Syarh Matan Aqidah Thahawiyah 91-96
- وَيَمْلِكُ كُلَّ شَيْءٍ وَلَا يَمْلِكُهُ شَيْءٌ وَلَا غنى
عن الله تَعَالَى
طَرْفَةَ عَيْنٍ وَمَنِ اسْتَغْنَى عَنِ اللَّهِ طَرْفَةَ
عَيْنٍ فَقَدْ كَفَرَ
وَصَارَ مِنْ أَهْلِ الحين
_________
_________
Artinya: “Allah memiliki segala sesuatu, dan
Dia tidak dimiliki oleh sesuatu pun. Dan walaupun sekejap mata, tidak mungkin
bagi makhluk untuk tidak membutuhkan Allah. Dan barangsiapa yang merasa tidak
membutuhkan Allah walaupun sekejap mata, maka dia telah kafir dan dia termasuk
di antara orang-orang yang binasa.”
(تبارك الذي بيده الملك وهو على كل شيء قدير) [الملك:1]
(له ملك السموات والأرض)
[الحديد:2]
Tidak ada sesuatu pun yang luput dari kekuasaan-Nya, dan sejatinya
tidaklah manusia itu memiliki sesuatu pun bahkan mereka sendiri adalah milik
Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
(قل اللهم مالك الملك تؤتي الملك من تشاء وتنزع
الملك ممن تشاء وتعز من تشاء وتذل من تشاء بيدك الخير إنك على كل شيء قدير) [آل
عمران:26]
Sesungguhnya
hanya Dia sajalah yang mengatur seluruh perkara dan menjalankannya atas kehendak
hikmat-Nya Azza wa Jalla. Allah Ta’ala Dia lah Yang Maha Kaya lagi Maha
Terpuji, sedangkan setiap dari makhluk-Nya seluruhnya butuh kepada Allah Ta’ala
dan tidak mungkin ada satupun dari makhluk-Nya yang tidak butuh kepada-Nya
Subhanahu wa Ta’ala. Allah Ta’ala berfirman:
(يا
أيها الناس أنتم الفقراء إلى الله والله هو الغني الحميد) [فاطر:15]
Sehingga
tidak ada satupun dari makhluk-Nya yang tidak butuh kepada Allah walaupun seorang
itu mempunyai kekuasaan di dunia namun tetap tidak ada satupun makhluk bahkan
seluruh penguasa bahkan seluruh pemilik kekayaan yang ada mereka semua tidak
bisa terlepas dari kebutuhan kepada Allah Ta’ala, bahkan tidak pula dengan para
Malaikat makhluk yang paling dekat dengan Ar-Rahman apalagi makhluk yang selain
dari jenis mereka. Dan bagi siapa saja yang mengklaim bahwasanya dirinya dengan
sangat yakin bisa terlepas dari ketergantungan kepada Allah atau secara
kesadaran penuh tidak lagi butuh kepada Allah, maka dirinya telah kafir keluar
dari Dinul Islam. Maka sudah menjadi kewajiban bagi seorang hamba untuk tetap
mengadu atas kelemahan dirinya kepada Allah serta tidak ujub/bangga atas
kenikmatan yang dimilikinya berupa kekuatan, kesehatan dan kekayaan dihadapan
Allah Subhanahu wa Ta’ala karena segala urusan, segala perkara mutlak berada di
Tangan Allah Ta’ala sehingga tidak mungkin ada satu makhluk pun yang mampu
untuk bisa berlepas dari butuh kepada Allah.
92 - وَاللَّهُ يَغْضَبُ وَيَرْضَى لَا كَأَحَدٍ مِنَ الْوَرَى
_________
_________
Artinya: “ Allah marah dan ridha, (tapi) tidak
seperti (marah dan ridha-Nya) seseorang dari makhluk.”
