TASHIH
Bagian 2
Diringkas dari Kitab Pembagian Waris Menurut Islam
Muhammad Ali Ash Shabuni
Agar kita dapat
memahami dan menelusuri rincian pentashihan pokok masalah, maka kita harus
mengetahui nisbahnya (koneksi) dengan keempat istilah perhitungan. Yaitu, at
tamaatsul (kemiripan/ kesamaan), at tadaakhul (saling
terkait / saling bercampur), at tawaafuq (saling bertautan) dan at
tabaayun (berbeda/ saling berjauhan)
Apabila
pokok masalah –harta waris—dalam suatu pembagian waris cocok (sesuai) dengan
jumlah bagian tiap tiap ahli waris yang ada, maka kita tidak perlu menggunakan
cara cara yang berbelit dan memusingkan. Namun bila harta waris tersebut kurang
dari jumlah bagian yang mesti diterima setiap ahli waris, atau jumlah bagian ashabul
furudh melebihi jumlah pokok masalah, maka dalam hal ini memerlukan pentashihan
pokok masalahnya.
v
Tashih dalam bahasa
arab berarti “menghilangkan penyakit”. Sedangkan menurut ulama ilmu faraid
berarti mewujudkan jumlah yang kurang dari bagian setiap ahli waris tanpa
pecahan dalam pembagiannya.
v
At tamaatsul
dalam bahasa arab berarti at
tasyaabuh, yakni sama bentuknya. Sedangkan menurut ulama lmu faraid berarti
sama dalam jumlah dan nilai, yang satu tidak lebih banyak atau lebih sedikit
dari yang lain. Misalnya angka tiga berarti sama dengan tiga, angka lima
sama dengan lima dan seterusnya.
v
At Tadaakhul
dalam bahasa Arab berasal dari kata dakhola, yakni masuk – lawan kata dari
keluar. Sedangkan menurut ulama faraid adalah
pembagian angka yang besar oleh angka yang lebih kecil, sehingga dari
pembagian itu tidak ada lagi angka atau jumlah yang tersisa. Misalnya, angka
delapan (8) dengan angka empat (4), angka delapan belas (18) dengan angka enam
(6), angka duapuluh tujuh (27) dengan angka sembilan (9).
v
At tawaafuq
dalam bahasa Arab berarti ‘bersatu’. Sedangkan menurut istilah ilmu faraid
ialah setiap dua angka yang dapat dibagi angka ketiga sehingga menurut
mereka di antara kedua bilangan itu ada tadaakhul. Misalnya angka 8 dan angka 6
keduanya dapat dibagi oleh angka 2. Angka 12 dengan angka 30 keduanya dapat
dibagi oleh angka 6. Angka 8 dengan 20 sama sama dapat dibagi oleh angka 4,
demikian seterusnya.
v
At tabaayun
dalam bahasa arab berarti tabaa’ud, yakni saling berjauhan atau salaing
berbeda. Sedangkan menurut kalangan ulam faraid ialah setiap bilangan yang
satu dengan lainnya tidak dapat membagi, dan tidak dapat pula dibagi oleh
bilangan lain (ketiga). Misalnya angka 7 dengan angka 4, angka 8 dengan
angka 11, angka 5 dengan angka 9.
Apabila
angka yang besar dibagi angka yang lebih kecil, maka kedua bilangan itu disebut
tadaakhul. Apabila angka yang besar tidak dapat dibagi angka yang
kecil –tetapi dibagi angka yang lain – maka kedua bilangan itu adalah tawaafuq.
Sedangkan apabila suatu angka tidak dapat dibagi oleh bilangan lain, maka
disebut tabaayun. Tetapi apabila kedua bilangan itu sama, maka di
antara kedua bilangan tersebut adalah mutamaatsilan.
Cara
Mentashih Pokok Masalah
Kapan kita dapat atau memungkinkan untuk mentashih
pokok masalah? Dan apa tujuannya? Pada hakikatnya, kalangan ulama faraid
tidak mau menerima permasalahan pembagian waris kecuali dengan angka angka yang
pasti (maksudnya tanpa pecahan). Hal ini dimaksudkan agar dapat mewujudkan
keadilan yang optimal daam pembagian tersebut. Selain itu, untuk mewujudkan
keadilan mereka berusaha mengetahui jumlah bagian yang merupakan hak setiap
ahli waris, sehingga tidak mengurangi atau menambahkan. Hal ini merupakan satu
perhatian yang sangat baik dari para ulama faraid dalam usaha mereka mewujudkan
kemashlahatan yang menyeluruh sebagaimana yang dikehendaki ad din Al Islam.
Cara pentashihan yang biasa dilakukan
ulama faaid seperti berikut :
1.
