Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum Aqiqah Ketika Sudah Dewasa


Hukum Aqiqah Ketika Sudah Dewasa

Para ulama berbeda pendapat, antara membolehkan dan tidak. Mereka yang melarang beralasan bahwa hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengaqiqahkan dirinya setelah dewasa adalah dhaif. Dari Anas bin Malik, katanya:

 عَقَّ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ بِالنُّبُوَّةِ 
“Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah beliau diangkat menjadi nabi.”[1]
Hadits ini sering dijadikan dalil bolehnya aqiqah ketika sudah dewasa. Shahihkah hadits ini? Sanad hadits ini dhaif. Dalam sanadnya terdapat Abdullah bin Muharrar. Para Imam Ahli hadits tidaklah menggunakan hadits darinya. Amru bin Ali Ash Shairafi mengatakan, dia adalah matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan). Ibnu Abi Hatim berkata: Aku bertanya kepada ayahku (Abu Hatim Ar Razi) tentang Abdullah bin Muharrar, dia menjawab: matrukul hadits (haditsnya ditinggalkan), munkarul hadits (haditsnya munkar), dan dhaiful hadits (haditsnya lemah). Ibnul Mubarak meninggalkan haditsnya.  Abu Zur’ah mengatakan, dia adalah dhaiful hadits.[2]
Pendapat Malikiyah dan riwayat lain dari Imam Ahmad, yang menyatakan orang yang waktu kecilnya belum diaqiqahi, tidak mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Alasannya aqiqah itu disyariatkan bagi ayah, bukan bagi anak. Jadi si anak tidak perlu mengaqiqahi dirinya setelah dewasa. Selain itu, hadis Anas RA yang menjelaskan Nabi SAW mengaqiqahi dirinya sendiri dinilai dhaif sehingga tidak layak menjadi dalil.[3]
Tetapi, banyak pula imam kaum muslimin yang membolehkan. Sebab hadits di atas memiliki beberapa syawahid (saksi penguat), sehingga terangkat menjadi shahih.

v    Pertama, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Abu Ja’far Ath Thahawi dalam Kitab Musykilul Atsar No. 883: Berkata kepada kami Al Hasan bin Abdullah bin Manshur Al Baalisi, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Mutsanna bin Anas, dari Tsumamah bin Anas, dari Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu,  katanya:
أَنَّ النَّبِيَ صلى الله عليه وسلم عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةِ
"Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya setelah datang kepadanya nubuwwah (masa kenabian)."

v    Kedua, hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ath Thabarani dalam Al Mu’jam Al Awsath No. 994: Berkata kepada kami Ahmad, berkata kepada kami Al Haitsam (bin Jamil), berkata kepada kami Abdullah (bin Mutsanna), dari Tsumamah, dari  Anas bin Malik Radhiallahu ‘Anhu, katanya:
أَنَّ النَّبِيَ عَقَّ عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَ مَا بُعِثَ نَبِيَّا
"Bahwa Nabi Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah diutus sebagai nabi"

v    Ketiga, diriwayatkan oleh Imam Ibnu Hazm dalam kitab Al Muhalla, 7/528, Darul Fikr: Kami meriwayatkan dari Ibnu Aiman, berkata kepada kami Ibrahim bin Ishaq As Siraaj, berkata kepada kami ‘Amru bin Muhammad An Naaqid, berkata kepada kami Al Haitsam bin Jamil, berkata kepada kami Abdullah bin Al Mutsanna bin Anas, berkata kepada kami Tsumamah bin Abdullah bin Anas, dari Anas, katanya:
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم عَقَّ، عَنْ نَفْسِهِ بَعْدَمَا جَاءَتْهُ النُّبُوَّةُ
"Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mengaqiqahkan dirinya sendiri setelah datang kepadanya masa kenabian."

v    Syaikh Al Albani memberikan komentar tentang semua riwayat penguat ini:
"Aku berkata: Isnad hadits ini hasan, para perawinya adalah orang-orang yang dijadikan hujah oleh Imam Bukhari dalam Shahihnya, kecuali Al Haitsam bin Jamil, dia adalah terpercaya, seorang haafizh, dan termasuk guru dari Imam Ahmad." [As Silsilah Ash Shahihah, 6/502]
Sehingga, walau sanad hadits riwayat Imam Abdurrazzaq adalah dhaif –karena di dalamnya ada  Abdullah bin  Muharrar yang telah disepakati kedhaifannya-  Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani menshahihkan hadits ini dengan status SHAHIH LI GHAIRIHI, karena beberapa riwayat di atas yang menguatkannya.
Ulama yang membolehkan aqiqah ketika sudah dewasa adalah Imam Muhammad bin Sirin, Al Hasan Al Bashri, Atha’, Ibnu Qudamah, sebagian ulama’ Hambaliyah dan ulama’ Syafi’iyah.
Imam Ahmad ditanya tentang bolehkah seseorang mengaqiqahkan dirinya ketika sudah dewasa? Imam Ibnul Qayyim menyebutkan dalam kitabnya sebagai berikut:
وَقَالَ أَنْ فَعَلَهُ إِنْسَانٌ لَمْ أَكْرَهْهُ
“Dia (Imam Ahmad) berkata: Aku tidak memakruhkan orang yang melakukannya.” [Imam Ibnul Qayyim, Tuhfatul Maudud, Hal 61. Cet. 1. 1983M-1403H. Darul Kutub Al ‘Ilmiyah]. Beliau juga mengatakan, “Siapa yang melakukannya maka itu baik, dan ada sebagian ulama yang mewajibkannya.” [Tuhfatul maudud, Hal. 87 – 88]

