‘AUL
Ø
Artinya dalam Bahasa Arab
adalah Azh zhulm, aniaya dan tidak adil, naik atau meluap, bertambah,
atau berat
Ø
Menurut fuqoha’,
bertambahnya jumlah bagian fardh dan berkurangnya nashib (bagian)
ahli waris
Ø
‘Aul terjadi ketika
makin banyaknya ashabul furudh sehingga harta yang dibagikan habis,
padahal di antara mereka ada yang belum menerima bagian.
Ø
Pada masa Rasulullah sampai
masa kekhalifahan Abu Bakar kasus ‘aul tidak pernah terjadi.
Ø
Orang yang pertama
menetapkannya adalah Umar bin Khottob setelah beliau memusyawarahkan dengan
Zaid bin Tsabit dan ‘Abbas bin Abdul Muthollib.
Ø
Ibnu Abbas berkata, “Orang
yang pertama kali menambahkan pokok masalah yakni ‘aul adalah Umar bin
Khottob. Dan hal itu ia lakukan ketika fardh yang harus dibagikan kepada
ahli waris bertambah banyak.
Ø
Setelah kekhilafahan Umar
berakhir, Ibnu Abbas mengeluarkan fatwa yang bertentangan dengan putusan Umar
dan bapaknya dalam masalah seorang mati yang meninggalkan ahli waris yang
terdiri dari suami, ibu, dan saudari tunggal ayah, ujarnya
وايم الله لو قدّم من قدمه الله
تعالى وأخّر من أخره الله تعالى ماعالت فريضة قط
“Demi Allah andaikata didahulukan orang
yang didahulukan Allah dan diakhirkan orang yang diakhirkan Allah, niscaya
tidak terjadi ‘aul sama sekali.”[1]
Ø
Ibnu Abbas tidak menentang
Umar karena beliau adalah orang yang hebat dan ditakuti rakyatnya[2]
Seorang wanita wafat dan meninggalkan suami dan dua
orang saudara kandung perempuan. Yang masyhur dalam ilmu faroidh bagian yang
mestinya diterima suami adalah setengah ( ½) sedangkan bagian saudara kandung
perempuan adalah dua pertiga (2/3). Dengan demikian berarti fardh nya
telah melebihi peninggalan pewaris. Namun demikian suami tersebut tetap
menuntut haknya untuk menerima setengah dari harta waris yang ditinggalkan
istri. Begitupun dua orang saudara kandung perempuan mereka tetap menuntut dua
per tiga yang menjadi hak warisnya.
Menghadapi keadaan demikian Umar kebingungan, dia
berkata, “Sungguh aku tidak mengerti siapakah di antara kalian yang harus
didahulukan dan siapa yang diakhirkan. Sebab jika aku berikan hak suami
pastilah saudara kandung perempuan pewaris akan dirugikan karena berkurang
bagiannya. Begitu juga sebaliknya bila aku berikan terlebih dahulu hak kedua
saudara kandung perempuan pewaris maka akan berkuranglah nashib (bagian)
suami.” Umar kemudian mengajukan persoalan ini kepada para sahabat Rasulullah.
Di antara mereka ada Zaid bn Tsabit dan menganjurkan kepada Umar agar
menggunakan ‘aul. Umar menerima anjuran Zaid dan berkata, “Tambahkan hak
para ashabul furudh akan fardhnya .” para sahabat menyepakati
langkah tersebut dan menjadilah hokum tentang ‘aul (penambahan) fardh
ini sebagai keputusan yang disepakati seluruh sahabat Nabi.
Pokok Masalah Dalam ‘Aul
Ø
Tidak dapat di-’aul-kan
1.
2 (dua)
2.
3 (tiga)
3.
4 (empat)
4.
8 (delapan)
Contoh :
Seseorang wafat
dan meninggalkan suami serta seorang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari dua (2). Bagian suami
setengah berarti satu (1), dan bagian saudara kandung perempuan setengah berarti
satu (1). Maka dalam masalah ini tidak menggunakan ‘aul
Seseorang wafat
dan meninggalkan istri, saudara kandung laki laki dan saudara kandug perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalahnya dari empat (4), bagian
istri seperempat (1/4) berarti satu (1) bagian. Sedangkan sisanya (yakni ¾)
dibagi dua antara saudara kandung laki laki dengan saudara kandung perempuan,
dengan ketentuan bagian laki laki dua kali bagian perempuan.
Seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri, anak perempuan dan saudara kandung perempuan.
Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalhnya dari delapan (8), bagian
istri seperdelapan (1/8) berarti datu bagian, anak setengah (1/2) berarti empat
bagian, sedangkan saudara kandung perempuan menerima sisanya. Yakni tiga
perdelapan (3/8).
Secara ringkas dapat dikatakan bahwa pokok msalah
dalam contoh contoh semuanya tidak dapat di-‘aul-kan, sebab pokok
masalahnya cocok atau tepat dengan bagian para ashabul furudh.
Ø Dapat Di-’Aul-Kan
1.
6 (enam) hanya dapat di-‘aul-kan
sampai 10, yaitu 7, 8, 9 atau 10
2.
12 (dua belas) hanya dapat di-‘aul-kan
sampai 17, hanya angka ganjilnya, 12, 13, 15
atau 17
3.
24 (dua puluh empat) hanya dapat di-‘aul-kan menjadi 27
saja, dan hanya pada masalah al mimbariyah
Beberapa contoh masalah ‘aul
Seseorang wafat
dan meninggalkan ayah, ibu, dan anak perempuan dan cucu perempuan keturunan
laki laki. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya dari enam (6).
Bagian ibu seperenam (1/6) berarti satu bagian, bagian ayah seperenam (1/6)
berarti satu bagian, bagian anak perempuan tiga per enam (3/6) berarti tiga
bagian, sedangkan bagian cucu perempuan dari keturunan laki laki seperenam
(1/6)—sebagai penyempurna dua per tiga—berarti satu bagian. Dalam contoh ini
tidak ada ‘aul sebab masalhnya sesuai dengan fardh yang ada.
Seseorang wafat
dan meninggalkan suami, saudara kandung perempuan dan saudara perempuan seibu.
Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari enam (6). Bagian
suami setengah (1/2) berarti tiga bagian, saudara kandung perempuan setengah
(1/6) berarti tiga bagian, dan bagian saudara perempuan seibu seperenam (1/6)
berarti satu bagian. Dalam contoh kasus ini jumlah bagian yang ada melebihi
pokok masalah, karenanya pokok masalah enam harus dinaikkan menjadi tujuh (7).
Dengan demikian jumlah bagian (fardhnya) cocok dengan pokok masalahnya.
Seseorang
wafat dan meninggalkan suami, ibu, saudara kandung perempuan dan seorang
saudara perempuan seibu. Maka pebagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya
dimulai dari enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam
(1/6) berarti satu bagian, saudara kandung perempuan setengah (1/2) berarti
tiga, sedangkan saudara perempauan seibu seperenam (1/6) berarti satu bagian.
Bila demikian, jumlah bagiannya telah melebihi jumlah pokok masalah yaitu
delapan per enam (8/6). Oleh karena itu asal pokok enam dinaikkan menjadi
delapan. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan istilah al
mubahalah.
Seseorang wafat
dan meninggalkan seorang suami, dua orang saudara kandung perempuan, dandua
orang saudara laki laki seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok
msalahnya enam (6). Bagian suami setengah (1/2) berarti 3 bagian, sedangkan
bagian dua saudara kandung perempuan dua pertiga (2/3) berarti empat bagian,
dan bagian dua saudara laki laki seibu sepertiga (1/3) berarti dua bagian.
Dalam contoh ini
jumlah bagian yang ada melebihi pokok masalahnya, karena itu, pokok msalahnya
di-‘aul-kan menjadi sembilan. Sehingga jumlah bagian sesuai dengan pokok
msalahnya. Masalah ini dikenal dengan sebutan masalah marwaniyah.
Seseorang wafat
dan meninggalkan suami, ibu, dua orang saudara perempuan seayah dan dua orang
saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya
enam, berati bagian suami setengah (1/2) berarti tiga, ibu seperenam (1/6) berarti
satu, bagian dua orang saudara seayah dua pertiga (2/3) berarti empat,
sedangkan bagian dua orang saudara perempuan seibu sepertiga (1/3) berarti dua
bagian.
