Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum Menjamak Shalat pada Saat Bermukim


Hukum Menjamak Shalat pada Saat Bermukim
Makalah Ke-19
            Menjamak shalat tidak hanya khusus pada saat safar, bahkan boleh menjamak shalat pada saat bermukim karena sebab-sebab berikut ini:
·        Menjamak shalat karena turun hujan.
Boleh menjamak shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan Isya, pada saat bermukim karena turun hujan. Hanya saja Imam Malik mengkhususkan kebolehannya pada saat malam hari, bukan saat siang, berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
o   Hadits Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw menjamak shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di Madinah tanpa ada rasa takut dan tanpa ada hujan.”[1] Hal ini mengesankan bahwa menjamak shalat karena hujan sudah dikenal pada masa Nabi saw. Seandainya tidak demikian, niscaya tidak ada faidahnya menafikan hujan sebagai sebab yang membolehkan menjamak shalat.[2]
o   Diriwayatkan dari Nafi’, “Bahwa apabila umara’ (para pemimpin) menjamak antara maghrib dan isya karena hujan, maka Ibnu Umar ikut menjamak bersama mereka.”[3]
o   Diriwayatkan dari Hisyam bin Urwah bahwa ayahnya, ‘Urwah, bersama Sa’id bin al-Musayyab dan Abu Bakr bin Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi, menjamak antara maghrib dan isya ketika hujan turun pada malam hari. Ketika mereka menjamak shalat tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu.”[4]
o   Diriwayatkan dari Musa bin ‘Uqbah, “Bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz menjamak antara shalat maghrib dan isya ketika hujan . . .”[5]

·        Menjamak karena ada keperluan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata, “Rasulullah saw pernah mengerjakan shalat dzuhur dan ashar di Madinah, bukan karena ketakutan atau karena hujan.” Perawi (Sa’id) berkata, “Aku bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa beliau melakukan demikian? Ia menjawab, tidak memberatkan umat beliau.”[6]
Dalam hal ini ada keringanan bagi orang-orang yang memiliki udzur untuk menghilangkan kesulitan mereka, bukan untuk orang-orang yang tidak punya udzur. Ini adalah madzhab Ibnu Siri, dan Asyhab dari kalangan sahabat Malik. Al-Khattabi meriwayatkan pendapat tersebut dari al-Qaffal asy-Syasyi al-Kabir dari kalangan sahabat asy-Syafi’i, dari Ishaq al-Maruzi, dan dari segolongan ahli hadits. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu al-Mundzir dan Ibnu Taimiyah.”[7]
Syaikhul Islam berkata, “Para buruh dan petani, jika pada waktu tertentu memberatkan mereka. Misalnya, air jauh dari tempat shalat. Jika mereka pergi kesana untuk bersuci, terbengkalailah pekerjaan yang dibutuhkan. Maka, mereka boleh mengerjakan shalat pada satu waktu dengan menjamak diantara dua shalat.”[8]

Menjamak Bagi Orang yang Sakit.
        Orang yang sakit boleh menjamak, yaitu orang yang merasa kesulitan mengerjakan tiap-tiap shalat tepat pada waktunya. Dasarnya adalah hadits Ibnu Abbas yang telah lalu, dan diqiyaskan dengan wanita mustahadhah. Telah diriwayatkan bahwa Nabi saw memerintahkan Hamnah binti Jahsi, ketika mengalami istihadhah yang sangat parah, dengan sabdanya:
Jika engkau mampu untuk mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau mandi ketika bersuci, dan engkau menggabungkan shalat zhuhur dan ashar, kemudian engkau mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian engkau mandi dan menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah. . . “[9]
          Imam Malik dan Ahmad membolehkan orang yang sakit menjamak shalat dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam, tetapi asy-Syafi’i[10] melarangnya. Namun, pendapat yang membolehkan lebih kuat. Wallahu a’lam.

Sumber:
·         Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Jilid I



[1]  Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (705)
[2]  Irwa’ al-Ghalil (III/40)
[3]  Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Malik (333)
[4]  Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi (III/168)
[5]  Ibid
[6]  Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (705) dan Ahmad (I/223)
[7]  Majmu’ al-Fatawa (XXIV/25), Syarh Muslim, tulisan an-Nawawi (II/3509)
[8]  Majmu’ al-Fatawa (XXI/458)
[9]  Dihasankan oleh al-Albani, diriwayatkan oleh Abu Dawud (287), at-Tirmidzi (128) dan Ibnu Majah (627) Silahkan lihat al-Irwa’ (188) Namun, yang jelas status kehasanannya masih perlu ditinjau kembali.
[10]  al-Mughni (II/112) dan al-Majmu’ (IV/370)

0 komentar:

Posting Komentar