Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

HARTA GONO GINI DALAM ISLAM


HARTA GONO GINI DALAM ISLAM

Harta merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”(An Nisa’ 5)

Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai berikut :
1.       Memberikan mahar
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً
Berikanlah mas kawin kepada wanita yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan ikhlas)”(An Nisa’ 4)
2.       Memberikan nafkah kepada istri dan anak
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
Dan kepada ayah berkewajiban memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “(Al Baqoroh 233)
3.       Suami tidak boleh mengambil harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
Jika mereka (istri-istri kamu) menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “ (An Nisa’ 4)
4.       Jika terjadi perceraian antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut ;
·         Istri mendapat seluruh mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan
وَإِنْ أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
Dan jika kamu ingin mengganti isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-isteri. “(Qs. an- Nisa’ : 20)
·         Istri mendapat setengah mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah ditentukan
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ
Jika kamu menceraikan isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu tentukan itu. “ (Qs. al- Baqarah : 237)
·         Istri mendapat mut’ah (uang pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :

لَا جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ

Tidak ada kewajiban membayar (mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang berbuat kebajikan.” (Qs. al- Baqarah : 236)

Harta bersama atau disebut harta goni gini pada dasarnya tidak dikenal dalam rujukan syariat Islam. Kitab fiqih klasik maupun kontemporer tidak memuat secara khusus mengenai soal ini, sebab dalam Islam didapati asas pengakuan kepemilikan harta secara individual, bukan kolektif. Atas dasar pengakuan kepemilikan individual itulah, maka ada kewajiban suami menafkahi isteri dan anaknya.

Sebagian ulama, terutama ulama Indonesia cenderung dapat menerima keberadaan harta gono gini, karena dalam prakteknya banyak suami istri dalam masyarakat Indonesia bersama-sama membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga[1].

Pendapat ini diperkuat lagi dengan tidak tertutup kemungkinan adanya syirkah (kerjasama) antara dua pihak, baik syirkah dalam harta maupun usaha. Dua pihak itu dimungkinkan antara suami dan istri. Perkongsian semacam ini biasa disebut syarikah abdan mufawadah (perkongsian tenaga dan kemitraan usaha tak terbatas). Dengan berlakunya perkongsian seperti ini, maka semua harta yang diperoleh setelah perkawinan adalah milik bersama, kecuali harta yang bersumber dari warisan atau hibah khusus.

                Bagaimanakah sikap yang utama dalam menyikapi harta gono gini dalam Islam ?[2]

عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang menghalalkan yang haram “ (HR Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)

Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU Perkawinan). Untuk memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan :

1.       Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan kepada suami secara khusus.
2.       Barang-barang yang dibeli dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.
3.       Barang-barang yang dibeli dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri, maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.

Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah;
·         Pembagian harta gono-gini tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.

وَإِنِ امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرًا

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) “ (Qs. an-Nisa’ : 128)

Ayat di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi kerukunan antar keduanya.

·         Memang kita temukan di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang menyebutkan bahwa :
Janda atau duda cerai hidup masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan lain dalam perjanjian perkawinan.
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan antara suami istri.
Kesepakatan tersebut berlaku jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami, kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik istri. Wallahu A’lam

RUU Harta Gono Gini

Definisi Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, ialah :
“Ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .

Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang diatur pada Pasal 35 bahwa :
1.       Harta benda diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. diurus secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak. Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta bersama berdasarkan kesepakatan bersama
2.       Harta benda yang diperoleh masing-masing  sebagai hadiah atau warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang berbunyi :
1.       Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.       Mengenai harta bawaan masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.

Kesimpulan penulis adalah, pembagian harta gono gini dikembalikan kepada kesepakatan suami istri bila memang mungkin dilakukan. Bila tidak tercapai mufakat, maka sebaiknya pasangan suami istri yang bercerai tersebut menyerahkan keputusan kepada lembaga hukum yang memutusakan dengan hukum Islam. Wallahu a’lam




[1] http://majalah.hidayatullah.com/?p=1287
[2] www.ahmadzain.com

0 komentar:

Posting Komentar