Mewaspadai Thiyarah
Thiyarah
adalah merasa bernasib sial atau meramal nasib buruk karena melihat burung, atau
karena binatang lain ataupun dengan benda yang lainnya. Allah Ta’ala berfirman:
“ Kemudian
apabila datang kepada mereka kemakmuran, mereka berkata: “ Ini adalah karna
usaha kami”, Dan jika mereka di timpa kesusahan mereka melemparkan sebab
kesialan itu kepada Musa dan orang-orang di sekitarnya.” [Q. Al-A’raf:
131]
Ibnu Jarir ath-Thabari rahimahullah berkata: “Allah Azza wa Jalla
menyebutkan bahwa keberuntungan, kemakmuran, keburukan dan bencana yang menimpa kaum Fir’aun serta bencana yang lainnya tidak lain adalah ketetapan Allah yang baik dan yang
buruk, semuanya berasal dari Allah Ta’ala. Tetapi kebanyakan
manusia tidak mengetahuinya sehingga mereka
menuduh Musa Alaihis sallam dan pengikutnya sebagai penyebab bencana tersebut.” [Tafsiir Ibnu Jarir ath-Thabari (VI/30-31)]
Menurut Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin (beliau wafat pada 1421 H) rahimahullah: “Tathayyur adalah menganggap
sial atas apa yang dilihat, didengar, atau yang diketahui. Yang dilihat yaitu seperti, melihat sesuatu yang menakutkan. Yang didengar, seperti mendengar burung gagak, dan yang diketahui seperti mengetahui
tanggal, angka atau bilangan.
Tathayyur menafikan (meniadakan) tauhid dari dua segi:
Pertama, orang yang bertathayyur tidak memiliki rasa tawakkal kepada Allah
Azza wa Jalla dan senantiasa bergantung kepada selain Allah.
Kedua, ia bergantung kepada sesuatu yang tidak ada hakekatnya dan merupakan
sesuatu yang termasuk takhayyul dan keragu-raguan.” [Lihat al-Qaulul Mufiid ‘alaa Kitaabit Tauhiid
(I/559-560)]
Ibnul Qayyim rahimahullah kembali menuturkan: “Orang yang bertathayyur itu
tersiksa jiwanya, sempit dadanya, tidak pernah tenang, buruk akhlaknya, dan
mudah terpengaruh oleh apa yang dilihat dan didengarnya. Mereka menjadi orang
yang paling penakut, paling sempit hidupnya dan paling gelisah jiwanya. Banyak
memelihara dan menjaga hal-hal yang tidak memberi manfaat dan mudharat
kepadanya, tidak sedikit dari mereka yang kehilangan peluang dan kesempatan
(untuk berbuat kebajikan-pent.). [Miftaah Daaris
Sa’aadah (III/273) ta’liq dan takhrij Syaikh ‘Ali Hasan al-Halabi]
Dahulu kala di antara tradisi bangsa Arab adalah, jika salah
seorang dari mereka hendak melakukan sesuatu perkejaan, bepergian misalnya,
maka mereka meramal keberuntunganya dengan burung. Salah seorang dari mereka
memegang burung lalu melepaskanya. Jika burung tersebut terbang ke arah kanan,
maka ia optimis sehinga melanjutkan pekerjaanya, dan begitu sebaliknya, jika
burung tersebut terbang ke arah kiri
maka ia merasa bernasib sial dan mengurungkan pekerjaan yang
diinginkanya.
Begitu
pula pada saat ini, yang mana masih banyak sekali orang-orang yang
mempercayakan nasib mereka dikarenakan
sesuatu hal. Misalnya: kejatuhan cicak yang kemudian ia berkeyakinan ia kan
tertimpa kesialan dikarenakan hal tersebut, begitu pula ketika ia melihat
burung Prenjak yang mana ia berkeyakinan akan datang seorang tamu yang membawa
keberuntungan, ataupun hal lainya yang mana sejatinya tidak dapat memberikan
manfaat dan keburukan walau hanya sedikit.
