Jumat, 24 Mei 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Empat Kunci Kebahagiaan (dalam surat Al-Ashr)

Empat Kunci Kebahagiaan (dalam surat Al-Ashr)
"Demi al-Ashr (1) Sesungguhnya manusia sungguh berada dalam kerugian (2) Kecuali mereka yang beriman, beramal shalih dan saling menasehati untuk melakukan kebajikan dan saling mengingatkan untuk senantiasa bersabar (3)." (QS. Al Ashr (103):1-3)
Manusia bagaimanapun juga memiliki naluri untuk meraih yang terbaik bagi dirinya dan menghindari segala hal yang tidak disukainya. Karenanya maka kita selalu memiliki perasaan dan sikap mengharap keuntungan dalam setiap keadaan dan menjauhi segala hal yang mungkin dapat menimbulkan kerugian. Dengan perasaan dan sikap itulah kita menentukan langkah dan pilihan hidup, menetapkan dan mengambil segala keputusan dalam hidup ini baik dalam masalah yang kecil ataupun perkara-perkara besar.
Menentukan sikap dengan pertimbangan untung –rugi sangatlah manusiawi, dan itu lumrah sekali. Hanya saja, banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dimengerti oleh manusia jika hanya mengandalkan kemampuan berfikirnya semata. karena bekal akal yang ada ini, seberapa pun maju dan berkembangnya, ia tetap saja memiliki berbagai keterbatasan insani yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta, batas yang tidak akan tertembus sampai kapanpun. Bahkan beberapa rahasia ilahi yang ada dalam diri manusia itu sendiri pun hingga kini belum dan takkan pernah terungkap, semisal pengetahuan tentang ruh yang ada dalam jasad manusia, atau rahasia kematian, rahasia kehidupan setelah kematian dan lain sebagainya. Semua itu tidak akan pernah ditemukan oleh manusia melalui penelitian atau eksperimen apa pun, kecuali mereka harus kembali kepada pemberitahuan yang bersumber dari Penciptanya sendiri.
Termasuk dalam hal-hal pelik tersebut adalah neraca keberuntungan dan kerugian manusia yang sebenarnya. Hingga sekarang orang mungkin akan kebingungan jika ditanya apa sebenarnya kebahagiaan sejati yang mereka cari-cari dalam hidup ini. Untuk menjawab pertanyaan sulit ini, maka mau tidak mau kita harus merujuk kepada petunjuk ilahi yang telah Dia turunkan dalam wahyu-wahyu suci-Nya.
Dalam surat Al-Ashr ini Allah merangkum petunjuk mengenai kunci kebahagiaan itu hanya dalam tiga ayat pendek.  Dalam ayat pertama Allah ingin mengarahkan perhatian kita kepada satu hal yang sangat penting dalam kehidupan manusia, namun justru sering dilalaikan oleh manusia itu sendiri. Maka pada ayat ini Allah bersumpah dengan hal itu. Dia berfirman, "Demi al-Ashr." Al-Ashr biasa diartikan dengan 'masa' atau 'waktu'.  Kata ini mencakup siang dan malam hari, ataupun satuan-satuan waktu lainnya. Seakan-akan Allah mengingatkan kita bahwa waktu-lah tempat segala usaha dan upaya manusia dapat dilakukan. Ia adalah wadah setiap kesempatan dan peluang, yang selalu melaju dan berlalu tanpa pernah berulang, hari yang berselang tidaklah sama dengan sekarang,  waktu yang anda lalui saat ini berbeda dengan waktu-waktu mendatang, umur dan usia kita terus berkurang sementara waktu terus bergerak maju tanpa pernah kembali.
Pada ayat berikutnya Allah sebutkan pesan inti yang ingin disampaikan-Nya, membeberkan tentang hakikat keadaan manusia yang sebenarnya. Sehingga setiap orang yang dengan keterbatasan akalnya menilai diri sebagai orang yang beruntung dan merasa puas dengan segala pencapaiannya selama ini harus berfikir ulang dan kembali menimbang. Karena Allah sendiri menyatakan bahwa seluruh manusia pada hakikatnya adalah merugi. Kalau mereka -saking bebalnya- tidak merasakan hal itu di dunia, pastilah mereka akan menyadari hal itu di akhirat kelak.
