Kamis, 12 Desember 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category: ,

Najis yang Sering Dijumpai, namun Jarang Dikenali

Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid. Hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).


Pengetahuan tentang najis sangatlah penting bagi seorang muslim, karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh  syari’at.
Namun sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini, walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan serta macam-macamnya secara rinci. Namun terkadang, masih ada di antara kaum Muslim yang salah mengira dan menganggap sesuatu yang najis sebagai sesuatu yang bukan najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Berikut ini adalah sesuatu atau hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis;
1       Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Para ulama bersepakat bahwa madzi itu najis sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Dan dalil yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303) dari hadits ‘Ali radiyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat yakni Miqdad bin Aswad, untuk menanyakan tentang madzi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab: “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” Ibnu Daqiiq al-‘Id rahimahullah mengatakan dalam kitab Ihkamul-Ihkam, “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Syarhul-Muslim.
2.       Wadzi
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejang setelah buang air besar. Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam kitab beliau al-Majmu’­ menukilkan ijma’ bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”
3.       Darah Haidh dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum wanita. Namun mungkin ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau tidak, sementara ini adalah perkara yang sangat penting bagi mereka.
Dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid adalah sebuah hadits dari Asma’ bintu Abu Bakar radiyallahu ‘anha. Beliau menceritakan, “Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya ia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadist shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331, dan Muslim no. 110).
Imam as-Shan’ani rahimahullah di dalam Subulus-salaam setelah membawakan hadits di atas, beliau berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Para ulama pun telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma’ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
4.       Bangkai
Begitupula dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabika kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no.105).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya. Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
a.       Bangkai manusia dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371).
b.      Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta’aalaa: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan dari hasil laut...” (QS. Al-Maidah: 96).
Imam ath-Thabari menukilkan dari Ibnu ‘Abbas tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan “shaidul-bahri” adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan “tha’aamuhu” adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (bangkai).
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus-Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau ash-Shahihah 1/480).
c.       Setiap hewan yang tidak memiliki darah, yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdasarkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah  ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Bukhari no. 3320).
Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusaknya.”
 
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya, khususnya tentang najis agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah ta’aalaa. Wallahu a’lam bish-shawaab..

0 komentar:

Posting Komentar