Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Sujud Tilawah

Sujud Tilawah
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”[QS.Maryam:58]
Keanekaragaman sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu rahmat yang Allah anugerahkan terhadap umatan wasathan (umat yang pertengahan) ini di mana dengan berbagai sunnah yang bisa dilakukan tersebut berharap semakin banyak pula pahala yang bisa diraih, dan diantara sunnah Rasulallah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah sunnah sujud Tilawah.
Definisi Sujud Tilawah
Yang dimaksud dengan sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan membaca atau mendengarkan ayat dari ayat-ayat di dalam Al-Qur’an Al-Karim terkhusus ayat-ayat sajdah yang mana apabila kita membaca Al-Qur’an kemudian mendapati ayat-ayat sajdah tersebut setelahnya kita disunnahkan untuk bersujud.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, dia bercerita: ”Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam bersabda:
 “Jika anak Adam membaca ayat sajdah lalu dia bersujud, syaitan akan menyingkir seraya menangis dan berucap : ‘Aduh, sialan,’(dalam sebuah riwayat disebutkan:’Celaka aku.)’ anak Adam diperintah untuk bersujud lalu dia bersujud muka baginya Surga, sedangkan aku diperintahkan untuk bersujud, tetapi aku menolak melakukannya maka bagiku Neraka.” [ Shahih, dikeluarkan oleh Muslim (81), Ibnu Majah (1052) dan Ahmad (9336).]
Hukum Sujud Tilawah
Ulama’ bersepakat disyari’atkannya sujud tilawah. Kemudian terjadi perbedaan pendapat akan kewajibannya :
Pertama : sesungguhnya hukumnya wajib, menurut madzhab ats-Tsauri, Abu Hanifah dan dari riwayat Ahmad serta ini pula yang dipilih Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. [Fathul Qadir (1/382), Ibnu ‘aabidin (1/103), Majmu’ Fatawa (23/139-155) dan al-Inshaf (2/193).]
Kedua : sesungguhnya hukumnya mustahab dan bukan wajib, menurut madzhab jumhur ; Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’I, al-Laits, Ahmad, Ishaq, Abu Tsauri, Daud dan Ibnu Hazm, begitu pula dari sahabat Umar bin Khattab, Salman, Ibnu Abbas dan ‘Imran bin Hushoin. [Al-Majmu’ (4/16).]
Tata Cara Sujud Tilawah
1.      Fuqaha sepakat bahwa sujud tilawah dengan sekali sujud.
2.      Sujud yang dilakukan sebagaiamana sujud dalam shalat.
3.      Tidak disyari’atkannya takbiratul ihram dan salam (dalam keadaan di luar shalat), jadi ketika mendapati sebuah ayat sajdah maka sehabis membaca ayat tersebut sebelum menyambung ke ayat berikutnya kita langsung bersujud tanpa didahului dan disudahi dengan takbir.
4.      Dalam kondisi shalat, di saat kita membaca ayat Al-Qur’an dan dipertengahannya kita dapati sebuah ayat sajdah maka sehabis membacanya sebelum menyambung ke ayat setelahnya kita juga langsung bersujud tetapi didahului dan disudahi dengan takbir tidak sebagaimana jika di luar kondisi shalat dan setelah selesai dari sujud kita kembali berdiri untuk meneruskan gerakan shalat sesuai dengan tertib rukunnya.
5.      Lebih utama dilakukan selain dalam keadaan shalat.
Apakah Disyaratkan Thaharah Dan Menghadap Kiblat Untuk Sujud Tilawah Di Luar Kondisi Shalat?
1.      Jumhur ulama berpendapat bahwa syarat sujud tilawah sebagaimana syarat untuk shalat.
2.      Ibnu Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak ada syarat tertentu karena sujud (tilawah) bukan shalat.
3.      Abu Malik penulis Shahih Fiqih Sunnah berpendapat selama sujud bukan dalam shalat maka tidak disyari’atkan padanya untuk menghadap kiblat, akan tetapi tidak diragukan bahwa sujud dalam keadaan suci dan menghadap kiblat lebih utama dan lebih sempurna.
Bacaan Sujud Tilawah
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam membaca dalam sujud tilawah pada malam hari, berulang-ulang :
سَجَدَ وَجْهِيَ لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
Artinya: “Wajahku telah bersujud kepada Dzat yang telah menciptakannya dan mengangtifkan pendengaran dan penglihatannya dengan daya dan keukatan-Nya” [HR.At-Tirmidzi: 2/474, Ahmad: 6/30, dan Al-Hakim. Dan di shahihkan serta disepakati oleh Adz-Dzahabi.]
Sedangkan lafadz “Fatabarakallahu ahsanul khaliqin”, masih terjadi perbedaan pendapat dalam kesahihan riwayat tersebut bahkan bagi beberapa ulama masih terjadi perbedaan pendapat akan keadaan lemahnya hadits ini, namun mayoritas ulama’ berpendapat bahwa yang lebih kuat bahwa hadits ini telah dishahihkan.
