Sujud Tilawah
“Apabila dibacakan ayat-ayat Allah yang Maha Pemurah kepada mereka, Maka
mereka menyungkur dengan bersujud dan menangis.”[QS.Maryam:58]
Keanekaragaman sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam adalah salah satu rahmat yang Allah anugerahkan
terhadap umatan wasathan (umat yang pertengahan) ini di mana dengan berbagai sunnah yang bisa dilakukan tersebut berharap semakin banyak pula pahala yang
bisa diraih, dan diantara sunnah Rasulallah shallallahu ‘alaihi
wasallam adalah sunnah sujud Tilawah.
Definisi Sujud
Tilawah
Yang dimaksud
dengan sujud tilawah adalah sujud yang disebabkan membaca atau mendengarkan
ayat dari ayat-ayat di dalam Al-Qur’an Al-Karim terkhusus ayat-ayat sajdah yang
mana apabila kita membaca Al-Qur’an kemudian mendapati ayat-ayat
sajdah tersebut setelahnya kita disunnahkan untuk bersujud.
Keutamaan Sujud Tilawah
Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu,
dia bercerita: ”Rasulullah Shalallahu
‘alaihi wa Salam bersabda:
“Jika anak Adam membaca ayat
sajdah lalu dia bersujud, syaitan akan menyingkir seraya menangis dan berucap :
‘Aduh, sialan,’(dalam sebuah riwayat disebutkan:’Celaka aku.)’ anak Adam
diperintah untuk bersujud lalu dia bersujud muka baginya Surga, sedangkan aku
diperintahkan untuk bersujud, tetapi aku menolak melakukannya maka bagiku
Neraka.” [ Shahih, dikeluarkan oleh Muslim (81), Ibnu Majah (1052) dan Ahmad
(9336).]
Hukum
Sujud Tilawah
Ulama’ bersepakat disyari’atkannya sujud tilawah. Kemudian terjadi
perbedaan pendapat akan kewajibannya :
Pertama : sesungguhnya hukumnya wajib, menurut madzhab ats-Tsauri,
Abu Hanifah dan dari riwayat Ahmad serta ini pula yang dipilih Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyyah. [Fathul Qadir (1/382),
Ibnu ‘aabidin (1/103), Majmu’ Fatawa (23/139-155) dan al-Inshaf (2/193).]
Kedua : sesungguhnya hukumnya mustahab dan
bukan wajib, menurut madzhab jumhur ; Malik, asy-Syafi’i, al-Auza’I, al-Laits,
Ahmad, Ishaq, Abu Tsauri, Daud dan Ibnu Hazm, begitu pula dari sahabat Umar bin
Khattab, Salman, Ibnu Abbas dan ‘Imran bin Hushoin. [Al-Majmu’ (4/16).]
Tata Cara Sujud Tilawah
1.
Fuqaha
sepakat bahwa sujud tilawah dengan sekali sujud.
2.
Sujud
yang dilakukan sebagaiamana sujud dalam shalat.
3.
Tidak
disyari’atkannya takbiratul ihram dan salam (dalam keadaan di luar shalat), jadi ketika mendapati sebuah ayat sajdah maka
sehabis membaca ayat tersebut sebelum menyambung ke ayat berikutnya kita
langsung bersujud tanpa didahului dan disudahi dengan takbir.
4.
Dalam kondisi shalat, di saat kita membaca
ayat Al-Qur’an dan dipertengahannya kita dapati sebuah ayat sajdah maka sehabis
membacanya sebelum menyambung ke ayat setelahnya kita juga langsung bersujud
tetapi didahului dan disudahi dengan takbir tidak sebagaimana jika di luar
kondisi shalat dan setelah selesai dari sujud kita kembali berdiri untuk
meneruskan gerakan shalat sesuai dengan tertib rukunnya.
5.
Lebih
utama dilakukan selain dalam keadaan shalat.
Apakah
Disyaratkan Thaharah Dan Menghadap Kiblat Untuk Sujud Tilawah Di Luar Kondisi Shalat?
1.
Jumhur
ulama berpendapat bahwa syarat sujud tilawah sebagaimana syarat untuk shalat.
2.
Ibnu
Hazm dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berpendapat tidak ada syarat tertentu
karena sujud (tilawah) bukan shalat.
3.
Abu
Malik penulis Shahih
Fiqih Sunnah berpendapat selama sujud bukan dalam
shalat maka tidak disyari’atkan padanya untuk menghadap kiblat, akan tetapi
tidak diragukan bahwa sujud dalam keadaan suci dan menghadap kiblat lebih utama
dan lebih sempurna.
Bacaan
Sujud Tilawah
Dari ‘Aisyah radhiallahu’anha berkata, Rasulullah Shalallahu ‘alaihi wa Salam membaca dalam sujud tilawah pada malam hari, berulang-ulang :
سَجَدَ وَجْهِيَ
لِلَّذِيْ خَلَقَهُ وَصَوَّرَهُ وَشَقَّ سَمْعَهُ وَبَصَرَهُ بِحَوْلِهِ وَقُوَّتِهِ
Artinya: “Wajahku telah bersujud kepada Dzat
yang telah menciptakannya dan mengangtifkan pendengaran dan penglihatannya
dengan daya dan keukatan-Nya” [HR.At-Tirmidzi: 2/474, Ahmad: 6/30, dan
Al-Hakim. Dan di shahihkan serta disepakati oleh Adz-Dzahabi.]
