WARISAN
KHUNTSA’
Arti Khuntsa’
1.
Bahasa Arab, diambil dari
kata khanatsa berarti “lunak” atau
“melunak”. Misalnya, khanatsa wa takhonnatsa, yang berarti apabila ucapan atau
cara berjalan seorang laki lkai menyerupai wanita; lembut dan melenggak
lenggok. Karenanya dalam hadits shahih dikisahkan bahwa Rasulullah bersabda ;
لعن الله
المخنثين من الرجال و المترجلات من النساء
“Allah melaknat laki laki yang menyerupai wanita dan wanita yang
menyerupai laki laki.”
2.
Menurut para fuqoha, adalah
orang yang mempunyai alat kelamin laki laki dan kelamin wanita (hermafrodit)
atau bahkan tidak mempunyai alat kelamin sama sekali (khuntsa musykil).
3.
Secara hokum harus
dibedakan antara waria dan khuntsa’ al musykil. Waria adalah orang yang secara
fisik berjenis kelamin pria akan tetapi secara hormonal / kejiawaan berperilaku
sebagai seorang perempuan.
Kejelasan jenis kelamin seseorang akan mempertegas
status hukumnya sehingga ia berhak menerima harta waris sesuai bagiannya. Bila
urine nya keluar dari sebagaimana kaum laki laki maka ia divonis sebagai laki
laki. Sedangkan jika ia mengeluarkan urine dari vagina, ia divionis sebagai
wanita. Namun bila ia mengeluarkan urine dari kedua alat kelaminnya (penis dan
vagina) secara berbarengan, maka inilah yang dinyatakan sebagai khuntsa’
musykil. Dan ia akan tetap musykil hingga datang masa akil baligh.
Sebelum Islam, seorang yang bernama Amir bin adz
Dzarb pernah memutuskan kepada kaumnya tentang hukum khuntsa'. Dia berkata,
" Wahai kaumku, lihatlah jalan keluarnya air seni, bila keluar dari penis
maka ia sebagai laki laki. Tetapi jika keluar dari vagina, ia dinyatakan
sebagai perempuan." Ternyata vonis ini diterima secara aklamasi.
Ketika Islam datang, dikukuhkan vonis tersebut.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah ketika ditanya tentang hak waris
seseorang yang dalam keadaan demikian, maka beliau menjawab dengan sabdanya,
“Lihatlah dari tempat keluarnya air seni.”
Perbedaan Ulama Mengenai Hak Waris Khuntsa’
Ada tiga pendapat
yang masyhur di kalangan ulama mengenai pemberian hak waris kepada banci
musykil ini;
1.
Madzhab Hanafi,
berpendapat bahwa hak waris banci adalah yang paling (lebih) sedikit bagiannya
di antara keadaannya sebagai laki laki atau wanita. Dan ini merupakan salah
satu pendapat Imam Syafi’I dan mayoritas sahabat.
2.
Madzhab Maliki,
berpendapat pemberian hak waris kepada para banci hendaklah tengah tengah di
antara kedua bagiannya. Maksudnya, mula mula permasalahnnya dibuat dalam dua
keadaan, kemudian disatukan dan dibagi menjadi dua. Maka hasilnya menjadi hak /
bagian banci.
3.
Madzhab Syafi’I,
berpendapat, bagian setiap ahli waris dan banci diberikan dalam jumlah yang
paling sedikit. Karena pembagian seperti
ini lebih meyakinkan bagi tiap tiap ahli waris. Sedangkan sisanya (dari harta
waris yang ada) untuk sementara tidak dibagikan kepada masing masing ahli waris
hingga telah nyata keadaan yang semestinya. Inilah pendapat yang dianggap
paling rajih (kuat) di kalangan madzhab Syafi’i.
Cara Pembagian Warisannya
Ø
Jika dapat diperjelas jenis
kelaminnya, maka pembagainnya sesuai dengan jenis kelamin tersebut.
Ø
Hak waris yang diberikan
kepadanya hendaklah yang paling sedikit di antara keduanya (keadaan bila ia
sebagai laki laki dan sebagai wanita).
