Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Belajar dari ibrahim


Belajar dari ibrahim

Tidak dapat dipungkiri bahwa setiap goresan kisah dalam kehidupan seorang hamba terkandung segudang hikmah yang dapat dipetik. Baik disadari atau tidak, baik yang diketahui atau tidak, baik hikmah yang telah dijelaskan Allah melalui lisan Nabi-Nya ataupun tidak. Semuanya harus diyakini bahwa di balik setiap hal tersebut terdapat hikmah dan pelajaran yang agung. Terlebih lagi dengan turunnya syariat Allah, yang merupakan pedoman hidup orang-orang yang mengharapkan kebahagiaan.
Tidak ada satu perkara pun yang sia-sia atas seorang mukmin yang benar imannya. Sebab, jika ia diberi kelapangan ia bersyukur dan jika ia diberi kesempitan ia bersabar. Yang demikian itu adalah baik baginya.
Sebagaimana Allah telah menceritakan kisah Nabi Ibrahim dan putranya Ismail 'alaihis salam di dalam kitab-Nya, agar manusia bisa mengambil pelajaran darinya dan menghidupkan sunnahnya. Yaitu ketika Nabi Ibrahim ‘alaihis salam diperintahkan oleh Allah Ta’ala agar menyembelih buah hatinya Nabi Isma’il ‘alaihis salam.
Allah Ta'ala berfirman dalam surat Ash-Shaffat ayat ke-102; "Maka tatkala anak itu sampai (pada umur sanggup) berusaha bersama-sama Ibrahim, Ibrahim berkata: "Hai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu!" ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu, insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Di umurnya yang ke-86 tahun Nabi Ibrahim ‘alaihis salam dikaruniai seorang putra yang sudah lama ia tunggu-tunggu. Dia adalah Ismail ‘alaihis salam yang merupakan anak pertama yang dengannya Nabi Ibrahim diberi kabar gembira. “Maka Kami beri dia (Ibrahim) kabar gembira dengan seorang anak yang amat sabar.” [QS. Ash-Shaffat: 101]
Dan ketika Nabi Ismail beranjak dewasa Allah memerintahkan Ibrahim melalui mimpinya untuk menyembelih putra yang sangat ia cintai. Yang mana mimpi seorang Nabi adalah merupakan wahyu Allah Ta’ala. Ibrahim pun dengan penuh rasa sayangnya menceritakan mimpinya itu kepada Ismail, agar hal itu menjadi lebih ringan baginya sekaligus untuk menguji kesabaran dan kemauan keras Ismail dalam menta’ati perintah Allah serta ayahnya. Nabi Ibrahim berkata; “Wahai anakku sesungguhnya aku melihat dalam mimpiku bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana menurutmu!”
Nabi Ismail menjawab; “Wahai ayahku, kerjakanlah apa  yang telah diperintahkan kepadamu. Insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” Dengan kesabarannya Nabi Ismail menta’ati apa yang telah Allah perintahkan kepada ayahnya, berharap ia akan mendapatkan pahala di sisi Allah atas kesabarannya itu.
Peristiwa ini merupakan gambaran cinta yang tulus dan ketaatan yang tinggi seorang hamba kepada Rabbnya sampai merelakan anaknya sendiri untuk dikorbankan demi menjalankan perintah Rabbnya, karena ia sendiri yakin bahwa Allah  Maha Pengasih dan Maha Penyayang dan Allah  Maha Adil sehingga ia yakin bahwa Allah  tidak akan mencelakakan dan mendhalimi hamba-Nya.
Dan semua itu terbukti, ketika Nabi Ibrahim bersiap-siap untuk menyembelih anaknya, seketika Allah  mengirimkan seekor qibas yang menggantikan Nabi Ismail. Yaitu tatkala keduanya telah berserah diri kepada Allah, pasrah atas yang ujian yang menimpa mereka, dan Ibrahim telah membaringkan putranya di atas wajahnya dengan maksud agar ia tidak melihat wajah Ismail ketika disembelih. Pada saat itulah Allah berfirman; “Hai Ibrahim, sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu.” Maka Allah menggantikan Ismail dengan seekor hewan sembelihan yang besar sebagai balasan atas kesabaran yang mereka lakukan.
Apa yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim untuk menjalankan perintah Allah  tersebut bukan berarti tidak ada hambatan. Musuh terbesar ummat manusia yaitu setan dan iblis selalu berusaha mengodanya, namun beliau tetap tegar dan bersabar.
Itulah tanda kecintaan dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Rabbnya yang dibuktikan dengan menjalankan perintah-perintah Allah  walaupun perintah tersebut sangat berat dan harus mengorbankan seorang anak yang dicintainya. Itulah ujian yang Allah  berikan kepada Nabi Ibrahim untuk memperlihatkan kepada kita tentang kecintaan dan ketaatannya kepada Allah  melebihi kecintaannya kepada materi dan keduniaan, baik itu harta, anak ataupun istri.
Demikianlah kisah tentang kesabaran Nabi Ibrahim dan putranya Ismail. Dalam kisahnya  itu terkandung banyak hikmah yang agung. Dari sini awal mula disyariatkannya udhiyah (ibadah kurban) bagi kaum muslimin. Sebagaimana Rasulallah SAW diperintahkan untuk mengikuti ajaran-ajaran Nabi Ibrahim ‘alaihis salam. Allah Ta’ala berfirman, “Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad), “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif (lurus),” dan dia bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Rabb.” [QS. An-Nahl: 123]
Dan diantara hikmah yang dapat dipetik dari kisah awal mulanya pensyariatan udhiyah ialah:
Pertama, sebagai tanda syukur kepada Allah yaitu dengan berkurban pada hari nahr (hari raya idul adha). Sehingga dengan kurbannya itu bisa mencukupi kebutuhan kaum muslimin. Dalam penyembelihan kurban terdapat upaya menghidupkan sunnah ini dan menyembelih sesuatu dari pemberian Allah kepada manusia sebagai ungkapan rasa syukur kepada pemilik dan pemberi kenikmatan. Syukur yang tertinggi adalah kemurnian ketaatan dengan mengerjakan seluruh perintah-Nya.
Kedua, meneladani kesabaran Nabi Ibrahim dan putranya Ismail ‘alaihis salam. Dengan kesabaran yang agung, mereka berhasil melakukan ketaatan kepada Allah dan kecintaan pada-Nya melebihi kecintaannya pada apa pun. Pengorbanan seperti inilah yang membuktikan seberapa besar tingkat kesabaran yang mereka miliki. Sehingga Allah menebus Ismail dengan hewan sembelihan yang besar.
Sudah selayaknya bagi setiap mukmin untuk mencontoh kesabaran mereka dalam menjalani cobaan yang ada, dan yakinlah bahwa Allah akan mengganti dengan sesuatu yang lebih baik atas setiap pengorbanan yang dilakukan.
Maka dalam kisah ini terkumpullah dua sifat mukmin yang Allah sangat ta’jub, syukur dan sabar. Jika seorang mukmin diberi kesenangan ia bersyukur, Dan jika ia ditimpa kesusahan ia bersabar, dan yang demikian itu baik baginya.

0 komentar:

Posting Komentar