Rabu, 22 Mei 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Adab Shalat Tarawih Bagi Wanita

Adab Shalat Tarawih Bagi Wanita
 
Ada seorang wanita shahabat Nabi Shalallahu alaihi wasalam, namanya Ummu Humaid ingin mengikuti shalat bersama Rasul Shalallahu alaihi wasalam di masjid Nabi, maka Rasulullah memberikan jawaban yang begitu indah dan berkesan, yang artinya, "Sungguh aku tahu, bahwa engkau senang shalat bersamaku, padahal shalatmu di dalam kamar lebih baik dari pada shalatmu di rumah, dan shalatmu di dalam rumah lebih baik dari pada shalatmu di masjid kampungmu, dan shalatmu di masjid kampung lebih baik daripada shalatmu di masjidku ini." (HR. Ibnu Khuzaimah, di dalam shahihnya).
Hadits di atas barangkali memiliki korelasi yang erat dengan hadits lain riwayat Imam at-Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah, dari Ibnu Mas'ud Radhiallahu anhu dari Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam bersabda, "Sesungguhnya wanita adalah aurat, apabila dia keluar, maka syetan menghiasnya. Dan sedekat-dekatnya seorang wanita kepada Tuhannya adalah tatkala ia berada di bagian paling tersembunyi di rumahnya."
Berdasarkan dua hadits di atas dapat diambil pengertian, bahwa pada dasarnya kondisi paling utama seorang wanita adalah tatkala berada di tempat yang paling tersembunyi, termasuk ketika melakukan shalat. Apabila seorang wanita ingin shalat berjama'ah -termasuk tarawih-, maka hendaknya memperhatikan adab-adab dan aturan ketika menuju ke sana. Karena tidak selayaknya seseorang ingin mencari pahala, namun dalam waktu bersamaan melakukan perbuatan yang dimurkai oleh Allah Shubhanahu wa Ta'ala. Di antara adab-adab yang perlu diperhatikan oleh seorang wanita ketika akan mendatangi masjid (khusus-nya shalat tarawih) adalah sebagai berikut:
1. Ikhlas                                                         
Nabi Shalallahu alaihi wasalam bersabda yang artinya, "Barang siapa mendatangi masjid untuk tujuan tertentu, maka itulah yang menjadi bagiannya." (HR. Abu Daud)
2. Meminta Izin
Seorang wanita yang akan pergi ke masjid seharusnya meminta izin kepada ayah atau suaminya, berdasarkan hadits Nabi Shalallahu alaihi wasalam dari Ibnu Umar Radhiallahu anhu dia berkata, telah bersabda Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam, artinya: “Janganlah kalian melarang wanita untuk mendatangi masjid, bila mereka minta izin kepada kalian." (Shahih Muslim)
Karena taat terhadap suami lebih didahulukan daripada ibadah sunnah, demikian pula seorang putri jika tidak diizinkan ayahnya. Dan selayaknya seorang suami jangan melarang istrinya pergi ke masjid, bila telah meminta izin dengan baik-baik, kecuali jika ada kondisi yang tidak mengizinkan. Namun para wanita juga harus menyadari, bahwa shalat mereka di rumah adalah lebih utama, dan juga keluarnya mereka ke tempat umum justru terkadang menimbulkan fitnah atau dosa.
3. Berhijab/Menutup Aurat
Jangan sampai pergi ke masjid dalam kondisi tabarruj, yakni berdandan seronok, sengaja memancing perhatian, berpakaian ketat serta menampakkan perhiasan atau auratnya, sebab sekali lagi harus diingat, bahwa jika wanita keluar rumah, maka syetan menghiasnya, sehingga kelihatan menggoda dan menarik. Tabarruj adalah salah satu sifat wanita-wanita jahiliyyah yang tercela sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa Ta'ala , yang artinya: “Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu bertabarruj (berhias dan bertingkah laku) seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu.” (QS Al-Ahzab: 33)
4. Tidak Memakai Parfum
Parfum merupakan salah satu penyebab fitnah, bila salah dalam mempergunakannya. Rasulullah Shalallahu alaihi wasalam telah melarang wanita yang menggunakan minyak wangi untuk menghadiri shalat Isya', sebagaimana dalam hadits riwayat Imam Muslim. Jika pergi ke masjid untuk ber-ibadah tidak boleh menggunakan parfum, maka apalagi jika perginya adalah ke tempat-tempat umum selain masjid, tentu lebih terlarang lagi!
5. Tidak Berkhalwat