Dalam contoh
tersebut, jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya yaitu enam banding
sepuluh (6:10). Karena itu kita harus menaikkan pokok masalahnya yang semula
enam menjadi sepuluh. Masalah ini oleh kalangan ulama faraid dikenal dengan
istilah syuraihiyah.
Contoh ‘Aul Pokok Masalah Dua Belas (12)
Hanya dapat di-‘aul-kan tiga kali saja, menjadi tiga
belas (13) lima belas (15), atau tujuh belas (17).
Seseorang wafat
dan meninggalkan istri, ibu dan dua orang saudara kandung perempuan. Maka
pembagiannya sebagai berikut : pokok masalahnya dari duabelas (12). Bagian
istri seperempat (1/4) berarti tiga, bagian ibu seperenam (1/6) berarti dua
bagian, sedangkan bagian dua orang saudara kandung perempuan dua pertiga (2/3)
berati delapan bagian.
Dalam contoh ini
tampak jumlah bagiannya telah melebihi pokok masalahnya yaitu tiga belas.
Karena itu harus dinaikkan menjadi tiga belas (13) sehingga tepat sesuai dengan
jumlah bagian yang ada.
Seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri, ibu dan seorang saudara kandung perempuan,
seorang saudara perempuan seayah dan seorang saudara perempuan seibu. Maka
pembagiannya sebagai berikut : pokok masalhnya dua belas (12). Bagian istri
seperempat (1/4) berarti tiga, ibu mendapat seperenam (1/6) berarti dua bagian,
saudara kandung perempuan memperoleh setengah (1/2) berarti enam bagian,
sedangkan saudara perempuan seayah seperenam (1/6) –sebagai penyempurna dua
pertiga—berati dua bagian, dan bagian saudara perempuan seibu juga seperenam
(1/6) berarti dua bagian.
Jumlah bagian
dalam pembagian dalam contoh ini telah melebihi pokok masalah, yaitu lima belas
bagian. Karena itu pokok masalahnya di –‘aul-kan menjadi lima belas (15).
Seseorang wafat
dan meninggalkan tiga orang istri, dua orang nenek, delapan saudara perempuan
seayah, dan empat orang saudara perempuan seibu. Maka pembagiannya seperti
berikut : pokok masalahnya dari dua belas (12), bagian ketiga istri adalah
seperempat (1/4) berarti tiga bagian, sedangkan bagian kedua nenek adalah
seperenam (1/6) yang berarti dua bagian, bagi kedelapan saudara perempuan
seayah dua pertiga (2/3)-nya berarti delapan bagian, dan bagian keempat saudara
perempuan seibu sepertiga (1/3) yang berarti empat bagian.
Dalam contoh ini,
jumlah bagian ashabul furudh telah melampaui pokok masalahnya, yakni
tujuh belas banding dua belas. Karena itu pokok masalahnya harus di-‘aul-kan
dari dua belas menjadi tujuh belas.
Contoh ‘Aul Dua Puluh Empat
Hanya dapat di-‘aul-kan menjadi angka dua
puluh tujuh (27), hanya ada dalam kasus yang oleh ulama faroidh dikenal
dengan nama al mimbariyah. Mereka menyebut demikian karena Ali
bin Abi Tholib ketika memvonis masalah ini sedang berada di atas mimbar.
Seseorang wafat
dan meninggalkan seorang istri, ayah, ibu, anak perempuan dan cucu perempuan
dari keturunan laki laki. Maka pembagiannya seperti berikut : pokok masalhnya
dari dua puluh empat (24). Ayah mendapat seperenam (1/6) berarti empat bagian,
ibu memperoleh seperenam (1/6) berarti empat bagian, istri memperoleh
seperdelapan (1/8) berarti tiga bagian, anak perempuan mendapat setengah (1/2)
berarti dua belas bagian, sedangkan cucu perempaun keturunan anak laki laki
mendapat seperenam (1/6) –sebagai penyempurna dua per tiga (2/3)—berarti empat
bagian.
Dalam contoh ini
tampak jelas bahwa jumlah bagian yang diterima atau menjai hak ashabul
furudh melebihi jumlah pokok masalahnya. Karena itu kita harus meng-‘aul-kan
pokok masalhnya hingga sesuai dengan jumlah bagian yang harus diberikan kepada ashabul
furudh. Sekali lagi ditegaskan dalam masalah al mimbariyah ini pokok
masalahnya dua pulah empat hanya bisa di-‘aul-kan menjadi angka dua
puluh tujuh.
