Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Niat Adalah Syarat[1] Sah Wudhu


Niat Adalah Syarat[1] Sah Wudhu
            Disyaratkan untuk sahnya wudhu adalah niat. Yaitu tekad hati untuk melakukan perbuatan wudhu dalam rangka melaksanakan perintah Allah swt dan Rasul-Nya,. Sebagaimana yang berlaku dalam semua ibadah mahdhoh. Allah swt berfirman:

“Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus.”[2]
            Rasulullah saw bersabda:
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ، وَإِنَّمَا لِكُلِّ امْرِئٍ مَا نَوَى
Sesungguhnya amal itu tergantung niatnya, dan setiap orang mendapatkan apa yang diniatkannya.”[3]
Inilah pendapat Malik, asy-Syafi’i, Ahmad, Abu Tsaur, dan Dawud.[4]
            Adapun Abu Hanifah berpendapat, niat bukanlah syarat wudhu,[5] berdasarkan pertimbangan bahwa wudhu adalah ibadah ma’qulah bukan ibadah maqshudah, karena ia menyerupai membersihkan diri dari kotoran. Tapi pendapat jumhur itulah pendapat yang benar. Karena nash telah menunjukkan adanya pahala pada setiapn wudhu, dan tidak ada pahala bagi yang tidak meniatkannya berdasarkan ijma’. Dan karena wudhu adalah ibadah yang tidak diketahui kecuali lewat syari’at, maka niat menjadi syarat baginya.[6]

Niat Letaknya di Hati
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah [7]berkata, “Niat letaknya di hati, bukan di lisan, berdasarkan kesepakatan para ulama kaum Muslimin. Hal ini mencakup seluruh ibadah, seperti thaharah, shalat, zakat, puasa, haji, pembebasan budak, jihad dan lain sebagainya.
Tidak disyaratkannya mengeraskannya dan mengulang-ulanginya. Bahkan siapa saja yang membiasakna hal itu, maka ia harus diberi pelajaran dan diberi hukuman setelah memberitahukan kepadanya. Apalagi jika ia terbebani dan terus mengulang-ulanginya. Orang yang mengeraskan niat adalah orang yang berbuat keburukan. Jika dia meyakininya sebagai ajaran agama dan beribadah kepada Allah dengan melafalkan niat tersebut, maka ia telah berbuat bid’ah. Karena Nabi saw dan para sahabat tidak pernah mengucapkan niat secara mutlak, dan tidak pernah diriwayatkan dari mereka tentang itu. Jika perkara ini disyariatkan, pastilah Allah swt telah menjelaskannya melalui lisan Rasul-Nya. Apalagi tidak ada keperluan untuk melafalkkan niat, karena Allah telah mengetahuinya.[8]
Beberapa Faidah:
1.      Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata, “Seandainya ia mengatakan dengan lisannya sesuatu yang bertentangan dengan apa yang diniatkan dalam hatinya, maka yang menjadi patokan adalah apa yang diniatkannya bukan apa yang diucapkannya. Seandainya ia berkata dengan lisannya, namun tidak ada niat dalam hatinya, maka hal itu tidak sah berdasarkan kesepakatan para imam kaum Muslimin. Karena niat itu sejenis maksud dan tekad.
2.      Jika terkumpul beberapa hadits yang wajib berwudhu darinya (seperti jika dia buang air kecil, lalu buang air besar, kemudian tidur), lalu dia berniat menghilangkan salah satu dari hadats tersebut, maka terangkatlah seluruhnya—menurut pendapat yang shahih—karena hadats adalah salah satu sifat, meskipun sebabnya beragam.[9]
3.      Sebaiknya orang yang berwudhu berniat menghilangkan hadats secara mutlak, guna keluar dari ikhtilaf para ulama mengenai: apakah suatu bentuk niat bisa menggantikan seluruh bentuk niat lainnya (sehingga cukup niat satu saja). Bentuk-bentuk niat tersebut ialah: seseorang berniat untuk menghilangkan suatu hadats, berniat thaharah yang wajib baginya, berniat thaharah untuk sesuatu yang disunnahkan baginya, atau berniat memperbarui wudhu yang disunnahkan.[10]

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.






[1]  Syarat adalah sesuatu  yang ketiadaannya menjadikan sesuatu itu tidak ada, dan keberadaannya tidaklah mengharuskan keberadaan sesuatu itu. Syarat itu mendahului perbuatan dan di luar hakikat perbuatan tersebut.
[2]  Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.
[3]  HR. al-Bukhari (1) dan Muslim (1908)
[4]  Bidayah al-Mujtahid (I/6)
[5]  Bada’I ash-Shana’I (I/20-19)
[6]  Yang semisalnya disebutkan dalam al-Furu’, Ibnu Muflih (I/111)
[7]  Majmu’ah ar-Rasa’il al-Kubra (1/243)
[8]   Zaad al-Ma’ad (I/196)
[9]   Al-Majmu’ (I/385)
[10] Silahkan lihat perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang hal ini dalam al-Majmu’ (I/385) dan halaman-halama berikutnya.   

0 komentar:

Posting Komentar