Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

ANAK ZINA


ANAK ZINA[1]

                Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah menurut syari’at, para ulama sepakat bahwa anak tersebut tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah kalau anak itu dilahirkan kurang dari waktu 6 bulan setelah akad perkawinan. Para ulama memperselisihkan apakah tenggang waktu 6 bulan itu dihitung sejak nikah atau sejak berkumpul ?
                Imam Malik dan Syafi’i berpendapat jika seseorang laki laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli  atau sudah pernah dalam waktu kurang dari 6 bulan, kemudian wanita tersebut melahirkan setelah 6 bulan akad perkawinannya, bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan dinasabkan kepada ibunya. Perhitungan 6 bulan dimulai dari waktu berkumpul.
                Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya, sehingga karenanya anak yang dilahirkan itu dapat dipertalikan nasabnya kepada ayahnya sebagai anak sah. Abu Hanifah meninjau masalah dari segi yuridis formil bukan dari adanya kemungkinan bersetubuh sebagaimana yang dijadikan dasar fikiran Imam Malik dan Syafi’i. Pendapat  beliau berdasarkan keumuman sabda Rasulullah ;
الولد للفراش (رواه خمسة)
                “Anak itu dinasabkan kepada orang yang setiduran (seranjang tidur).”
                Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni qodari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti Allah menaqdirkan terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki laki itu dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i anak itu bukan anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syari’at. Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah[2] ;
الولد للفراش وللعاهر الحجر
                “Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya, anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.” (muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
                Dengan demikian, jika seorang laki laki menghamili seorang wanita dengan perzinaan kemudian bermaksud menikahinya dengan alasan untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya menurut hukum syar’i[3].
                Hanya saja kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan anggapan hal itu boleh dan sah sebagaimana madzhab sebagian ulama yang berpendapat, “Boleh bagi seorang laki laki yang menghamili seorang wanita dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan diketahui dengan pasti bahwa yang menghamilinya adalah laki laki itu.” Maka pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan itu berlangsung dangan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syari’at, padahal sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina. Dia tetap dinasabkan kepada ibunya. Adapun anak anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat, status mereka sah sebagai anak anak keduanya[4].
                Syaikh Abdurrahman al Adni berpendapat, “Akan tetapi, wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra’ ar rahim. “

                Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara keduanya pun tidak berlaku, di antaranya :
1.       Keduanya tidak saling mewarisi, lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya
2.       Laki laki tersebut bukan mahrom bagi anak itu kecuali apabila laki laki itu menikah dengan ibu anak itu dan telah melakukan hubungan sah suami istri – yang tentunya hal ini setelah keduanya beratubat dan setelah anak itu lahir. Maka anak ini menjadi rabibahnya sehingga menjadi mahrom. Namun bila tidak menjadi mahrom, anak itu tetap haram dinikahi.
3.       Lelaki itu tidak bisa menjadi wali pernikahan anak tersebut

Dengan demikian, diketahuilah bahwa hubungan antara anak zina tersebut degan anak anak yang lahir dengan nikah syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, mereka juga mahromnya. Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur yang menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap laki laki yang merupakan ashobah wanita itu. Seperti ayahnya, kekek dari jalur ayah, putranya, anak laki laki putranya, saudara laki laki sekandung dan seayah, paman dari jalur ayah dan ashobah lainnya.

Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, penulis menyimpulkan dengan keputusan yang Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada 18 Rabi’ul Akhir 1433 H / 10 Maret 2012 M di Jakarta sebagaimana berikut[5] :

