Hukum Aqiqah Ketika
Sudah Dewasa
Para ulama berbeda pendapat,
antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa
adalah dhaif. Dari Anas bin Malik, katanya:
عَقَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَنْ نَفْسِهِ
بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan
dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.”[1]
Hadits ini sering dijadikan dalil
bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini? Sanad hadits ini
dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits
tidaklah menggunakan hadits darinya. Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia
adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku
bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia
menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya
munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan
haditsnya. Abu Zur’ah mengatakan, dia
adalah dhaiful hadits.[2]
Pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam
Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak
mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi
ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah
dewasa. Selain itu, hadis Anas RA
yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga
tidak layak menjadi dalil.[3]
Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan.
Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga
terangkat menjadi shahih.
v Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No.
883: Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi,
berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin
Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu
‘Anhu, katanya:
أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم عَقَّ
عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةِ
"Bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya
nubuwwah (masa kenabian)."
v Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam
Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994: Berkata
kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada
kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ النَّبِيَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ
مَا بُعِثَ نَبِيَّا
"Bahwa
Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus
sebagai nabi"
v Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm
dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr: Kami
meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj,
berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al
Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas,
berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه
وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ
"Sesungguhnya
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah
datang kepadanya masa kenabian."
v Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat
penguat ini:
"Aku
berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang
dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin
Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam
Ahmad." [As Silsilah Ash Shahihah, 6/502]
Sehingga,
walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq adalah dhaif –karena di dalamnya
ada Abdullah bin Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya- Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani
menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa
riwayat di atas yang menguatkannya.
Ulama yang membolehkan aqiqah
ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ibnu Qudamah, sebagian ulama’ Hambaliyah dan ulama’ Syafi’iyah.
Imam Ahmad ditanya tentang
bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim
menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:
وَقَالَ أَنْ فَعَلَهُ إِنْسَانٌ لَمْ
أَكْرَهْهُ
“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang
melakukannya.” [Imam
Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al
‘Ilmiyah]. Beliau juga mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan
ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” [Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88]
Imam Muhammad bin Sirrin berkata:
لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ
عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.
"Seandainya
aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri." [Al
Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718]
Imam Al Hasan Al Bashri berkata:
إِذَا لَمْ يُعَقَّ عَنْكَ ، فَعُقَّ عَنْ
نَفْسِكَ وَ إِنْ كُنْتَ رَجُلًا
"Jika
dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu
adalah laki-laki." [Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322]
Ibnu Qudamah mengatakan,
“Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian balig dan telah bekerja, maka
dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap
dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga
usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang
tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi
dirinya sendiri atau tidak. [Lihat Shahih Fiqih
Sunnah, 2/383]
Meskipun tidak sedikit ulama' yang lebih memilih pendapat bahwa mengaqiqahi anak maupun diri sendiri
setelah dewasa sebagai
pendapat yang lebih kuat begitu juga penulis, Insya Allah. Namun perbedaan
pendapat yang terjadi semenjak para ulama' terdahulu masih berlanjut sampai
sekarang, sehingga dalam menghadapinya harus selalu mengedepankan sikap bijak
apabila masih dalam koridor ikhtilaf tanawwu' (yaitu perbedaan pendapat yang
masih bisa ditoleran) terutama dalam ranah fiqih perbedaan pendapat hampir
tidak bisa dihindarkan. Wallahu A’lam Bish Showab
Fatwa Syaikh Sholih bin Utsaimin (anggota Hai’ah Kibar
Ulama’ Saudi Arabia)
Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran
dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at
Al Bab Al Maftuh. Semoga bermanfaat.
Soal:
“Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia
tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih
dibolehkannya aqiqah?”
Jawab:
“Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu
pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21
kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah
itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika
waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun
setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak
mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak
memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia
menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap
diaqiqahi walaupun sudah dewasa.
Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran,
kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran,
kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.
Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor
kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan
aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak
menambahnya dari jumlah ini.”
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh
Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]
[3] [Hisamuddin
‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah,
hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami,
hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa
Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44]
0 komentar:
Posting Komentar