Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

‘AUL


‘AUL

Ø  Artinya dalam Bahasa Arab adalah Azh zhulm, aniaya dan tidak adil, naik atau meluap, bertambah, atau berat
Ø  Menurut fuqoha’, bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian) ahli waris
Ø  ‘Aul terjadi ketika makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis, padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.
Ø  Pada masa Rasulullah sampai masa kekhalifahan Abu Bakar kasus ‘aul tidak pernah terjadi.
Ø  Orang yang pertama menetapkannya adalah Umar bin Khottob setelah beliau memusyawarahkan dengan Zaid bin Tsabit dan ‘Abbas bin Abdul Muthollib.
Ø  Ibnu Abbas berkata, “Orang yang pertama kali menambahkan pokok masalah yakni ‘aul adalah Umar bin Khottob. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus dibagikan kepada ahli waris bertambah banyak.
Ø  Setelah kekhilafahan Umar berakhir, Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan putusan Umar dan bapaknya dalam masalah seorang mati yang meninggalkan ahli waris yang terdiri dari suami, ibu, dan saudari tunggal ayah, ujarnya
وايم الله لو قدّم من قدمه الله تعالى وأخّر من أخره الله تعالى ماعالت فريضة قط
“Demi Allah andaikata didahulukan orang yang didahulukan Allah dan diakhirkan orang yang diakhirkan Allah, niscaya tidak terjadi ‘aul sama sekali.”[1]
Ø  Ibnu Abbas tidak menentang Umar karena beliau adalah orang yang hebat dan ditakuti rakyatnya[2]
Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faroidh bagian yang mestinya diterima suami adalah setengah ( ½) sedangkan bagian saudara kandung perempuan adalah dua pertiga (2/3). Dengan demikian berarti fardh nya telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian suami tersebut tetap menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan istri. Begitupun dua orang saudara kandung perempuan mereka tetap menuntut dua per tiga yang menjadi hak warisnya.
Menghadapi keadaan demikian Umar kebingungan, dia berkata, “Sungguh aku tidak mengerti siapakah di antara kalian yang harus didahulukan dan siapa yang diakhirkan. Sebab jika aku berikan hak suami pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang bagiannya. Begitu juga sebaliknya bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian) suami.” Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah. Di antara mereka ada Zaid bn Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar menggunakan ‘aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata, “Tambahkan hak para ashabul furudh akan fardhnya .” para sahabat menyepakati langkah tersebut dan menjadilah hokum tentang ‘aul (penambahan) fardh ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi.

Pokok Masalah Dalam ‘Aul
Ø  Tidak dapat di-’aul-kan
1.       2 (dua)
2.       3 (tiga)
3.       4 (empat)
4.       8 (delapan)

Contoh :
                Seseorang wafat dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah berarti satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan ‘aul
               
                Seseorang wafat dan meninggalkan istri, saudara kandung laki laki dan saudara kandug perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalahnya dari empat (4), bagian istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian. Sedangkan sisanya (yakni ¾) dibagi dua antara saudara kandung laki laki dengan saudara kandung perempuan, dengan ketentuan bagian laki laki dua kali bagian perempuan.

                Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan dan saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalhnya dari delapan (8), bagian istri seperdelapan (1/8) berarti datu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya. Yakni tiga perdelapan (3/8).
               
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok msalah dalam contoh contoh semuanya tidak dapat di-‘aul-kan, sebab pokok masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashabul furudh.

Ø  Dapat Di-’Aul-Kan
1.       6 (enam)                            hanya dapat di-‘aul-kan sampai 10, yaitu 7, 8, 9 atau 10
2.       12 (dua belas)                  hanya dapat di-‘aul-kan sampai 17, hanya angka ganjilnya, 12, 13,                                             15 atau 17
3.       24 (dua puluh empat)   hanya dapat di-‘aul-kan menjadi 27 saja, dan hanya pada masalah al mimbariyah

Beberapa contoh masalah ‘aul

                Seseorang wafat dan meninggalkan ayah, ibu, dan anak perempuan dan cucu perempuan keturunan laki laki. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya dari enam (6). Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan laki laki seperenam (1/6)—sebagai penyempurna dua per tiga—berarti satu bagian. Dalam contoh ini tidak ada ‘aul sebab masalhnya sesuai dengan fardh yang ada.
                Seseorang wafat dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/6) berarti tiga bagian, dan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7). Dengan demikian jumlah bagian (fardhnya) cocok dengan pokok masalahnya.
                Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pebagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya dimulai dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti tiga, sedangkan saudara perempauan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian. Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah yaitu delapan per enam (8/6). Oleh karena itu asal pokok enam dinaikkan menjadi delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al mubahalah.
               
                Seseorang wafat dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dandua orang saudara laki laki seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok msalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti 3 bagian, sedangkan bagian dua saudara kandung perempuan dua pertiga (2/3) berarti empat bagian, dan bagian dua saudara laki laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
                Dalam contoh ini jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu, pokok msalahnya di-‘aul-kan menjadi sembilan. Sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok msalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.

                Seseorang wafat dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah dan dua orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya enam, berati bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti satu, bagian dua orang saudara seayah dua pertiga (2/3) berarti empat, sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
                Dalam contoh tersebut, jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya yaitu enam banding sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah syuraihiyah.

Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Hanya dapat di-‘aul-kan tiga kali saja, menjadi tiga belas (13) lima belas (15), atau tujuh belas (17).
                Seseorang wafat dan meninggalkan istri, ibu dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari duabelas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua pertiga (2/3) berati delapan bagian.
                Dalam contoh ini tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya yaitu tiga belas. Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan jumlah bagian yang ada.

                Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ibu dan seorang saudara kandung perempuan, seorang saudara perempuan seayah dan seorang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya dua belas (12). Bagian istri seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian, saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian, sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) –sebagai penyempurna dua pertiga—berati dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam (1/6) berarti dua bagian.
                Jumlah bagian dalam pembagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas bagian. Karena itu pokok masalahnya di –‘aul-kan menjadi lima belas (15).

                Seseorang wafat dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan saudara perempuan seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalahnya dari dua belas (12), bagian ketiga istri adalah seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan seayah dua pertiga (2/3)-nya berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
                Dalam contoh ini, jumlah bagian ashabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni tujuh belas banding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-‘aul-kan dari dua belas menjadi tujuh belas.

Contoh ‘Aul Dua Puluh Empat
Hanya dapat di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh (27), hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faroidh dikenal dengan nama al mimbariyah. Mereka menyebut demikian karena Ali bin Abi Tholib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
               
                Seseorang wafat dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan dan cucu perempuan dari keturunan laki laki. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalhnya dari dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian, ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri memperoleh seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2) berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempaun keturunan anak laki laki mendapat seperenam (1/6) –sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)—berarti empat bagian.
                Dalam contoh ini tampak jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau menjai hak ashabul furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-‘aul-kan pokok masalhnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada ashabul furudh. Sekali lagi ditegaskan dalam masalah al mimbariyah ini pokok masalahnya dua pulah empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua puluh tujuh.

Catatan :
1.       Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatan bagian setengah (1/2) dari harta waris kemudian yang lain berhak mendapatkan sisany, atau dua orang ahli waris yang masing masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2) maka pokok masalhnya dari dua (2) dan tidak dapat di-‘aul-kan
2.       Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatkan bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua pertiga (2/3) maka pokok masalahnya dari tiga (3) dan tidak ada ‘aul
3.       Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapat setengah (1/2) maka pokok masalhnya dari empat (4) dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4.       Setiap masalah dan keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan (1/8) dan yang lainnya sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak mendapatkan seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalhnya dari depalan dan tidak ada ‘aul.
Perselisihan dalam ‘aul
v  Ulama syi’ah imamiyah dan ja’fariyah dan ahli zhahir mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan ‘aul itu tidak ada, dengan argumentaasi :
·         Ayat ayat mawaris telah menjelaskan masalah macam macam furudh secara sempurna, karena itu setiap pemilik hak harus dipenuhi selagi keadaan memungkinkan. Maka jika tidak memungkinkan, maka hak hak sebagiann ahli waris seperti anak perempuan dan saudari hendaknya tidak dipenuhi, sebab mereka itu dalam suatu keadaan dapat berubah menjadi ahli waris ‘ashobah, bukan ashabul furudh, dan karena orang laki laki lebih kuat dari perempuan.[3]
·         Bila peninggalan tidak mencukupi untuk memenuhi seluruh hak hak yang bersangkutan, maka harus diutamakan lebih dahulu untuk memenuhi hak hak yang penting dari tajhiz, hutang, pemenuhan wasiat dan jika tidak cukup untuk memenuhi furudh furudh para ashabul furudh secara sempurna, maka harus didahulukan untuk memenuhi hak mereka yang lebih utama.
v  Kebanyakan para sahabat, para imam imam madzhab dari golongan tabi’in menetapkan bahwa ‘aul itu ada, dengan hujjah :
·         Nash nash yang ada tidak mengutamakan ashabul furudh satu dengan yang lain, dan tidak membedakan harta peninggalan yang mepet dengan yang longgar. Maka mendahulukan atau mengakhirkan salah satu pihak berarti membuat hukum baru dengan jalan mentarjihkan suatu ketentuan nash tanpa alat tarjih yang kuat
·         Sabda rasul, الحقوا الفرائض بأهلها   tidak mengistimewakan kepada sebagian ahli waris untuk dipenuhi hak haknya dengan menganak tirikan ahli waris yang lain untuk dikurangi haknya.
·         Masalah ‘aul telah disepakati oleh seluruh fuqoha’ sahabat sebelum Ibnu Abbas menentangnya. Sedangkan tentangan tersebut tidak disandarkan kepada suatu nash yang sharih
·         Furudhul muqoddaroh merupakan bagian yang sudah ditentukan besar kecilnya. Ditempuhnya jalan yang sedemikian rupa dalam ‘aul supaya setiap ahli waris mendapat penguranan yang sebanding dengan fardh mereka masing masing

Wallaahu a’lam
Sumber :
1.       Al Mawarits Fisy Syarii’ati Islamiyyah, Muhammad Ali Ash Shobuni
2.       Ilmu Waris , Drs. Fatchurrahman



[1]  At tirkah wal miirats fil islam, Dr. Muh. Yusuf Musa: hlm. 322
[2]  Ibid, hlm. 323
[3]  Muhadharat fil miratsil muqoron, Muh. Abdurrahim, hlm 209

0 komentar:

Posting Komentar