Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Bolehkah Memberikan Zakat pada Orang Fasik, Pelaku Bid’ah, dan Orang Yang Menerima Zakat Tersebut Dipergunakan untuk Bermaksiat?


Bolehkah Memberikan Zakat pada Orang Fasik, Pelaku Bid’ah, dan Orang  Yang Menerima Zakat Tersebut Dipergunakan untuk Bermaksiat?
Makalah Ke-26

                Orang-orang yang menisbatkan diri kepada Islam—yang mungkin saja mereka termasuk golongan yang berhak menerima zakat—tidak terlepas dari tiga keadaan:
                Pertama, mereka adalah muslim yang taat dan melaksanakan syariat. Zakat boleh diberikan kepada mereka, jika mereka termasuk golongan yang berhak menerimanya, tanpa diperselisihkan.
                Kedua, mereka termasuk ahli bid’ah yang menjadikan kafir pelakunya. Mereka tidak boeleh diberi zakat, tanpa diperselisihkan. Karena mereka, dengan bid’ah-bid’ah tersebut, telah keluar dari agama islam, sedangkan orang-orang kafir tidak boelh diberi zakat berdasarkan ijma’
                Ketiga, ahli bid’ah dan kemaksiatan. Jika diduga kuat, mereka akan menggunakan zakat tersebut untuk kemaksiatan, maka tidak boleh memberikan zakat kepada mereka (ini menurut Syafi’iyah dan Hanabilah).
                Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ra, dalam fatawa (20/87), mengatakan: “Semestinya seseorang memilih memberikan zakatnya kepada orang-orang fakir, orang-orang miskin, orang-orang yang memiliki utang, dan para mustahiq lainnya dari kalangan yang taat beragama dan mengikuti syariat.
                Barangsiapa menampakkan suatu bid’ah atau perbuatan keji, maka ia berhak mendapatkan sanksi berupa hajr (boikot) atau selainnya, serta diminta untuk bertaubat; maka bagaimana mungkin ia dibantu untuk melakukan perbuatan itu?
                Begitu pula tidak semestinya zakat diberikan kepada orang yang tidak mempergunakan harta tersebut untuk ketaatan kepada Allah swt. Sesungguhnya Allah mewajibkan zakat sebagai sarana untuk menaati-Nya. Barangsiapa tidak menegakkan shalat, ia tidak diberi zakat hingga bertaubat dan komitmen untuk mengerjakan shalat. Barangsiapa diantara mereka ada yang munafik atau menampakkan bid’ah yang menyelisihi al-Quran dan as-Sunnah berupa bid’ah-bid’ah dalam masalah aqidah dan ibadah, maka ia berhak mendapatkan sanksi. Diantata bentuk sanksinya ialah diharamkan diberi zakat hingga bertaubat.
                Adapun jika mereka tidak menggunakan zakat yang mereka terima untuk kemaksiatan, maka Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga berpendapat bahwa mereka tidak boleh diberi zakat.
                Sementara ulama selainnya berpendapat bahwa mereka diberi zakat, karena mereka termasuk dalam dalam keumuman ayat tentang golongan yang berhak menerima zakat, dan tidak dibedakan antara pelaku kemaksiatan dan pelaku ketaatan.
                Apapun keadaannya, yang terbaik ialah mendahulukan orang-orang yang taat beragama dan istiqamah dalam aqidah dan amalan daripada selain mereka ketika memberikan zakat.  Wallahu a’lam.
Penulis berkata (Abu Malik Kamal bin sayyid as-Salim): riwayat-riwayat yang disinyalir dalam bab ini, diantaranya:
1.       Dari Qaz’ah, ia berkata, “Aku berkata kepada Ibnu Umar, Sesungguhnya aku memiliki harta, lantas kepada siapakah aku menyerahkan zakatnya? Ibnu Umar menjawab, “Serahkanlah kepada kaum itu (para pemimpin). Aku berkata, Kalau begitu mereka akan menjadikannya sebagai pakaian dan parfum. Ibnu Umar berkata, walaupun mereka akan menjadikannya sebagai pakaian dan parfum, tetapi pada hartamu terdapat hak selain zakat.”[1]
2.       Dari Suhail bin Abu Shalih, dari ayahnya ia berkata, “Aku mendatangi Sa’ad bin Abi Waqqash ra lalu aku katakan, ‘Aku memiliki harta dan aku ingin mengeluarkan zakatnya, sementara kaum itu sebagaimana yang engkau lihat (apakah aku serahkan kepada mereka)?’ Ia mengatakan, ‘Serahkanlah kepada mereka,’lalu aku mendatangi Ibnu Umar, Abu Hurairah dan Abu Sa’id ra, ternyata mereka mengatakan seperti itu.[2]

Jelaslah kedua riwayat tersebut, yang dimaksud dengan “kaum”—yang kepada mereka zakat diserahkan walaupun mereka bermaksiat—adalah umara’, wulatul amr (pemimpin) yang wajib ditaati. Tidak ada kontradiksi mengenai hal ini, berdasarkan apa yang kami tarjih dari madzhab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Wallahu a’lam.

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.




[1]  Al-Amwal, Abu Ubaid (1798) dengan sanad shahih.
[2]  Al-Amwal (1789) dan al-Baihaqi (4/115) dengan sanad shahih.

0 komentar:

Posting Komentar