Catatan :
1.
Setiap masalah atau keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapatan bagian setengah
(1/2) dari harta waris kemudian yang lain berhak mendapatkan sisany, atau dua
orang ahli waris yang masing masing berhak mendapatkan bagian setengah (1/2)
maka pokok masalhnya dari dua (2) dan tidak dapat di-‘aul-kan
2. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris
yang berhak mendapatkan bagian sepertiga (1/3) dan yang lainnya dua pertiga
(2/3) maka pokok masalahnya dari tiga (3) dan tidak ada ‘aul
3. Setiap masalah atau keadaan yang di dalamnya terdapat ahli waris
yang berhak mendapat bagian seperempat (1/4) dan yang lain sisanya, atau dua
orang ahli waris yang satu berhak mendapat setengah (1/2) maka pokok masalhnya
dari empat (4) dan dalam hal ini tidak ada ‘aul.
4.
Setiap masalah dan keadaan
yang di dalamnya terdapat ahli waris yang berhak mendapat bagian seperdelapan
(1/8) dan yang lainnya sisanya, atau dua orang ahli waris yang satu berhak
mendapatkan seperdelapan dan yang lainnya setengah, maka pokok masalhnya dari
depalan dan tidak ada ‘aul.
Perselisihan dalam ‘aul
v
Ulama syi’ah imamiyah
dan ja’fariyah dan ahli zhahir mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang
mengatakan ‘aul itu tidak ada, dengan argumentaasi :
·
Ayat ayat mawaris telah
menjelaskan masalah macam macam furudh secara sempurna, karena itu
setiap pemilik hak harus dipenuhi selagi keadaan memungkinkan. Maka jika tidak
memungkinkan, maka hak hak sebagiann ahli waris seperti anak perempuan dan
saudari hendaknya tidak dipenuhi, sebab mereka itu dalam suatu keadaan dapat
berubah menjadi ahli waris ‘ashobah, bukan ashabul furudh,
dan karena orang laki laki lebih kuat dari perempuan.[3]
·
Bila peninggalan tidak
mencukupi untuk memenuhi seluruh hak hak yang bersangkutan, maka harus
diutamakan lebih dahulu untuk memenuhi hak hak yang penting dari tajhiz,
hutang, pemenuhan wasiat dan jika tidak cukup untuk memenuhi furudh furudh para
ashabul furudh secara sempurna, maka harus didahulukan untuk memenuhi hak
mereka yang lebih utama.
v
Kebanyakan para sahabat,
para imam imam madzhab dari golongan tabi’in menetapkan bahwa ‘aul itu
ada, dengan hujjah :
·
Nash nash
yang ada tidak mengutamakan ashabul furudh satu dengan yang lain,
dan tidak membedakan harta peninggalan yang mepet dengan yang longgar. Maka
mendahulukan atau mengakhirkan salah satu pihak berarti membuat hukum baru
dengan jalan mentarjihkan suatu ketentuan nash tanpa alat tarjih yang kuat
·
Sabda rasul, الحقوا الفرائض
بأهلها tidak
mengistimewakan kepada sebagian ahli waris untuk dipenuhi hak haknya dengan
menganak tirikan ahli waris yang lain untuk dikurangi haknya.
·
Masalah ‘aul telah
disepakati oleh seluruh fuqoha’ sahabat sebelum Ibnu Abbas menentangnya.
Sedangkan tentangan tersebut tidak disandarkan kepada suatu nash yang sharih
·
Furudhul muqoddaroh
merupakan bagian yang sudah ditentukan besar kecilnya. Ditempuhnya jalan yang sedemikian
rupa dalam ‘aul supaya setiap ahli waris mendapat penguranan yang
sebanding dengan fardh mereka masing masing
Wallaahu a’lam
Sumber :
1.
Al Mawarits Fisy Syarii’ati
Islamiyyah, Muhammad Ali Ash Shobuni
2.
Ilmu Waris , Drs.
Fatchurrahman
0 komentar:
Posting Komentar