Diantara
sifat fi’liyah Allah Ta’la bahwasanya Allah marah dan ridha hal ini sebagaimana
ditunjukkan secara shorih oleh beberapa nash bahwasanya Allah juga marah dan
Allah juga ridha, semisal Allah berfirman:
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ
(Al-Maidah:119/At-Taubah:100/Al-Fath:18/Al-Mujadilah:22/Al-Bayyinah:8)
Allah juga menyebutkan:
مَنْ لَعَنَهُ اللَّهُ وَغَضِبَ عَلَيْهِ(Al-Maidah:60)
وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ(An-Nisa’:93)
Sehingga
dari ayat-ayat tersebutlah Ahlus Sunnah berkeyakinan dan menetapkan sifat Murka
dan Ridha bagi Allah Azza wa Jalla, dan masih banyak ayat maupun nash-nash yang
menyebutkan hal tersebut. Ahlus Sunnah berkeyakinan dan menetapkan sifat
fi'liyah ikhtiyariyah bagi Allah yang terkait dengan masyiah dan qudrah-Nya
termasuk di dalamnya adalah sifat murka dan ridla ini. Sementara karena dalam
hal ini banyak sekali kelompok-kelompok menyimpang yang menyelesihi Ahlus
Sunnah apakah karena mereka menafikannya atau malah memahaminya dengan ekstrem.
Akan
tetapi Ahlus Sunnah tetap mengambil pondasi awal yang telah baku digunakan
sebagai acuan dalam menetapkan dan memposisikan kedudukan Asma’ wa Sifat, yaitu
yang dinukil dari firman-Nya:
{لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ
الْبَصِيرُ}[الشورى:11]
Maka
cukup sebagai penyanggah sebagaimana pada pembahasan-pembahasan yang telah lalu
bagi kelompok-kelompok yang menyimpang lagi menyelesihi Ahlus Sunnah terutama
dalam permasalahan Asma’ wa Sifat ini.
93 - وَنُحِبُّ أَصْحَابَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّم َ وَلَا نُفَرِّطُ فِي حُبِّ أَحَدٍ مِنْهُمْ وَلَا نَتَبَرَّأُ مِنْ
أَحَدٍ مِنْهُمْ وَنُبْغِضُ مَنْ يُبْغِضُهُمْ وبغير الخير يذكرهم، ولا نذكرهم إلا بخير. وحبهم
دين وإيمان وإحسان، وبغضهم كفر ونفاق وطغيان.
_________
_________
Artinya: “Dan kami mencintai para sahabat
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. Dan kami tidak berlebihan (ifrath)
dalam mencintai seseorang di antara mereka. Kami tidak bara’ (bersikap anti)
terhadap salah seorang dari mereka, dan kami membenci kepada orang yang membenci mereka (para
sahabat) karena dia (yang membenci para sahabat) menyebut-nyebut tentang mereka
kecuali dengan kebaikan. Menicintai mereka (Para sahabat Nabi) adalah agama,
iman dan ihsan, dan membenci mereka adalah suatu kekufuran, kemunafikan dan
kezhaliman.”
As-Shohaby
adalah orang yang bertemu dengan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan
dia seorang yang beriman yang meninggal di atas keimanannya itu. Maka bagi
orang yang meskipun dia beriman dan hidup sezaman dengan Rasulullah namun belum
sempat bertemu dengan beliau shallallahu alaihi wasallam, tidak bisa dikatakan
sebagai seorang sahabat, semisal raja Habasyah Najasyi. Selain itu sebagai
syaratnya juga ialah beriman dan meninggal di atas keimanannya, sehingga kemurtadan
dan meninggal di dalam keadaan murtad membatalkan suhbah/persahabatannya juga
seluruh amal-amalnya.
