Selasa, 27 November 2012

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hadits ke-5


Hadits ke-5

عَنْ أبى هريرة رَضي الله عَنْهُ أنَّ رَسُولَ الله صَلَّى اللّه عَلَيْهِ وَسلَّمَ قَالَ: " لا يَبولَنَّ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ الذي لا يَجْرِى، ثُمَّ يَغْتَسِلُ مِنْهُ ".
ولمسلم " لا يَغْتَسِلْ أحَدُكُمْ في الْمَاءِ الدَّائِمِ وَهُوَ جُنُب ".

Artinya : Dari Abu Hurairah Radiyallahu Anhu ia berkata bahwa Rasulullah Saw bersabda : "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kamu kencing dalam air tergenang yang tidak mengalir kemudian dia mandi di dalamnya." Dan dalam riwayat Imam Muslim : "Janganlah seseorang di antara kamu mandi dalam air yang tergenang (tidak mengalir) ketika dalam keadaan junub."

Makna Asing Dalam Hadits :

1.      La yabulanna : “laa” sebagai bentuk kata larangan, adapun fi’il dijazmkan karena mengacu pada pelarangan tersebut. Kemudian difatkhahkan lalu disambung dengan “nun at taukid” sebagai bentuk penekanan dari larangan tersebut.
2.      Yang tidak mengalir : ini adalah tafsiran dari kata “tergenang”  yaitu yang terdiam tidak mengalir dari tempatnya.
3.      Kemudian mandi didalamnya : penggunaan fi’il dengan cara dirafa’kan lebih masyhur, sedangkan kalimat tersebut adalah untuk khobar dan mubtada’nya. Yang mana kedudukannya adalah, “ia mandi darinya”. Sedangkan kalimat mubtada’ dan khabarnya berada dalam keadaan jazm, atau athf terhadap kata “janganlah sekali-kali kencing”
4.      Laa yaghtasil : majzum lafadznya dengan “laa’ an nahiyah/pelarangan”
5.      Dan dia dalam keadaan junub : kalimat yang keadaannya nashb akan tetapi menempati kedudukan sebagai “haal”

Makna Hadits Secara Global :

Nabi telah memberikan larangan agar tidak kencing di dalam air yang menggenang yang tidak mengalir, seperti waduk, kolam air,  dan anak sungai-anak sungai yang terdapat di tanah terbuka.  Juga di sumber air yang mana orang-orang mengambil air darinya. Agar tidak mengotorinya dan membuat mereka membenci hal tersebut. Karena hal-hal yang kotor ini menjadi sebab tersebaranya penyakit yang mematikan.

Sebagaimana beliau juga telah melarang untuk mandi dengan menceburkan badan atau sebagian darinya di dalam air yang tidak mengalir, yang kemudian tidak menyebabkan orang lain benci akan hal tersebut karena telah mengotori yang lainnya. Bahkan beliau tegas dalam pelarangan ini, dan jika keadaan orang yang mandi sedang junub maka larangan ini lebih keras lagi.

