Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

AR-RADD


AR-RADD
Ringkasan Buku Pembagian Warisan Menurut Islam

v  Dalam bahasa Arab berarti kembali / kembalikan atau juga bermakna ‘berpaling/ palingkan’.
v  Menurut istilah ulama faroidh, berkurangnya pokok masalah dan bertambahnya/ lebihnya  jumlah bagian ashabul furudh.
v  Ar-radd kebalikan al ‘aul
v  Keadaan dalam pembagian hak waris, para ashabul furudh telah menerima haknya masing masing tetapi ternyata harta warisan itu masih tersisa – sementara tidak ada sosok kerabat lain sebagai ‘ashobah – maka sisa harta waris itu diberikan atau dikembalikan lagi kepada ashabul furdh sesuai dengan bagian mereka masing masing
v  Syarat syarat ar-radd
1.       Adanya ashabul furudh
2.       Tidak adanya ‘ashobah
3.       Ada sisa harta waris
v  Ahli waris yang berhak mendapat radd
Dapat terjadi dan melibatkan semua ashabul furudh kecuali suami istri
1.       Anak perempuan
2.       Cucu perempuan keturunan laki laki
3.       Saudara kandung perempuan
4.       Saudara perempuan seayah
5.       Ibu kandung
6.       Nenek sahih (ibu dari bapak)
7.       Saudara perempuan seibu
8.       Saudara laki laki seibu
v  Ahli waris yan tidak mendapat radd
Suami, istri, karena kekerabatan keduanya bukan karena nasab namun karena pernikahan. Kekerabatan ini akan putus karena kematian
v  Hukum hukum ar-radd
1.       Adanya ahli waris pemilik bagian yang sama, dan tanpa adanya suami istri
·         Misalnya, semua berhak mendapatkan bagian setengah atau seperempat dst, maka cara pembagiannya dihitung berdasarkan jumlah ahli waris, untuk menghindari sikap bertele tele dan agar lebih cepat sampai pada tujuan dengan cara yang paling mudah
·         Sebagai misal, seseorang wafat dan hanya meninggalkan tiga anak perempuan, maka pokok masalahnya dari tiga, sesuai jumlah ahli waris. Sebab bagian mereka sesuai fardh adalah dua pertiga (2/3) dan sisanya mereka terima secara ar-radd. Karena itu pembagian hak masing masing sesuai jumlah mereka, disebabkan mereka merupakan ahli waris dari bagian yang sama.
2.       Adanya pemilik bagian yang berbeda beda, dan tanpa adanya suami atau istri
·         Cara pembagiannya dihitung dari nilai bagiannya, bukan dari jumlah ali waris (per kepala)
·         Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan seorang ibu dan dua orang saudara laki laki seibu. Maka pembagiannya bagi ibu seperenam (1/6),  untuk kedua saudara laki laki seibu sepertiga (1/3). Di sini nampak jumlah bagiannya tiga, dan itulah angka yang dijadikan pokok masalah yakni tiga.
3.       Adanya pemilik bagian yang sama, dan dengan adanya suami atau istri
·         Kaidah yang berlaku ialah, kita jadikan pokok masalahnya dari sahib fardh yang tidak dapat ditambahkan (di-radd-kan) dan barulah sisanya dibagikan kepada yang lain sesuai dengan jumlah per kepala.
·         Sebagai misal, seseorang wafat dan meninggalkan suami dan dua anak perempuan. Maka suami mendapatkan seperempat (1/4) bagian, dan sisanya (tiga per empat) dibagikan kepada anak secara merata, yakni sesuai jumlah kepala. Berarti bila pokok masalahnya dari empat (4) suami mendapatkan seperempat (1/4) berarti satu, dan sisanya tiga per empat (3/4) merupakan bagian kedua anak perempuan dan dibagi secara rata.
4.       Adanya pemilik bagian yang berbeda beda, dan dengan adanya suami istri
Kaidah yang berlaku  kita harus menjadikannya dalam dua masalah :
·         Persoalan pertama kita tidak menyertakan suami atau istri
·         Persoalan kedua kita menyertakan suami atau istri
·         Kita buat diagaramnya secara terpisah
·         Kita lihat kedua ilustrasi tersebut dengan salah satu dari tiga kriteria yang ada, mana yang lebih tepat : tamaatsul (kemiripan), tawaafuq (sepadan) dan tabaayun (perbedaan)

Seseorang wafat dan meninggalkan istri, nenek, dan dua orang saudara perempuan seibu, maka pembagiannya sebagai berikut :
Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami dan istri :
 masalahnya dari enam, dengan ar-radd menjadi dari lima (yakni dari jumlah bagian yang ada). Bagian nenek seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bagian kedua saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) = 2 bagian.