Yang Melakukan Sujud Tilawah
Ulama berpendapat bahwa hukum yang melakukan sujub tilawah adalah yang membaca ayat sajadah, baik dalam keadaan shalat maupun di luar shalat.
Akan tetapi terjadi perbedaan pendapat bagi yang mendengarkannya :
1.      Sebagian ulama’ berpendapat bahwa yang mendengar juga ikut turut melakukan sujud.
2.      Sebagaian ulama’ lagi berpendapat bahwa orang yang mendengar ayat tersebut dibacakan tidak melakukan sujud kecuali apabila ia memang berniat ingin mendengarkan.
Sujud Tilawah Dalam Shalat
            Disunnahkan barangsiapa yang membaca ayat sajadah dalam shalatnya untuk melakukan sujud tilawah tidak ada perbedaan antara wajib ataupun sunnah, baik jarriyah amupun sirriyyah.
Akan tetapi beberapa ulama’ memakruhkan apabila Imam membaca dalam sirriyah kemudian sujud tilawah karena dikhawatirkan terjadi perbedaan gerakan dengan makmum.
Ayat-ayat Sajdah
Ayat-ayat sajdah di dalam al-Qur’an terdapat lima belas ayat. Akan tetapi terjadi perselisihan pendapat akan riwayat tentang ayat yang disyari’atkannya sujud tilawah. Sepuluh ayat telah disepakati, empat ayat terdapat perselisihan dalam riwayat dan satu ayat tidak shahih riwayatnya.
1.      Sepuluh letak ayat yang disepakati riwayatnya.
a.       QS. Al-A’raaf       ayat     206
b.      QS. Ar-Ra’du       ayat     15
c.       QS. An-Nahl         ayat     49-50
d.      QS. Al-Isra’          ayat     107-109
e.       QS. Maryam          ayat     58
f.       QS. Al-Hajj           ayat     18
g.      QS. Al-Furqan      ayat     60
h.      QS. An-Naml        ayat     25-26
i.        QS. As-Sajadah    ayat     15
j.        QS. Fushshilat       ayat     37-38
2.      Empat letak ayat yang diperselisihkan riwayatnya.
a.       QS. Shaad             ayat     24
b.      QS. An-Najm        ayat     62
c.       QS. Al-Insyiqoq    ayat     20-21
d.      QS. Al-‘Alaq         ayat     19
3.      Satu letak ayat tidak shahih riwayatnya.
QS. Al-Hajj                 ayat     77.
Diintisarikan dari: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayid Salim: 1/445-448, dengan sedikit suntingan. Wallahu Ta’ala a’lam bish showab
Rubrik Fatawa
HIKMAH WAKTU-WAKTU DILARANG SHALAT
Pertanyaan:
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya: "Aku dengar ada beberapa waktu yang dilarang untuk melakukan shalat, apa sebabnya?
Jawaban:
Memang ada beberapa waktu dilarang untuk shalat; sehabis waktu Fajar (Subuh) sehingga matahari mencapai tinggi 1 (satu) meter (setumbak), yakni kira-kira seperempat jam setelah terbit, ketika matahari berada tepat di pertengahan siang hari sehingga tergelincir kira-kira lima menit lamanya, setelah shalat Ashar sampai terbenam. Jika seseorang telah shalat Ashar, maka ia haram melakukan shalat hingga matahari terbenam kecuali pada shalat fardhu yang belum dilaksanakan berdasarkan umumnya makna hadits berikut:
"Artinya: Barangsiapa tertidur atau lupa belum shalat, hendaklah melakukannya ketika ia sadar".
Atau untuk shalat sunnat yang punya sebab tertentu, umpamanya untuk shalat Tahiyyatul Masjid ketika kita memasuki suatu masjid padahal kita telah shalat Ashar di masjid lainnya berdasarkan hadits:
"Artinya: Apabila salah seorang di antaramu memasuki masjid, hendaklah sebelum duduk shalat dua rakaat"
Atau untuk melaksanakan shalat gerhana atau ketika mendengar ayat-ayat sajdah dibacakan.
Hikmah dimakruhkan shalat pada waktu-waktu tersebut, antara lain; jika orang diizinkan melakukan shalat sunnat dalam waktu-waktu tersebut, maka ia akan melakukannya terus hingga terbenam atau terbit matahari. Maka hal ini akan menyerupai sikap orang kafir yang selalu sujud ketika matahari terbit atau terbenamnya. Dalam hal ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ingin sekali menutup segala hal yang akan menyerupai perbuatan orang musyrik.
Adanya larangan shalat ketika matahari berada di tengah-tengah siang sampai tergelincir, karena pada saat itu api Jahannam sedang menyala-nyala sehingga kita dilarang untuk tidak melakukan shalat.
[Disalin dari: Fatawa Syaikh Muhammad Al-Shalih Al-U'saimin, oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, edisi Indonesia: 257 Tanya Jawab, Fatwa-Fatwa Al-Utsaimin, hal: 77-81]

0 komentar:

Posting Komentar