Para
sahabat Rasulullah adalah sebaik-baik masa dan generasi setelah para Anbiya'
dan Rusul, disebabkan pertemuan mereka dengan al-Musthafa 'alaihis sholatu was
salam mereka beriman kepadanya, berjihad bersamanya, mengambil ilmu langsung
darinya dan mereka pun dicintai oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
sehingga Allah pun memilih mereka sebagai sahabat yang menyertai Nabi-Nya. Allah Ta’ala berfirman:
(لقد
رضي الله عن المؤمنين إذ يبايعونك تحت الشجرة فعلم ما في قلوبهم فأنزل السكينة
عليهم وأثابهم فتحاً قريباً) [الفتح:18[
(محمد
رسول الله والذين معه أشداء على الكفار رحماء بينهم تراهم ركعاً سجداً يبتغون
فضلاً من الله ورضواناً سيماهم في وجههم من أثر السجود ذلك مثلهم في التوراة
ومثلهم في الإنجيل كزرع أخرج شطئه فآزره فاستغلظ فاستوى على سوقه يعجب الزراع ليغظ
بهم الكفار وعد الله الذي آمنوا وعملوا الصالحات منهم مغفرة وأجراً عظيماً)
[الفتح:29]
Merekalah
sebaik-baik generasi karena keutamaan shuhbah/persahabatan mereka dengan
Rasulullah, mencintai mereka adalah keimanan sedang membenci mereka adalah
kemunafikan.
Orang-orang
Nawashib, mereka berwala' kepada para sahabat akan tetapi mereka juga menaruh
kebencian kepada Ahlul Bait Nabi shallallahu alaihi wasallam, yang mana dengan
itulah mereka dinamakan dengan 'Nawashib' yakni karena mereka
menashbkan/mencanangkan permusuhan kepada Ahlul Bait Nabi shallallahu alaihi
wasallam.
Sementara
orang-orang Rafidlah, mereka kebalikan dari Nawashib yang mana mereka ini memberikan
wala' kepada 'Ahlul Bait' sebagaimana yang mereka klaim, tetapi mereka membenci
para sahabat yang lain, mereka melaknat para sahabat, mereka kafirkan dan
mereka caci maki, wali'iyadlu billah.
Ahlus
Sunnah wal Jama'ah konsep dan aqidah yang mereka yakini adalah dengan memuji
semua orang yang telah dikategorikan sebagai sahabat Nabi dengan mencintai
mereka sesuai kadar yang ditentukan syar'i tidak ifrath yakni berlebih-lebihan
atau melampaui batas ghuluw tapi tidak juga tafrith/kendor sampai kadar mencela
mereka mencaci mereka atau mungkin dengan jalan berbara' dari mereka atau juga
mungkin dengan tidak mengakui akan keadalahan setiap individual dari
masing-masing mereka seluruhnya.
94 - وَنُثْبِتُ الْخِلَافَةَ بَعْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم َ أَوَّلًا لِأَبِي بَكْرٍ الصِّدِّيقِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْه
تفضيلا له وتقديما على جميع الأمة ثُمَّ لِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ رَضِيَ اللَّهُ
عَنْه ثم لعثمان رَضِيَ اللَّهُ عَنْه ثُمَّ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ رَضِيَ
اللَّهُ عَنْه وهم الخلفاء الراشدون والأئمة المهديون
_________
_________
Artinya: “Kami menetapkan kekhalifahan setelah
Nabi shallallahu alaihi wasallam, pertama, untuk Abu Bakar ash-shiddiq
radliyallahu anhu, mengutamakan dan mendahulukannya dari semua umat ini,
kemudian untuk Umar bin Khattab, kemudian untuk Utsman, kemudian untuk Ali bin
Abi Thalib. Mereka adalah Khulafaur Rasyidin (para pengganti Rasulullah yang
bijaksana) dan para pemimpin yang mendapat petunjuk.”
Umat
Islam tidaklah mungkin bisa konsis tanpa ada pengawalan kekhilafahan,
sampai-sampai ada beberapa ulama' yang mengatakan: 60 tahun hidup dengan Imam
yang dholim lebih baik daripada semalam tanpa imam. Syaikhul Islam pernah
mengatakan: Termasuk kemaslahatan yang sangat besar; menegakkan hudud, menengahi
antara pihak yang didholimi dengan pihak yang dhollim, menyalurkan hak-hak
kepada yang berhak, menindak para pelanggar hukum, menjaga stabilitas keamanan
agar orang-orang bisa merasa aman terhadap darah mereka, harta mereka dan
isteri-isteri mereka.