Nabi
Shallallohu 'alaihi wa Sallam menjelaskan kepada kita tentang hukum perbuatan
tersebut di dalam sabdanya:
“ Thiyarah
adalah syirik.” [HR.Ahmad dalam Shahihul Jami’ No,3955]
Termasuk
dalam kepercayaan yang di haramkan, yang juga menghilangkan kesempurnaan tauhid
adalah merasa bernasib sial dengan bulan-bulan tertentu. Seperti tidak mau melakukan pernikahan pada
bulan Safar yang mana dapat membawa kesialan. Juga kepercayaan bahwa hari Rabu
yang jatuh pada akhir setiab bulan
membawa kemalangan terus – menerus.
Termasuk juga
merasa sial dengan angka 13, nama-nama tertentu atau orang cacat. Misalnya jika
ia pergi membuka tokonya lalu di jalan ia melihat orang buta sebelah matanya,
serta merta ia merasa bernasib sial sehingga ia mengurungkan niat untuk membuka
tokonya. Juga berbagai kepercayaan yang semisal dengan itu.
Semua hal
itu termasuk perbuatan haram dan perbuatan syirik. Rasulullah Shallallohu
'alaihi wa Sallam berlepas diri dari mereka. Sebagaimana disebutkan dalam
hadist yang diriwayatkan Imran bin Husain Radliyallohu 'anhu:
“Tidak termasuk
golongan kami orang yang melakukan atau meminta tathayur, meramal atau meminta
diramalkan (dan saya kira beliau juga
bersabda) dan yang menyihir atau yang meminta disihirkan.” [Hadist
riwayat Thabrani dalam Al-Kabiir, 18/162, lihat Shahihul Jami’, No: 5435]
Sebagaimana
dapat kita saksikan di berbagai media masa tentang banyaknya para tokoh
pemerintahan serta para artis yang mana mereka berkunjung ke suatu tempat untuk
mencari keberuntung agar terhindar dari kesialan, begitu pula mempercayai nasib
dengan tangal lahir yang dicocok-cocokan dengan ramalan bintang dan lain
sebagainya.
Dalam Shahiih Muslim disebutkan, dari Mu’awiyah bin al-Hakam as-Sulami
Radhiyallahu anhu, bahwasanya ia berkata kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi
wa sallam : “Di antara kami ada orang-orang yang bertathayyur.” Lalu beliau
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Itu adalah sesuatu yang akan kalian
temui dalam diri kalian, akan tetapi janganlah engkau jadikan ia sebagai
penghalang bagimu.” [HR. Muslim (no. 537)]
Dengan ini beliau mengabarkan bahwa rasa sial dan nasib malang yang
ditimbulkan dari sikap tathayyur ini hanya pada diri dan keyakinannya, bukan
pada sesuatu yang ditathayyurkan. Maka prasangka, rasa takut dan kemusyrikannya
itulah yang membuatnya bertathayyur dan menghalangi dirinya untuk berbuat
sesuatu yang bermanfaat, bukan apa yang dilihat dan didengarnya.
Pengharaman
thiyarah didasarkan pada beberapa hal:
Pertama, dalam thiyarah terkandung sikap bergantung kepada
selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, sehingga ia membagi
tawakalnya kepada selain Allah. Yang mana sikap tawakal ini adalah hak Allah
semata.
Kedua, thiyarah melahirkan perasaan takut, tidak aman dari
banyak hal dalam diri seseorang, sesuatu yang pada gilirannya menyebabkan
kegoncangan jiwa yang dapat mempengaruhi proses kerjanya sebagai khalifah di
muka bumi.
Ketiga, thiyarah membuka jalan penyebaran khurafat dalam masyarakat dengan jalan
memberikan kemampuan mendatangkan manfaat dan mudharat atau mempengaruhi jalan
hidup manusia kepada berbagai jenis makhluk yang sebenarnya tidak mereka
miliki. Pada gilirannya, itu akan mengantarkan mereka kepada
perbuatan syirik besar.
0 komentar:
Posting Komentar