Memilah
yang Halal dari yang Haram
“Katakanlah: "Tidak
sama yang buruk (haram) dengan yang baik (halal), meskipun banyaknya yang buruk
(haram) itu menarik hatimu, Maka bertakwalah kepada Allah Hai orang-orang
berakal, agar kamu mendapat keberuntungan." (QS. Al-Ma’idah: 100)
“Dia halalkan bagi mereka segala yang baik dan
dia haramkan bagi mereka segala yang buruk.” (Al-A’raf:157)
Terkadang orang mengeluhkan hukum syari’at yang telah Allah tetapkan.
Terutama dalam masalah halal dan haram. Ia katakan, “Islam itu menyusahkan,
segala hal yang enak dilarang. Dikit-dikit haram. Dikit-dikit ancaman neraka!”
Padahal jika ia mau jujur melakukan perbandingan pasti Ia tahu bahwa Allah
tidak pernah mengharamkan lebih banyak dari apa yang Dia halalkan.
Coba kita bayangkan, dalam masalah mengkonsumsi daging hewan.
Seseorang mungkin tidak akan dapat menyebutkan jenis hewan yang diharamkan
lebih dari jumlah jari tangannya. Ia mungkin menyebutkan; babi, anjing, tikus,
ular dan katak. Lalu ia tidak tahu lagi apakah masih ada hewan lain yang
diharamkan oleh Allah.
Namun jika ia diminta menyebutkan hewan yang halal
dikonsumsi, maka ia tidak mampu menghitung seluruh nama hewan itu, karena saking
banyaknya. Mulai dari jenis binatang ternak yang berkuku belah hingga unggas.
Dari segala jenis burung dan ikan-ikanan, bahkan juga dari jenis serangga.
Begitu juga dalam masalah konsumsi minuman yang halal dan yang diharamkan.
Tentu jumlah jenis minuman yang halal jauh lebih banyak dibanding jenis minuman
yang diharamkan.
Memang mengenai rejeki yang haram ini Jangan kita bayangkan
bahwa ia hanya terdiri dari benda yang dzatnya sendiri telah diharamkan oleh
Allah. Karena selain itu, Allah juga telah menentukan tata-cara atau jalan
mendapatkan rejeki yang Dia larang dan yang Dia perbolehkan. Misalnya, Allah melarang
praktik riba namun sebagai solusinya Dia perbolehkan transaksi jual-beli yang
jujur. Allah larang pencurian namun dia halalkan untuk menerima hadiah dan
pemberian. Allah melarang budaya suap, namun tidak diharamkan-Nya menerima
sedekah yang tulus. Begitu seterusnya.
Kadang kita mendengar orang yang berkelakar mengatakan, “Cari
yang haram saja susah, apalagi yang halal.” Meskipun kata-kata ini mungkin
hanya merupakan candaan saja. Namun yang perlu dikhawatirkan jika hal ini ternyata
telah menjadi gaya hidup dan cara berfikir yang mendarah daging dan
teraplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
Bisa dibayangkan betapa rusaknya masyarakat, ketika mereka
sudah tidak lagi peduli dari mana ia mengais rejeki. Tidak berfikir apakah ia
mendapatkannya secara halal atau dari jalan yang diharamkan.
Rasulullah sejak jauh-jauh hari telah memberikan peringatan
dan nasehat. Beliau bersabda, “Sesungguhnya Allah adalah Dzat yang Maha Baik,
Ia tidak akan menerima kecuali segala hal yang baik saja. Dan Allah telah
menyuruh orang-orang yang beriman (untuk berlaku) seperti apa yang Dia
perintahkan kepada para rasul dengan firman-Nya “Wahai para rasul, makanlah
dari rizki yang baik (halal) dan lakukanlah amal shalih.” dan Dia juga
berfirman, “Wahai orang-orang yang beriman, makanlah rejeki yang baik (halal)
dari apa yang telah Kami karuniakan.”