Sedangkan lafadz “Fatabarakallahu ahsanul
khaliqin”, masih terjadi perbedaan pendapat dalam kesahihan riwayat tersebut
bahkan bagi beberapa ulama masih terjadi perbedaan pendapat akan keadaan
lemahnya hadits ini, namun mayoritas ulama’ berpendapat bahwa yang lebih kuat
bahwa hadits ini telah dishahihkan.
Yang Melakukan Sujud Tilawah
Ulama berpendapat bahwa hukum yang melakukan
sujub tilawah adalah yang membaca ayat sajadah, baik dalam keadaan shalat
maupun di luar shalat.
Akan
tetapi terjadi perbedaan pendapat bagi yang mendengarkannya :
1.
Sebagian
ulama’ berpendapat bahwa yang mendengar juga ikut turut melakukan sujud.
2.
Sebagaian
ulama’ lagi berpendapat bahwa orang yang mendengar ayat tersebut dibacakan
tidak melakukan sujud kecuali apabila ia memang berniat ingin mendengarkan.
Sujud
Tilawah Dalam Shalat
Disunnahkan
barangsiapa yang membaca ayat sajadah dalam shalatnya untuk melakukan sujud
tilawah tidak ada perbedaan antara wajib ataupun sunnah, baik jarriyah
amupun sirriyyah.
Akan
tetapi beberapa ulama’ memakruhkan apabila Imam membaca dalam sirriyah kemudian
sujud tilawah karena dikhawatirkan terjadi perbedaan gerakan dengan makmum.
Ayat-ayat
Sajdah
Ayat-ayat sajdah di dalam al-Qur’an terdapat lima belas ayat. Akan
tetapi terjadi perselisihan pendapat akan riwayat tentang ayat yang
disyari’atkannya sujud tilawah. Sepuluh ayat telah disepakati, empat ayat
terdapat perselisihan dalam riwayat dan satu ayat tidak shahih riwayatnya.
1.
Sepuluh
letak ayat yang disepakati riwayatnya.
a.
QS.
Al-A’raaf ayat 206
b.
QS. Ar-Ra’du
ayat 15
c.
QS.
An-Nahl ayat 49-50
d.
QS.
Al-Isra’ ayat 107-109
e.
QS.
Maryam ayat 58
f.
QS.
Al-Hajj ayat 18
g.
QS.
Al-Furqan ayat 60
h.
QS.
An-Naml ayat 25-26
i.
QS.
As-Sajadah ayat 15
j.
QS.
Fushshilat ayat 37-38
2.
Empat
letak ayat yang diperselisihkan riwayatnya.
a.
QS.
Shaad ayat 24
b.
QS.
An-Najm ayat 62
c.
QS.
Al-Insyiqoq ayat 20-21
d.
QS.
Al-‘Alaq ayat 19
3.
Satu
letak ayat tidak shahih riwayatnya.
QS. Al-Hajj ayat 77.
Diintisarikan
dari: Shahih Fiqh Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin Sayid Salim: 1/445-448,
dengan sedikit suntingan. Wallahu Ta’ala a’lam bish showab
Rubrik
Fatawa
HIKMAH
WAKTU-WAKTU DILARANG SHALAT
Pertanyaan:
Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin pernah ditanya: "Aku dengar ada beberapa
waktu yang dilarang untuk melakukan shalat, apa sebabnya?
Jawaban:
Memang
ada beberapa waktu dilarang untuk shalat; sehabis waktu Fajar (Subuh) sehingga
matahari mencapai tinggi 1 (satu) meter (setumbak), yakni kira-kira seperempat
jam setelah terbit, ketika matahari berada tepat di pertengahan siang hari
sehingga tergelincir kira-kira lima menit lamanya, setelah shalat Ashar sampai
terbenam. Jika seseorang telah shalat Ashar, maka ia haram melakukan shalat
hingga matahari terbenam kecuali pada shalat fardhu yang belum dilaksanakan
berdasarkan umumnya makna hadits berikut:
"Artinya:
Barangsiapa tertidur atau lupa belum shalat, hendaklah melakukannya ketika ia
sadar".
Atau
untuk shalat sunnat yang punya sebab tertentu, umpamanya untuk shalat
Tahiyyatul Masjid ketika kita memasuki suatu masjid padahal kita telah shalat
Ashar di masjid lainnya berdasarkan hadits:
"Artinya:
Apabila salah seorang di antaramu memasuki masjid, hendaklah sebelum duduk
shalat dua rakaat"
Atau
untuk melaksanakan shalat gerhana atau ketika mendengar ayat-ayat sajdah
dibacakan.
Hikmah
dimakruhkan shalat pada waktu-waktu tersebut, antara lain; jika orang diizinkan
melakukan shalat sunnat dalam waktu-waktu tersebut, maka ia akan melakukannya
terus hingga terbenam atau terbit matahari. Maka hal ini akan menyerupai sikap
orang kafir yang selalu sujud ketika matahari terbit atau terbenamnya. Dalam
hal ini Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, ingin sekali menutup segala hal
yang akan menyerupai perbuatan orang musyrik.
Adanya
larangan shalat ketika matahari berada di tengah-tengah siang sampai
tergelincir, karena pada saat itu api Jahannam sedang menyala-nyala sehingga
kita dilarang untuk tidak melakukan shalat.
0 komentar:
Posting Komentar