Ilustrasi kedua menyertakan suami dan istri :
Pokok masalhnya dari empat, yaitu diambil dari bagian sahib fardh yang tidak dapat di radd kan yaitu istri.
 istri seperempat (1/4) berarti memperoleh satu bagian. Sisanya yakni tiga bagian merupakan bagian nenek dan kedua saudara perempuan seibu.
Dengan melihat kedua ilustrasi di tersebut, kita dapati bagian yang sama antara bagian nenek dan bagian dua saudara perempuan saibu, yakni tiga bagian. Angka tiga tersebut berarti tamaatsul (sama) dalam kedua ilustrasi.
Kemudian bila istri mendapat bagiannya, yakni seperempat (1/4), maka sisa harta waris tinggal tiga bagian. Ilustrasi ini juga merupakan tamaatsul (Sama) dengan masalah ar-radd. Karenanya tidak lagi memerlukan tashih, dan cukuplah kita jadikan ilustrasi masalah kedua itu sebagai pokok masalah.

Contoh lain seseorang wafat meninggalkan istri, dua orang anak perempaun dan ibu.
Pada ilustrasi pertama – tanpa menyertakan suami/ istri – asal pokok masalhnya dari enam, dan dengan ar-radd menjadi lima, karena itulah jumlah bagian yang ada. Sedangkan dalam ilustrasi kedua – menyertakan istri/ suami – asal pokok masalahnya dari delapan, karena merupakan fardh orang yang tidak dapat di radd kan yakni istri.
Apabila istri mengambil bagiannya, yakni yang seperdelapan, maka sisanyan tujuh perdelapan (7/8) dan sisa ini merupakan bagian dua anak perempuan dengan ibu, secara fardh dan radd.
Seperti kita ketahui bahwa antara tujuh dan lima itu tabaayun (berbeda). Kemudian langkah berikutnya kita kalikan pokok masalah kedua (delapan) dengan pokok masalha pertama (lima). Maka hasil perkalian antara kedua pokok masalh itu adalah pokok masalah bagi kedua ilustrasi tersebut.
Kini setelah kita kenali pokok masalah dari kedua ilustrasi masalah tersebut, maka bagian istri adalah seperdelapan dari empat puluh bagian yang ada. Berarti ia mendapt lima (5) bagian.
Bagian kedua anak perempuan dan ibu adalah sisa setelah diambil bagian istri – yang tersisa tiga puluh lima (35). Maka pembagiannya sebagai berikut : bagian kedua anak perempuan adalah hasil perkalian antara empat (bagiannya dalam ilustrasi pertama) dengan tujuh (yang merupakan sisa bagian pada ilustrasi kedua) berarti dua puluh delapan (28) bagian.
Adapun bagian ibu adalah hasil perkalian antara bagiannya dalam ilustrasi pertama (satu bagian) dengan tujuh (yang merupakan bagian dalam ilustrasi kedua) berarti tujuh (7) bagian.
Jadi, dari jumlah keseluruhan antara bagian istri, ditambah bagian kedua anak perempuan, ditambah bagian ibu adalah 5 + 28 + 7 = 40. Lihat tabel berikut :

Ilustrasi pertama tanpa menyertakan suami/ istri
Pokok masalahnya aslinya dari 65,
Dengan radd menjadi 5
Bagian kedua anak perempuan 2/3         
Berarti                  4
Bagian ibu seperenam (1/6)
Berarti 1
Jumlah bagian
5

Ilustrasi kedua dengan menyertakan suami/ istri
Pokok masalahnya dari delapan, diambil dari ahlu fardh yang tidak dapat di-radd
Setelah tashih menjadi 40
Bagian istri 1/8, berarti 1
Setelah tashih menjadi 5
Bagian dua anak perempuan dan ibu
7
Setelah tashih bagian anak perempuan
4 x 7 = 28
Bagian
1 x 7 = 7