Lalu Beliau mempermisalkan bahwa ada seorang musafir yang sedang
bepergian sangat jauh, hingga dia terlihat sangat lusuh, berbalut debu
perjalanan. Lalu ia mengangkat tangannya ke langit seraya berdo’a, memohon dan
merintih, “Ya Rabb, YaRabb ...” Sementara makanan yang ia konsumsi semuanya
haram, minuman yang ia reguk haram, pakaian yang ia kenakan juga haram dan ia
kenyang dengan rejeki yang haram. Lalu beliau berkomentar, “Bagaimana mungkin
Allah akan mengkabulkan do’a orang seperti ini?”
Selain menyebabkan terhalangnya do’a dan tertolaknya ibadah, mengkonsumsi
rejeki yang haram juga mendatangkan murka Allah dan ancaman neraka. Sebagaimana
sabda Nabi, “Setiap anggota badan yang tumbuh dari rejeki yang haram maka ia
lebih berhak menempati neraka.” HR. Thabrani
Karena itulah, kita dapati berbagai kisah keteladanan dari
generasi salaf dalam hal berhati-hati memilih rejeki yang akan dikonsumsi.
Bahkan, dikisahkan bahwa suatu saat ketika sedang lapar, Nabi memungut sebutir
biji kurma di rumah beliau sendiri, lalu ketika beliau sudah hampir mengankatnya
ke mulut, beliau urung memakannya dan bersabda, “Kalau bukan karena khawatir
bahwa kurma ini bagian dari shadaqah, tentu aku sudah memakannya.” Karena
memang harta sedekah haram bagi Nabi dan ahlul bait.
Juga Abu Bakar as-Shiddiq ketika terlanjur memakan satu
suapan roti, yang kemudian diketahuinya berasal dari sumber yang syubhat, maka
beliau berusaha mati-matian memuntahkannya. Dirogohnya tenggorokan, hingga
tersedak namun makanan itu tidak kunjung keluar. maka beliau minum air
sebanyak-banyaknya hingga perutnya penuh dan makanan itu berhasil dimuntahkan
dengan paksa. Lalu beliau mengatakan, “Demi Allah, jika makanan itu tidak mau
keluar kecuali jika nyawaku ikut terenggut, pasti aku tetap akan
mengeluarkannya.”
Itulah keteladanan generasi pendahulu dalam menjaga diri dari
rejeki yang haram. Maka hendaknya kita pun lebih berhati-hati dan tidak
mempermudah masalah. Karena urusan halal dan haram tidaklah sepele.
Sebagian orang berdalih kurang ilmu, susah membedakan antara
yang halal dan yang haram, akhirnya merasa tidak perlu ambil pusing dan
bersikap masa bodoh. Maka sebenarnya Rasulullah sudah memberikan panduan
mengenai hal itu. Beliau bersabda, “Sesungguhnya yang halal itu jelas, dan yang
haram juga sudah jelas. Namun memang diantara
keduanya ada hal-hal yang meragukan, yang hukumnya tidak diketahui
banyak orang. Maka barang siapa menjauhi hal-hal yang meragukan ini, sungguh ia
telah menyelamatkan agama dan kehormatan dirinya. Adapun orang yang
berkecimpung dalam hal-hal yang meragukan, lama-kelamaan ia akan masuk dalam
ranah keharaman.” HR. Bukhari dan Muslim.
Artinya setiap orang yang merasa diri kurang ilmu hendaknya
mencari rujukan dan bertanya kepada orang yang alim agar ditunjukkan hukum
halal-haram yang belum ia ketahui. Hal ini agar ia terhindar dari terperosok
dalam perkara yang haram tanpa ia sadari.
Yang seperti ini perlu kita waspadai. Karena diantara tanda-tanda
akhir zaman yang pernah Rasulullah sebutkan adalah sabda beliau, “Sungguh akan
datang suatu masa, di mana orang pada saat itu tidak lagi mempertimbangkan
dengan apa dia meraih harta, dari jalan yang halal ataupun haram.” HR. Bukhari.
Dan ini tidak diragukan lagi merupakan tanda keburukan akhir zaman. Semoga kita
tidak termasuk golongan yang disebutkan oleh beliau itu. Dan ini patut
diperjuangkan. Tentu saja dengan banyak belajar dan berdo’a. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar