Rabu, 22 Mei 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

BULAN SYA’BAN

BULAN SYA’BAN
Hadits-hadits yang berkaitan dengan bulan Sya’ban
Diriwiyatkan dari Abdullah bin Abu Qays bahwasanya dia mendengar Aisyah berkata, “Bulan yang paling disenangi Rasulullah shallallahu alaihi wasallam untuk berpuasa adalah bulan Sya’ban, kemudian disambungnya dengan puasa Ramadlan.”[HR.Ahmad dalam musnadnya, VI/188. Abu Dawud dalam sunannya, kitab Ash-Shaum, no:2431. An-Nasai dalam sunannya, bab Shaum As-Sunnah, no:2077. Al-Hakim dalam Al-Mustadrak, kitab Ash-Shaum dan berkata ini adalah hadits shahih dengan syarat Bukhari dan Muslim]
Bid’ah Peringatan Malam Nishfu Sya’ban
Ikrimah rahimahullah menafsirkan firman Allah:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi dan Sesungguhnya Kami-lah yang memberi peringatan. Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah”[Ad-Dukhan: 3-4]
Menurutnya, yang dimaksud dengan malam yang diberkahi di sini adalah malam Nishfu Sya’ban, yang didalamnya sunnah dibentangkan, orang-orang hidup dibebaskan dari kematian, dan diwajibkan haji di dalamnya, maka tidak ditambah dari mereka seorang pun dan tidak pula dikurangi seorang pun.
Dalam menafsirkan ayat di atas, Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah Shubhanahu wa Ta’ala berfirman menjelaskan tentang Al-Qur’an Al-Adzim bahwa Al-Qur’an diturunkan pada malam yang penuh berkah, yaitu malam lailatul Qadar, seperti yang difirmankan oleh Allah dalam surat Al-Qadar. ”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.[Al-Qadar:1]
Mengenai firman Allah, “Pada malam yang penuh berkah” para ulama terpecah menjadi dua pendapat:
a.     Malam yang dimaksud adalah Lailatul Qadar, dan inilah pendapat jumhur.
b.    Malam itu adalah malam Nishfu Sya’ban, ini menurut pendapat Ikrimah.
Yang benar – Wallahu a’lam – adalah pendapat jumhur ulama yang mengatakan bahwa malam yang penuh berkah ini adalah malam Lailatul Qadar, bukan malam Nishfu Sya’ban karena Allah Shubhanahu wa Ta’ala menyebutkannya dalam bentuk global dalam firman-Nya:
“Sesungguhnya Kami menurunkannya pada suatu malam yang diberkahi”[Ad-Dukhan:3]
Kemudian, menjelaskannya secara rinci dalam surat Al-Baqarah:
185. (Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil). [Al-Baqarah:185]
”Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al-Qur’an) pada malam kemuliaan”.[Al-Qadar:1]
Anggapan yang menyatakan bahwa malam itu adalah malam Nishfu Sya’ban adalah anggapan yang batil karena hal itu bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sharih. Adapun hadits-hadits yang menjelaskan bahwa malam yang dimaksud adalah malam Nishfu Sya’ban, ini bertentangan dengan nash Al-Qur’an yang sharih sehingga hadits itu tidak berdasar, tidak sah sanadnya, seperti yang ditegaskan oleh Al-Arabi dan muhaqqiq lainnya. Sungguh sangat menakjubkan bila ada seorang Muslim yang menentang nash Al-Qur’an yang sharih tanpa bersandar kepada Al-Qur’an dan Sunnah yang shahih.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah – disela-sela pembahasannya tentang waktu-waktu mulia menyatakan bahwa kadang-kadang terjadi didalamnya hari tertentu yang dianggap mulia, padahal itu tidak benar dan bahkan terlarang. Di antaranya adalah malam Nishfu Sya’ban yang keutamaannya dijelaskan dalam hadits-hadits maudhu’ dan atsar-atsar yang menjelaskan bahwa malam itu adalah malam yang mulia. Bahakn, ada di antara para salaf yang menganjurkan untuk shalat dan puasa seperti yang dijelaskan dalam hadits-hadits shahih.
Di antara para ulama salaf dari Madinah dan juga dari ulama-ulama khalaf ada yang mengingkari keutamannya dan mencacatkan hadits-hadits yang menjelaskan tentangnya, seperti hadits yang artinya:
“sesungguhnya pada malam pertengahan bulan Sya’ban Allah turun ke langit dunia, lalu mengambuni lebih banyak dosa daripada banyaknya bulu domba bani Kalb.”[HR.At-Tirmidzi]
Akan tetapi, kebanyakan ahli ilmu dan sebagian besar dari sahabat-sahabat kami menganggapnya sebagai hari mulia, seperti yang ditulis dalam nash Ahmad bin Hanbal karena banyaknya hadits-hadits yang menjelaskan tentangnya dan diperkuat oleh atsar-atsar para salaf. Sebagian keutamaan itu juga telah dijelaskan dalam kitab-kitab musnad dan kitab-kitab sunan.
Al-Hafidz Ibnu Rajab berkata, “Para tabi’in dari penduduk negeri Syam, seperti, Khalid bin Mad’an, Makhul, Luqman bin Amir, dan sebagainya mengagungkan malam Nishfu Sya’ban dan mereka bersungguh-sungguh dalam beribadah di dalamnya. Dari merekalah akhirnya orang-orang mengambil kemuliaan dan pengagungannya. Ada yang mengatakan bahwa telah sampai kepada mereka dalam masalah ini, hadits-hadits israiliyat. Ketika hal ini terbongkar di negeri itu, manusia berselisih pendapat dalam hal ini. Di antara mereka ada yang menerimanya dan sepakat untuk mengagungkannya. Mereka ini adalah kelompok dari negeri Basrah dan lain-lain, sedangkan kebanyakan ulama Hijaz, seperti Atha’ dan Ibnu Abi Malikah, menolak pengagungannya. Dinukil dari Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari fuqaha penduduk Madinah, yaitu pendapat sahabat Imam Malik dan lain-lain bahwa semua itu adalah bid’ah.
Adapun yang rajih dan kuat – Wallahu a’lam – adalah pendapat pertama bahwa merayakan malam Nishfu Sya’ban adalah bid’ah.

0 komentar:

Posting Komentar