ANAK ZINA[1]
Anak zina adalah anak yang dilahirkan di luar
perkawinan yang sah menurut syari’at, para ulama sepakat bahwa anak tersebut
tidak dapat dinasabkan kepada ayahnya sebagai anak sah kalau anak itu
dilahirkan kurang dari waktu 6 bulan setelah akad perkawinan. Para ulama
memperselisihkan apakah tenggang waktu 6 bulan itu dihitung sejak nikah atau
sejak berkumpul ?
Imam Malik dan Syafi’i berpendapat jika
seseorang laki laki mengawini seorang wanita yang belum pernah dikumpuli atau sudah pernah dalam waktu kurang dari
6 bulan, kemudian wanita tersebut melahirkan setelah 6 bulan akad perkawinannya,
bukan dari masa berkumpulnya, maka anak yang dilahirkan dinasabkan kepada
ibunya. Perhitungan 6 bulan dimulai dari waktu berkumpul.
Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita yang
melahirkan itu tetap dianggap berada dalam ranjang suaminya, sehingga karenanya
anak yang dilahirkan itu dapat dipertalikan nasabnya kepada ayahnya sebagai
anak sah. Abu Hanifah meninjau masalah dari segi yuridis formil bukan dari adanya
kemungkinan bersetubuh sebagaimana yang dijadikan dasar fikiran Imam Malik dan
Syafi’i. Pendapat beliau berdasarkan
keumuman sabda Rasulullah ;
الولد للفراش
(رواه خمسة)
“Anak itu dinasabkan kepada orang yang setiduran
(seranjang tidur).”
Anak hasil zina tidak dinasabkan kepada lelaki yang
menzinai ibu anak tersebut meskipun kita mengetahui bahwa secara hukum kauni
qodari anak zina tersebut adalah anaknya. Dalam arti Allah menaqdirkan
terciptanya anak zina tersebut sebagai hasil percampuran air mani laki laki itu
dengan wanita yang dizinainya. Akan tetapi secara hukum syar’i anak itu bukan
anaknya karena tercipta dengan sebab yang tidak dibenarkan oleh syari’at.
Permasalahan ini masuk dalam keumuman sabda Rasulullah[2] ;
الولد للفراش
وللعاهر الحجر
“Anak yang lahir untuk pemilik kasur (artinya,
anak yang dilahirkan oleh istri seseorang atau budak wanitanya adalah
miliknya), dan seorang pezina tidak punya hak pada anak hasil perzinaannya.”
(muttafaq ‘alaihi dari Abu Hurairah dan ‘Aisyah)
Dengan demikian, jika seorang laki laki menghamili
seorang wanita dengan perzinaan kemudian bermaksud menikahinya dengan alasan
untuk menutup aib dan menyelamatkan nasab anak tersebut, maka hal itu haram
atasnya dan pernikahannya tidak sah. Karena anak tersebut bukan anaknya
menurut hukum syar’i[3].
Hanya saja kalau pernikahan itu dilangsungkan dengan
anggapan hal itu boleh dan sah sebagaimana madzhab sebagian ulama yang
berpendapat, “Boleh bagi seorang laki laki yang menghamili seorang wanita
dengan perzinaan untuk menyelamatkan nasab anak itu dengan cara menikahinya
dalam keadaan hamil, dengan syarat keduanya telah bertaubat dari perzinaan dan
diketahui dengan pasti bahwa yang menghamilinya adalah laki laki itu.” Maka
pernikahan itu dikategorikan sebagai nikah syubhat. Artinya, pernikahan
itu berlangsung dangan anggapan bahwa hal itu boleh menurut syari’at, padahal
sebenarnya tidak boleh. Berarti pernikahan itu tidak mengubah status
anak hasil perzinaan tersebut sebagai anak zina. Dia tetap dinasabkan
kepada ibunya. Adapun anak anak yang dihasilkan setelah nikah syubhat,
status mereka sah sebagai anak anak keduanya[4].
Syaikh Abdurrahman al Adni berpendapat, “Akan tetapi,
wajib atas keduanya untuk berpisah ketika mengetahui hakikat sebenarnya bahwa
pernikahan itu tidak sah, sampai keduanya menikah kembali dengan akad nikah
yang benar dan sah, tanpa harus melakukan istibra’ ar rahim. “
Berdasarkan hal ini, seluruh hukum nasab antara
keduanya pun tidak berlaku, di antaranya :
1. Keduanya tidak saling
mewarisi, lelaki tersebut tidak wajib memberi nafkah kepadanya
2. Laki laki tersebut
bukan mahrom bagi anak itu kecuali apabila laki laki itu menikah dengan ibu
anak itu dan telah melakukan hubungan sah suami istri – yang tentunya hal ini
setelah keduanya beratubat dan setelah anak itu lahir. Maka anak ini menjadi
rabibahnya sehingga menjadi mahrom. Namun bila tidak menjadi mahrom, anak itu
tetap haram dinikahi.
3. Lelaki itu tidak bisa
menjadi wali pernikahan anak tersebut
Dengan demikian, diketahuilah bahwa
hubungan antara anak zina tersebut degan anak anak yang lahir dengan nikah
syubhat tersebut adalah saudara seibu tidak seayah, mereka juga mahromnya.
Namun tidak bisa menjadi wali pernikahannya menurut pendapat jumhur yang
menyatakan bahwa wali pernikahan seorang wanita adalah setiap laki laki yang
merupakan ashobah wanita itu. Seperti ayahnya, kekek dari jalur ayah, putranya,
anak laki laki putranya, saudara laki laki sekandung dan seayah, paman dari
jalur ayah dan ashobah lainnya.
