Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum shalat muqim di belakang musafir


Hukum shalat muqim di belakang musafir
Makalah Ke-20

Apabila orang yang mukim melaksanakan shalat (4 rakaat) dibelakang musafir, maka dalam hal ini para ulama telah sepakat untuk menyempurnakan shalat setelah imam mengucapkan salam.[1]
Dan disunnahkan bagi sang imam setelah ia mengucapkan salam berkata kepada  orang mukim yang ikut dalam jamaah shalat: أتموا صلاتكم فإن قوم سفر  
( sempurnakanlah shalat kalian! Karena sesunggunhnya kami adalah musafir).

Ada beberapa hadits yang menjelaskan hal ini, diantaranya:
1.       Sebagaimana telah diriwayatkan dari Ibnu Umar,, “Bahwa apabila Umar tiba di Makkah, maka beliau mengimami mereka shalat dua rakaat , kemudian berkata,
يا أهل مكة, أتموا صلاتكم فإن قوم سفر  
Wahai penduduk Mekah, sempurnakanlah shalat kalian. Sesungguhnya kami adalah musafir.”[2] Diriwayatkan juga hadits marfu’ yang semakna dengannya dari ‘Imran bin Hushain tentang kisah penaklukan kota Mekah tetapi ini tidak shahih.[3]
Akan tetapi perbuatan Umar tersebut dilakukan di depan segolongan ulama dari kalangan sahabat, dan tidak ada seorang pun yang mengingkarinya.
2.       Karena shalat diwajibkan empat rakaat atas orang yang mukim, maka ia tidak boleh meninggalkan satu pun dari rakaat tersebut sebagai mana halnya ketika ia tidak berimam dibelakang musafir.

Apakah Musafir Mengerjakan Shalat-shalat Sunnah (Nafilah) ketika Safar?
            Para ulama berselisih pendapat dalam hal ini, dikarenakan perbedaan atsar-atsar yang diriwayatkan tentang perbuatan Rasulullah saw saat bepergian, dalam lima pendapat:[4]

            Pertama: dilarang mengerjakan shalat nafilah dalam safar secara mutlak.
Mereka berdalil dengan hadits Ibnu Umar, yang mengatakan, “Aku menemani Rasulullah saw dan aku tidak pernah melihat beliau mengerjakan shalat nafilah dalam safar. Allah swt berfirman dalam Qs. Al-Ahzab: 21
Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu.”
                                                                                                                                                                                        
                Kedua: dibolehkan secara mutlak. Ini adalah pendapat jumhur. Mereka berdalil dengan hadits-hadits umum yang berisikan anjuran untuk mengerjakan shalat sunnah secara mutlak dan shalat-shalat rawatib.  Juga berdasarkan shalat Dhuha Nabi saw pada hari penaklukan Mekah.

                Ketiga: dibolehkan untuk shalat nafilah secara mutlak dan dilarang mengerjakan shalat-shalat sunnah rawatib. Ini adalah pendapat Syaikhul Islam dan muridnya, Ibnu al-Qayyim. Ini juga madzhab Ibnu Umar. Mereka membawakan penafian shalat sunnah Rasulullah saw dalam safar pada shalat sunnah rawatib, bukan shalat sunnah yang lain, kecuali shalat dua rakaat fajar. Diriwayatkan dari Ibnu Umar ra, “Bahwa Rasulullah saw mengerjakan shalat sunnah diatas kendaraannya kemana arah kendaraannya menghadap, dan beliau mengisyaratkan dengan kepalanya. Ibnu Umar juga melakukannya.”[5]

                Keempat: Larangan mengerjakan shalat sunnah pada siang hari bukan pada malam hari. Hadits Abdullah bin ‘Amir bahwa ayahnya mengabarkan, “Bahwasanya ia melihat Nabi saw shalat sunnah pada malam hari ketika safar diatas kendaraannya, dengan mengikuti ke mana arah kendaraannya menghadap.”[6]
Hal ini juga berdasarkan perbuatan Nabi saw yang rutin mengerjakan shalat witir, baik pada saat mukim maupun safar. Penulis berkata: akan tetapi hal ini bertentangan dengan shalat Dhuha yang dikerjakan Nabi saw pada saat hari penaklukan kota Mekah.

Kelima: dilarang mengerjakan shalat sunnah setelah mengerjakan shalat fardhu dan boleh mengerjakan sebelumnya, serta boleh mengerjakan shalat sunnah mutlak. Ini adalah madzhab al-Bukhari dalam shahihnya.
Penulis berkata: Dasar mengenai hal ini adalah keshahihan dalil yang menyebutkan bahwa Nabi saw mengerjakan dua rakaat sunnah fajar saat safar. Wallahu a’lam.

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, karya Syaikh Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.


[1]  Al-Mughni (2/152)
[2]  Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Malik (195)   
[3]  Dha’if, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1229)
[4]  Fath al-Baari (II/674)
[5]  Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (1105) dan Muslim (700)
[6]   Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (1104) dan Muslim (689)

0 komentar:

Posting Komentar