BANGSA ARAB
DALAM MEMPUSAKAI
Orang Arab jahiliyyah adalah bangsa yang gemar
mengembara dan berperang. Kehidupan mereka sedikit banyak bergantung kepada
hasil jarahan dan rampasan perang, di samping ada juga yang bergantung dari
hasil perniagaan. Dalam bidang muamalat, mereka bergantung teguh kepada tradisi
tradisi yang diwariskan nenek moyang mereka. Dalam tradisi pembagian harta
pusaka terdapat sesuatu ketentuan bahwa anak anak yang belum dewasa dan kaum
perempuan dilarang mempusakai. Beberapa kalangan dari mereka beranggapan bahwa
wanita adalah wujud peninggalan yang dapat diwariskan dan diwarisi. Sebagai
bukti dari adanya kejadian seorang yang bernama Mihsham bin Abu Qois, sesaat
setelah ayahnya meninggal ia berhasrat menikahi janda ayahnya. Kemudian janda
tersebut menghadap Rasulullah untuk diperkenankan kawin dengan Mihsham. Rasul
belum bisa memberikan jawaban spontan, maka turunlah ayat An Nisa’ 19
$ygr'¯»t
z`Ï%©!$#
(#qãYtB#uä
w
@Ïts
öNä3s9
br&
(#qèOÌs?
uä!$|¡ÏiY9$#
$\döx.
(
“Hai orang-orang yang
beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai wanita dengan jalan paksa”
Hasrat
Mihsham dan adanya pelarangan Rasul menunjukkan adanya tradisi seperti ini dan
sudah biasa dilakukan oleh bangsa Arab jahiliyyah bahkan sudah mendarah daging.
Sebab Memusakai Pada
Zaman jahiliyyah
1. Pertalian kerabat
(القرابة)
Sebab pertama ini juga mengandung dua
syarat lain yang membolehkan mendapatkan warisan, yaitu kerabat tersebut haruslah
sudah dewasa dan laki laki. Kerabat yang belum memenuhi kriteria tersebut
tidak dibenarkan mewarisi harta peninggalan. Anak anak tidak mendapatkan
warisan karena ketidak sanggupannya berperang, sedangkan wanita dengan
kelemahannya dalam perang disisihkan dari pewarisan.
Orang yang pertama memberikan pusaka
kepada anak anak perempuan jahiliyyah adalah Dzul Majasid bin
Jusyam bin Ghunm bin Habib. Ia memberikan warisan kepada anak anaknya baik laki
laki maupun perempuan. Dalam tradisi jahiliyyah, seorang yang diadopsi berubah
status menjadi anak kandung, laki laki diberi bagian dua kali lipat anak
perempuan. Dan anak zina dinasabkan kepada ayahnya sehingga mereka memiliki hak
mempusakai.
2. Janji prasetia (المحالفة)
Sebab yang menjadikan pusaka mempusakai
terjadi dan memiliki kekuatan hukum bila salah satu pihak telah mengikrarkan
janji setia kepada pihak lain dengan ucapan
دمي دمك وثأري ثأرك
و حربي حربك و سلمي سلمك و ترثني و أرثك وتطلب بي و أطلب بك و تعقل وأعقل عنك
“Darahku darahmu, pertumpahan
darahku pertumpahan darahmu, perjuanganku perjuanganmu, perangku perangmu,
damaiku damaimu, kamu mewarisi hartaku aku mewarisi hartamu, kamu dituntut
darahmu karena tindakanmu padaku, aku dituntut darahku atas tindakanku padamu,
kamu wajib membayar denda sebagai pengganti nyawaku, akupun wajib membayar
denda sebagai pengganti dari nyawamu.”
Atau dengan ucapan lain seraya meletakkan
tangan di atas pihak lain
عقدني وعاهد
على النصرة والمعاينة
“Berprasetia
dan berjanjilah padaku untuk saling ti\olong menolong dan bantu membantu.”