Dengan bertawakkal kepada Allah SWT, penulis
menyimpulkan dengan keputusan yang Majlis Ulama Indonesia (MUI) pada 18 Rabi’ul
Akhir 1433 H / 10 Maret 2012 M di Jakarta sebagaimana berikut[5] :
MENETAPKAN : FATWA TENTANG ANAK HASIL ZINA DAN
PERLAKUAN TERHADAPNYA
Pertama : Ketentuan Umum
1. Anak hasil zina
adalah anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan badan di luar pernikahan
yang sah menurut ketentuan agama dan merupakan jarimah (tindak pidana dan
kejahatan)
2. Hadd adalah jenis
hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah ditetapkan oleh nash
3. Ta’zir adalah jenis
hukuman atas tindak pidana yang bentuk dan kadarnya telah diserahkan kepada
ulil amri (pihak yang berwenang menetapkan hukum)
4. Wasiat wajibah adalh
kebijakan ulil amri yang mengharuskan laki laki yang mengakibatkan lahirnya
anak zina untuk berwasiat memberikan
harta kepada anak hasil zina sepeninggalnya.
Kedua :
Ketentuan Hukum
1. Anak hasil zina tidak
mempunyai hubungan nasab, wali nikah, waris, dan nafaqoh dengan lelaki yang
menyebabkan kelahiranya
2. Anak hasil zina hanya
mempunyai hubungan nasab, waris, dan nafaqoh dengan ibunya dan keluarga ibunya
قال النبي في ولد الزنا "لأهل أمه من كانوا"
“Nabi bersabda tentang
anak hasil zina, “Bagi keluarga ibunya”. (Abu Dawud)
3. Anak hasil zina tidak
menanggung dosa perzinaan yang dilakukan oleh orang yang mengakibatkan
kelahirannya
4. Pezina dikenakan
hukuman hadd oleh pihak yang berwenang untuk kepentingan menjaga keturunan yang
sah (hifzh al nasl)
5. Pemerintah yang
berwenang menjatuhkan hukuman hukuman ta’zir lelaki pezina yang mengakibatkan
lahirnya anak dengan mewajibkan untuk ;
Ø
Mencukupi kebutuhan hidup anak tersebut
Ø
Memberkan harta setelah ia meninggal melalui
wasiat wajibah
6. Hukuman sebagaimana
dimaksud nomor 5 bertujuan melindungi anak, bukan untuk mensahkan hubungan
nasab antara anak tersebut dengan lelaki yang mengakibatkan kelahirannya
ANAK LI’AN
Ø
Adalah anak yang dihukumi tidak bernasab kepada
ayahnya setealh terjadi tuduh menuduh zina antara kedua suami istri menurut
sifat sifat yang telah dijelaskan Al Qur’an
Ø
Anak li’an terputus nasabnya dari ayah dan tidak
dapat mewarisi darinya
Ø
Anak li’an mewarisi dari ibunya dan dari kerabat
ibunya
Ø
Anak li’an mewarisi dengan fardh
Ø
Anak li’an dapat mewarisi dengan ushubah bila
sebagai ashobah. Bila masih dalam kandungan, maka kelahirannya maksimal 9 bulan
sejak kematian orang yang mewariskan.
Ibu
dapat mewarisi 1/3 harta anak li’an atau anak zina. Sedangkan sisanya
diserahkan ke baitul mal, kecuali ia meninggalkan saudara seibu yang
mendapatkan 1/3. Bila ibunya seorang
budak, maka menjadi milik tuan yang membebaskannya. Abu Hanifah lebih
konsekwen dengan meletakkan dzawil arham lebih utama dari kaum muslimin
seluruhnya (dengan baitul mal.
Ashobah
anak tidak sah adalah ashobah ibunya. Ini adalah pendapat Ali, Umar dan Ibn
Mas’ud
المرأة تحوز
ثلاثة أموال = عتيقها ولقيتها وولدها الذي لاعنت عليه (أبو داوود)
“Wanita itu memperoleh
tiga macam harta, harta peninggalan budaknya yang telah dibebaskan, harta
peninggalan anak pungutnya dan harta peninggalan anak li’annya.”
Hadits
tersebut sanadnya dhoif, namun oleh sebagian besar sahabat seperti Utsman, Ibnu
Abbas dan yang lain mengamalkannya. Pendapat ini tenar sekali di awal Islam dan
boleh dikatakan seluruh ulama mengamalkannya maka naiklah nilainya. Ketenaran
pendapat dalam kalangan sahabat menjadi suatu dalil tentang keshahihan hadits.
Jadi tidak perlu mengistinbathkan hukum berdasarkan dalil qiyas.
Terakhir,
penulis menyimpulkan dengan Undang Undang dan Hukum Mesir,
“Anak li’an
atau zina dapat mewarisi dari ibunya atau kerabat ibunya dan mewariskan kepada
ibunya atau kerabat ibunya.”
Wallahu a’lam
Sumber
: Ilmu Waris, Drs Fatchur Rahman
[1]
Dalam Burgrlijk Wetboek / KUHS, anak
zina atau anak li’an diistilahkan dengan anak alami. Mereka ada dua, pertama
yang diakui dan yag kedua mereka yang tidak diakui. Hanya yang pertama saja
yang berhak dalam pewarisan
[3] Al Mughni (6/184-185) Fatwa Al Lajnah Ad Da’imah
(20/387-389)
[4] Imam Ahmad, Syafi’i, dipilih oleh Syaikhul Islam,
Syaikh Utsaimin dan Al Lajnah Ad Da’imah. Al Mughni (7/288), Majmu’ Fatawa
(32/66-67), Asy Syarhul Mumti’ (5/641 cet. Darul Atsar) dan Fatwa al Lajnah
(28/387)
0 komentar:
Posting Komentar