Spesialis
Fikih Makalah Ahad -11
|
Ahmad khoirul fajrie
|
بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum
Mengambil Upah Dari Adzan
Makalah
Ke-17
Diriwayatkan
dari Utsman bin Abil Ash ra ia berkata: “Wahai
Rasulullah, angkatlah aku sebgai imam (shalat) bagi kaumku.” Rasulullah saw
berkata:
أنت
إمامهم, واقتد بأضعفهم, واتخذ مؤذنا لا يأخذ على أذانه أجرا
“ Engkau adalah
imam mereka. Sesuaikanlah dengan kondisi orang yang paling lemah dari mereka.
Dan angkatlah seorang muadzin yang tidak mengambil upah dari adzan.”[1]
Dalam riwayat lain juga disebutkan dari Yahya al-Bukka’, ia
berkata: “Aku pernah mendengar seorang lelaki berkata kepada Ibnu Umar ra, “Aku
mencintaimu karena Allah.” Ibnu Umar ra membalasnya: “Aku membencimu karena
Allah. Mengapa? Tanyanya. Ibnu Umar berkata: Karena engkau melagukan adzanmu
dan engkau mengambil upah darinya.”[2]
Kandungan yang bisa kita petik dari atsar diatas antara lain:
1.
Hendaklah seorang muadzin melaksanakan tugasnya secara
suka rela.
Imam asy-Syafi’i berkata dalam kitab al-Umm
(I/84): “Aku sarankan agar para muadzin adalah orang yang sukarela melakukan
tugasnya. Imam tidak boleh memberinya upah, demikian pula orang lain, selama
mereka masih bisa menemukan muadzin yang rela tidak dibayar dan memiliki sifat
amanah, kecuali mereka member harta mereka kepadanya secara pribadi. Menurutku
tidak sulit bagi seorang pun yang tinggal di negeri yang banyak penduduknya
untuk menemukan muadzin yang amanah., komitmen melakukan tugas dan rela tidak
dibayar. Jika ia tidak menemukannya, maka ia boleh mengupah seorang muadzin.
Dan upahnya itu tidak boleh lebih dari 1/25 bagian saham fa’I bagi Rasulullah
saw. Ia tidak boleh mengupahnya dari harta fa’I lebih dari bagian
tersebut. Karena telah disebutkan
criteria orang-orang yang berhak menerima harta tersebut.”
2.
Haram hukumnya mengangkat muadzin yang tujuannya
mencari uang berdasarkan hadits Utsman bin Abil Ash. Juga berdasarkan fatwa
Ibnu Umar, dan ini tidak dibantah oleh para sahabat yang lainnya seperti yang
ditegaskan oleh Ibnu Sayyidin Naas.[3]
3.
Jika muadzin diberi upah tanpa ia yang memintanya,
maka hal itu dibolehkan.
Diriwayatkan dari adh-Dhahhak, bahwa
ia membenci muadzin yang mengambil upah dari adzannya. Beliau berkata: “Jika ia
diberi tanpa memintanya, maka itu dibolehkan.”[4]
4.
Adapun salah satu realita yang kita hadapi sekarang
adalah: Para muadzin yang mengkhususkan diri dengan tugasnya ditanggung
kehidupannya oleh instansi atau pihak yang mengatur urusan kaum muslimin,
mereka member gaji khusus bagi para muadzin tersebut. Maka dari itu, bagi yang
mengkhususkan diri bertugas sebagai muadzin dan mengurus masjid, maka tidaklah
mengapa diberi gaji. Terlebih lagi pihak yang membuat peraturan tidak menerima
para muadzin sukarelawan. Wallahu A’lam
0 komentar:
Posting Komentar