Yakni tidak boleh jalan berduaan dengan laki-laki lain (yang bukan mahram) baik itu berjalan kaki maupun berduaan di dalam mobil, entah itu teman, tetangga atau sopir pribadi sekalipun. Berdasarkan kepada hadits nabi Shalallahu alaihi wasalam, "Jangan sekali-kali seorang laki-laki berduaan dengan seorang wanita, kecuali wanita tersebut disertai mahramnya." (HR. Muslim dari Ibnu Abbas)
6. Merendahkan Suara
Secara umum bukan hanya wanita saja yang diperintahkan untuk meren-dahkan suara dan tidak mengeraskannya, apalagi di dalam masjid. Allah Shubhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: “Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan lunakkanlah suaramu. Sesungguh-nya seburuk-buruk suara ialah suara keledai.” (QS.Luqman: 19)
Dan bagi wanita, masalah ini lebih ditekankan lagi, sehingga wanita apabila mengingatkan imam yang lupa atau salah cukup dengan menepukkan telapak tangan kanan ke punggung tangan kiri, bukan bertasbih.
Hendaknya wanita menjaga suaranya di hadapan kaum laki-laki, karena tidak seluruh laki-laki hatinya sehat, di antara mereka ada yang hatinya sakit, dalam arti mudah tergoda dengan suara wanita. Pembicaraan seorang wanita hanya dibolehkan di dalam hal-hal yang memang mengharuskan, seperti jual beli, memberikan persaksian, menjawab salam dan semisalnya. Ini pun harus diperhatikan, agar jangan sampai mendayu-dayukan suara, atau sengaja dibuat-buat supaya menarik. Allah Shubhanahu wa Ta'ala telah berfirman, yang artinya: “Hai isteri-isteri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertaqwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara, sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya.” (QS.Al-Ahzab: 32)
Jika wanita-wanita suci semisal istri Nabi masih diperintahkan untuk demikian, maka selayaknya para muslimah juga mencontoh mereka.
7. Menundukkan Pandangan
Para wanita hendaknya menundukkan pandangan dari laki-laki lain yang bukan mahram sebagaimana firman Allah Shubhanahu wa Ta'ala, yang artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, "Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka.” (QS.An-Nuur: 31) dan begitu juga wajib hukumnya bagi para lelaki muslim. Demikian semoga bermanfaat bagi kita semuanya.
Diringkas dari: “Al-Muntaqa min Adab Shalat at-Tarawih Linnisaa”, Husain bin Ali asy Syaqrawi.
Fatwa :
Pertanyaan.
Syaikh Abdul Aziz bin Baz ditanya: Pada saat-saat bepergian ke luar Saudi, apa boleh saya membukakan wajah dan tidak berhijab, karena saat itu kami sedang jauh dari negara kami dan tidak ada seorangpun yang mengenali kami ? Lagi pula, ayah saya memaksa saya agar menampakkan wajah, karena mereka menganggap, bahwa jika saya menutup wajah berarti saya mengundang perhatian orang-orang!
Jawaban:
Anda dan wanita selain anda tidak boleh menampakkan wajah di negera kaum kafir, seperti halnya di negara kaum muslimin, tapi tetap wajib berhijab dari kaum laki-laki yang bukan mahram, baik itu kaum muslimin atau kaum kafir, bahkan kewajiban berhijab terhadap kaum kafir lebih tegas, karena tidak ada keimanan pada mereka yang membentengi mereka dari apa-apa yang diharamkan Allah. Anda dan selain anda, tidak boleh mematuhi kedua orang tua ataupun lainnya dengan melakukan perbuatan yang diharamkan Allah dan Rasul-Nya. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman. Artinya: Apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka” [Al-Ahzab : 53]
Dalam ayat yang mulia ini Allah Subhanahu wa Ta’ala menerangkan, bahwa wanita harus berhijab dari kaum laki-laki yang bukan mahram, hal ini lebih suci bagi semua (bagi kaum wanita dan juga kaum laki-laki). Dalam ayat lain Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman. “Artinya : Dan katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangan mereka, dan memelihara kemaluan mereka, dan janganlah mereka menampakkan perhiasan mereka kecuali yang (biasa) nampak dari mereka. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedada mereka, dan janganlah menampakkan perhiasan mereka, kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka” [An-Nur : 31]
[Majalah Ad-Da’wah, edisi 870, Syaikh Ibnu Baz]
[Disalin dari. Kitab Al-Fatawa Asy-Syar’iyyah Fi Al-Masa’il Al-Ashriyyah Min Fatawa Ulama Al-Balad Al-Haram, edisi Indonesia Fatwa-Fatwa Terkini-2, hal 517-518 Darul Haq]

0 komentar:

Posting Komentar