Ø
Untuk sementara sisa harta
waris yang menjadi haknya dibekukan sampai statusnya menjadi jelas, atau sampai
ada kesepakatan tertentu di antara ahli waris. Atau sampai banci itu meninggal
hingga bagiannya berpindah kepada ahli waris.
Ø
Jika banci dinilai sebagai
wanita bagiannya lebih sedikit, maka hak waris yang diberikan kepadanya adalah
hak waris wanita. Dan jika dinilai sebagai laki laki dan bagiannya ternyata
lebih sedikit, maka divonis sebagai laki laki.
Ø
Bila ternyata dalam keadaan
di antara kedua status ditiadakan haknya, maka diputuskan bahwa banci tidak
mendapatkan hak waris.
Ø
Dalam madzhab Imam Syafi’I,
bila dalam suatu keadaan salah seorang dari ahli waris gugur haknya dikarenakan
adanya banci dalam salah satu dari sua status (yakni sebagai laki laki atau
wanita) maka gugurlah hak warisnya.
Contoh Masalah
1.
Seorang wafat dan
meninggalkan seorang anak laki laki, seorang anak perempuan dan seorang anak
banci. Bila anak banci ini dianggap sebagai anak laki laki, mak apokokmasalhnya
dari lima (5). Sedangkan bila dianggap sebagai wanita maka pokok masalahnya
dari empat (4). Kemudia kita menyatukan (al jami’ah) antara dua masalah seperti
dalam masalah al munasakhat. Bagian anak laki laki adalah 8, sedangkan bagian
anak perempuan empat (4) dan bagian anak banci lima (5). Sisa harta waris yaitu
tiga (3) kita bekukan sementara hingga
keadaannya secara nyata telah terbukti.
2.
Seseorang wafat
meninggalkan seorang suami, ibu, dan saudara laki laki banci. Pokok masalhnya
dari enam (6) bila banci itu dikategorikan sebagi wanita, kemudian di- ‘aul
kan. Dan al jami’ah (penyatuan) dari keduanya menjadilah pokok masalahnya dua
puluh empat (24). Sedangkan pembagiannya seperti berikut : suami Sembilan (9)
bagian. Ibu enam (6) bagian. Saudara laki laki banci tiga (3) bagian, dan
sisanya kta bekukan. Inlah tabelnya :
6
|
8
|
|
6
|
24
|
Suami ½
|
3
|
Suami
½
|
3
|
9
|
Ibu 1/3
|
2
|
Ibu
1/3
|
2
|
6
|
banci
|
3
|
Banci
kandung
|
1
|
4
|
Pada table tersebut sisa harta yang ada
yaitu lima (5) bagian dibekukan secara sementara dan akan dibagikan kembali
ketika keadaan yang sebenarnya telah benar benar jelas.
3.
Seorang wafat dan
meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan saudara laki laki seayah
banci. Maka pembagiannya sebagai berikut, maka pembagiannya sebagai berikut :
Bila benci dikategorikan sebagai laki
laki maka pokok masalahnya dua (2) sedangkan bila dikategorikan sebagai
perempuan maka pokok masalhnya dari tujuh (7), dan penyaatuannya dari keduanya
menjadi empat belas (14).
Bagian suami enam (6), saudara kandung
perempuan enam (6) bagian. Sedangkan banci tidak diberi haknya. Adapun sisanya
yaitu dua (2) bagian dibekukan. Ini tabelnya;
|
2
|
6
|
7
|
14
|
Suami ½
|
1
|
Suami
½
|
3
|
9
|
Sdr. Kdg. Pr
1/2
|
1
|
Sdr.
Kdg. Pr ½
|
3
|
6
|
Banci lk
|
-
|
Sdr.
Pr. Seayah 1/6
|
1
|
-
|
Sumber :
1.
Al Mawarits Fisy Syarii’ati
Islamiyyah, Muhammad Ali Ash Shobuni
2. Hukum Waris Islam, Suhrawardi K. Lubis, S.H. dan Komis Simanjuntak, S.H.
3.
Ilmu Waris , Drs. Fatchurrahman
0 komentar:
Posting Komentar