Empat Kunci Kebahagiaan (dalam surat Al-Ashr)
"Demi al-Ashr (1)
Sesungguhnya manusia sungguh berada dalam kerugian (2) Kecuali mereka yang
beriman, beramal shalih dan saling menasehati untuk melakukan kebajikan dan
saling mengingatkan untuk senantiasa bersabar
(3)." (QS. Al Ashr (103):1-3)
Manusia bagaimanapun juga memiliki naluri untuk meraih yang
terbaik bagi dirinya dan
menghindari segala hal yang tidak disukainya. Karenanya maka kita selalu memiliki perasaan dan sikap mengharap
keuntungan dalam setiap keadaan dan menjauhi segala hal yang mungkin dapat
menimbulkan kerugian. Dengan perasaan dan sikap itulah kita menentukan
langkah dan pilihan hidup, menetapkan dan mengambil segala keputusan dalam
hidup ini baik dalam masalah yang kecil ataupun perkara-perkara besar.
Menentukan sikap dengan
pertimbangan untung –rugi sangatlah manusiawi, dan itu lumrah sekali. Hanya
saja, banyak hal dalam kehidupan ini yang tidak bisa dimengerti oleh manusia jika
hanya mengandalkan kemampuan berfikirnya semata. karena bekal akal yang ada ini,
seberapa pun maju dan berkembangnya, ia tetap saja memiliki berbagai keterbatasan
insani yang telah digariskan oleh Sang Maha Pencipta, batas yang tidak akan
tertembus sampai kapanpun. Bahkan beberapa rahasia ilahi yang ada dalam diri
manusia itu sendiri pun hingga kini belum dan takkan pernah terungkap, semisal
pengetahuan tentang ruh yang ada dalam jasad manusia, atau rahasia kematian,
rahasia kehidupan setelah kematian dan lain sebagainya. Semua itu
tidak akan pernah ditemukan oleh manusia melalui penelitian atau eksperimen apa
pun, kecuali mereka harus kembali kepada pemberitahuan yang bersumber dari Penciptanya sendiri.
Termasuk dalam hal-hal pelik tersebut adalah neraca
keberuntungan dan kerugian manusia yang sebenarnya. Hingga sekarang orang
mungkin akan kebingungan jika ditanya apa sebenarnya kebahagiaan sejati yang
mereka cari-cari dalam hidup ini. Untuk menjawab pertanyaan sulit ini, maka mau
tidak mau kita harus merujuk kepada petunjuk ilahi yang telah Dia turunkan
dalam wahyu-wahyu suci-Nya.
Dalam surat Al-Ashr ini Allah merangkum petunjuk mengenai kunci kebahagiaan itu hanya dalam tiga ayat
pendek. Dalam ayat pertama Allah ingin mengarahkan perhatian kita kepada satu hal
yang sangat penting dalam kehidupan manusia, namun justru sering dilalaikan
oleh manusia itu sendiri. Maka pada ayat ini Allah bersumpah dengan hal itu. Dia berfirman,
"Demi al-Ashr." Al-Ashr biasa diartikan dengan 'masa' atau
'waktu'. Kata ini mencakup siang dan
malam hari, ataupun satuan-satuan waktu lainnya. Seakan-akan Allah mengingatkan kita bahwa waktu-lah tempat segala
usaha dan upaya manusia dapat dilakukan. Ia adalah wadah setiap kesempatan dan peluang, yang selalu melaju
dan berlalu tanpa pernah berulang, hari yang
berselang tidaklah sama dengan sekarang, waktu yang
anda lalui saat ini berbeda dengan waktu-waktu mendatang, umur dan usia kita
terus berkurang sementara waktu terus bergerak maju tanpa pernah kembali.
Pada ayat berikutnya Allah
sebutkan pesan inti yang ingin disampaikan-Nya, membeberkan tentang hakikat
keadaan manusia yang sebenarnya. Sehingga setiap orang yang dengan keterbatasan
akalnya menilai diri sebagai orang yang beruntung dan merasa puas dengan segala
pencapaiannya selama ini harus berfikir ulang dan kembali menimbang. Karena Allah
sendiri menyatakan bahwa seluruh manusia pada hakikatnya adalah merugi. Kalau
mereka -saking bebalnya- tidak merasakan hal itu di dunia, pastilah mereka akan
menyadari hal itu di akhirat kelak.
Namun Allah Sang Maha Pengasih,
tidak hanya memberi-tahu manusia tentang permasalahan besar yang mungkin mereka
lalaikan tanpa menunjukkan jalan keluarnya, Dia bukan hanya menyadarkan mereka
untuk menghadapi permasalahan besar itu, namun juga mengajarkan solusi terbaik
untuk penyelesaiannya. Maka di ayat terahir dalam surat pendek ini Allah
sebutkan empat kunci kebahagiaan manusia di dunia dan di akhirat.
