Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

APAKAH KHAMAR ITU NAJIS ?


بسم الله الرحمن الرحيم
APAKAH KHAMAR ITU NAJIS ?
(Makalah 01)
Allah SWT berfirman:

“Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan syaitan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan. (Qs. Al-Maidah:90)
Ayat diatas menjelaskan  bahwa khamar termasuk rijsun yang merupakan salah satu dari perbuatan syetan. Sedang, kata rijsun disini menunjukkan bahwa khamar itu najis.[1]
Ibnul ‘Arabi Al-Maaliki (wafat tahun 543 H) mentafsirkan, “Yang dimaksud رجس dalam surat Al-Maaidah ayat 90 adalah najis.” Dalam sebuah hadits shahih yang menjelaskan tentang istinja’, diriwayatkan bahwa diberikan kepada Nabi saw dua buah batu dan sebuah kotoran hewan (yang sudah mengering), lalu beliau mengambil batu dan membuang kotoran hewan seraya bersabda, “Kotoran tersebut rijsun.”Yakni najis.
            Adapun Fuqaha’, mereka tidak berbeda pendapat dalam masalah ini, kecuali apa yang diriwayatkan dari Rabi’ah, dia berkata, Khamar itu haram, tapi suci.[2]
Namun, dalam permasalahan ini, Para Ulama berbeda pendapat tentang arti rijsun yang terdapat dalam ayat diatas:
1.      Pendapat pertama: Mayoritas Ulama berpendapat bahwa makna rijsun disini adalah najis hisiyah. Maksudnya bahwa khamar adalah barang najis secara lahir, kalau tersentuh tangan, maka tangan harus tersebut harus dicuci, seperti kencing atau kotoran manusia. Dalil yang mereka gunakan adalah Qs. Al-Maidah ayat 90. Selain ayat diatas, ada sebuah hadits yang menegaskan bahwa khamar najis. Diriwayatkan dari Abu Tsa’labah Al-Khusyani ra bahwa dia pernah bertanya kepada Rasulullah saw, “Kami bertetangga dengan ahli kitab, sedang periuk-periuknya mereka gunakan untuk memasak nabi, dan gelas-gelasnya mereka gunakan sebagai tempat meminum khamar.” Rasulullah saw bersabda:
إن وجدتم غيرها فكلوا فيها واشربوا وإن لم تجدوا غيرها فارحضوها بالماء وكلواواشربوا
               Jika kalian masih bisa mendapatkan selain periuk dan gelas yang mereka gunakan, maka gunakanlah periuk dan gelas yang bukan milik mereka untuk makan dan minum. Jika kalian tidak mendapatkannya, cucilah (gelas dan periuk mereka itu) dengan air, lalu pergunakanlah untuk makan dan minum.”[3]     
                        Beliau saw memerintahkan untuk mencuci periuk dan gelas yang digunakan oleh mereka, menunjukkan bahwa perabot tersebut tdak suci. Sebab jika perabot tersebut tidak najis, tentunya Nabi saw tidak memerintahkan untuk mencucinya.[4]    
2.      Pendapat kedua: Bahwa rijsun dalam ayat diatas adalah najis maknawi, maksudnya bahwa khamar bukanlah barang yang najis, yaitu orang yang menyentuhnya tidak diharuskan untuk bersuci. Inilah pendapat sebagian
ulama diantaranya Rabi’ah, Al-laits, Al-Muzani, Asy-Syaukani, Ash-Shon’ani, Ahmad Syakir, Syeikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dan Syeikh Al-Bani.
Dalil mereka sebagai berikut:
a.      Ayat 90 dari surat al-Maidah diatas menjelaskan emapt perkara perbuatan keji yaitu: khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, bahwa semuanya itu adalah najis. Telah diketahui bahwa tiga hal selain khamar adalah suci secara lahir, tetapi najis secara maknawi, karena termasuk perbuatan syetan. Oleh karena itu khamar juga dikatakan najis maknawi dan bukan najis secara lahir atau hissi. Karena keempat hal tersebut disebutkan bersamaan dalam satu ayat. Hal ini dikuatkan dalam firman Allah swt yang lain Qs. Al-Hajj ayat 30
(#qç6Ï^tFô_$$sù š[ô_Íh9$# z`ÏB Ç`»rO÷rF{$# (#qç6Ï^tFô_$#ur š^öqs% Ír9$# ÇÌÉÈ
“Maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta.”
Adapun yang dimaksud dari kenajisan berhala pada ayat diatas adalah najis maknawi.
b.      Hadits dari Anas bin Malik ra, bahwasanya ia berkata:
“Aku pernah menjamu suatu kaum dengan minuman di rumah Abu Thalhah. Saat itu khamar mereka adalah Al-fadikh (arak terbuat dari buah kurma). Kemudian Rasulullah saw memerintahkan seorang penyeru untuk menyerukan bahwa khamar telah diharamkan.” Anas
