ADAT DAN
SYARI’AT
Bagi
masyarakat dunia timur terutama, adat istiadat merupakan alat penting guna
menjaga dan melestarikan budaya. Mereka begitu menjunjung dan mengagungkannya
sebagai sebuah norma dan nilai sosial juga pandangan hidup.
Bahkan
hampir tidak ada sedikitpun perkara atau masalah dalam kehidupan sehari-hari,
yang tidak terlepas dari adat istiadat, terlebih lagi dalam prosesi
ritual-ritual sakral. Akan tetapi tidak sedikit dijumpai dari sekian adat
istiadat yang ada di bumi nusantara ternyata bercampur aduk dengan bid’ah
bahkan kesyirikan. Sebagai contoh, keberagaman ritual adat istiadat yang melekat
di tanah Jawa ternyata masih sangat
banyak yang kental dengan budaya klenik dan primbon, ada mithoni dilaksanakan
ketika kandungan ibu telah mencapai usia 7 bulan, sekaten yang diadakan pada hari ke7 pada
bulan syawal, brojotan yaitu suatu acara kematian, bahkan ada ritual mengarak
seekor kerbau yang sangat dikultuskan pada malam satu suro keliling kota, ada
juga padusan atau kalau di tanah minang lebih dikenal dengan mandi balimau
yaitu ritual mandi besar yang dilakukan sehari sebelum memasuki bulan ramadlan
secara beramai-ramai di sungai, danau atau pemandian umum yang konon katanya
sebagai penyuci atas dosa-dosa yang diperbuat, bahkan tidak habis pikir
diantara mereka malah ada yang berkeyakinan bahwa barang siapa yang tidak
melaksanakan ritual ini puasanya tidak sah dan pahalanya tidak akan diterima.
Seakan-akan
merekalah yang berhak untuk meletakkan dasar-dasar syari'at kemudian memasukkan
adat istiadat mereka yang bathil itu sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
syari'at islam menjadi rukun suatu amaliah ibadah mungkin bahkan syarat sahnya
suatu ibadah.
Bukankah
ini adalah bid’ah yang sangat jelas dan nyata?bukankah ini termasuk mengakali
syari'at islam?bukankah syari'at islam telah sempurna diturunkan kepada
Rosulullah shollallahu alaihi wasallam, Imam Malik rohimahullah berkata:
"Barangsiapa mengada-adakan dalam Islam suatu bid'ah dia
melihatnya sebagai suatu kebaikan maka dia telah menuduh Muhammad menghianati
risalah, karena Allah telah berfirman: "Pada hari ini telah Ku sempurnakan untukmu
agamamu, dan telah kucupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku ridhoi Islam
menjadi agamamu." Maka sesuatu yang tidak ada ajarannya pada hari itu
(saat hidup Rasul), tidak ada pula ajarannya pada hari ini." (Dakwatul
Kholaf Ila Thoriqis Salaf, Muhammad bin Ali bin Ahmad Bafadhl)
Selain itu, permasalahannya adalah mereka para pelaku adat-adat
ini sangat meluhurkan kebiasaan semacam itu bahkan mereka lestarikan sehingga
mengakar kuat dari generasi ke generasi dan akan terus dilanggengkan yang entah
sampai kapan akhirnya, Ayyub As-sikhtiyani rohimahullah berkata:
"Tidaklah seorang yang melakukan bid'ah semakin
bersungguh-sungguh dalam melaksanakan kebid'ahannya melainkan ia akan semakin
jauh dari Allah." (Al-Amru bil Ittiba' wan Nahyu 'Anil Ibtida', Imam
As-Suyuti, hal: 66)
Namun
syari’at islam dalam memandang segala hal sangatlah proposional, maka tidaklah
semua adat kebiasaan tertolak mutlak dalam islam. Hal ini perlu pengkajian
ulang karena dalam ilmu ushul fiqh adat terbagi menjadi dua shohih(baik) dan
fasad(rusak/batil) yang masing-masing memiliki porsi tersendiri dalam pandangan
dinul islam.
