang-orang yang adil dan amanah, serta kami membenci orang – orang yang dzalim dan pengkhianat.”
Cinta adalah amalan hati, yang mana cinta terbagi menjadi dua macam:
Pertama: cinta alamiah, seperti kecintaan kepada keluarganya, sanak saudara, dan juga kerabatnya, dan mungkin pula kencintaanya kepada pekerjaanya, hobi, makanan dan lain sebagainya.
Kedua: cinta agama, dalam hal ini terbagi menjadi dua hal:
Yang pertama: mencintai Allah Ta’alla, dan itu adalah jenis ibadah yang paling agung. Dan dalam hal ini tidak boleh ada seorang pun yang di cintai bersama Allah.
وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَتَّخِذُ مِنْ دُونِ اللَّهِ أَنْدَادًا يُحِبُّونَهُمْ كَحُبِّ اللَّهِ
‘ Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah selain Allah, mereka mencintainya sebagaiman mereka mencintai Allah.” Al-Baqarah: 165).
Yang kedua : cinta karena Allah dan demi Allah, dalam hal ini adalah mencintai apa yang di cintai oleh Allah Ta’alla, berupa amal perbuatan dan orang-orang, yaitu mereka yang beriman dan bertaqwa.
إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ
“Sesunguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan menyukai orang-orang yang mensucikan diri.’ ( Al-Baqarah:222).
Para ulama’ menyebutkan bahwa berkaitan dengan cinta manusia terbagi menjadi tiga macam , yang mana hal tersebut adalah:
Golongan pertama:  yang di cintai dengan cinta yang tulus, yang tidak di campuri dengan kebencian, mereka adalah peara malaikat, para rosul, serta orang – orang yang derajatnya tingi di antara orang-orang beriman, seperti sahabat-sahabat Nabi SAW.
Golongan kedua:  yang di benci dengan kebencian yang total, yang tidak bercampur dengan cinta. Mereka adalah orang-orang kafir.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا عَدُوِّي وَعَدُوَّكُمْ أَوْلِيَاءَ تُلْقُونَ إِلَيْهِمْ بِالْمَوَدَّةِ
“Hai orang-orang yang beriman janganlah kamu mengambil musuh-Ku dan musuhmu menjadi teman-teman setia yang kamu sampaikan kepada mereka berita-berita Muhammad, karna kasih sayang."(Al-Mumtahanah:1)
Golongan ketiga: yang bercampur di dalam dirinya cinta dan kebencian, yaitu mereka yang di cintai karana kebaikan dalam dirinya, dan di benci karna maksiat yang ia lakukan.
وَنَقُولُ اللَّهُ أَعْلَمُ فِيمَا اشْتَبَهَ عَلَيْنَا عِلْمُهُ
“ Kami mengatakan “ Allah yang lebih tahu “ dalam masalah yang tidak jelas bagi kami.

Tidaklah layak bagi seorang muslim mengatakan dalam masalah ilmu sesuatau yang ia tidak mengetahuinya di dalam hal tersebut, di karanakan hal tersebut akan membuahkan dampak negatif, seperti terjadinya perbedaan pendapat yang mampu menimbulkan perpecahan di kalalangan kaum muslimin, maka hendaklah seorang muslim dia dan mengatakan “Allahu a’lam”(Allah-lah yang lebih tahu), begitu pula hendaklah seorang muslim mengatakan apa yang benar – benar ia ketahui di dalam masalah ilmu, yang mana hal tersebut bisa memberikan keyakinan yang mantab pada diri seorang muslim.
Sebagaimana Nabi SAW. Apabila di tanya sesuatu mengenai hal yang yang mana belum di turunkan wahyu kepada beliau, maka beliau menungu sampai wahyu di turunkan kepada beliau. Demikian para sahabat Radiallahu anhum, apabila di tanya mengenai sesuatu mereka akan menjawab “Allah dan Rosul-Nya yang lebih tahu.” dan mereka tidak memaksakan diri di dalam menjawab hal tersebut.
وَلَا تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولَئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْئُولًا
“ Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesunguhnya pendengaran, penglihatan,dan hati akan di mintai pertangung jawaban (AL-Isra’:36).

وَنَرَى الْمَسْحَ عَلَى الْخُفَّيْنِ فِي السَّفَرِ وَالْحَضَرِ كما جاء في الأثر

‘Kami juga berpandangan bolehnya mengusap khuf, ketika sedang safar ataupun ketika mukim, sebagaimana di sebutkan di dalam atsar.”

Kenapa At-Thahaw menyampaikan masalah in-yang mana masalah ini adalah masalah fiqih dan bukan di dalam masalah aqidah?
Karena hal ini, sunnah mengusap khuf banyak di ingkari oleh ahli bid’ah, terutama oleh golongan Syi’ah, yang mana mereka menolak dalil-dalil yang shahih tentang masalah ini. Mereka berpendapat yang di usap adalah kedua kaki dan bukan khuf. Padahal hal ini telah di tetapkan oleh Ahlu sunnah Wall Jama’ah  sebagai sunnah Nabi SAW.
وَالْحَجُّ وَالْجِهَادُ مَاضِيَانِ مَعَ أُولِي الْأَمْرِ مِنَ الْمُسْلِمِينَ بَرِّهِمْ وَفَاجِرِهِمْ إِلَى قِيَامِ السَّاعَةِ لَا يبطلهما شيء ولا ينقضهما

 
“ Haji dan jihad tetap berlaku bersama pemimpin dari kaum muslimin, yang shalih maupun yang durjana dari mereka, sampai hari kiamat, dan kedua syari’at tersebut tak dapat di batalkan  dan di gugurkan oleh apapun.”