Bagi
Ahlus Sunnah sendiri telah mentapkan dan telah menjadi ijma' bahwa kekhalifahan
yang sah yang paling pertama ada setelah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
adalah khalifah Abu Bakar ash-Shiddiq, bahkan kelompok-kelompok yang lainnya pun
juga bersepakat akan hal ini, Khowarij,
Mu'tazilah, Asya'irah, Maturidiyah, dan firqah-firqah lainnya kecuali
Ar-Rafidlah. Hanya saja mereka berselisih tentang pengambilan dan
pengangkatannya bahkan di antara kalangan Ahlus Sunnah sendiri apakah
kekhilafahannya ditetapkan menggunakan nash yang shorih ataukah dengan nash
yang ghoiru shorih/khofi ataukah pengangkatannya ditetapkan melalui pemilihan
dan kesepakatan para sahabat?.
Kemudian
setelah Abu Bakar adalah Umar bin Khattab paling utama setelah Abu Bakar di
dalam umat ini, begitu juga di dalam permasalahan khilafah, umat pun telah
berijma' bahwa khalifah kedua pengganti Abu Bakar adalah Umar bin Khattab
radliyallahu anhu. Pengangkatannya pun ditetapkan melalui wasiat dari Abu
Bakar, yakni dengan adanya mandat langsung dari Abu Bakar untuk mengangkat Umar
bin Khattab sebagai khalifah setelahnya, sehingga dalam permasalahan ini tidak
ada perbedaan yang terjadi di antara umat Islam.
Sedangkan
khalifah ketiga pengganti Umar bin Khattab adalah Utsman bin Affan yang
diangkat melalui sistem pemilihan, yakni ketika Umar bin Khattab merasa akan
semakin dekatnya ajalnya radliyallahu anhu dia berkata, "Kalaulah aku
mewasiatkan Abu Bakar pun telah berwasiat, dan kalaupun aku tinggalkan begitu
saja Nabi shallallahu alaihi wasallam pun telah meninggalkan
(kekhilafahan)" kemudian beliau pun membuat syura yang terdiri dari 6
orang yang kepada merekalah beliau serahkan urusan pengangkatan khalifah, dan
dari syura tersebut keluarlah keputusan untuk mengangkat yang paling mulia di
antara mereka yaitu Utsman bin Affan radliyallahu anhu. Sehingga kekhilafahan Utsman ditetapkan melalui
kesepakatan para anggota Ahlu Syura yaitu enam orang yang termasuk kedalam
sepuluh yang dijamin surga oleh Rasulullah.
Ahlus
Sunnah menetapkan kekhilafahan setelah Utsman kepada Ali bin Abi Thalib
radliyallahu anhu, walaupun terjadi banyak perselisihan tentang pengangkatannya
bahkan ada sebagian kalangan yang berpendapat bahwa kaum Muslimin belum
berijma' dalam pengangkatan Ali - walaupun beliau lah yang paling berhak jika
ditinjau dari berbagai aspek - dikarenakan setelah peristiwa pembunuhan Utsman
terjadi perbedaan dikalangan para sahabat, Mu'awiyah radliyallahu anhu berdiri
menjadi satu pihak, sementara Ali ada di pihak yang lain. Ali bin Abi Thalib kekhilafahannya ditetapkan melalui
proses pemilihan oleh Ahlul Hall wal 'Aqd di kota Madinah, mereka memilih
beliau karena beliaulah yang mereka pandang paling utama setelah Utsman bin
Affan, dan jika memang beliaulah yang paling utama setelah Utsman maka
beliaulah yang paling berhak untuk memimpin dan menjadi khalifah.
Jadi
kekhilafahan Ali - walaupun belum terjadi ijma' di kalangan sahabat pada waktu
itu - tetap sah dan berlaku berdasarkan bai'ah yang diberikan oleh para anggota
Ahlul Hall wal 'Aqd yang berada di kota Madinah kepada beliau radliyallahu
'anhu. Karena kepada Ahlul Hall wal 'Aqd inilah permasalahan bai'at,
kepemimpinan waliyul amr dan kekhilafahan dikembalikan (untuk diambil keputusan
diantara mereka kemudian menjadi ketetapan yang berlaku bagi kaum muslimin), dan
selain dari mereka untuk menerima ketika telah diambil keputusan dan tidak
boleh untuk menyeberangi bahkan menyalahi ketetapan tersebut inilah madzhab
yang lurus yang dipilih oleh Ahlus Sunnah wal Jama'ah.