A. Adat yang Sejalan dengan Agama
Imam Ibnu Taimiyah berkata :
"Asal dari adat itu tidak di larang kecuali apa yang dilarang
oleh Allah"( Kitab
Semua Bid'ah Sesat, hal: 42)
Di kalangan ahli syari’ah istilah populer tentang masalah adat ini,
antara lain: al-'adatu muhakkamah. Maknanya, bahwa sesuatu yang sudah
menjadi kebiasaan di tengah masyarakat itu bisa dijadikan dasar hukum.
Contohnya,
masyarakat Indonesia sudah saling mengenal sebuah kebiasaan dalam transaksi
jual beli di warung makan atau restaurant, umumnya orang Indonesia terbiasa
makan terlebih dahulu lalu selesai makan baru bayar. Akan tetapi berbeda halnya
ketika di Sudan, karena masyarakat Sudan
memiliki kebiasaan yang berlainan dengan adat orang Indonesia yaitu bayar dulu
baru makan. Begitu juga dalam prosesi pernikahan pada sebuah masyarakat tertentu
dibolehkan bagi pengantin pria untuk langsung membawa pulang pengantin wanita
walaupun maharnya masih hutang, tapi di daerah lain adat yang berlaku kebalikan
dari yang pertama.
Permasalahan
semacam ini tidak ada dasarnya bila dilihat dari nash Quran atau Sunnah,
melainkan didapat dari hasil pengamatan empiris pada kebiasaan yang terjadi
pada sebuah masyarakat dari daerah yang saling berbeda. Namun dalam
implementasinya, kebiasaan itu bisa dijadikan sebagai hukum yang di atasnya
disandarkan hukum itu.
B. Adat yang Bertentangan dengan Agama
Namun
ada juga adat dan kebiasaan tertentu yang secara qath'i bertentangan dengan
agama. Dari segi aqidah Islam banyak adat yang memang bertentangan. Misalnya, sebagaimana
beberapa ritual kebiasaan yang telah dipaparkan didepan. Semua itu adalah
contoh adat istiadat yang bertentangan dengan aqidah Islam. Adat istiadat
seperti ini secara mutlak memang bertabrakan langsung dengan aqidah atau
syariah Islam. Sehingga meninggalkannya merupakan hal yang mutlak kewajibannya.
Sikap
Seorang Muslim.
Maka sebagai
seorang muslim hendaknya kita tetap mengutamakan syari’at Allah dan rosul-Nya
di atas kepentingan-kepentingan lainnya, sehingga jikalau kita telah mengetahui
adanya sebuah kemungkaran pada suatu hal, entah itu keyakinan yang mendasari
pemikiran kita, ataupun adat yang ada di sekitar kita, maka dengan mudah dan
ringan kita bisa mengambil sikap tegas dengan menyingkirkan semua itu dan
menggantinya dengan yang lebih baik yaitu syari’at islam. Dan hendaknya kita
terus ber’azm (berkeinginan kuat) serta mengoptimalkan segala sarana apalagi di
zaman gadget seperti sekarang ini, dalam rangka meningkatkan khazanah ilmu
agama kita agar kita tidak tersesat di jalan yang salah dan agar kita
mengetahui hakikat kebenaran itu sendiri, karena kalau bukan orang yang alim
yang mengetahui hakikat diin ini siapa lagi yang akan merubah segala
kemungkaran tersebut.
Wallahua’lam
Qoul salaf:
Asy-Sya'bi v berkata:
عَلَيْكَ
بِآثَارِ السَّلَفِ وَإِنْ رَفَضَكَ النَّاسُ وَإِيَّاكَ وَآرَاءَ الرِّجَالِ
وَإِنْ زَخْرَفُوْهَا لَكَ بِالْقَوْرِ (إعلام الموقعين 1/152)
"Berpeganglah kepada peninggalan para salaf walaupun
karenanya kamu ditolak oleh orang banyak, jauhilah pendapat para tokoh,
walaupun mereka menghiasi perkataan mereka." (I'lamul Muwaqi'in, Ibnu
Qoyim Al-Jauziyah 1/152)
0 komentar:
Posting Komentar