Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

HARTA GONO GINI


HARTA GONO GINI

Sebelum harta peninggalan dibagi bagi kepada ahli waris, hukum adat meneliti terlebih dahulu macam dan asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masig masing pihak yang terpisah satu sama lain atau merupakan harta campur kaya dari suami dan istri. Harta masing masing dari suami dan istri itu dapat diperoleh dari dua jalan
·         Diperoleh secara warisan dari ahli waris mereka masing masing
Harta kekayaan sendiri yang diperoleh secara pusaka di pelbagai daerah mempunyai nama sendiri sendiri. jawa = gono / gawan. sumatra = pusaka. sulawesi = sisila, pada umumnya harta kekayaan ini menjadi harta milik masing masing. Dan kalau mereka meninggal diwarisi oleh anak anak mereka. Apabila tidak meninggalkan anak kembali kepada keluarga yang meninggal tidak dapat beralih kepada ahli waris lain
·         Diperoleh secara hibah atau usaha sendiri
harta kekayaan masing masing yang diperoleh dengan cara hibah atau hasil usaha mereka baik diperolehnya sebelum maupun sesudah perkawinan juga merupakan harta kekayaan masing masing secara terpisah dari harta yang lain

Jika harta kekayaan masing masing diperoleh secara warisan itu hanya dapat diwarisi oleh anak anak si mati itu sendiri dan kalau tidak memiliki anak diwarisi oleh keluarga yang meninggal saja.  maka harta kekayaan yang diperoleh secara hibah atau hasil usaha sendiri dapat diwarisi oleh anak, istri , atau suami yang masih hidup dengan sedikit perbedaan penerimaannya antara satu daerah dengan daerah yang lain. ada sebagian daerah menetapkan bagian istri yang ditinggalkan itu 1/8 dan sebagian daerah yang lain tidak memberikan warisan kepadanya tetapi hanya menafkahinya sampai meninggal dunia.

Gono gini adalah harta campur kaya yang di jawa timur disebut dengan gono gini, di jawa barat disebut guna-kaya (campur kaya) , di mingkabau disebut harta-suarang dan di banda aceh disebut hareuta-seuhareukat = adalah menjadi meilik bersama dari dua orang suami istri.

Harta gono gini adalah harta yang diperoleh oleh suami istri selama langsungnya perkawinan dimana kedua duannya bekerja untuk kepentingan hidup rumah tangga. bekerja ini hendaknya diartikan luas hingga seorang istri yang pekerjaannya tidak nyata nyata menghasilkan kekayaan seperti memelihara dan mendidik anak anaknya dianggap sudah bekerja, dan harta kekayaan yang diperoleh secara kongkrit oleh suami menjadi milik bersama.

Di salam susunan keluarga yang tertib parentil semua harta kepunyaan kedua orang tua ini diwariskan kepada anak anaknya sama rata. harta pusaka dalam tertib ini selalu terdiri dari harta kekayaan sendiri ditambah dengan separoh atau duapertiga untuk suami dan sepertiga untuk istri dari harta gono gini.

Di Banda Aceh, kalau salah seorang suami istri mati, harta peninggalan sebelum dibagi menurut ilmu faroidh lebih dulu dipisahkan hareuta-seuhareukat itu, baru kemudian harta peninggalan itu dibagi menjadi tiga bagian. Yang satu bagian untuk istri dan yang dua bagian lagi untuk suami. bagian itu dikumpulkan dengan harta bawaan si mati, kemudian baru dibagi kepada ahli waris menurut bagian bagian yang ditentukan dalam ilmu faroidh

Di Jawa pembagian seperti ini juga berlaku dengan adanya istilah segendong sepikul di samping ada juga pembagian masing masing menerima separuh. Beberapa dasa warsa lalu, dalam masyarakat tradisional, praktek jatah laki-laki lebih banyak dari perempuan masih umum. Ibaratnya, kalau perempuan mendapatk satu bakul yang digendong, sedang laki-lakinya mendapat dua bakul yang dipikul di kanan-kirinya. Satu banding dua[1]

Ringkasnya, harta gono gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan[2]. Dalam hukum positif, masalah harta gono gini / harta bersama diatur dalam Undang-undang Perkawinan Nomor 1/74 tentang perkawinan, kompilasi hukum Islam. Dalam pasal 35 ayat 1 menyebutkan mengenai harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama-sama. Oleh karena itu, maka soal harta bersama gono gini tersebut diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, bab VII, pasal 35, 36, dan 37.

Adapun cakupan atau batasan dari harta bersama diatur pada ayat 2, yaitu merupakan harta bawaan dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain.

Lebih jelasnya jika tidak ada perjanjian perkawinan dan nauzubillah bila terjadi perceraian, maka harta bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri. Dan harta gono gini akan dibagi dua sama rata diantara keduanya. Dalam hal perjanjian dapat dibuatkan secara tertulis mengenai kedudukan harta gono gini dalam perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan dan disahkan oleh PPN (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perkawinan Nomor 1/74).

Hukum Islam mengakui adanya harta milik bagi tiap tiap orang baik dalam pengurusan, penggunaan dan pentraksaksiannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan jiwa syari'at, juga memberikan kemungkinan adanya serikat kerja antara dua orang suami istri dalam mencari harta kekayaan yang hasilnya dapat dimiliki oleh masing masing pihak menurut bentuk serikat kerja yang mereka adakan, asalkan sesuai dengan syari'at.

Biarpun demikian , pembagian harta gono gini yang begitu njlimet, misalnya seorang istri yang tiada bekerja selain hanya memelihara dan mendidik anak serta mencukupi kepentingan rumah tangga, menuntut pembagian gono gini yang sangat tinggi atas dasar serikat kerja hingga akan merugikan para ahli waris yang lain, tentunya tidak dibenarkan oleh kaidah umum لاضرر ولا ضرار

Percampuran secara mutlak dan bulat harta kekayaan suami dan istri, baik yang masing masing peroleh sebelum maupun selama perkawinan berlangsung sebagaimana sistem burgerlijk wetbok yang tercantum dalam pasal 119, 120, 121 dan 122 - menurut pandangan Islam akan merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Yang demikian hendaknya dihindarkan. Wallahu a’lam

Sumber ; Ilmu Waris , Drs Fathurrahman

0 komentar:

Posting Komentar