Melihat bagian setiap
ahli waris dan jumlah perkepalanya. Bila jumlah perkepala setelah dibagi
cocok dan pas dengan jumlah bagian setiap ahli waris yang berhak menerimanya,
maka inilah yang sempurna dan sangat diharapkan. Namun bila jumlah per
kepalanya jauh lebih sedikit dari jumlah bagian ahli waris yang ada – jumlah
pokok masalahnya sudah habis, tetapi ada ahli waris yang belum mendapatkan
bagian—maka kita harus melihat apakah ada kecocokan di antara kedua hal itu
ataukah tidak. Bila ada kesesuaian antara bagian tiap ahli waris dengan jumlah
per kepalanya, dengan cara mengalihkan jumlah per kepala dengan pokok masalah
atau dengan meng-‘aul-kannya. (misalnya, empat anak perempuan, dan bagiannya
2/3 dari 6 berarti 4, maka ada kesamaan. Sebab setiap anak mendapatkan satu).
2.
Adapun bila terjadi mubaayanah
(ada selisih) maka kalikan jumlah per kepalanya dengan pokok masalah atau
dengan meng-‘aul-kannya, maka hasil perkalian itu yang menjadi pokok masalah
sebenarnya. Inilah yang disebut “pentashihan pokok masalah”
oleh kalangan ulama ilmu faraid.
3.
Sedangkan mengenai bagian
untuk mengalikan pokok masalah atau meng-‘aul-kan dengan tujuan mentashih
pokok masalah, oleh ulama faraid disebut dengan juz’us sahm.
Maksudnya, sebagai bagian khusus yang berkaitan dengan setiap bagian pada pokok
masalah.
Contoh masalah
Seseorang wafat
dan meninggalkan empat anak perempuan, ibu, ayah, dan tiga cucu perempuan
keturunan laki laki. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalahnya dari
enam (6). Bagian keempat anak perempuan ialah dua pertiga (2/3) berarti empat
(4) bagian. Sang ayah seperenam berarti satu bagiaa, sang ibu juga seperenam
berarti satu bagian. Sedangkan tiga cucu perempuan dari anak laki laki tidak
mendapatkan bagian (mahjub karena anak perempuan pewaris lebih dari dua orang)
Dalam contoh
tersebut kita lihat jumlah anak perempuan ada empat (4) dan bagian yang mereka
peroleh juga empat. Karena itu tidak lagi memerlukan pentashihan pokok masalah,
sebab bagian yang mesti dibagikan kepada mereka (keempat ana perempuan itu)
tidak lagi memerlukan pecahan pecahan. Sehingga dalam pembagiannya akan pas dan
mudah, setiap anak menerima satu bagian.
Contoh lain yang
at tamatsul, seseorang wafat dan meninggalkan ibu, dua saudara perempuan seibu,
dan empat saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok
masalahnya dari enam (6) keudain di-‘aul-kan menjadi tujuh (7). Bagian ibu
seperenam (1/6) berarti satu bagian. Kemudian bagian kedua saudara perempuan
seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian. Sedangkan bagian keempat saudara
kandung perempuan adalah dua pertiga (2/3) yang berarti empat (4) bagian.
Bila kita
perhatikan baik baik contoh ini, kita lihat bahwa pokok masalahnya tidak
memerlukan pentashihan. Sebab jumlah per kepalanya sesuai dengan jumlah yang
dibagikan. Bagi kedua saudara perempuan seibu dua bagian. Berarti kesesuaian
pembagian tersbut tidak memerlukan pentashihan pokok masalah. Dengan demikian
tahulah kita bahwa contoh masalah tersebut cenderung (bernisbat) pada at
tamaatsul.
Contoh masalah
yang at tawaafuq. Seseorang wafat dan meninggalkan delamapn (8) anak permepuan,
ibu, dan paman kandung. Maka pembagiannya seperti berikut :’ pokok masalahnya
dari enam (6). Bagian kedelapan anak perempuan dua pertiga (2/3) berarti empat
(4) bagian, ibu seperenam(1/6) berarti satu bagian, dan sisanya (satu bagian)
adalah bagian paman kandung sebagai ‘ashobah.
Kita lihat dalam
contoh di atas ada at tawaauq antara jumlah per kepala anak perempuan dengan
jumlah bagian yang mereka peroleh, yaitu dua (2). Angka dua itulah yang menurut
istilah ulama faraid sebagai bagian dari bagian juz’us sahm kemudian bagian
dari bagian itu dikalikan dengan pokok masalah, yakni angka enam (6). Maka 2 x
6 = 12 . itulah tashih masalah.
Misal lain,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, enam saudara kandung perempuan, dan dua
orang saudara laki laki seibu. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok
masalahnya dari enam (6), keudaian di-‘aul-kan menjadi Sembilan (9). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, sedangkan bagian keenam saudara
kandung perempuan dua pertiga (2/3)
berarti empat (4) bagiandan bagian kedua saudara laki laki seibu
sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh di
atas kita lihat ada tawaafuq antara jumlah bagian yang diterima para saudara
kandung perempuan dengan jumlah per kepala mereka, yaitu dua (2). Kemudian kita
ambil separo jumlah per kepala mereka, berarti tiga (3), dan kita kalikan
dengan pokok masalah setelah di-‘aul-kan yakni angka Sembilan (9), berarti 3 x
9 = 27. Hasil dari perkalian itulah yang akhirnya menjadi pentashihan pokok
masalah. Setelah pentashihan maka pembagiannya seperti beriut : suami mendapat
sembilan (9) bagian, keenam saudara kandung perempuan mendapat dua belas bagian
(12), dan kedua saudara laki laki seibu mendapat enam bagian. (9 + 12 + 6 =
27).
