HARTA GONO
GINI DALAM ISLAM
Harta
merupakan tonggak kehidupan rumah tangga, sebagaimana firman Allah SWT
وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ
أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا
“Dan
janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta
kamu yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan”(An Nisa’ 5)
Kewajiban Suami yang berkenaan dengan harta adalah sebagai
berikut :
1.
Memberikan mahar
وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ
نِحْلَةً
“Berikanlah mas kawin kepada wanita
yang kamu nikahi sebagai bentuk kewajiban (yang harus dilaksanakan dengan
ikhlas)”(An Nisa’ 4)
2.
Memberikan nafkah kepada
istri dan anak
وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ
رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan kepada ayah berkewajiban
memberi nafkah dan pakaian yang layak kepada istrinya “(Al Baqoroh 233)
3.
Suami tidak boleh mengambil
harta istri, kecuali dengan izin dan ridhonya
فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ
مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا
“Jika mereka (istri-istri kamu)
menyerahkan dengan penuh kerelaan sebagian mas kawin mereka kepadamu, maka
terimalah pemberian tersebut sebagai harta yang sedap dan baik akibatnya “ (An Nisa’ 4)
4.
Jika terjadi perceraian
antara suami istri, maka ketentuannya sebagai berikut ;
·
Istri mendapat seluruh
mahar jika ia telah melakukan hubungan sex dengan suaminya, atau salah satu
diantara kedua suami istri tersebut meninggal dunia dan mahar telah ditentukan
وَإِنْ
أَرَدْتُمُ اسْتِبْدَالَ زَوْجٍ مَكَانَ زَوْجٍ وَآتَيْتُمْ إِحْدَاهُنَّ
قِنْطَارًا فَلَا تَأْخُذُوا مِنْهُ شَيْئًا أَتَأْخُذُونَهُ بُهْتَانًا وَإِثْمًا
مُبِينًا
“Dan jika kamu ingin mengganti
isterimu dengan isteri yang lain, sedang kamu telah memberikan kepada seseorang
di antara mereka harta yang banyak, maka janganlah kamu mengambil kembali dari
padanya barang sedikitpun. Apakah kamu akan mengambilnya kembali dengan jalan
tuduhan yang dusta dan dengan (menanggung) dosa yang nyata? bagaimana kamu akan
mengambilnya kembali, padahal sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan
yang lain sebagai suami-isteri. “(Qs. an- Nisa’ : 20)
·
Istri mendapat setengah
mahar jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar telah
ditentukan
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ
قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا
فَرَضْتُمْ
“Jika kamu menceraikan
isteri-isterimu sebelum kamu bercampur dengan mereka, padahal sesungguhnya kamu
sudah menentukan maharnya, maka bayarlah seperdua dari mahar yang telah kamu
tentukan itu. “ (Qs. al-
Baqarah : 237)
·
Istri mendapat mut’ah (uang
pesangon) jika dia belum melakukan hubungan sex dengan suaminya dan mahar belum
ditentukan, sebagaimana firman Allah SWT :
لَا
جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِنْ طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ مَا لَمْ تَمَسُّوهُنَّ أَوْ
تَفْرِضُوا لَهُنَّ فَرِيضَةً وَمَتِّعُوهُنَّ عَلَى الْمُوسِعِ قَدَرُهُ وَعَلَى
الْمُقْتِرِ قَدَرُهُ مَتَاعًا بِالْمَعْرُوفِ حَقًّا عَلَى الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada kewajiban membayar
(mahar) atas kamu, jika kamu menceraikan isteri-isteri kamu sebelum kamu
bercampur dengan mereka dan sebelum kamu menentukan maharnya. dan hendaklah
kamu berikan suatu mut'ah (pemberian) kepada mereka. rang yang mampu menurut
kemampuannya dan orang yang miskin menurut kemampuannya (pula), yaitu pemberian
menurut yang patut. yang demikian itu merupakan ketentuan bagi orang-orang yang
berbuat kebajikan.” (Qs. al-
Baqarah : 236)
Harta
bersama atau disebut harta goni gini pada dasarnya tidak dikenal dalam rujukan
syariat Islam. Kitab fiqih klasik maupun kontemporer tidak memuat secara khusus
mengenai soal ini, sebab dalam Islam didapati asas pengakuan kepemilikan harta
secara individual, bukan kolektif. Atas dasar pengakuan kepemilikan individual
itulah, maka ada kewajiban suami menafkahi isteri dan anaknya.
Sebagian
ulama, terutama ulama Indonesia cenderung dapat menerima keberadaan harta gono
gini, karena dalam prakteknya banyak suami istri dalam masyarakat Indonesia
bersama-sama membanting tulang mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan keluarga[1].
Pendapat
ini diperkuat lagi dengan tidak tertutup kemungkinan adanya syirkah (kerjasama)
antara dua pihak, baik syirkah dalam harta maupun usaha. Dua pihak itu
dimungkinkan antara suami dan istri. Perkongsian semacam ini biasa disebut
syarikah abdan mufawadah (perkongsian tenaga dan kemitraan usaha tak terbatas).
Dengan berlakunya perkongsian seperti ini, maka semua harta yang diperoleh
setelah perkawinan adalah milik bersama, kecuali harta yang bersumber dari
warisan atau hibah khusus.
