Hukum
Menjahrkan Bismillah Bagi Imam Pada Shalat Jahriah
Permasalahan ini sudah sangat familiar
di kalangan ahli fikih. Juga termasuk masalah-masalah yang rumit dalam ilmu
fiqih, paling banyak dibicarakan dalam perdebatan dan paling banyak disinggung
dalam tulisan-tulisan.[1]
Kesimpulannya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Disunnahkan untuk men-sirr-kan
bacaan bismillah dalam shalat jahr. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh
madzhab hanabilah dan ashabu ar-ra’yi. Ini juga yang dipilih oleh Syaikhul
Islam Ibnu Taimiyah. Berkata At-Tirmidzi, “ hal yang demikian telah banyak
diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmi dari kalangan sahabat nabi Muhammad saw dan
generasi sesudahnya dari kalangan tabi’in. Diantara mereka adalah Abu Bakr,
Umar bin Khattab, Utsman, dan Ali Radiyallahu ‘anhum. Disebutkan pula oleh Ibnu
al-Mundzir dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu az-Zubeir, Amar radiyallahu ‘anhum.
Demikian pula Al-Auza’I, Ats-Tsauri serta Ibnu Mubarak.[2]
Adapun hujjah-hujjah mereka berpendapat demikian diantaranya:
1.
Hadits Anas radiyallahu ‘anhu,
((أن النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر و عمر
رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب
العلمين))
“Bahwa Nabi saw,
Abu Bakr dan Umar dahulu mereka memulai shalat dengan membaca Alhamdulillahi
rabbil ‘alamin.”[3]
Adapun dalam riwayat Muslim masih
dari Anas radiyallahu ‘anhu,
((صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي
بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحدا منهم
فلم يقرأ بسم الله الرحمن
الرحيم))
“ Aku shalat
bersama dengan Rasulullah saw, Abu Bakr, Umar dan Utsman radiyallahu ‘anhum.
Dan aku belum pernah mendengar salah satu dari mereka yang membaca
bismillahirrahmmaanirrahim."[4]
2.
Firman Allah dalam hadits Qudsi, “Aku membagi
shalat dua bagian, untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia
minta. Jika seorang hamba berkata: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, maka Allah
berkata, hamba-Ku telah memuji-Ku . . .(al-Hadits).[5]
Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mengatakan bahwa pada asalnya basmallah
tidak dibaca dalam shalat.
3.
Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw tidak
mengeraskan basmallah selamanya pada setiap shalat lima, baik siang maupun
malam, baik pada saat bermukim maupun bepergian. Hal itu diketahui oleh
Khulafaur Rasyidin, jumhur sahabat, dan penduduk negrinya pada kurun waktu yang
utama tersebut.[6]
Pendapat kedua: disunnahkan untuk mengeraskannya. Ini adalah pendapat yang
masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i. Hujjah mereka adalah:
1.
Hadits Nu’aim al-Majmar, ia berkata, “Aku shalat
dibelakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanir rahim,
kemudian ia membaca al-Fatihah hingga sampai bacaan: ghoiril maghdhubi’alaihim
wa ladh dhalin, seraya mengucapkan: Amin. Maka orang-orang pun berucap: Amin.
Setiap hendak sujud, dia membaca: Allahu Akbar. Ketika hendak bangkit
dari duduk pada rakaat kedua, dia membaca: Allahu Akbar. Setelah salam,
dia berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya, Sesungguhnya aku telah memperagakan kepada
kalian shalat Rasulullah saw.”[7]
Dalam hadits ini mengandung
kemungkinan bahwa Abu Hurairah memperagakan kepada mereka tentang shalat
Rasulullah saw secara umum, bukan seluruh bagiannya. Apalagi segolongan ahli
hadits meriwayatkan hadits yang senada dari Nu’aim, dari Abu Hurairah, tanpa
menyebut basmalah. Jadi, hadits ini tidak menegaskan bahwa Rasulullah saw
mengeraskan basamalah.
2.
Riwayatkan dari Ibnu Abbas, “Rasulullah saw membuka
shalatnya dengan membaca bismillahir rahmanir rahim.”[8]
Hadits ini dha’if tidak bisa
dijadikan sebagai hujjah. Kemudian hadits ini masih mengandung dua kemungkinan:
beliau melirihkannya atau mengeraskannya.
Pendapat Yang Rajih
Dari riwayat-riwayat diatas kita dapat melihat bahwa tidak
ada satu pun hadits shahih yang secara jelas menunjukkan basmalah dibaca
dengan keras dalam shalat, yang bisa mengimbangi hadits Anas yang menafikan
membaca basmalah dengan suara keras. Berdasarkan hal itu, yang lebih utama
adalah melirihkan bacaan basmalah. “Walaupun demikian, yang benar bahwa apa
yang tidak dikeraskan bacaannya terkadang disyariatkan untuk dikeraskan untuk
kemaslahatan yang dominan. Disyariatkan bagi imam mengeraskan bacaan basmalah
sekali waktu. Misalnya untuk mengajari makmum. Boleh juga seseorang
meninggalkan perkara yang lebih afdhal untuk menyatukan hati dan menyatukan
kalimat, demi menjaga agar manusia tidak lari dari hal-hal yang bermanfaat . .
.”[9]
Juga perlu diketahui bahwa
perselisihan pendapat dalam masalah ini tidaklah runcing. Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata, “Adapun fanatik dalam masalah ini dan masalah yang
sejenisnya, maka ini semua menjadi simbol-simbol perselisihan yang mana kita
dilarang darinya. Padahal masalah ini adalah permaslahan khilafiyah yang ringan
sekali, seandainya bukan karena dorongan setan yang membesar-besarkan
sebab-sebab perpecahan.”[10]
Wallahu a’lam.
Sumber:
o
Kitab Shahih Fiqih Sunnah, jilid 1, karya Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim, jilid I
0 komentar:
Posting Komentar