Bagian pusaka melalu perjanjian setia
adalah 1/6 hanya untuk laki laki dewasa. Sebagian mufassirin yang meyakini
bahwa ayat muhkam tidak ada yang dimansukh membenarkan pusaka mempusakai karena
janji prasetia, seperti dalam An Nisa’ 33
tûïÏ%©!$#ur ôNys)tã
öNà6ãZ»yJ÷r& öNèdqè?$t«sù
öNåkz:ÅÁtR 4 ¨bÎ) ©!$#
tb%2 4n?tã
Èe@à2 &äóÓx«
#´Îgx©
“Dan (jika ada) orang-orang yang kamu Telah bersumpah setia
dengan mereka, Maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah
menyaksikan segala sesuatu.”
3. Pengangkatan anak
(التبني)
Yang dimaksud dalam sebab ini adalah pengangkatan
anak yang dinasabkan kepada bapak adopsi, bukan kepada bapak asli. Hal ini
masih berlaku sampai beberapa saat di zaman awal Islam. Bila ayah angkat
meninggal, maka anak tersebut berhak menerima warisan.
Sebab Sebab Mempusakai
Pada Zaman Awal Islam
Saat Islam masih muda,
disamping adanya pertalian nasab ada 3 macam sebab pusaka mempusakai :
1. Pengangkatan Anak
Nabi Muhammad sebelum diangkat menjadi
Rasul pernah mengambil anak angkat, yaitu Zaid bin Haritsah setelah dibebaskan
dari status budaknya.
2. Hijrah Dari Makkah
Ke Madinah Dan Persaudaraan Antara Muhajirin Dan Anshor
Dalam surat Al Anfal ayat 72, sebagian
mufassir semisal ibn Abbas, Al Hasan, Mujahid, Qotadah menafsirkan perwalian
dalam ayat tersebut ialah hak mempusakai yang timbul oleh kekerabatan menurut
anggapan hukum, yaitu ikatan muhajirin dan anshor.
Setelah datangnya Islam dan semakin lenyapnya
syari’at, perkembangan pusaka mempusakai menuju kesempurnaan dengan beberapa
penghapusan tradisi Arab jahiliyyah,
yaitu :
- Sebab mempusakai yang berdasarkan ikatan persaudaraan dinasakh dengan Al Ahzab ayat 6
- Sebab mempusakai yang hanya berdasarkan kelaki lakian yang mampu berjuang dibatalkan dengan An Nisa’ ayat 7 dan 127
- Pengesahan anak anak sebagai ahli waris dengan an Nisa’ ayat 11
- Sebab mempusakai yang berdasarkan janji setia dinasakh dengan Al Anfal ayat 75, namun tetap berlaku dalam Madzhab Hanafi bila tidak ada ahli waris yang tersisa
- Mempusakai berdasarkan anak adopsi dihapus dengan Al Ahzab ayat 4, 5 dan 40. Karena adopsi tidak memiliki hubungan kerabat
- Tidak mengandung unsur sewenang wenang kepada ahli waris
- Tidak menyerahkan harta untuk diwasiatkan seluruhnya (seperti bangsa Yunanu dan Romawi Kuno) namun maksimal hanya 1/3
- Tidak meranag ayah dan leluhur yang lebih daripadanya untuk mewarisi
- Tidak mengistimewakan peninggalan hanya pada satu macam ahli waris, misalnya hanya memilih sulung dari beberapa anak laki laki. Islam menyamakannya.
“i am stongly disposed to believe that no possible question
could occur on the Muhammadan law of succession which might not be rapidly and
correctly answered”
(Sir William John)
“saya cenderung untuk mempercayai bahwa tidak satu
masalahpun mungkin timbul dalam lapangan hukum waris Islam yang tidak dapat
dijawab dengan tepat”
Wallahu a’lam
Sumber : Ilmu
Waris, Drs Fatchur Rahman
0 komentar:
Posting Komentar