Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum Menjahrkan Bismillah Bagi Imam Pada Shalat Jahriah


Hukum Menjahrkan Bismillah Bagi Imam Pada Shalat Jahriah
                Permasalahan ini sudah sangat familiar di kalangan ahli fikih. Juga termasuk masalah-masalah yang rumit dalam ilmu fiqih, paling banyak dibicarakan dalam perdebatan dan paling banyak disinggung dalam tulisan-tulisan.[1] Kesimpulannya, ada dua pendapat ulama dalam masalah ini:
Pendapat pertama: Disunnahkan untuk men-sirr-kan bacaan bismillah dalam shalat jahr. Ini adalah pendapat yang dipegang oleh madzhab hanabilah dan ashabu ar-ra’yi. Ini juga yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Berkata At-Tirmidzi, “ hal yang demikian telah banyak diamalkan oleh kebanyakan ahli ilmi dari kalangan sahabat nabi Muhammad saw dan generasi sesudahnya dari kalangan tabi’in. Diantara mereka adalah Abu Bakr, Umar bin Khattab, Utsman, dan Ali Radiyallahu ‘anhum. Disebutkan pula oleh Ibnu al-Mundzir dari Ibnu Mas’ud dan Ibnu az-Zubeir, Amar radiyallahu ‘anhum. Demikian pula Al-Auza’I, Ats-Tsauri serta Ibnu Mubarak.[2] Adapun hujjah-hujjah mereka berpendapat demikian diantaranya:
1.      Hadits Anas radiyallahu ‘anhu,

((أن النبي صلى الله عليه و سلم وأبا بكر و عمر رضي الله عنهما كانوا يفتتحون الصلاة بالحمد لله رب
 العلمين))
“Bahwa Nabi saw, Abu Bakr dan Umar dahulu mereka memulai shalat dengan membaca Alhamdulillahi rabbil ‘alamin.”[3]
Adapun dalam riwayat Muslim masih dari Anas radiyallahu ‘anhu,

((صليت مع رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبي بكر وعمر وعثمان فلم أسمع أحدا منهم
 فلم يقرأ بسم الله الرحمن الرحيم))
“ Aku shalat bersama dengan Rasulullah saw, Abu Bakr, Umar dan Utsman radiyallahu ‘anhum. Dan aku belum pernah mendengar salah satu dari mereka yang membaca bismillahirrahmmaanirrahim."[4]
2.      Firman Allah dalam hadits Qudsi, “Aku membagi shalat dua bagian, untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan untuk hamba-Ku apa yang dia minta. Jika seorang hamba berkata: Alhamdulillahi rabbil ‘alamin, maka Allah berkata, hamba-Ku telah memuji-Ku . . .(al-Hadits).[5] Hadits ini menjadi hujjah bagi orang-orang yang mengatakan bahwa pada asalnya basmallah tidak dibaca dalam shalat.
3.      Tidak diragukan lagi bahwa Rasulullah saw tidak mengeraskan basmallah selamanya pada setiap shalat lima, baik siang maupun malam, baik pada saat bermukim maupun bepergian. Hal itu diketahui oleh Khulafaur Rasyidin, jumhur sahabat, dan penduduk negrinya pada kurun waktu yang utama tersebut.[6]

Pendapat kedua: disunnahkan untuk mengeraskannya. Ini adalah pendapat yang masyhur dalam madzhab asy-Syafi’i. Hujjah mereka adalah:

1.      Hadits Nu’aim al-Majmar, ia berkata, “Aku shalat dibelakang Abu Hurairah, lalu ia membaca bismillahirrahmanir rahim, kemudian ia membaca al-Fatihah hingga sampai bacaan: ghoiril maghdhubi’alaihim wa ladh dhalin, seraya mengucapkan: Amin. Maka orang-orang pun berucap: Amin. Setiap hendak sujud, dia membaca: Allahu Akbar. Ketika hendak bangkit dari duduk pada rakaat kedua, dia membaca: Allahu Akbar. Setelah salam, dia berkata, “Demi Allah yang jiwaku berada di Tangan-Nya,  Sesungguhnya aku telah memperagakan kepada kalian shalat Rasulullah saw.”[7]
Dalam hadits ini mengandung kemungkinan bahwa Abu Hurairah memperagakan kepada mereka tentang shalat Rasulullah saw secara umum, bukan seluruh bagiannya. Apalagi segolongan ahli hadits meriwayatkan hadits yang senada dari Nu’aim, dari Abu Hurairah, tanpa menyebut basmalah. Jadi, hadits ini tidak menegaskan bahwa Rasulullah saw mengeraskan basamalah.
2.      Riwayatkan dari Ibnu Abbas, “Rasulullah saw membuka shalatnya dengan membaca bismillahir rahmanir rahim.”[8]
Hadits ini dha’if tidak bisa dijadikan sebagai hujjah. Kemudian hadits ini masih mengandung dua kemungkinan: beliau melirihkannya atau mengeraskannya.

Pendapat Yang Rajih
Dari riwayat-riwayat diatas kita dapat melihat bahwa tidak ada satu pun hadits shahih yang secara jelas menunjukkan basmalah dibaca dengan keras dalam shalat, yang bisa mengimbangi hadits Anas yang menafikan membaca basmalah dengan suara keras. Berdasarkan hal itu, yang lebih utama adalah melirihkan bacaan basmalah. “Walaupun demikian, yang benar bahwa apa yang tidak dikeraskan bacaannya terkadang disyariatkan untuk dikeraskan untuk kemaslahatan yang dominan. Disyariatkan bagi imam mengeraskan bacaan basmalah sekali waktu. Misalnya untuk mengajari makmum. Boleh juga seseorang meninggalkan perkara yang lebih afdhal untuk menyatukan hati dan menyatukan kalimat, demi menjaga agar manusia tidak lari dari hal-hal yang bermanfaat . . .”[9]
           Juga perlu diketahui bahwa perselisihan pendapat dalam masalah ini tidaklah runcing. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Adapun fanatik dalam masalah ini dan masalah yang sejenisnya, maka ini semua menjadi simbol-simbol perselisihan yang mana kita dilarang darinya. Padahal masalah ini adalah permaslahan khilafiyah yang ringan sekali, seandainya bukan karena dorongan setan yang membesar-besarkan sebab-sebab perpecahan.”[10] Wallahu a’lam.

Sumber:
o    Kitab Shahih Fiqih Sunnah, jilid 1, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I










[1]  Nashb ar-Rayah (I/336)
[2]  Al-Mabsuth (1/15)
[3]  Shahih: dikeluarkan oleh Al-Bukhari No.743
[4]  H.R Muslim No.399
[5]  HR. Muslim (359)
[6]  Zaadul Ma’ad (I/206-207)
[7]  Shahih, diriwayatkan oleh an-Nasa’i (II/134)
[8]  Dha’if, diriwayatkan oleh at-Tirmidzi (254)
[9]    Majmu’ al-Fatawa (XXII)
[10]   Majmu’ al-Fatawa (XXII/405) 

0 komentar:

Posting Komentar