Hukum shalat muqim di
belakang musafir
Makalah Ke-20
Apabila orang yang mukim
melaksanakan shalat (4 rakaat) dibelakang musafir, maka dalam hal ini para
ulama telah sepakat untuk menyempurnakan shalat setelah imam mengucapkan salam.[1]
Dan disunnahkan bagi sang imam
setelah ia mengucapkan salam berkata kepada
orang mukim yang ikut dalam jamaah shalat: أتموا صلاتكم فإن قوم سفر
( sempurnakanlah shalat kalian! Karena sesunggunhnya
kami adalah musafir).
Ada beberapa hadits yang
menjelaskan hal ini, diantaranya:
1.
Sebagaimana telah diriwayatkan
dari Ibnu Umar,, “Bahwa apabila Umar tiba di Makkah, maka beliau mengimami
mereka shalat dua rakaat , kemudian berkata,
يا أهل مكة, أتموا صلاتكم فإن قوم سفر
“Wahai penduduk Mekah, sempurnakanlah
shalat kalian. Sesungguhnya kami adalah musafir.”[2]
Diriwayatkan juga hadits marfu’ yang semakna dengannya dari ‘Imran bin Hushain
tentang kisah penaklukan kota Mekah tetapi ini tidak shahih.[3]
Akan
tetapi perbuatan Umar tersebut dilakukan di depan segolongan ulama dari
kalangan sahabat, dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
2.
Karena shalat diwajibkan
empat rakaat atas orang yang mukim, maka ia tidak boleh meninggalkan satu pun
dari rakaat tersebut sebagai mana halnya ketika ia tidak berimam dibelakang
musafir.
Apakah Musafir
Mengerjakan Shalat-shalat Sunnah (Nafilah) ketika Safar?
Para ulama berselisih
pendapat dalam hal ini, dikarenakan perbedaan atsar-atsar yang diriwayatkan
tentang perbuatan Rasulullah saw saat bepergian, dalam lima pendapat:[4]
Pertama: dilarang
mengerjakan shalat nafilah dalam safar secara mutlak.
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar,
yang mengatakan, “Aku menemani Rasulullah saw dan aku tidak pernah melihat beliau
mengerjakan shalat nafilah dalam safar. Allah swt berfirman dalam Qs. Al-Ahzab:
21
“Sesungguhnya
telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
Kedua:
dibolehkan secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhur. Mereka berdalil
dengan hadits-hadits umum yang berisikan anjuran untuk mengerjakan shalat
sunnah secara mutlak dan shalat-shalat rawatib.
Juga berdasarkan shalat Dhuha Nabi saw pada hari penaklukan Mekah.
Ketiga:
dibolehkan untuk shalat nafilah secara mutlak dan dilarang mengerjakan
shalat-shalat sunnah rawatib. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam dan muridnya,
Ibnu al-Qayyim. Ini juga madzhab Ibnu Umar. Mereka membawakan penafian shalat
sunnah Rasulullah saw dalam safar pada shalat sunnah rawatib, bukan shalat
sunnah yang lain, kecuali shalat dua rakaat fajar. Diriwayatkan dari Ibnu Umar
ra, “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraannya kemana
arah kendaraannya menghadap, dan beliau mengisyaratkan dengan kepalanya. Ibnu
Umar juga melakukannya.”[5]
Keempat:
Larangan mengerjakan shalat sunnah pada siang hari bukan pada malam hari.
Hadits Abdullah bin ‘Amir bahwa ayahnya mengabarkan, “Bahwasanya ia melihat
Nabi saw shalat sunnah pada malam hari ketika safar diatas kendaraannya, dengan
mengikuti ke mana arah kendaraannya menghadap.”[6]
Hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi
saw yang rutin mengerjakan shalat witir, baik pada saat mukim maupun safar.
Penulis berkata: akan tetapi hal ini bertentangan dengan shalat Dhuha yang
dikerjakan Nabi saw pada saat hari penaklukan kota Mekah.
Kelima: dilarang
mengerjakan shalat sunnah setelah mengerjakan shalat fardhu dan boleh
mengerjakan sebelumnya, serta boleh mengerjakan shalat sunnah mutlak. Ini
adalah madzhab al-Bukhari dalam shahihnya.
Penulis berkata: Dasar mengenai hal ini
adalah keshahihan dalil yang menyebutkan bahwa Nabi saw mengerjakan dua rakaat
sunnah fajar saat safar. Wallahu a’lam.
Sumber:
o
Shahih Fiqih Sunnah, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin
as-Sayyid Salim, jilid I.
0 komentar:
Posting Komentar