berkata: “Maka Abu Thalhah ra berkata kepadaku, “Keluar dan tumpahkanlah! Maka aku keluar dan menumpahkannya. Maka pada waktu itu khamar mengalir di jalan-jalan kota madin[5]
Hadits diatas menunjukkan bahwa khamar tidak najis secara hissiyah, tetapi najis secara maknawi, karena dua alasan:
1.      Bahwa hadits diatas menjelaskan khamar ditumpahkan di jalan-jalan kota Madinah. Kalau seandainya khamar tersebut najis secara hissiyah, tentunya Rasulullah saw akan memerinthkan para sahabatnya untuk membersihkannya, karena jalan-jalan tersebut akan dilewati orang banyak. Tetapi beliau membiarkan saja. Hal ini menunjukkan bahwa khamar tidaklah najis secara lahir, tetapi najis secara maknawi.
2.      Setelah turunnya ayat khamar, Rasulullah saw hanya memerintahkan untuk membaung khamar, tetapi tidak memerintahkan untuk mencuci botol-botol atau kendi, atau gelas yang pernah diisi khamar. Tetapi belaiu membiarkan saja. Hal ini menunjukkan bahwa khamar tidak najis secara lahir tapi najis secara maknawi.
c.       Hadits Ibnu ‘Abbas radliyallahu ‘anhu bahwasanya beliau berkata:
“Suatu ketika serorang laki-laki menghadiahkan sekantong khomer kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau pun bersabda kepadanya: “Belum tahukah kamu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengharamkannya?” Laki-laki itu menjawab, “Belum”. Kemudian dia berbisik kepada orang yang ada di sampingnya, maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepadanya, “Apa yang kamu bisikkan kepadanya?” dia menjawab, “Saya perintahkan supaya menjualnya.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya Dzat yang mengharamkan untuk meminumnya juga mengharamkan untuk menjualnya.” Kemudian laki-laki tersebut membuka kantung khomer dan menumpahkan isinya semua.”[6]
d.      Pada dasarnya segala sesuatu itu adalah suci, sampai ada dalil yang menyatakan kenajisannya. Karena tidak ada dalil yang menyatakan kenajisannya, maka hukumnya kembali kepada asal, yaitu suci. Maka
khamar itu suci secara lahir walaupun secara maknawi adalah kotor dan haram untuk dikonsumsi karena perbuatan syetan. Dan tidak setiap yang haram untuk dikonsumsi karena perbuatan syetan. Dan tidak setiap yang haram itu pasti najis, tetapi setiap yang najis pasti diharamkan, seperti racun, ia haram untuk dikonsumsi tetapi tidak najis, begitu juga emas dan kain sutra diharamkan bagi laki-laki untuk memakainya, tetapi keduanya tidaklah najis. Begitu juga kita diharamkan untuk menikahi ibu-ibu kita, sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam Qs. An-Nisa’ ayat 23:
ôMtBÌhãm öNà6øn=tã öNä3çG»yg¨Bé&
Artinya:
“Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu”
Walaupun kita diharamkan menikahi ibu kita, berarti badan ibu itu najis, tetapi ibu itu tetap suci secara lahir. Begitu juga ketika kita bersalaman dengan orang kafir atau musyrik, tangan kita tidaklah najis karenanya. Karena kenajisan orang musyrik bukan lahiriyah tetapi najis maknawi.
Allah Ta’ala berfirman dalam Qs. At-Taubah ayat 28:
$yJ¯RÎ) šcqä.ÎŽô³ßJø9$# Ó§pgwU Ÿ                                                                      
Artinya:
“Sesungguhnya orang-orang yang musyrik itu najis”

Kesimpulannya bahwa khamar menurut pendapat yang benar bukanlah barang najis secara lahir, akan tetapi ia najis secara maknawi, karena termasuk rijsun dan rijsun sendiri adalah perbuatan syetan. Dengan demikian, maka khomr secara hukum tidaklah najis, namun khomr tetap haram untuk diminum. Wallahu a’lam.

           

           




[1]  Al-Ikliil fii Istimbaathi At-Tanzil, hal.94.
[2]  Al-Laitsi menyebutkan dari Rabi’ah bahwa khamar itu tidak najis. Mukhtassar Ikhtilaaf Ulama (I/123)
[3]  Hadits shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam Kitaabu Al-Ath’imah.
[4]  Rawaa’i Al-Bayaan, 1/566
[5]  HR. Bukhari dan Muslim
[6]  HR.Muslim

0 komentar:

Posting Komentar