Dan
dalam keyakinan Ahlus Sunnah bahwa urutan kekhilafahan yang ada tersebut juga
menunjukkan urutan keutamaan diantara empat khalifah tersebut, akan tetapi ada
beberapa kalangan yang lebih mengedepankan keutamaan Ali daripada Utsman dan
mereka katakan bahwa pengedepanan Utsman daripada Ali dalam hal kekhilafahan
tidaklah pada aspek keafdhalan hanya menunjukkan keurutan kekhilafahan yang
sah. Akan tetapi tetap i'tiqad yang dipegang oleh Ahlus sunnah adalah
mengutamakan Utsman daripada Ali dari sisi kekhilafahan dan dari sisi
keutamaan, sebagaimana yang dikatakan oleh Abdurrahman bin Auf yang kemudian
dikatakan juga oleh Ayyub As-Sikhtiyani:
مَن لم يقدم عثمان على
عليّ فقد أزرى بالمهاجرين والأنصار يعني احتقرهم؛ لأن المهاجرين والأنصار أجمعوا
على بيعة عثمان وتقديمه في الخلافة[1]
Ibnu Umar pun pernah meriwayatkan seperti yang tercantum di dalam
Shahihain:
كنا نقول ورسول الله صلى
الله عليه وسلم حي: أبو بكر ثم عمر ثم عثمان فيبلغ النبي صلى الله عليه وسلم فلا
ينكر[2]
Telah
menjadi ketetapan bahwa Al-Khulafa' Ar-Rasyidun sebagaimana yang telah dipahami
dan diyakini oleh Ahlus Sunnah dan telah dijelaskan dalam matan di atas sesuai
urutannya yaitu; Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan
Ali bin Abi Thalib, dan dari sinilah bisa ditafsirkan perintah Nabi untuk
mengikuti sunnah khulafa' rasyidin sebagaimana dalam hadits.
95
- وَأَنَّ الْعَشَرَةَ الَّذِينَ سَمَّاهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَبَشَّرَهُمْ بِالْجَنَّةِ نَشْهَدُ لَهُمْ بِالْجَنَّةِ
عَلَى مَا شَهِدَ لَهُمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم َ
وَقَوْلُهُ الْحَقُّ وَهُمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَعُثْمَانُ علي وطلحة والزبير
وَسَعْدٌ وَسَعِيدٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَأَبُو عبيدة الْجَرَّاحِ وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهم أجمعين
وَسَعْدٌ وَسَعِيدٌ وَعَبْدُ الرَّحْمَنِ بْنُ عَوْفٍ وَأَبُو عبيدة الْجَرَّاحِ وَهُوَ أَمِينُ هَذِهِ الْأُمَّةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهم أجمعين
_________
Artinya: “Dan bahwasanya sepuluh orang yang disebutkan langsung nama-nama
mereka oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan beliau berikan kabar
gembira dengan surga, adalah benar sebagaimana yang dipersaksikan oleh
Rasulullah dan sabda beliau adalah benar adanya, mereka ialah: Abu Bakar, Umar,
Utsman, Ali, Thalhah, Az-Zubair, Sa’ad , Sa’id , Abdurrahman bin Auf, Abu
Ubaidah bin Al-Jarrah kepercayaan umat ini, semoga Allah meridhai mereka semua.”
Inilah sepuluh
orang yang dipersaksikan oleh Rasulullah bagi mereka surga, empat diantaranya
adalah khulafaru rasyidin sebagaimana yang telah lalu pembahasannya tentang
keutamaan-keutamaan mereka, enam selain daripada mereka yaitu, Thalhah bin
Ubaidillah, Zubair bin Awwam, Sa'ad bin Abi Waqash, Sa'id bin Zaid, Abdurrahman
bin Auf dan Abu Ubaidah bin Jarrah radliyallahu 'anhum.
