FATWA
FATWA WARISAN
1.
Jika pembagian warisan
tidak sesuai dengan tuntunan Allah, maka wajib untuk meralatnya. Bila tetap
tidak bisa, maka pembagilah yang bertanggung jawab menutupi kekurangan. (Fatwa
al Mar’ah al Muslimah, Syaikh Al Fauzan, hal. 908)
2.
Dzawil arham tidak boleh
mendapatkan warisan jika masih terdapat pihak ashhabul furudh atau ashobah.
(Fatwa al Mar’ah al Muslimah, Syaikh Al Fauzan, hal. 909)
3.
Islam melarang wasiat untuk
ahli waris karena akan melanggar ketentuan ketentuan Allah (An Nisa’ 13, 14).
Jika memang dibolehkan mewasiatkan harta warisan untuk ahli waris maka tidak
ada gunanya ketentuan pembagian warisan. Manusia akan bermain main dengan
wasiat sekehendaknya. (Nur ‘Ala ad Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 558)
4.
Dilarang mewasiatkan
warisan lebih dari 1/3 karena hak ahli waris tergantung pada harta warisan.
(Nur ‘Ala ad Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 559)
5.
Tentang pembagian harta
waris saat pemiliknya masih hidup. Maka sikap yang paling baik adalah
membiarkan harta anda tetap di tangan anda karena anda tidak tau apa yang akan
terjadi di kehidupan anda. Pergunakan sesuka anda sesuai dengan batas batas
yang dibolehkan syari’at. Jika anda meninggal, ahli waris anda akan mewarisi
sesuai dengan ketentuan Allah. (Nur ‘Ala ad Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2,
hal. 558)
6.
Hubungan keluarga akibat
persusuan tidak menjadi sebab pewarisan. Tapi tentu saja ada hak hak lain yang
harus dihormati. Jika memang tidak ada ahli waris sama sekali, harta diserahkan
kepada baitul mal. (Nur ‘Ala ad Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 560)
7.
Wanita yang ditalak
Ø
Raj’I, iddah talaknya
berubah menjadi iddah wafat. Talak yang terjadi setelah campur tanpa ada iwadh
(pengganti talak) Baik talak 1 atau 2, istri yang ditalak tersebut berhak
mendapatkan warisan (Al Baqoroh 228, ath Tholaq 1).
Ø
Talak ba’in.
o
Talak 3 / khulu’ / masa
fasah (pemutusan ikatan pernikahan), istri yang ditalak tersebut tidak berhak
mewarisi
o
Suami mentalak istri saat
suami tersebut sakit agar istri tidak mendapatkan warisan, maka istri yang
ditalak tersbut berhak mewarisi walaupun masa iddahnya telah berakhir selama ia
belum menikah lagi.
(Nur
‘Ala ad Darb, Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 560)
8.
Istri yang baru dinikahi
kemudian suaminya mati sebelum berkumpul, maka istri tersebut mendapat hak
warisan ¼ sebagaimana disebutkan dalam An Nisa’ ayat 12. (Nur ‘Ala ad Darb,
Syaikh Ibnu Utsaimin, juz 2, hal. 821)
9.
Wanita yang suaminya
meninggal sebelum menggauli istrinya, maka istri tersebut wajib beriddah dan
berhak menerima warisan (Al Baqoroh 234). Allah tidak membedakan antara yang
sudah bercampur atau yang belum (An Nisa’ 12). (Kitab ad Dakwah, Syaikh bin
Baz, Juz 1 hal. 160)
10.
Semua pemberian suami yang
dikhususkan untuk istri tidak ada hubungannya dengan harta peninggalan. Jika
ada dari pemberian tersebut pinjaman, maka itu adalah hutang yang harus
dibayarkan mayat seperti hutang hutang lainnya. (Fatwa Lajnah ad Da’imah, Juz
16, no 4724)
11.
Diyat (denda pembunuhan)
dibagikan kepada ahli waris seperti halnya harta peninggalan lainnya. (Fatwa Lajnah
ad Da’imah, Juz 16, no 4912)
12.
Para ahli waris tidak
berhak menerima warisan kecuali setelah dilunasi hutang hutangnya (An Nisa’
11). Jika sudah dibagikan, masing masing ahli waris yang mendapatkan warisan
tersebut wajib mengembalikannya terlebih dahulu. Jika para ahli waris enggan,
an salah satu dari mereka menggunakannya untuk investasi dalam rangka melunasi
hutang mayit maka ini tidak boleh. Jika sudah terlanjur semoga menjadi ijtihad
pihak tersebut dan semoga tidak berdosa. (Fatawa Islamiyah, Ibn Utsaimin, Juz 3
hal. 49)
13.
Wanita meninggal sebelum
menunaikan ibadah haji.
Ø
Jika kaya, atau semasa
hidupnya dianggap mampu, maka pertama wajib dilaksanakan adalah mengupah
seseorang untuk menghajikannya
Ø
Jika miskin atau tidak
mampu, maka tidak wajib dihajikan
Ø
Kemudian dibayar hutangnya,
dipenuhi waisatnya lalu dibagikan hartanya kepada ahli waris
(Al
Lajnah ad Da’imah, dari Kitab Fatawa Islamiyyah, juz 3 hal. 49)
14.
Orang musyrik tidak diwaris
oleh anak anaknya yang muwahid. (Al Lajnah ad Da’imah, dari Kitab Fatawa
Islamiyyah, juz 3 hal. 51)
15.
Berkenaan dengan waria
Ø
Diberikan padanya setengah
bagian laki laki dan setengah bagian wanita
Ø
Diberikan berdasarkan
status yang diyakini atau ditangguhkan pemberiannya sampai dia baligh sehingga
sehingga statusnya jelas.
(Syaikh
ibn Jibrin, Fatawa Islamiyyah juz 3 hal. 54)
16.
Anak anak perempuan saudara
kandung tidak mewarisi warisan paman yang meninggal jika ada pihak laki laki. Keponakan
perempuan tidaklah termasuk ashhabul furudh, tidak juga ashobah, tetapi
termasuk dzawil arham menurut ijma’ ahli ilmi. (Ibn Baz, Fatawa Islamiyah, juz
3 hal. 56)
Sumber :
FATWA – FATWA
TERKINI, Jilid 1, Darul Haq
0 komentar:
Posting Komentar