Namun Allah Sang Maha Pengasih, tidak hanya memberi-tahu manusia tentang permasalahan besar yang mungkin mereka lalaikan tanpa menunjukkan jalan keluarnya, Dia bukan hanya menyadarkan mereka untuk menghadapi permasalahan besar itu, namun juga mengajarkan solusi terbaik untuk penyelesaiannya. Maka di ayat terahir dalam surat pendek ini Allah sebutkan empat kunci kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Allah sebutkan kriteria pertama orang-orang yang beruntung itu adalah bahwa mereka beriman. Dan iman itu tak dapat dicapai melainkan dengan ilmu. Jika ilmu telah berbalut keimanan, maka orang itu seakan berjalan di atas cahaya, ia melihat jalan hidupnya begitu terang, tidak bingung dalam keraguan atau tersesat dalam kegelapan. Sehingga dia mampu memilih dan menentukan langkah ke  jalan keberuntungan dan dengan mudah dia menghindari jalan-jalan yang menuju kepada kerugian. Dengan itu dia pun menjalani hidup ini dengan langkah-langkah pasti yang penuh keyakinan dan tak tergoyahkan.
Kriteria kedua adalah bahwa mereka adalah para pelaku amal shalih. karena ilmu yang dimiliki itu akan membentuk sikap dan perilaku seseorang, dan dari sikap itulah akan terlahir tindak positif dan amal nyata dalam perbuatan. Setiap ilmu pasti lah membuahkan amalan, dan setiap amalan harus lah bersandarkan pada ilmu dan keimanan. Lalu dengan iman dan amal shalih itu hati seseorang akan tenang dan hidupnya menjadi tentram.
Dengan dua hal itu saja seseorang telah dapat meraih kebahagiaan dalam dirinya, namun dengan melakukan dua hal berikutnya dia akan mencapai kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu hanya bisa dicapai dengan menggabungkan dua aspek, yaitu, perbaikan diri sendiri dan usaha memperbaiki orang lain. Jika dengan dua hal pertama kita bisa menutupi aspek perbaikan diri. Maka dengan dua hal berikutnya ini kita akan melengkapi aspek ke-dua, dan ini hanya bisa dilakukan dalam sebuah komunitas.
Maka harus dibentuk sebuah komunitas di mana kita bisa memunculkan kriteria ke-tiga dan ke-empat, yaitu; menjadi orang-orang yang saling menasehati dalam kebajikan, artinya mendakwahkan iman dan ilmu yang telah dimiliki dan menggalakkan amal shalih dalam komunitas tersebut. Kemudian saling mengingatakan untuk selalu bersabar, baik dalam melakukan kebajikan yang telah disebutkan, atau dalam rangka meninggalkan segala bentuk kemaksiatan ataupun sabar saat menghadapi masa-masa sulit dalam kehidupan.
Semoga kita mampu mewujudkan dan mengumpulkan empat kunci kebahagiaan itu dalam jatah waktu hidup kita yang begitu singkat ini, sejak sekarang hingga akhir hayat nanti. Sehingga kita dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiin.. Wallahu a’lam.
FATAWA
Apa hukum mengambil upah dari hafalan Al-Qur’an? Di desa kami ada seorang Imam yang mengambil upah atas pengajaran hafalan Al-Qur’an pada anak-anak?
JAWABAN:
Tidak ada dosa mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an dan mengajar ilmu agama, karena memang manusia membutuhkan pengajaran, dan karena pengajaran kadang menghadapi kesulitan dalam hal itu dan sibuk mengajar sehingga tidak sempat mencari nafkah. Jika ia mengambil upah dari mengajar Al-Qur’an dan mengajarkan hafalannya serta mengajarkan ilmu agama, maka yang benar adalah bahwa dalam hal ini tidak ada dosa. Telah disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku Arab yang saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah berusaha mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka meminta kepada para sahabat itu untuk meruqyahnya, kemudian salah seorang sahabat meruqyahnya dengan surat Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan menyehatkannya. Sebelumnya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka untuk dibayar dengan daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya. Namun para sahabat tidak langsung membagikannya di antara mereka sebelum bertanya kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda yang artinya:
“kalian benar. Bagikanlah dan berikan pula bagian untukku.”[HR.Bukhari, kitab Al-Janaiz (2276). Muslim, kitab As-Salam (2201)]
Beliau tidak mengingkari perbuatan mereka. Dalam hadits lain disebutkan, bahwa beliau bersabda yang berarti:
“”sesungguhnlya yang paling berhak untuk kalian ambil upahnya adalah kitabullah.”[HR.Bukhari, kitab Ath-Thibb (5737)]
Hal ini menunjukkan bahwa mengambil upah dari pengajaran dibolehkan, demikian juga dari  ruqyah.
Majalah Al-Buhuts, edisi 2, hal. 150-151, Syaikh Ibnu Baz.

0 komentar:

Posting Komentar