Hukum
Menjamak Shalat pada Saat Bermukim
Makalah
Ke-19
Menjamak
shalat tidak hanya khusus pada saat safar, bahkan boleh menjamak shalat pada
saat bermukim karena sebab-sebab berikut ini:
·
Menjamak shalat
karena turun hujan.
Boleh menjamak shalat zhuhur dan
ashar, maghrib dan Isya, pada saat bermukim karena turun hujan. Hanya saja Imam
Malik mengkhususkan kebolehannya pada saat malam hari, bukan saat siang,
berdasarkan dalil-dalil berikut ini:
o
Hadits Ibnu Abbas, ia
berkata, “Rasulullah saw menjamak shalat zhuhur dan ashar, maghrib dan isya di
Madinah tanpa ada rasa takut dan tanpa ada hujan.”[1]
Hal ini mengesankan bahwa menjamak shalat karena hujan sudah dikenal pada masa
Nabi saw. Seandainya tidak demikian, niscaya tidak ada faidahnya menafikan
hujan sebagai sebab yang membolehkan menjamak shalat.[2]
o
Diriwayatkan dari Nafi’,
“Bahwa apabila umara’ (para pemimpin) menjamak antara maghrib dan isya karena
hujan, maka Ibnu Umar ikut menjamak bersama mereka.”[3]
o
Diriwayatkan dari Hisyam
bin Urwah bahwa ayahnya, ‘Urwah, bersama Sa’id bin al-Musayyab dan Abu Bakr bin
Abdurrahman bin al-Harits bin Hisyam bin al-Mughirah al-Makhzumi, menjamak
antara maghrib dan isya ketika hujan turun pada malam hari. Ketika mereka
menjamak shalat tidak ada seorang pun yang mengingkari hal itu.”[4]
o
Diriwayatkan dari Musa bin
‘Uqbah, “Bahwa Umar bin Abdul ‘Aziz menjamak antara shalat maghrib dan isya
ketika hujan . . .”[5]
·
Menjamak karena
ada keperluan.
Diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia
berkata, “Rasulullah saw pernah mengerjakan shalat dzuhur dan ashar di Madinah,
bukan karena ketakutan atau karena hujan.” Perawi (Sa’id) berkata, “Aku
bertanya kepada Ibnu Abbas, ‘Mengapa beliau melakukan demikian? Ia menjawab,
tidak memberatkan umat beliau.”[6]
Dalam hal
ini ada keringanan bagi orang-orang yang memiliki udzur untuk menghilangkan
kesulitan mereka, bukan untuk orang-orang yang tidak punya udzur. Ini adalah
madzhab Ibnu Siri, dan Asyhab dari kalangan sahabat Malik. Al-Khattabi meriwayatkan pendapat tersebut dari
al-Qaffal asy-Syasyi al-Kabir dari kalangan sahabat asy-Syafi’i, dari Ishaq
al-Maruzi, dan dari segolongan ahli hadits. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu
al-Mundzir dan Ibnu Taimiyah.”[7]
Syaikhul
Islam berkata, “Para buruh dan petani, jika pada waktu tertentu memberatkan
mereka. Misalnya, air jauh dari tempat shalat. Jika mereka pergi kesana untuk
bersuci, terbengkalailah pekerjaan yang dibutuhkan. Maka, mereka boleh
mengerjakan shalat pada satu waktu dengan menjamak diantara dua shalat.”[8]
Menjamak Bagi
Orang yang Sakit.
Orang
yang sakit boleh menjamak, yaitu orang yang merasa kesulitan mengerjakan
tiap-tiap shalat tepat pada waktunya. Dasarnya adalah hadits Ibnu Abbas yang
telah lalu, dan diqiyaskan dengan wanita mustahadhah. Telah diriwayatkan
bahwa Nabi saw memerintahkan Hamnah binti Jahsi, ketika mengalami istihadhah
yang sangat parah, dengan sabdanya:
“Jika engkau mampu untuk
mengakhirkan shalat dzuhur dan menyegerakan shalat ashar, kemudian engkau mandi
ketika bersuci, dan engkau menggabungkan shalat zhuhur dan ashar, kemudian
engkau mengakhirkan shalat maghrib dan menyegerakan shalat isya, kemudian
engkau mandi dan menggabungkan diantara dua shalat, maka lakukanlah. . . “[9]
Imam Malik dan Ahmad membolehkan orang yang sakit
menjamak shalat dan ini adalah pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam,
tetapi asy-Syafi’i[10]
melarangnya. Namun, pendapat yang membolehkan lebih kuat. Wallahu a’lam.
Sumber:
·
Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Jilid I
[1] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (705)
[2] Irwa’ al-Ghalil (III/40)
[3] Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Malik
(333)
[4] Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh al-Baihaqi
(III/168)
[5] Ibid
[6] Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (705) dan
Ahmad (I/223)
[7] Majmu’ al-Fatawa (XXIV/25), Syarh
Muslim, tulisan an-Nawawi (II/3509)
[8]
Majmu’ al-Fatawa (XXI/458)
[9] Dihasankan oleh al-Albani, diriwayatkan oleh
Abu Dawud (287), at-Tirmidzi (128) dan Ibnu Majah (627) Silahkan lihat al-Irwa’
(188) Namun, yang jelas status kehasanannya masih perlu ditinjau
kembali.
[10] al-Mughni (II/112) dan al-Majmu’ (IV/370)
0 komentar:
Posting Komentar