Allah sebutkan kriteria pertama
orang-orang yang beruntung itu adalah bahwa mereka beriman. Dan iman itu tak
dapat dicapai melainkan dengan ilmu. Jika ilmu telah berbalut keimanan, maka
orang itu seakan berjalan di atas cahaya, ia melihat jalan hidupnya begitu
terang, tidak bingung dalam keraguan atau tersesat dalam kegelapan. Sehingga
dia mampu memilih dan menentukan langkah ke jalan keberuntungan dan dengan mudah dia
menghindari jalan-jalan yang menuju kepada kerugian. Dengan itu dia pun
menjalani hidup ini dengan langkah-langkah pasti yang penuh keyakinan dan tak
tergoyahkan.
Kriteria kedua adalah bahwa
mereka adalah para pelaku amal shalih. karena ilmu yang dimiliki itu akan
membentuk sikap dan perilaku seseorang, dan dari sikap itulah akan terlahir
tindak positif dan amal nyata dalam perbuatan. Setiap ilmu pasti lah membuahkan
amalan, dan setiap amalan harus lah bersandarkan pada ilmu dan keimanan. Lalu dengan
iman dan amal shalih itu hati seseorang akan tenang dan hidupnya menjadi
tentram.
Dengan dua hal itu saja seseorang
telah dapat meraih kebahagiaan dalam dirinya, namun dengan melakukan dua hal
berikutnya dia akan mencapai kesempurnaan. Karena kesempurnaan itu hanya bisa
dicapai dengan menggabungkan dua aspek, yaitu, perbaikan diri sendiri dan usaha
memperbaiki orang lain. Jika dengan dua hal pertama kita bisa menutupi aspek
perbaikan diri. Maka dengan dua hal berikutnya ini kita akan melengkapi aspek ke-dua,
dan ini hanya bisa dilakukan dalam sebuah komunitas.
Maka harus dibentuk sebuah
komunitas di mana kita bisa memunculkan kriteria ke-tiga dan ke-empat, yaitu;
menjadi orang-orang yang saling menasehati dalam kebajikan, artinya
mendakwahkan iman dan ilmu yang telah dimiliki dan menggalakkan amal shalih
dalam komunitas tersebut. Kemudian saling mengingatakan untuk selalu bersabar,
baik dalam melakukan kebajikan yang telah disebutkan, atau dalam rangka
meninggalkan segala bentuk kemaksiatan ataupun sabar saat menghadapi masa-masa
sulit dalam kehidupan.
Semoga kita mampu mewujudkan dan
mengumpulkan empat kunci kebahagiaan itu dalam jatah waktu hidup kita yang
begitu singkat ini, sejak sekarang hingga akhir hayat nanti. Sehingga kita
dapat mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Amiin.. Wallahu a’lam.
FATAWA
Apa hukum mengambil upah dari
hafalan Al-Qur’an? Di desa kami ada seorang Imam yang mengambil upah atas
pengajaran hafalan Al-Qur’an pada anak-anak?
JAWABAN:
Tidak ada dosa mengambil upah
dari mengajar Al-Qur’an dan mengajar ilmu agama, karena memang manusia
membutuhkan pengajaran, dan karena pengajaran kadang menghadapi kesulitan dalam
hal itu dan sibuk mengajar sehingga tidak sempat mencari nafkah. Jika ia mengambil
upah dari mengajar Al-Qur’an dan mengajarkan hafalannya serta mengajarkan ilmu
agama, maka yang benar adalah bahwa dalam hal ini tidak ada dosa. Telah
disebutkan dalam suatu riwayat, bahwa sekelompok sahabat singgah di suatu suku
Arab yang saat itu pemimpin mereka tersengat binatang berbisa. Mereka telah
berusaha mengobatinya dengan berbagai cara tapi tidak berhasil, lalu mereka
meminta kepada para sahabat itu untuk meruqyahnya, kemudian salah seorang
sahabat meruqyahnya dengan surat Al-Fatihah, dan Allah menyembuhkan dan
menyehatkannya. Sebelumnya, para sahabat itu telah mensyaratkan pada mereka
untuk dibayar dengan daging domba. Maka setelah itu mereka pun memenuhinya.
Namun para sahabat tidak langsung membagikannya di antara mereka sebelum bertanya
kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam
bersabda yang artinya:
“kalian benar. Bagikanlah dan
berikan pula bagian untukku.”[HR.Bukhari, kitab Al-Janaiz (2276). Muslim, kitab
As-Salam (2201)]
Beliau tidak mengingkari
perbuatan mereka. Dalam hadits lain disebutkan, bahwa beliau bersabda yang
berarti:
“”sesungguhnlya yang paling
berhak untuk kalian ambil upahnya adalah kitabullah.”[HR.Bukhari, kitab
Ath-Thibb (5737)]
Hal ini menunjukkan bahwa
mengambil upah dari pengajaran dibolehkan, demikian juga dari ruqyah.
Majalah Al-Buhuts, edisi 2, hal.
150-151, Syaikh Ibnu Baz.
0 komentar:
Posting Komentar