Bolehkah Memberikan Zakat pada Orang
Fasik, Pelaku Bid’ah, dan Orang Yang
Menerima Zakat Tersebut Dipergunakan untuk Bermaksiat?
Makalah Ke-26
Orang-orang yang menisbatkan
diri kepada Islam—yang mungkin saja mereka termasuk golongan yang berhak
menerima zakat—tidak terlepas dari tiga keadaan:
Pertama, mereka adalah
muslim yang taat dan melaksanakan syariat. Zakat boleh diberikan kepada mereka,
jika mereka termasuk golongan yang berhak menerimanya, tanpa diperselisihkan.
Kedua, mereka termasuk
ahli bid’ah yang menjadikan kafir pelakunya. Mereka tidak boeleh diberi zakat,
tanpa diperselisihkan. Karena mereka, dengan bid’ah-bid’ah tersebut, telah
keluar dari agama islam, sedangkan orang-orang kafir tidak boelh diberi zakat
berdasarkan ijma’
Ketiga, ahli bid’ah dan
kemaksiatan. Jika diduga kuat, mereka akan menggunakan zakat tersebut untuk
kemaksiatan, maka tidak boleh memberikan zakat kepada mereka (ini menurut
Syafi’iyah dan Hanabilah).
Oleh karena itu, Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah ra, dalam fatawa (20/87), mengatakan: “Semestinya seseorang
memilih memberikan zakatnya kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin,
orang-orang yang memiliki utang, dan para mustahiq lainnya dari kalangan yang
taat beragama dan mengikuti syariat.
Barangsiapa menampakkan suatu
bid’ah atau perbuatan keji, maka ia berhak mendapatkan sanksi berupa hajr
(boikot) atau selainnya, serta diminta untuk bertaubat; maka bagaimana mungkin
ia dibantu untuk melakukan perbuatan itu?
Begitu pula tidak semestinya
zakat diberikan kepada orang yang tidak mempergunakan harta tersebut untuk
ketaatan kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat sebagai sarana
untuk menaati-Nya. Barangsiapa tidak menegakkan shalat, ia tidak diberi zakat
hingga bertaubat dan komitmen untuk mengerjakan shalat. Barangsiapa diantara
mereka ada yang munafik atau menampakkan bid’ah yang menyelisihi al-Quran dan
as-Sunnah berupa bid’ah-bid’ah dalam masalah aqidah dan ibadah, maka ia berhak
mendapatkan sanksi. Diantata bentuk sanksinya ialah diharamkan diberi zakat
hingga bertaubat.
Adapun jika mereka tidak
menggunakan zakat yang mereka terima untuk kemaksiatan, maka Syaikhul Islam
Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa mereka tidak boleh diberi zakat.
Sementara ulama selainnya
berpendapat bahwa mereka diberi zakat, karena mereka termasuk dalam dalam
keumuman ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, dan tidak dibedakan
antara pelaku kemaksiatan dan pelaku ketaatan.
Apapun keadaannya, yang terbaik
ialah mendahulukan orang-orang yang taat beragama dan istiqamah dalam aqidah
dan amalan daripada selain mereka ketika memberikan zakat. Wallahu a’lam.
Penulis berkata (Abu Malik Kamal bin sayyid as-Salim):
riwayat-riwayat yang disinyalir dalam bab ini, diantaranya:
1.
Dari Qaz’ah, ia berkata,
“Aku berkata kepada Ibnu Umar, Sesungguhnya aku memiliki harta, lantas kepada
siapakah aku menyerahkan zakatnya? Ibnu Umar menjawab, “Serahkanlah kepada kaum
itu (para pemimpin). Aku berkata, Kalau begitu mereka akan menjadikannya
sebagai pakaian dan parfum. Ibnu Umar berkata, walaupun mereka akan
menjadikannya sebagai pakaian dan parfum, tetapi pada hartamu terdapat hak
selain zakat.”[1]
2.
Dari Suhail bin Abu Shalih,
dari ayahnya ia berkata, “Aku mendatangi Sa’ad bin Abi Waqqash ra lalu aku
katakan, ‘Aku memiliki harta dan aku ingin mengeluarkan zakatnya, sementara
kaum itu sebagaimana yang engkau lihat (apakah aku serahkan kepada mereka)?’ Ia
mengatakan, ‘Serahkanlah kepada mereka,’lalu aku mendatangi Ibnu Umar, Abu
Hurairah dan Abu Sa’id ra, ternyata mereka mengatakan seperti itu.[2]
Jelaslah kedua riwayat
tersebut, yang dimaksud dengan “kaum”—yang kepada mereka zakat diserahkan
walaupun mereka bermaksiat—adalah umara’, wulatul amr (pemimpin) yang
wajib ditaati. Tidak ada kontradiksi mengenai hal ini, berdasarkan apa yang
kami tarjih dari madzhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Wallahu a’lam.
Sumber:
o
Shahih Fiqih
Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.
0 komentar:
Posting Komentar