HARTA GONO GINI
Sebelum harta peninggalan
dibagi bagi kepada ahli waris, hukum adat meneliti terlebih dahulu macam dan
asal harta peninggalan itu apakah merupakan harta masig masing pihak yang
terpisah satu sama lain atau merupakan harta campur kaya dari suami dan istri.
Harta
masing masing dari suami dan istri itu dapat diperoleh dari dua jalan
·
Diperoleh secara warisan dari ahli waris mereka masing masing
Harta kekayaan sendiri
yang diperoleh secara pusaka di pelbagai daerah mempunyai nama sendiri sendiri.
jawa = gono / gawan. sumatra = pusaka. sulawesi = sisila, pada umumnya harta
kekayaan ini menjadi harta milik masing masing. Dan kalau mereka meninggal diwarisi
oleh anak anak mereka. Apabila tidak meninggalkan anak kembali kepada keluarga
yang meninggal tidak dapat beralih kepada ahli waris lain
·
Diperoleh secara hibah atau usaha sendiri
harta
kekayaan masing masing yang diperoleh dengan cara hibah atau hasil usaha mereka
baik diperolehnya sebelum maupun sesudah perkawinan juga merupakan harta
kekayaan masing masing secara terpisah dari harta yang lain
Jika harta kekayaan
masing masing diperoleh secara warisan itu hanya dapat diwarisi oleh anak anak
si mati itu sendiri dan kalau tidak memiliki anak diwarisi oleh keluarga yang
meninggal saja. maka harta kekayaan yang
diperoleh secara hibah atau hasil usaha sendiri dapat diwarisi oleh anak, istri
, atau suami yang masih hidup dengan sedikit perbedaan penerimaannya antara
satu daerah dengan daerah yang lain. ada sebagian daerah menetapkan bagian
istri yang ditinggalkan itu 1/8 dan sebagian daerah yang lain tidak memberikan
warisan kepadanya tetapi hanya menafkahinya sampai meninggal dunia.
Gono gini adalah harta campur
kaya yang di jawa timur disebut dengan gono gini, di jawa barat disebut
guna-kaya (campur kaya) , di mingkabau disebut harta-suarang dan di banda aceh
disebut hareuta-seuhareukat = adalah menjadi meilik bersama dari dua orang
suami istri.
Harta gono gini adalah
harta yang diperoleh oleh suami istri selama langsungnya perkawinan dimana
kedua duannya bekerja untuk kepentingan hidup rumah tangga. bekerja ini
hendaknya diartikan luas hingga seorang istri yang pekerjaannya tidak nyata
nyata menghasilkan kekayaan seperti memelihara dan mendidik anak anaknya
dianggap sudah bekerja, dan harta kekayaan yang diperoleh secara kongkrit oleh
suami menjadi milik bersama.
Di salam susunan keluarga
yang tertib parentil semua harta kepunyaan kedua orang tua ini diwariskan
kepada anak anaknya sama rata. harta pusaka dalam tertib ini selalu terdiri
dari harta kekayaan sendiri ditambah dengan separoh atau duapertiga untuk suami
dan sepertiga untuk istri dari harta gono gini.
Di Banda Aceh, kalau salah
seorang suami istri mati, harta peninggalan sebelum dibagi menurut ilmu faroidh
lebih dulu dipisahkan hareuta-seuhareukat itu, baru kemudian harta peninggalan itu
dibagi menjadi tiga bagian. Yang satu bagian untuk istri dan yang dua bagian
lagi untuk suami. bagian itu dikumpulkan dengan harta bawaan si mati, kemudian
baru dibagi kepada ahli waris menurut bagian bagian yang ditentukan dalam ilmu
faroidh
Di Jawa pembagian seperti ini juga berlaku dengan
adanya istilah segendong sepikul di samping ada juga pembagian masing masing
menerima separuh. Beberapa dasa warsa lalu,
dalam masyarakat tradisional, praktek jatah laki-laki lebih banyak dari
perempuan masih umum. Ibaratnya, kalau perempuan mendapatk satu bakul yang
digendong, sedang laki-lakinya mendapat dua bakul yang dipikul di
kanan-kirinya. Satu banding dua[1]
Ringkasnya, harta gono
gini adalah harta yang diperoleh selama perkawinan[2]. Dalam hukum
positif, masalah harta gono gini / harta bersama diatur dalam Undang-undang
Perkawinan Nomor 1/74 tentang perkawinan, kompilasi hukum Islam. Dalam pasal 35
ayat 1 menyebutkan mengenai harta bersama yaitu harta benda yang diperoleh
selama perkawinan menjadi harta bersama-sama. Oleh karena itu, maka soal harta bersama gono gini
tersebut diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974, bab VII, pasal 35, 36, dan 37.
Adapun cakupan atau
batasan dari harta bersama diatur pada ayat 2, yaitu merupakan harta bawaan
dari masing-masing suami istri dan harta benda yang diperoleh masing-masing
sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang
para pihak tidak menentukan lain.
Lebih jelasnya jika tidak
ada perjanjian perkawinan dan nauzubillah bila terjadi perceraian, maka harta
bawaan otomatis menjadi hak masing-masing suami atau istri. Dan harta gono gini
akan dibagi dua sama rata diantara keduanya. Dalam hal perjanjian dapat dibuatkan secara tertulis mengenai
kedudukan harta gono gini dalam perkawinan pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan dan disahkan oleh PPN (pasal 29 ayat (1) Undang-undang Perkawinan
Nomor 1/74).
Hukum Islam mengakui
adanya harta milik bagi tiap tiap orang baik dalam pengurusan, penggunaan dan
pentraksaksiannya sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan dan jiwa
syari'at, juga memberikan kemungkinan adanya serikat kerja antara dua orang
suami istri dalam mencari harta kekayaan yang hasilnya dapat dimiliki oleh
masing masing pihak menurut bentuk serikat kerja yang mereka adakan, asalkan sesuai
dengan syari'at.
Biarpun demikian ,
pembagian harta gono gini yang begitu njlimet, misalnya seorang istri yang
tiada bekerja selain hanya memelihara dan mendidik anak serta mencukupi
kepentingan rumah tangga, menuntut pembagian gono gini yang sangat tinggi atas
dasar serikat kerja hingga akan merugikan para ahli waris yang lain, tentunya
tidak dibenarkan oleh kaidah umum لاضرر ولا ضرار
Percampuran secara
mutlak dan bulat harta kekayaan suami dan istri, baik yang masing masing
peroleh sebelum maupun selama perkawinan berlangsung sebagaimana sistem
burgerlijk wetbok yang tercantum dalam pasal 119, 120, 121 dan 122 - menurut
pandangan Islam akan merugikan satu pihak dan menguntungkan pihak yang lain. Yang
demikian hendaknya dihindarkan. Wallahu a’lam
Sumber ; Ilmu Waris , Drs Fathurrahman
0 komentar:
Posting Komentar