Imam Muhammad bin Sirrin berkata:
لَوْ أَعْلَمُ أَنَّهُ لَمْ يُعَقَّ عَنِّي ، لَعَقَقْتُ عَنْ نَفْسِي.
"Seandainya aku tahu aku belum diaqiqahkan, niscaya akan aku aqiqahkan diriku sendiri." [Al Mushannaf Ibnu Abi Syaibah No. 24718]

Imam Al Hasan Al Bashri berkata:
إِذَا لَمْ يُعَقَّ عَنْكَ ، فَعُقَّ عَنْ نَفْسِكَ وَ إِنْ كُنْتَ رَجُلًا
"Jika dirimu belum diaqiqahkan, maka aqiqahkan buat dirimu sendiri, jika memang kamu adalah laki-laki." [Imam Ibnu Hazm, Al Muhalla, 8/322]

Ibnu Qudamah mengatakan, “Jika dia belum diakikahi sama sekali, kemudian balig dan telah bekerja, maka dia tidak wajib untuk mengakikahi dirinya sendiri.”
Imam Asy Syafi’i memiliki pendapat bahwa aqiqah tetap dianjurkan walaupun diakhirkan. Namun disarankan agar tidak diakhirkan hingga usia baligh. Jika aqiqah diakhirkan hingga usia baligh, maka kewajiban orang tua menjadi gugur. Akan tetapi ketika itu, anak punya pilihan, boleh mengaqiqahi dirinya sendiri atau tidak. [Lihat Shahih Fiqih Sunnah, 2/383]

Meskipun tidak sedikit ulama' yang lebih memilih pendapat bahwa mengaqiqahi anak maupun diri sendiri setelah dewasa sebagai pendapat yang lebih kuat begitu juga penulis, Insya Allah. Namun perbedaan pendapat yang terjadi semenjak para ulama' terdahulu masih berlanjut sampai sekarang, sehingga dalam menghadapinya harus selalu mengedepankan sikap bijak apabila masih dalam koridor ikhtilaf tanawwu' (yaitu perbedaan pendapat yang masih bisa ditoleran) terutama dalam ranah fiqih perbedaan pendapat hampir tidak bisa dihindarkan. Wallahu A’lam Bish Showab

Fatwa Syaikh Sholih bin Utsaimin (anggota Hai’ah Kibar Ulama’ Saudi Arabia)
Mengenai permasalahan ini, kita bisa mengambil pelajaran dari fatwa Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin berikut dalam Liqo-at Al Bab Al Maftuh. Semoga bermanfaat.
Soal:
Apabila seseorang tidak diaqiqahi ketika kecil, apakah ia tetap dianjurkan untuk diaqiqahi ketika dewasa? Apa saja batasan masih dibolehkannya aqiqah?
Jawab:
Apabila orang tuanya dahulu adalah orang yang tidak mampu pada saat waktu dianjurkannya aqiqah (yaitu pada hari ke-7, 14, atau 21 kelahiran, pen), maka ia tidak punya kewajiban apa-apa walaupun mungkin setelah itu orang tuanya menjadi kaya. Sebagaimana apabila seseorang miskin ketika waktu pensyariatan zakat, maka ia tidak diwajibkan mengeluarkan zakat, meskipun setelah itu kondisinya serba cukup. Jadi apabila keadaan orang tuanya tidak mampu ketika pensyariatan aqiqah, maka aqiqah menjadi gugur karena ia tidak memiliki kemampuan.
Sedangkan jika orang tuanya mampu ketika ia lahir, namun ia menunda aqiqah hingga anaknya dewasa, maka pada saat itu anaknya tetap diaqiqahi walaupun sudah dewasa.
Adapun waktu utama aqiqah adalah hari ketujuh kelahiran, kemudian hari keempatbelas kelahiran, kemudian hari keduapuluh satu kelahiran, kemudian setelah itu terserah tanpa melihat kelipatan tujuh hari.
Aqiqah untuk anak laki-laki dengan dua ekor kambing. Namun anak laki-laki boleh juga dengan satu ekor kambing. Sedangkan aqiqah untuk anak perempuan dengan satu ekor kambing dan lebih utama tidak menambahnya dari jumlah ini.
[Liqo-at Al Bab Al Maftuh, Syaikh Muhammad bin Sholih Al 'Utsaimin, kaset 234, no. 6]



[1]   HR. Abdurrazaq  7960
[2]   Al Jarh wat Ta’dil, Imam Abdurrahman bin Abi Hatim 5/176. Dar Ihya At Turats
[3]  [Hisamuddin ‘Afanah, Ahkamul Aqiqah, hlm. 59; Al-Mufashshal fi Ahkam al-Aqiqah, hlm.137; Maryam Ibrahim Hindi, Al-’Aqiqah fi Al-Fiqh Al-Islami, hlm. 101; M. Adib Kalkul, Ahkam al-Udhiyyah wa Al-’Aqiqah wa At-Tadzkiyyah, hlm. 44]

0 komentar:

Posting Komentar