Contoh lain,
seseorang wafat dan meninggalkan suami, anak perempuan, tiga cucu perempuan dar
keturunan laki laki, dan saudara kandung laki laki. Maka pembagiannya seperti
berikut : pokok masalahnya dari dua belas (12). Bagian suami seperempat (¼)
berarti tiga (3)bagian, bagian anak perempuan setengah (1/2) berate enam (6)
bagian. Dan bagian cucu perempuan keturunan laki laki seperenam (1/6) sebagai
penyempurna dua pertiga (2/3) berarti 2 bagian, dan bagian saudara kandung laki
laki datu bagian (sisanya) ‘ashobah bin nafsihi. Inilah tablenya :
|
3
|
|
|
12
|
36
|
Suami 1/4
|
3
|
9
|
Anak perempuan ½
|
6
|
18
|
Tiga cucu perempuan keturunan laki laki 1/6
|
2
|
6
|
Saudara kandung laki laki (‘ashobah)
|
1
|
3
|
Berdarkan table tersebut kita lihat antara bagian
cucu perempuan keturunan anak laki laki dengan jumlah per kepala mereka (yakni
2 dengan 3) ada tabaayun (perbedaan), karenanya kita kalikan angka 3 dengan
pokok masalahnya, yakni 3 x 12 = 36, maka angka 36 itu berarti pokok masalah
hasil pentashihan.
Contoh lain, seseorang wafat dan meninggalkan
istri, lima anak perempuan, ayah, ibu, dan saudara kandung laki laki. Maka
bagian masing masing sebagai berikut : pokok masalahnya dari 24, kemudian
di-‘aul-kan menjadi 27. Bagian istri seperdelapan (1/8) = 3, kelima anak
perempuab mendapat bagian dua pertiga (2/3) yang berarti 16, ayah memperoleh
seperenam (1/6) berarti 4, dan ibu mendapat seperenam (1/6) berarti 4,
sedangkan bagian saudara kandung laki laki mahjub (terhalang). Inilah tablenya
:
|
5
|
|
24
|
27
|
135
|
Istri 1/8
|
3
|
15
|
Lima anak perempuan 2/3
|
16
|
80
|
Ayah 1/6
|
4
|
20
|
Ibu 1/6
|
4
|
20
|
Saudara kandung laki laki (mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam table tersebut kita lihat bahwa bagian kelima
anak perempuan tidak bisa dibagi oleh jumlah per kepala mereka. Karenanya di
antara keduanya ada tabaayun (perbedaan). Kemudian kita kalikan pokok
masalahnya setelah di-‘aul-kan (yakni 27) dengan jumlah per kepala mereka,
yakni 27 x 5 = 135. Angka itu merupakan
pokok masalahnya setelah pentashihan. Dan angka lima (5) itulah yang dinamakan
juz’us sahm.
Misal lain,
seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, tujuh anak perempuan, dua
orang nenek, empat saudara kandung laki laki dan saudara laki laki seibu.
Pembagiannya sebagai berikut :
Pokok masalahnya
dari 24. Ketiga istri mendapatkan 1/8 = 3. Tujuh anak perempuan mendapat 2/3
nya = 16, kedua nenek 1/6 nya = 4, dan empat saudara kandung laki laki
(sisanya) yaitu 1 sebagai ‘ashobah. Sedangkan saudara seibu mahjub. Perhatikan
table berikut :
|
28
|
|
|
24
|
672
|
3 istri bagiannya 1/8
|
3
|
84
|
7 anak perempuan 2/3
|
16
|
448
|
2 orang nenek 1/6
|
4
|
112
|
4 sudara kandung laki laki (‘ashobah)
|
1
|
28
|
Saudara laki laki seibu (mahjub)
|
-
|
-
|
Dalam table
tersebut kita lihat bahwa bagian anak perempuan (16) dengan jumlah per kepala
mereka (7) ada perbedaan (tabaayun) begitu juga dengan bagian keempat saudaa
kandung yang hanya satu bagian, dan jumlah per kepala mereka ada perbedaan.
Untuk mentashih pokok masalah pokok masalah dari contoh ini, kita kalikan
jumlah per kepala anak perempuan (yakni 7) dengan jumlah per kepala saudara
kandung (yakni 4), berarti 7 x 4 = 28. Angka tersebut (yakni 28) merupakan
juz’us sahm. Kemudian juz’us sahm tersebut kita kalikan dengan pokok masalahnya
(28 x 24 = 672) hasilnya itulah yang menjadi pokok masalah setelah pentashihan.
Pentashihan seperti ini dapat diterapkan dalam contoh contoh lain.
0 komentar:
Posting Komentar