بسم الله الرحمن الرحيم
APAKAH KHAMAR ITU NAJIS ?
(Makalah
01)
Allah SWT berfirman:
“Hai
orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban
untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan.
Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Al-Maidah:90)
Ayat
diatas menjelaskan bahwa khamar termasuk
rijsun yang merupakan salah satu dari perbuatan syetan. Sedang, kata rijsun
disini menunjukkan bahwa khamar itu najis.[1]
Ibnul
‘Arabi Al-Maaliki (wafat tahun 543 H) mentafsirkan, “Yang dimaksud رجس
dalam surat Al-Maaidah ayat 90 adalah najis.” Dalam sebuah hadits shahih yang
menjelaskan tentang istinja’, diriwayatkan bahwa diberikan kepada Nabi saw dua
buah batu dan sebuah kotoran hewan (yang sudah mengering), lalu beliau
mengambil batu dan membuang kotoran hewan seraya bersabda, “Kotoran tersebut rijsun.”Yakni
najis.
Adapun
Fuqaha’, mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah ini, kecuali apa yang
diriwayatkan dari Rabi’ah, dia berkata, Khamar itu haram, tapi suci.[2]
Namun, dalam permasalahan ini, Para Ulama berbeda pendapat tentang arti rijsun
yang terdapat dalam ayat diatas:
1. Pendapat pertama: Mayoritas
Ulama berpendapat bahwa makna rijsun disini adalah najis hisiyah. Maksudnya
bahwa khamar adalah barang najis secara lahir, kalau tersentuh tangan, maka
tangan harus tersebut harus dicuci, seperti kencing atau kotoran manusia. Dalil
yang mereka gunakan adalah Qs. Al-Maidah ayat 90. Selain ayat diatas, ada
sebuah hadits yang menegaskan bahwa khamar najis. Diriwayatkan dari Abu
Tsa’labah Al-Khusyani ra bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Kami
bertetangga dengan ahli kitab, sedang periuk-periuknya mereka gunakan untuk
memasak nabi, dan gelas-gelasnya mereka gunakan sebagai tempat meminum khamar.”
Rasulullah saw bersabda:
إن وجدتم غيرها فكلوا فيها واشربوا وإن لم تجدوا غيرها
فارحضوها بالماء وكلواواشربوا
“Jika kalian masih bisa mendapatkan selain periuk dan gelas yang
mereka gunakan, maka gunakanlah periuk dan gelas yang bukan milik mereka untuk
makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkannya, cucilah (gelas dan periuk
mereka itu) dengan air, lalu pergunakanlah untuk makan dan minum.”[3]
Beliau
saw memerintahkan untuk mencuci periuk dan gelas yang digunakan oleh mereka,
menunjukkan bahwa perabot tersebut tdak suci. Sebab jika perabot
tersebut tidak najis, tentunya Nabi saw tidak memerintahkan untuk mencucinya.[4]
2. Pendapat kedua: Bahwa rijsun
dalam ayat diatas adalah najis maknawi, maksudnya bahwa khamar bukanlah barang
yang najis, yaitu orang yang menyentuhnya tidak diharuskan untuk bersuci.
Inilah pendapat sebagian
ulama diantaranya Rabi’ah, Al-laits, Al-Muzani, Asy-Syaukani,
Ash-Shon’ani, Ahmad Syakir, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syeikh
Al-Bani.
Dalil mereka sebagai berikut:
a.
Ayat 90 dari surat
al-Maidah diatas menjelaskan emapt perkara perbuatan keji yaitu: khamar,
berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, bahwa semuanya
itu adalah najis. Telah diketahui bahwa tiga hal selain khamar adalah suci
secara lahir, tetapi najis secara maknawi, karena termasuk perbuatan syetan.
Oleh karena itu khamar juga dikatakan najis maknawi dan bukan najis secara
lahir atau hissi. Karena keempat hal tersebut disebutkan bersamaan dalam
satu ayat. Hal ini dikuatkan dalam firman Allah swt yang lain Qs. Al-Hajj ayat
30
(#qç6Ï^tFô_$$sù [ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur ^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ
“Maka
jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan
dusta.”
