Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum Air Musta’mal


Hukum Air Musta’mal
            Sisa  air yang jatuh dari anggota wudhu disebut air musta’mal. Telah terjadi ikhtilaf dikalangan ulama tentang hukumnya, yaitu: apakah ia keluar dari status dari air yang suci ataukah tidak?
            Pendapat yang rajih adalah bahwa ia masih tetap sebagai air yang suci lagi mensucikan, selama ia tidak keluar dari status air mutlak atau tercampur dengan najis sehingga merubah salah satu sifatnya.
            Ini adalah madzhab Ali bin Abi Thalib, Ibnu Umar, Abu Umamah, dan segolongan salaf. Ini adalah pendapat yang masyhur dari madzhab Malik, dan salah satu dari dua riwayat dari asy-Syafi’i dan Ahmad. Pendapat ini juga merupakan madzhab Ibnu Hazm, Ibnu al-Mundzir, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam.[1] Pendapat ini didukung dengan dalil sebagai berikut:
1.      Pada asalnya air itu suci dan tidak menjadi najis karena sesuatu pun. Rasulullah saw bersabda:
الماء طهور لاينجسه شيء
Air itu suci, tidak ada sesuatu pun yang dapat membuatnya menjadi najis.”[2]
Kecuali bila berubah salah satu sifatnya, atau ia keluar dari statusnya sebagai air mutlak karena tercampur dengan benda yang suci.
2.      Diriwayatkan dengan shahih bahwa para sahabat biasa menggunakan sisa air wudhu nabi.
·         Diriwayatkan dari Abu Juhaifah, ia berkata, “Rasulullah saw keluar menemui  kami pada siang hari. Kemudian dibawakan air untuk berwudhu lalu beliau berwudhu. Kemudian orang-orang mengambil sisa air wudhu beliau dan mengusap-usapkannya ke tubuh mereka.”[3]
Al-Hafizh rahimahullah dalam Fath al-Bari (I/353) berkata, “Kemungkinan mereka mengambil air yang mengalir dari anggota wudhu beliau, dan dalam hadits ini berisikan dalil yang jelas tentang sucinya air musta’mal.
·         Hadits Miswar bin Makhramah, “Apabila Nabi saw berwudhu, maka para sahahat berebutan mendapatkan sisa wudhu beliau.”[4]
3.      Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, ia berkata, “Dahulu laki-laki dan perempuan berwudhu bersama-sama pada zaman Nabi.”[5]
4.      Diriwayatkan dari Ibnu Abbas ra, Nabi saw pernah mandi dari air sisa Maimunah.
5.      Diriwayatkan dari ar-Rubayyi’ binti Mu’adz, “Nabi saw mengusapa kepala beliau dengan sisa air yang berada di tangannya.”[6]
6.      Ibnu al-Mundzir berkata dalam al-Ausath (I/288), “Dalam ijma’ ulama bahwa sisa air dari anggota tubuh orang yang berwudhu atau mandi dan air yang menetes pada pakaiannya adalah suci, berisikan dalil tentang sucinya air musta’mal. Jika air tersebut suci, maka tidak ada alasan untuk melarang wudhu dengannya tanpa adanya hujjah yang dapat dijadikan pegangan oleh pihak yang menyelisihi pendapat ini.
Sementara segolongan ulama berpendapat, tidak boelh berwudhu dengan air musta’mal. Ini adalah pendapat Imam Malik, al-Auza’i dan asy-Syafi’i—dalam salah satu dari dua riwayat—serta pendapat ashabur ra’yi.[7] Tapi, mereka tidak memiliki dalil yang dapat dipegang. Wallahu a’lam.

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.





[1]  AL-Mughni (I/31)
[2]  Hasan, riwayat Abu Dawud (266)
`               [3]  HR. al-Bukhari (187)
[4]  HR. al-Bukhari (189) 
[5]  Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari
[6]  Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (323)
[7]  Al-Mughni (I/19)

0 komentar:

Posting Komentar