Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Batasan Safar (Jarak Tempuh untuk Mengqashar Shalat)

Batasan Safar (Jarak Tempuh untuk Mengqashar Shalat)
Makalah Ke-18
    Para ulama berbeda pendapat tentang jarak safar yang dibolehkan untuk mengqashar shalat, dalam tiga pendapat:
    Pertama, jarak qashar adalah 48 mil, atau setara dengan 85 kilometer. Ini adalah pendapat Ibnu Umar, Ibnu Abbas, al-Hasan al-Bashri  dan az-Zuhri. Ini juga madzhab Malik, al-Laits, asy-Syafi’i, Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsaur. Hujjah mereka adalah sebagai berikut:
1.    Riwayat marfu’ dari Ibnu Abbas, “Wahai penduduk Mekah, janganlah mengqashar shalat pada jarak safar yang kurang dari empat burud, yaitu dari Mekah ke ‘Usfan.” Namun hadits ini munkar, tidak shahih.
2.    Telah diriwayatkan secara shahih, “Bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas ra mengqashar dan berbuka puasa pada jarak empat burud.” Yaitu, sekitar enam belas farsakh.
3.    Perjalanan sejauh empat burud menyebabkan kesulitan ataupun kesusahan dalam safar, maka dibolehkan mengqashar shalat pada jarak tersebut sebagaimana dibolehkan pada jarak tiga burud. Namun, tidak boleh kurang dari itu.
Kedua, jarak qashar adalah perjalanan tiga hari tiga malam dengan unta. Ini adalah pendapat Ibnu Mas’ud, Suwaid bin Ghaflah, asy-Sya’bi, an-Nakha’i, dan ats-Tsuri, dan ini juga madzhab Abu Hanifah. Hujjah mereka adalah:
1.    Hadits Ibnu Umar, dari Nabi saw beliau bersabda:
“Janganlah seorang wanita bepergian selama tiga hari kecuali di sertai oleh mahramnya.” 
2.    Sebagaimana yang dipahami bahwa tiga adalah bilangan banyak yang paling minimal, dan bilangan sedikit yang paling maksimal. Tidak boleh mengqashar shalat pada safar yang pendek. Maka, bilangan banyak yang paling minimal—yaitu tiga hari wajib menjadi batasannya.

Ketiga, qashar tidak memiliki jarak tertentu. Bahkan ia boleh mengqashar pada setiap perjalanan yang bisa disebut “safar”. Ini adalah madzhab dzahiriyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan muridnya Ibnu al-Qayyim. Hujjah mereka adalah sebagai berikut:
Firman Allah swt:
“Dan apabila kamu bepergian di muka bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat (mu). . .” (an-Nisa’: 101)
    Zhahir ayat menunjukkan bahwa qashar berlaku untuk setiap orang yang melakukan perjalanan tanpa batasan tertentu.
Nabi saw tidak membatasi qashar dengan batasan waktu dan tempat, bahkan Syari’ (Allah dan Rasul-Nya) mengaitkan hukum qashar dengan safar secara mutlak. Maka tidak boleh membedakan satu jenis safar dengan safar lainnya. Bahkan, wajib memutlakkan apa yang dimutlakkan oleh syari’, dan membatasi apa yang dibatasi oleh Syari’. Penentuan jarak qashar bagi musafir harus diputuskan dengan dalil, tidak boleh diputuskan dengan pendapat semata.
Telah diriwayatkan secara shahih bahwa Nabi saw mengqashar shalat dalam perjalanan yang kurang dari batas-batas yang ditentukan tadi:
a.    Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan, “Apabila Rasulullah saw melakukan perjalanan sejauh tiga mil atau tiga farsakh, beliau shalat dua rakaat.” Hadits ini menunjukkan dengan tegas bahwa shalat qashar berkaitan dengan safar secara mutlak, walaupun perjalanannya hanya sejauh tiga mil atau tiga farsakh. Al-Hafish mengatakan, “Ini adalah hadits paling shahih dan paling tegas yang menjelaskan tentang hal itu.”

Jumhur menjawabnya, bahwa ini dibawakan pada jarak dimana qashar dimulai, bukan batas safar.
Al-Hafizh berkata, “Tidak samar lagi bahwa takwil ini terlampau jauh. Ditambah lagi bahwa al-Baihaqi menyebutkan dalam riwayatnya dari jalur ini bahwa Yahya bin Zaid—yang meriwayatkannya dari Anas—berkata, “Aku bertanya kepada Anas tentang mengqashar shalat, saat aku keluar menuju kufah, yakni dari bashrah: Apakah aku shalat dua rakaat dua rakaat hingga aku keluar? Maka Anas menyebutkan hadits tersebut.” Jelaslah bahwa ia bertanya tentang  bolehnya mengqashar pada saat safar, bukan tempat dimana ia mulai mengqashar.”
b.    Diriwayatkan dari Anas, ia berkata, “Aku shalat Zhuhur bersama Nabi  saw di Madinah empat rakaat, dan shalat ashar di Dzul Hulaifah dua rakaat.” Jarak antara keduanya tiga mil.
Adapun hadits yang menyebutkan: “Janganlah seorang wanita bersafar selama tiga hari. . .” di dalamnya tidak disebutkan bahwa batasan safar adalah tiga hari. Namun di dalamnya hanya disebutkan bahwa wanita tidak boleh melakukan perjalanan khusus ini (yakni selama tiga hari) tanpa adanya mahram.

Pendapat yang Rajih: adalah pendapat yang ketiga, yaitu mengqashar pada setiap perjalanan yang disebut sebagai safar, baik safar itu pendek maupun panjang, karena tidak ada batasan safar menurut bahasa arab. Jadi, hal ini dikembalikan kepada kebiasaan manusia. Hal ini berbeda-beda menurut perubahan zaman, karena terjadi perkembangan pesat di bidang alat transportasi.

Kaidahnya: Jika seseorang berkata: Aku akan bersafar ke negeri fulan—bukan aku pergi. Dan dia menyiapkan untuk perjalanan tersebut seperti orang yang akan safar, misalnya mempersiapkan bekal dan sejenisnya. Wallahu a’lam.

Sumber:
o    Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Jilid I

0 komentar:

Posting Komentar