Bagaimanakah sikap yang utama
dalam menyikapi harta gono gini dalam Islam ?[2]
عَنْ عَمْرِو بْنِ عَوْفٍ
الْمُزَنِيُّ عَنْ أَبِيهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ الصُّلْحُ جَائِزٌ بَيْنَ الْمُسْلِمِينَ إِلَّا صُلْحًا
حَرَّمَ حَلَالًا أَوْ أَحَلَّ حَرَامًا
Dari Amru’ bin Auf al Muzani dari bapaknya dari
kakeknya bahwa Rasulullah saw bersabda: “Perdamaian adalah boleh di antara kaum
muslimin, kecuali perdamaian yang mengharamkan yang halal dan perdamaian yang
menghalalkan yang haram “ (HR
Abu Dawud, Ibnu Majah, dan disahihkan oleh Tirmidzi)
“Harta
benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama (pasal 35 UU
Perkawinan). Untuk
memperjelas pengertian di atas, hal-hal di bawah ini perlu menjadi catatan :
1.
Barang-barang yang dibeli
dari gaji (harta) suami, seperti kursi, tempat tidur, kulkas, kompor, mobil
adalah milik suami dan bukanlah harta gono-gini, termasuk dalam hal ini adalah
harta warisan yang didapatkan suami, atau hadiah dari orang lain yang diberikan
kepada suami secara khusus.
2.
Barang-barang yang dibeli
dari gaji (harta) suami, kemudian secara sengaja dan jelas telah diberikan
kepada istrinya, seperti suami yang membelikan baju dan perhiasan untuk
istrinya, atau suami membelikan motor dan dihadiahkan untuk istrinya, maka
harta tersebut, walaupun dibeli dengan harta suami, tetapi telah menjadi harta
istri, dan bukan pula termasuk dalam harta gono- gini.
3.
Barang-barang yang dibeli
dari harta istri, atau orang lain yang menghibahkan sesuatu khusus untuk istri,
maka itu semua adalah menjadi hak istri dan bukan merupakan harta gono- gini.
Di dalam Islam tidak ada aturan secara khusus
bagaimana membagi harta gono – gini. Islam hanya memberika rambu-rambu secara
umum di dalam menyelesaikan masalah bersama, diantaranya adalah;
·
Pembagian harta gono-gini
tergantung kepada kesepakatan suami dan istri. Kesepakatan ini di dalam Al
Qur’an disebut dengan istilah “Ash Shulhu “yaitu perjanjian untuk melakukan
perdamaian antara kedua belah pihak (suami istri) setelah mereka berselisih.
وَإِنِ
امْرَأَةٌ خَافَتْ مِنْ بَعْلِهَا نُشُوزًا أَوْ إِعْرَاضًا فَلَا جُنَاحَ
عَلَيْهِمَا أَنْ يُصْلِحَا بَيْنَهُمَا صُلْحًا وَالصُّلْحُ خَيْرٌ وَأُحْضِرَتِ
الْأَنْفُسُ الشُّحَّ وَإِنْ تُحْسِنُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ بِمَا
تَعْمَلُونَ خَبِيرًا
“Dan jika seorang wanita khawatir
akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi
keduanya untuk mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu
lebih baik (bagi mereka) “ (Qs.
an-Nisa’ : 128)
Ayat
di atas menerangkan tentang perdamaian yang diambil oleh suami istri setelah
mereka berselisih. Biasanya di dalam perdamaian ini ada yang harus merelakan
hak-haknya, pada ayat di atas, istri merelakan hak-haknya kepada suami demi
kerukunan antar keduanya.
·
Memang kita temukan di
dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) dalam Peradilan Agama, pasal 97, yang
menyebutkan bahwa :
“Janda atau duda cerai hidup
masing-masing berhak seperdua dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan
lain dalam perjanjian perkawinan.”
Keharusan untuk membagi sama rata, yaitu
masing-masing mendapatkan 50%, seperti dalam KHI di atas, ternyata tidak
mempunyai dalil yang bisa dipertanggung jawabkan, sehingga pendapat yang
benar dalam pembagian harta gono gini adalah dikembalikan kepada kesepakatan
antara suami istri.
Kesepakatan
tersebut berlaku jika suami dan istri sama-sama bekerja. Namun masalahnya, jika
istri di rumah dan suami yang bekerja, maka dalam hal ini tidak terdapat harta
gono- gini, dan pada dasarnya semua yang dibeli oleh suami adalah milik suami,
kecuali barang-barang yang telah dihibahkan kepada istri, maka menjadi milik
istri. Wallahu A’lam
RUU Harta Gono Gini
Definisi Perkawinan berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, ialah :
“Ikatan
lahir bathin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal
berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” .
Undang-Undang Perkawinan membedakan harta benda dalam perkawinan, yang
diatur pada Pasal 35 bahwa :
1.
Harta benda diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama. diurus
secara bersama-sama oleh suami-isteri. Dalam melakukan pengurusan harta bersama
tersebut, meraka dapat bertindak dengan adanya persetujuan kedua belah pihak.
Artinya, suami atau isteri jika melakukan perbuatan hukum terhadap harta
bersama berdasarkan kesepakatan bersama
2.
Harta benda yang diperoleh
masing-masing sebagai hadiah atau
warisan adalah di bawah pengawasan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain.
Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, yang
berbunyi :
1.
Mengenai harta bersama,
suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
2.
Mengenai harta bawaan
masing-masing, suami isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan
hukum mengenai harta bendanya.
Kesimpulan penulis adalah,
pembagian harta gono gini dikembalikan kepada kesepakatan suami istri bila
memang mungkin dilakukan.
Bila tidak tercapai mufakat, maka sebaiknya pasangan suami istri yang bercerai
tersebut menyerahkan keputusan kepada lembaga hukum yang memutusakan dengan
hukum Islam. Wallahu a’lam
0 komentar:
Posting Komentar