BULAN SYA’BAN
Hadits-hadits yang berkaitan dengan bulan
Sya’ban
Diriwiyatkan dari Abdullah bin Abu Qays
bahwasanya dia mendengar Aisyah berkata, “Bulan yang paling disenangi
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban, kemudian
disambungnya dengan puasa Ramadlan.”[HR.Ahmad dalam musnadnya, VI/188. Abu
Dawud dalam sunannya, kitab Ash-Shaum, no:2431. An-Nasai dalam sunannya, bab
Shaum As-Sunnah, no:2077. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, kitab Ash-Shaum dan
berkata ini adalah hadits shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim]
Bid’ah Peringatan Malam Nishfu Sya’ban
Ikrimah rahimahullah menafsirkan firman Allah:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam
itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”[Ad-Dukhan: 3-4]
Menurutnya, yang dimaksud dengan malam yang
diberkahi di sini adalah malam Nishfu Sya’ban, yang didalamnya sunnah
dibentangkan, orang-orang hidup dibebaskan dari kematian, dan diwajibkan haji
di dalamnya, maka tidak ditambah dari mereka seorang pun dan tidak pula
dikurangi seorang pun.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir
rahimahullah berkata, “Allah Shubhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan tentang
Al-Qur’an Al-Adzim bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam yang penuh berkah,
yaitu malam lailatul Qadar, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat
Al-Qadar. ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam
kemuliaan”.[Al-Qadar:1]
Mengenai firman Allah, “Pada malam yang penuh
berkah” para ulama terpecah menjadi dua pendapat:
a. Malam yang dimaksud adalah Lailatul Qadar, dan inilah pendapat jumhur.
b. Malam itu adalah malam Nishfu Sya’ban, ini menurut pendapat Ikrimah.
Yang benar – Wallahu a’lam – adalah pendapat
jumhur ulama yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah ini adalah malam
Lailatul Qadar, bukan malam Nishfu Sya’ban karena Allah Shubhanahu wa Ta’ala
menyebutkannya dalam bentuk global dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu
malam yang diberkahi”[Ad-Dukhan:3]
Kemudian, menjelaskannya secara rinci dalam
surat Al-Baqarah:
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah)
bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai
petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan
pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [Al-Baqarah:185]
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya
(Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.[Al-Qadar:1]
Anggapan yang menyatakan bahwa malam itu
adalah malam Nishfu Sya’ban adalah anggapan yang batil karena hal itu
bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sharih. Adapun hadits-hadits yang
menjelaskan bahwa malam yang dimaksud adalah malam Nishfu Sya’ban, ini
bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sharih sehingga hadits itu tidak
berdasar, tidak sah sanadnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Arabi dan
muhaqqiq lainnya. Sungguh sangat menakjubkan bila ada seorang Muslim yang
menentang nash Al-Qur’an yang sharih tanpa bersandar kepada Al-Qur’an dan
Sunnah yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – disela-sela
pembahasannya tentang waktu-waktu mulia menyatakan bahwa kadang-kadang terjadi
didalamnya hari tertentu yang dianggap mulia, padahal itu tidak benar dan
bahkan terlarang. Di antaranya adalah malam Nishfu Sya’ban yang keutamaannya
dijelaskan dalam hadits-hadits maudhu’ dan atsar-atsar yang menjelaskan bahwa
malam itu adalah malam yang mulia. Bahakn, ada di antara para salaf yang
menganjurkan untuk shalat dan puasa seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits
shahih.
Di antara para ulama salaf dari Madinah dan
juga dari ulama-ulama khalaf ada yang mengingkari keutamannya dan mencacatkan
hadits-hadits yang menjelaskan tentangnya, seperti hadits yang artinya:
“sesungguhnya pada malam pertengahan bulan
Sya’ban Allah turun ke langit dunia, lalu mengambuni lebih banyak dosa daripada
banyaknya bulu domba bani Kalb.”[HR.At-Tirmidzi]
Akan tetapi, kebanyakan ahli ilmu dan sebagian
besar dari sahabat-sahabat kami menganggapnya sebagai hari mulia, seperti yang
ditulis dalam nash Ahmad bin Hanbal karena banyaknya hadits-hadits yang
menjelaskan tentangnya dan diperkuat oleh atsar-atsar para salaf. Sebagian
keutamaan itu juga telah dijelaskan dalam kitab-kitab musnad dan kitab-kitab
sunan.
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Para tabi’in
dari penduduk negeri Syam, seperti, Khalid bin Mad’an, Makhul, Luqman bin Amir,
dan sebagainya mengagungkan malam Nishfu Sya’ban dan mereka bersungguh-sungguh
dalam beribadah di dalamnya. Dari merekalah akhirnya orang-orang mengambil
kemuliaan dan pengagungannya. Ada yang mengatakan bahwa telah sampai kepada
mereka dalam masalah ini, hadits-hadits israiliyat. Ketika hal ini terbongkar
di negeri itu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada
yang menerimanya dan sepakat untuk mengagungkannya. Mereka ini adalah kelompok dari
negeri Basrah dan lain-lain, sedangkan kebanyakan ulama Hijaz, seperti Atha’
dan Ibnu Abi Malikah, menolak pengagungannya. Dinukil dari Abdurrahman bin Zaid
bin Aslam dari fuqaha penduduk Madinah, yaitu pendapat sahabat Imam Malik dan
lain-lain bahwa semua itu adalah bid’ah.
Adapun yang rajih dan kuat – Wallahu a’lam –
adalah pendapat pertama bahwa merayakan malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah.
0 komentar:
Posting Komentar