Permasalahan para fuqoha’ tentang ada tidaknya radd
Maklumlah jika masalah tersebut diperselisihkan, karena tidak ada nash yang sharih baik dari Al Qur’an dan sunnah
Ø  Pendapat yang mengingkari adanya radd
·         Zaid bin Tsabit dan sebagian kecil para sahabat. Jika terjadi kelebihan, maka dikembalikan kepada baitul mal.
·         Begitu juga dengan Urwah, Az Zuhry, Malik, as Syafi’I dan ibn Hazm (Dzahiri) sependirian dengan Zaid bin Tsabit
·         Fuqoha’ malikiyah berpendapat, kelebian harta tidak boleh di-radd-kan kepada ashabul furudh di kala tidak ada ‘ashobah, tetapi harus siderahkan kepada baitul mal baik baitul mal teratur dalam melaksanakan tugasnya maupun tidak.
·         Fuqoha’ Syafi’iyah berpendapat, kelebihan tersebut adalah hak kaum muslimin pada umumnya yang diamanahkan kepada baitul mal.
·         Pengikut Imam Syafi’I, Ibnu Saraqah, al qadhi al Husain, dan al Mutawaliy memfatwakan bolehnya me-radd-kan kepada ashabul furudh dan dzawil arham apabila keadaan baitul mal sudah tidak menjalankan fungsinya lagi sebagai tempat dana sosial untuk umat Islam.
·         Alasan Zaid bin Tsabit dan rekan rekannya adalah firman Allah Surat An Nisa’ ayat 14
ÆtBur ÄÈ÷ètƒ ©!$# ¼ã&s!qßuur £yètGtƒur ¼çnyŠrßãn ã&ù#Åzôム#·$tR #V$Î#»yz $ygÏù ¼ã&s!ur ÑU#xtã ÑúüÎgB ÇÊÍÈ
“Dan barangsiapa yang mendurhakai Allah dan rasul-Nya dan melanggar ketentuan-ketentuan-Nya, niscaya Allah memasukkannya ke dalam api neraka sedang ia kekal di dalamnya; dan baginya siksa yang menghinakan.”
Menambahi fardh mereka berarti membuat ketentuan yang melampaui batas ketentuan syari’at.
Dan sabda Rasulullah, yang disampaikan setelah turunnya ayat ayat mawaris, dapat ditarik konklusi bahwa setiap ahli waris tidak boleh memiliki hak melebihi hak yang telah ditetapkan oleh Allah.
إن الله قد اعطى كل حق حقه (الترمذي)

"Sungguh Allah telah memberikan hak kepada pemegang hak.”            
Sisa peninggalan harta setelah dibagikan kepada ahli waris ashabul furudh merupakan harta benda yang tidak dapat dimiliki oleh seorang ahli waris karena tidak ada jalan untuk memilikinya.[1]
Ø  Pendapat yang menyetujui adanya radd
§  Jumhur sahabat, tabi’in, Imam Abu Hanifah, Imam Ahmad, fuqoha mutaakhirin dari Malikiyah, Syafi’iyah, Zaidiyah dan Imamiyah menyutujui adanya radd. Perbedaan pendapat ada pada penentuan ashabul furudh yang boleh menerima radd.
§  Utsman bin Affan berpendapat, bahwa radd dapat diberikan kepada seluruh ahli waris ashabul furudh (termasuk suami istri), sebab andaikata jumlah bagian para ahli waris lebih banyak dari pokok masalahnya, mereka semuanya kena pengurangan dalam penerimaan sesuai fardh masing masing.
§  Ibn Mas’ud, kepada seluruh ahli waris selain : suami, istri, cucu perempuan dari anak laki laki bersama dengan anak perempuan kandung, saudari seayah bersama saudari kandung, anak anak ibu bersama ibu, dan nenek bersama dengan ashabul furudh siapa saja.
§  Ibnu Abbas, kepada seluruh ashabul furudh kecuali 3 orang, suami, istri dan nenek
§  Jumhur sahabat termasuk Ali bin Abi Tholib, fuqoha tabi’in, imam imam madzhab berpendapat radd dapat diberikan kepada ashabul furudh kecuali suami dan istri
Wallaahu a’lam. Sumber : Al Mawarits Fisy Syarii’ati Islamiyyah, Muhammad Ali Ash Shobuni , Ilmu Waris , Drs. Fatchurrahman


[1]  Syarh as Sirajiyah, as Sayyid as Syarif, hlm. 240

0 komentar:

Posting Komentar