MENETAPKAN : FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama : Ketentuan Umum
1.       Anak hasil zina adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan yang sah menurut ketentuan agama dan merupakan jarimah (tindak pidana dan kejahatan)
2.       Hadd adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3.       Ta’zir adalah jenis hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah diserahkan kepada ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukum)
4.       Wasiat wajibah adalh kebijakan ulil amri yang mengharuskan laki laki yang mengakibatkan lahirnya anak zina  untuk berwasiat memberikan harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua  : Ketentuan Hukum
1.       Anak hasil zina tidak mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqoh dengan lelaki yang menyebabkan kelahiranya
2.       Anak hasil zina hanya mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqoh dengan ibunya dan keluarga ibunya
قال النبي في ولد الزنا "لأهل أمه من كانوا"
                “Nabi bersabda tentang anak hasil zina, “Bagi keluarga ibunya”. (Abu Dawud)
3.       Anak hasil zina tidak menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan kelahirannya
4.       Pezina dikenakan hukuman hadd oleh pihak yang berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang sah (hifzh al nasl)
5.       Pemerintah yang berwenang menjatuhkan hukuman hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan lahirnya anak dengan mewajibkan untuk ;
Ø  Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut
Ø  Memberkan harta setelah ia meninggal melalui wasiat wajibah
6.       Hukuman sebagaimana dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya

ANAK LI’AN

Ø  Adalah anak yang dihukumi tidak bernasab kepada ayahnya setealh terjadi tuduh menuduh zina antara kedua suami istri menurut sifat sifat yang telah dijelaskan Al Qur’an
Ø  Anak li’an terputus nasabnya dari ayah dan tidak dapat mewarisi darinya
Ø  Anak li’an mewarisi dari ibunya dan dari kerabat ibunya
Ø  Anak li’an mewarisi dengan fardh
Ø  Anak li’an dapat mewarisi dengan ushubah bila sebagai ashobah. Bila masih dalam kandungan, maka kelahirannya maksimal 9 bulan sejak kematian orang yang mewariskan.

Ibu dapat mewarisi 1/3 harta anak li’an atau anak zina. Sedangkan sisanya diserahkan ke baitul mal, kecuali ia meninggalkan saudara seibu yang mendapatkan 1/3. Bila ibunya seorang  budak, maka menjadi milik tuan yang membebaskannya. Abu Hanifah lebih konsekwen dengan meletakkan dzawil arham lebih utama dari kaum muslimin seluruhnya (dengan baitul mal.
Ashobah anak tidak sah adalah ashobah ibunya. Ini adalah pendapat Ali, Umar dan Ibn Mas’ud
المرأة تحوز ثلاثة أموال = عتيقها ولقيتها وولدها الذي لاعنت عليه (أبو داوود)
                “Wanita itu memperoleh tiga macam harta, harta peninggalan budaknya yang telah dibebaskan, harta peninggalan anak pungutnya dan harta peninggalan anak li’annya.”
Hadits tersebut sanadnya dhoif, namun oleh sebagian besar sahabat seperti Utsman, Ibnu Abbas dan yang lain mengamalkannya. Pendapat ini tenar sekali di awal Islam dan boleh dikatakan seluruh ulama mengamalkannya maka naiklah nilainya. Ketenaran pendapat dalam kalangan sahabat menjadi suatu dalil tentang keshahihan hadits. Jadi tidak perlu mengistinbathkan hukum berdasarkan dalil qiyas.
Terakhir, penulis menyimpulkan dengan Undang Undang dan Hukum Mesir,
“Anak li’an atau zina dapat mewarisi dari ibunya atau kerabat ibunya dan mewariskan kepada ibunya atau kerabat ibunya.”

Wallahu a’lam
Sumber  : Ilmu Waris, Drs Fatchur Rahman


[1] Dalam Burgrlijk Wetboek / KUHS, anak zina atau anak li’an diistilahkan dengan anak alami. Mereka ada dua, pertama yang diakui dan yag kedua mereka yang tidak diakui. Hanya yang pertama saja yang berhak dalam pewarisan
[3] Al Mughni (6/184-185) Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah (20/387-389)
[4] Imam Ahmad, Syafi’i, dipilih oleh Syaikhul Islam, Syaikh Utsaimin dan Al Lajnah Ad Da’imah. Al Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa (32/66-67), Asy Syarhul Mumti’ (5/641 cet. Darul Atsar) dan Fatwa al Lajnah (28/387)

0 komentar:

Posting Komentar