Adapun yang dimaksud dari kenajisan berhala
pada ayat diatas adalah najis maknawi.
b.
Hadits dari Anas bin Malik
ra, bahwasanya ia berkata:
“Aku pernah menjamu suatu
kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu khamar mereka adalah
Al-fadikh (arak terbuat dari buah kurma). Kemudian Rasulullah saw memerintahkan
seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan.” Anas
berkata: “Maka Abu Thalhah ra berkata
kepadaku, “Keluar dan tumpahkanlah! Maka aku keluar dan menumpahkannya. Maka
pada waktu itu khamar mengalir di jalan-jalan kota madin[5]
Hadits diatas menunjukkan bahwa khamar tidak
najis secara hissiyah, tetapi najis secara maknawi, karena dua alasan:
1.
Bahwa hadits diatas
menjelaskan khamar ditumpahkan di jalan-jalan kota Madinah. Kalau seandainya
khamar tersebut najis secara hissiyah, tentunya Rasulullah saw akan
memerinthkan para sahabatnya untuk membersihkannya, karena jalan-jalan tersebut
akan dilewati orang banyak. Tetapi beliau membiarkan saja. Hal ini menunjukkan
bahwa khamar tidaklah najis secara lahir, tetapi najis secara maknawi.
2.
Setelah turunnya ayat
khamar, Rasulullah saw hanya memerintahkan untuk membaung khamar, tetapi tidak
memerintahkan untuk mencuci botol-botol atau kendi, atau gelas yang pernah
diisi khamar. Tetapi belaiu membiarkan saja. Hal ini menunjukkan bahwa khamar
tidak najis secara lahir tapi najis secara maknawi.
c.
Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu
‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Suatu ketika serorang laki-laki menghadiahkan
sekantong khomer kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun
bersabda kepadanya: “Belum tahukah kamu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam telah mengharamkannya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum”. Kemudian dia
berbisik kepada orang yang ada di sampingnya, maka Rasulullah shallallahu
‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Apa yang kamu bisikkan kepadanya?” dia
menjawab, “Saya perintahkan supaya menjualnya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya
Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.”
Kemudian laki-laki tersebut membuka kantung khomer dan menumpahkan isinya
semua.”[6]
d.
Pada dasarnya segala
sesuatu itu adalah suci, sampai ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Karena
tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya, maka hukumnya kembali kepada
asal, yaitu suci. Maka
khamar itu suci secara lahir
walaupun secara maknawi adalah kotor dan haram untuk dikonsumsi karena
perbuatan syetan. Dan tidak setiap yang haram untuk dikonsumsi karena perbuatan
syetan. Dan tidak setiap yang haram itu pasti najis, tetapi setiap yang najis
pasti diharamkan, seperti racun, ia haram untuk dikonsumsi tetapi tidak najis,
begitu juga emas dan kain sutra diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya,
tetapi keduanya tidaklah najis. Begitu juga kita diharamkan untuk menikahi
ibu-ibu kita, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Qs. An-Nisa’ ayat 23:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé&
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Walaupun kita diharamkan menikahi ibu kita,
berarti badan ibu itu najis, tetapi ibu itu tetap suci secara lahir. Begitu
juga ketika kita bersalaman dengan orang kafir atau musyrik, tangan kita
tidaklah najis karenanya. Karena kenajisan orang musyrik bukan lahiriyah tetapi
najis maknawi.
Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. At-Taubah
ayat 28:
$yJ¯RÎ) cqä.Îô³ßJø9$# Ó§pgwU
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”
Kesimpulannya bahwa khamar
menurut pendapat yang benar bukanlah barang najis secara lahir, akan tetapi ia
najis secara maknawi, karena termasuk rijsun dan rijsun sendiri adalah
perbuatan syetan. Dengan demikian, maka khomr secara hukum tidaklah najis,
namun khomr tetap haram untuk diminum. Wallahu a’lam.
0 komentar:
Posting Komentar