عن
عبد الرحمن بن عوف، قال: قال النبي صلى الله عليه وسلم: "عشرة في الجنة: أبو
بكر في الجنة، وعمر في الجنة، وعثمان في الجنة، وعلي في الجنة، والزبير في الجنة،
وطلحة في الجنة، وابن عوف في الجنة، وسعد في الجنة، وسعيد بن زيد في الجنة، وأبو
عبيدة بن الجراح في الجنة"[3]
Ahlus Sunnah
meyakini bagi siapa saja yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam
mensaksikan surga baginya maka kita saksikan baginya surga dan bagi siapa yang
tidak Rasulullah saksikan surga baginya kita pun tidak saksikan baginya. Ahlus
Sunnah memberikan persaksian surga bagi keumuman kaum muslimin akan tetapi
tentang penentuan individu per individu mereka bertawaqquf dan tidak
mempersaksikan. Karena sebagian dari beberapa kelompok yang menyimpang tidak
menerima ketetapan yang dari Rasulullah ini, semisal rafidlah sangat menolak
hal ini bahkan sangat membenci mereka-mereka yang termasuk ke dalam sepuluh
orang tersebut kecuali Ali bin Abi Thalib radliyallahu anhu, begitu juga
kalangan khawarij yang sebagian besar dari mereka telah berbara'/berlepas diri
dari sebagian sepuluh orang tersebut, yang kemudian mereka berkeyakinan tidak
sah dan tidak boleh mempersaksikan surga bagi orang-orang tersebut.
Dan bukan
berarti penyebutan sepuluh orang tersebut di dalam sabda beliau shallallahu
alaihi wasallam adalah suatu bentuk pembatasan kabar gembira yang beliau
berikan khusus hanya kepada mereka ini saja lalu beliau tidak memberikan kabar
gembira akan surga kepada yang lain secara individu, akan tetapi beliau
shallallahu alaihi wasallam juga telah menta'yin/menetapkan secara personal
beberapa orang bahkan dalam jumlah yang sangat banyak sebagai ahlul jannah
sebagaimana yang disebutkan di dalam riwayat-riwayat shahih dari Nabi
shallallahu alaihi wasallam. Semisal Rasulullah telah memberikan kabar gembira
tentang surga kepada Khadijah, Aisyah, Bilal bin Rabbah, begitu juga Ukasyah
bin Muhshan dan beberapa sahabat yang lainnya, selain itu penyebutan sepuluh
orang oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tersebut langsung di dalam
satu riwayat hadits, ini menunjukkan keutamaan yang dimiliki masing-masing
sahabat tersebut lebih daripada dibandingkan dengan sahabat yang lainnya bahkan
di atas umat beliau shallallahu alaihi wasallam.
96
- وَمَنْ أَحْسَنَ الْقَوْلَ فِي أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّم َ وَأَزْوَاجِهِ الطَّاهِرَاتِ مِنْ كُلِّ دَنَسٍ
وَذُرِّيَّاتِهِ الْمُقَدَّسِينَ مِنْ كُلِّ رِجْسٍ فَقَدَ بَرِئَ مِنَ النِّفَاقِ
_________
Artinya: “Barang siapa yang berkata baik tentang para sahabat Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam, para isteri beliau yang suci dari segala perbuatan
keji, dan keturunan beliau yang suci dari segala perbuatan kotor; maka orang
tersebut terbebas dari kemunafikan.”
Seperti yang
disebutkan dalam matan tersebut, bahwa standarisasi seorang antara Ahlus Sunnah
dan Rafidlah ataukah Khawarij ataukah Zaidiyah salah satunya adalah dilihat
dari pernyataan dan perkataan mereka terhadap para sahabat begitu juga Ahlul
Bait Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, karena dalam mencela mereka
terdapat tanda-tanda kemunafikan, karena Ahlus Sunnah wal Jama'ah tidaklah
berkata, tidaklah mengeluarkan pernyataan tentang para sahabat dan Ahlul Bait
Nabi kecuali adalah tentang keutamaan mereka, kebaikan mereka seraya tidak
menghujat mereka.
Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam pernah bersabda dalam suatu riwayat hadits yang
diriwayatkan oleh sahabat Zaid bin Arqam dan banyak dikenal dengan nama hadits
‘Ghadir Khum’ :
ثُمَّ قَالَ
قَامَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَوْمًا فِينَا خَطِيبًا بِمَاءٍ
يُدْعَى خُمًّا بَيْنَ مَكَّةَ وَالْمَدِينَةِ فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى
عَلَيْهِ وَوَعَظَ وَذَكَّرَ ثُمَّ قَالَ « أَمَّا بَعْدُ أَلاَ أَيُّهَا النَّاسُ
فَإِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ يُوشِكُ أَنْ يَأْتِىَ رَسُولُ رَبِّى فَأُجِيبَ وَأَنَا
تَارِكٌ فِيكُمْ ثَقَلَيْنِ أَوَّلُهُمَا كِتَابُ اللَّهِ فِيهِ الْهُدَى
وَالنُّورُ فَخُذُوا بِكِتَابِ اللَّهِ وَاسْتَمْسِكُوا بِهِ ». فَحَثَّ عَلَى
كِتَابِ اللَّهِ وَرَغَّبَ فِيهِ ثُمَّ قَالَ « وَأَهْلُ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ
اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى
أُذَكِّرُكُمُ اللَّهَ فِى أَهْلِ بَيْتِى ».[4]
Dari hadits
tersebut kalangan syi’ah sering menjadikannya sebagai landasan dan hujjah demi
menguatkan atau membenarkan madzhab ‘ahlul bait’ versi mereka, yang mana mereka
membatasi dan mengecualikan ahlul bait hanya kepada Ali, Fatimah, Hasan dan
Husein lalu menafikan isteri-isteri beliau shallallahu ‘alaihi wasallam yang
lain begitu juga keluarga dari paman-paman beliau yang lain. Sebagai
indikasinya hal ini salah satunya disebabkan karena mereka hanya mengambil
redaksi dari riwayat tersebut sepotong itupun yang menguntungkan menurut mereka
dan menyembunyikan sepotong yang lain. Bagaimana tidak andaikata mereka adil
dalam menukil riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim pastilah hujjah yang
mereka jadikan landasan untuk membatasi ahlul bait hanya kepada Ali, Fatimah,
Hasan dan Husein dan meniadakan dari keluarga beliau yang lain, pasti terbantah
sudahlah pendapat dan analisa yang mereka ada-adakan tersebut karena disebutkan
diakhir riwayat tersebut.
فَقَالَ لَهُ حُصَيْنٌ
وَمَنْ أَهْلُ بَيْتِهِ يَا زَيْدُ أَلَيْسَ نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ قَالَ
نِسَاؤُهُ مِنْ أَهْلِ بَيْتِهِ وَلَكِنْ أَهْلُ بَيْتِهِ مَنْ حُرِمَ الصَّدَقَةَ
بَعْدَهُ. قَالَ وَمَنْ هُمْ قَالَ هُمْ آلُ عَلِىٍّ وَآلُ عَقِيلٍ وَآلُ جَعْفَرٍ
وَآلُ عَبَّاسٍ . قَالَ كُلُّ هَؤُلاَءِ حُرِمَ الصَّدَقَةَ قَالَ نَعَمْ.[5]
Wallahu Ta’ala A’lam wash sholatu wassalam
‘ala rasulillah.
[1] Maktabah Syamilah, Qismul ‘Aqidah, Syarhul
Aqidah At-Thahawiyah oleh Abdul Aziz Ar-Rajihi, hal.369.
[2] Ibid.
[3] Shahih Ibnu Hibban, Bab Dzikru
Itsbatil Jannah liabi Ubaidah bin Jarrah, no: 7002, Isnad hadits ini shahih
berdasarkan syarat Muslim, para perowinya tsiqot dan termasuk dari para perowi
syaikhain kecuali Abdul Aziz bin Muhammad.
[4] Maktabah Syamilah, Qismu Mutunil Hadits,
Shahih Muslim, bab Min Fadzail Ali, no: 6378
[5] Ibid.
0 komentar:
Posting Komentar