بسم الله
الرحمن الرحيم
Hukum Shalat Witir
Makalah Ke-10
Definisi
Shalat Witir
Witir secara
bahasa adalah bilangan ganjil seperti satu, tiga, lima dan seterusnya.
Sebagaimana sabda Rasulullah saw:
إن الله وتر يحب الوتر
“
Sesungguhnya Allah itu ganjil (satu) dan menyukai yang ganjil.”[1]
Adapun
secara istilah adalah shalat sunnah yang dikerjakan antara waktu shalat isya
sampai terbitnya fajar, sebagai penutup shalat malam.
Dikatakan
bahwa shalat witir merupakan bagian dari shalat tahajjud, ada juga yang
mengatakan shalat witir tidak termasuk bagian dari shalat tahajjud.[2] Wallahu
a’lam.
Hukum
shalat witir.
Ada dua pendapat ulama tentang hukum
shalat witir:
Pendapat pertama: mereka mengatakan
bahwa hukumnya adalah wajib. Inilah pendapat yang diambil oleh madzhab Abu
Hanifah[3]
sendiri. Sampai berkata Ibnu al-Mundzir,
“Aku tidak mengetahui seorangpun yang sepakat dengan pendapatnya ini.
Adapun dalil-dalil yang dijadikan sandaran oleh Imam Abu
Hanifah adalah:
1. Hadits Abu Hurairah secara marfu’:
من لم يوتر فليس منا
“ Barang siapa tidak melaksanakan witir maka ia tidak termasuk
golongan kami.”[4]
2.
Hadits Abu
Ayyub secara marfu’:
“witir itu adalah hak, maka barang siapa
yang suka shalat witir dengan lima rakaat maka lakukanlah, barang siapa yang
suka dengan tiga rakaat maka kerjakanlah, dan barang siapa yang suka
shalat witir dengan satu rakaat maka
kerjakanlah.”[5]
3.
Hadits Abu
Bashrah secara marfu’:
إن الله زادكم صلاة, وهي صلاة الوتر,
فصلوها فيما بين العشاء إلى الفجر
“Sesungguhnya Allah memberikan kepada kalian tambahan shalat,
dan itu adalah shalat witir, maka kerjakanlah shalat witir (yang waktunya)
antara shalat isya sampai terbit fajar.”[6]
4.
Hadits Abu Sa’id secara marfu’:
أوتروا قبل أن تصبحوا
“ Shalat witirlah kalian sebelum tiba waktu subuh!”[7]
5.
Hadits
‘Aisyah ra
قالت: كان النبي صلى الله عليه وسلم
يصلى من الليل فإذا أوتر قال :
(( قومي فأوتري
يا عائشة ))
“ Dahulu Nabi
saw shalat pada malam hari, maka ketika ia hendak melaksanakan witir, Beliau berkata,
“Bangunlah dan dirikanlah shalat witir wahai ‘Aisyah!”[8]
Pendapat kedua: mereka
mengatakan bahwa shalat witir hukumnya adalah sunnah muakkadah. Inilah pendapat
jumhur ahlul ilmi dari kalangan sahabat, tabi’in dan generasi setelahnya
termasuk sebagian sahabat imam Abu Hanifah.
Mereka
menyanggah dalil-dalil yang memang dijadikan sandaran oleh Abu Hanifah diatas
bahwa kebanyakan adalah dha’if.
Pendapat
kedua ini diperkuat dengan dalil-dalil berikut:
1.
Hadits Ibnu
‘Abbas ra bahwa Nabi saw ketika mengutus Mu’adz ke Yaman beliau bersabda, “
Sesungguhnya engkau akan berhadapan dengan kaum dari ahli kitab, maka hendaklah
yang pertama kali engkau serukan kepada mereka adalah penyembahan kepada Allah
semata, dan ketika mereka sudah mengetahui Allah, maka beritahukanlah kepada
mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan kepada mereka shalat lima waktu dalam
sehari semalam..”[9]
Ini
adalah dalil yang paling kuat, karena
ketika mu’adz diutus ke Yaman Rasulullah saw sudah dekat dengan ajalnya.
Tentu, kalaulah memang shalat witir itu wajib atau Allah swt menambahkan
sesuatu dalam shalat manusia, pastilah Rasulullah saw menyuruh Mu’adz untuk
memberitahukan kepada mereka bahwa Allah swt telah mewajibkan shalat enam waktu
dan bukan lima waktu.
2.
Hadits Abu
Hurairah ra bahwa Nabi saw bersabda, “ Shalat lima waktu, dan shalat jum’at
ke shalat jum’at berikutnya, menghapus apa-apa diantara keduanya selama tidak
melakukan dosa-dosa besar.”[10]
Sumber:
o
Shahih Fiqih
Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid I.
0 komentar:
Posting Komentar