Jika keadaan air itu mengalir, maka tidak apa-apa untuk mandi atau kencing di dalamnya. Adapun yang lebih baik adalah menghindari hal tersebut (kencing) karena ketiadaan manfaat padanya karena ditakutkan akan mencemarinya juga membahayakan bagi orang lain.
Perselisihan Para Ulama’ Dalam Hal Ini :
Para ulama’ berbeda pendapat, apakah larangan ini sebagai bentuk keharaman ataukah hanya sebagai suatu hal ayang dibenci?
Kalangan Malikiyah berpendapaat bahwa hal ini sebagai suatu yang dibenci (makruh).
Sedangkan kalangan Hanabilah dan penganut madzhab Dhahiri berpendapat bahwa hal ini sebagai pengharaman
Dan sebagian ulama’ berpendapat bahwa hal ini, haram jika (jumlah airnya) sedikit akan tetapi makruh jika banyak (airnya).
Adapun secara dhahir, pengharaman berlaku jika keadaan air sedikit maupun banyak, akan tetapi dikhususkan dari hal itu air-air yang melimpah menurut kesepakatan para ulama’.
Dan mereka juga berselisih pendapat pada air yang telah dikencingi, apakah air itu tetap suci atau telah bernajis?
Jika keadaan air telah berubah karena najis, maka ijma’ para ulama sepakat bahwa itu najis, sedikit maupun banyak.
Adapun jika tidak berubah karena najis sedangkan airnya itu banyak[1] , maka ijma’ menetapkan bahwa air itu masih suci. Dan jika sedikit dan tidak berubah karena najis, para Ulama’ seperti Abu Hurairah, Ibnu Abbas, Al Hasan Al Bashri, Sa’id Ibnu Musayyib, Imam Ats Tsauri, Abu Dawud, Imam Malik dan Imam Bukhari berpendapat bahwasannya tidak adanya najis dalam keadaan seperti itu. Dan Imam Al Bukhari telah menyebutkan beberapa hadits sebagai bantahan pada siapa yang mengatakan bahwasannya air itu telah bernajis.
Sedangkan Ibnu Umar, Mujahid, Al Hanafiyah, Asy Syafi’iyyah, dan Hanabilah berpendapat bahwasannya air itu bernajis karena air itu telah bersatu/bertemu dengn najis walaupun tidak berubah, meskipun sedikit. Mereka berdalil dengn hadits yang dibahas dalam bab ini, dan itu kesemuanya memungkinkan untuk dibantah.
Golongan pertama dari kelompok ini berdalil dengan banyak dalil, diantaranya adalah apa yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi dan beliau menghasankannya,
" الماء طهور لا ينجسه شيء ".
Air itu suci tidak ada sesuatupun yang menjadikannya najis”
Dan dijawab (oleh kelompok kedua), dengan menggunakan hadits dalam bab ini bahwasananya larangan tersebut sebagai bentuk kemakruhannya dari orang yang mengambil airnya dan juga orang-orang yang melewatinya dan bukannya dikarenakan airnya bernajis. Adapun yang benar adalah apa yang diungkapkan oleh golongan pertama, karena kadar ukuran najisnya air adalah karena berubahnya air dengan najis, baik airnya sedikit maupun banyak.
Dan inilah pendapaat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah Rahimahullah.
Dan dengan ini kita mengetahui bahwa yang rajih yaitu, sucinya air yang telah digunakan untuk mandi orang yang junub walaupun sedikit. Berbeda dengan pendapat yang masyhur di kalangan madzhab kita, juga Madzhab Asy Syafi’i, bahwasannya mandi menghilangkan sifat kesucian air, selama jumlahnya sedikit.
Apa-Apa Yang Bisa Diambil Dari Hadits
1.      Larangan dari kencing di air yang tidak mengalir beserta keharamannya, dan yang lebih diharamkan yaitu buang air besar didalamnya baik itu airnya sedikit maupun banyak. Kecuali air yang sangat melimpah, karena airnya tidak ternajisi hanya dikarenakan bertemu dengan barang yang bernajis. Akan tetapi air itu tetap bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan orang banyak selain untuk bersuci dari hadats.
2.      Larangan untuk mandi pada air yang menggenang dengan cara menceburkan diri di dalamnya, tidak terkecuali orang yang sedang junub walaupun tidak kencing di dalamnya sebagaimana dalam riwayat  Imam Muslim. Dan yang utama adalah benar-benar memperhatikannya dengan seksama.
3.      Hal diatas dibolehkan di air yang mengalir, adapun yang lebih utama adalah menghindarinya.
4.      Larangan terhadap segala sesuatu (yang merugikan), dikarenakan suatu yang dilarang itu menimbulkan bahaya dan kerugian.
5.      Dalam sebagian riwayat hadits disebutkan, “kemudian mandi darinya” dan juga pada riwayat lain, “kemudian mandi didalamnya”. Kedua makna ini bertentangan, dikarenakan “didalamnya”, dengan begitu hal ini berarti meniadakan penceburan diri dalam air yang telah terkena air kencing. Dan adapun kata “darinya”,  sebagai bentuk keikutsertaan yang mana menghilangkan makna kehati-hatian padanya. Maka dari itu Al Hafidz Ibnu Hajar Al Atsqolani telah menyebutkan bahwa riwayat yang menyebutkan “didalamnya” menunjukkan arti boleh menceburkan diri, dengan nash. Dan larangan makna melakukannya dengan mengambil kesimpulan darinya. Dan penyebutan riwayat “darinya” adalah kebalikannya.
Wallahu A’lam Bis Shawwab
Sumber : Taisirul ‘Alam Syarh Umdatul Ahkam, Al Bassam hal 5-7 (Asy Syamilah)



[1] Para ulama’ dalam menentukan sedikit maupun banyak, berbeda pendapat dalam kadar ukurannya.

0 komentar:

Posting Komentar