di dalam hal ini para sahabat radiyallahu anhum mereka tetap berma’mum dengan para pemimpin kaum muslimin, baik mereka adalah orang-orang shalih ataupun orang-orang durjana, di dalam hal ini mereka adalah para pemimpin yang berhukum dengan hukum islam yang bersumber merdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah, di mana para sahabat merealisasikan perintah Rosulullah SAW. Untuk mentaati mereka dan melarang kita menyalahi mereka, sekalipun di antara mereka ada yang melakukan dosa-dosa besar, seperti halnya Al-Hajaj bin Yusuf dan yang lainya.
Yang mana tindakan ini adalah demi terciptanya persatuan kaum muslimin, dan inilah pandangan Ahlus Sunnah, yang bertentangan dengan pandangan golongan Khawarij.
Begitu pula di dalam melaksanakan ibadah Haji dan Jihad yang mana haruslah kaum muslimin melaksanakan hal tersebut bersama para pemimpin.
Adapun yang di maksud jihad di sini ialah memerangi orang-orang kafir dan orang-orang yang menganiaya kaum muslimin sendiri, dan juga para khawarij (para menentang pemimpin) dan kita memerangi mereka bersama dengan para pemimpin kaum muslimin, adapun kita memerangi orang – orang yang berbuat aniyaya adalah karna kedzoliman mereka, bukan karna kekufuran mereka.
وَإِنْ طَائِفَتَانِ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ اقْتَتَلُوا فَأَصْلِحُوا بَيْنَهُمَا فَإِنْ بَغَتْ إِحْدَاهُمَا عَلَى الْأُخْرَى فَقَاتِلُوا الَّتِي تَبْغِي حَتَّى تَفِيءَ إِلَى أَمْرِ اللَّهِ  

“ dan jika ada dua golongan dari orang – orang mukmin berperang maka damaikanlah keduanya, jika salah satu dari dua golongan tersebut berbuat aniaya terhadap golonagan yang lain maka perangilah golongan yang berbuat aniaya itu sehinga golongan itu kembali kepada perintah Allah (Al-Hujurat:9).

Memerangi orang kafir adalah untuk menyebarkan tauhid dan memberantas syirik, dan hal ini terbagi menjadi dua macam:
 Pertama: perang Defensif (demi mempertahankan diri) hal ini dilakukan saat musuh menyerang negri muslim, dan ini wajib di lakukan oleh kaum muslimin untuk mengangkat senjata  saat di mana mereka di serang oleh musuh, demi mengusir musuh dari negri mereka.
Kedua: perang Ofensif ( untuk membuka negri musuh), yang mana hal ini dilakukan saat kaum muslimin memiliki kekuatan, mereka boleh memerangi musuh di negri mereka sendiri, dan menyeru mereka kepada Allah serta untuk menyebarkan da’wah islam kepada mereka.
Maka Jihad dan haji merupakan kebijakan seorang pemimpin, jikalau seorang pemimpin merintahkan kaum muslimin untuk berjihad maka wajib bagi setiap yang mampu untuk mengangkat senjata, di dalam hal ini tidak disyaratkan seorang pemimpin adalah orang yang  bersih dari maksiat. Akan tetapi selama ia tidak murtad dari islam, maka Jihad dan Haji wajib di laksanakan bersamanya.
Baik dan kuatnya seorang pemimpin adalah maslahat lebih bagi kaum muslimin, sedangkan kerusakan dirinya adalah tangungan dirinya sendiri, sedangkan Jihad dan Haji adalah untuk kemaslahatan kaum muslimin, dan jika pemimpin keliru, kita hanya menghindari keburukanya, akan tetapi kita tidak boleh memberontak dan membangkang dari kewajibantaat. Inilah pandangan Ahlus Sunnah, dan di atas prinsip inilah semua kemaslahatankaum muslimin akan tegak.
 Adapun Ahli bid’ah mereka berpandangan boleh untuk memberontakterhadap para pemimpin. Inilah pandangan kaum khawarij, dan kita haruslah berlepas diri dari pandangan seperti ini.
وَنُؤْمِنُ بِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ فَإِنَّ اللَّهَ قَدْ جَعَلَهُمْ علينا حافظين

“Kami juga beriman kepada Malaikat penulis, di mana Allah menjadikan mereka sebagai penjaga  bagi kita”

Beriman kepada para malaikat adalah salah satu pokok dari rukun Iman, yang mana hal ini tidak boleh hilang dari diri seorang muslim, sebagai mana firman Allah Ta’alla:
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنْ آمَنَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالْكِتَابِ وَالنَّبِيِّينَ
“….. akan tetapi sesunguhnya kebajikan itu ialah beriman kepada Allah dan Hari Akhir, dan malaikat-malaikat, kitab-kitab, nabi-nabi…..(Al-Baqarah:177).

Dan di antara para malaikat ada yang bertugas untuk mencatat amal perbuatan anak cucu Adam Alaihi salam yang berupa amal baik dan amalan buruk, dan mereka juga menjaga manusia dari keburukan, sebagaiman firman Allah Ta’ala:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ

“ Tiada suatupun ucapan yang di ucapkanya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir (Qaf:18)
لَهُ مُعَقِّبَاتٌ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ يَحْفَظُونَهُ مِنْ أَمْرِ اللَّهِ 

“ Bagi manusia ada malaikat-malaikt yang selau mengikutinya bergiliran, mereka menjaganya atas perintah Allah (Ar-Ra’d: 11)
Wallahu a’lam bis shawab.

0 komentar:

Posting Komentar