Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Hukum Shalat Dua Hari Raya


بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Shalat Dua Hari Raya
Makalah Ke-23

Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum  shalat ‘Idain dalam tiga pendapat:
                                    
1.       Pertama, hukumnya adalah fardhu ‘ain. Ini madzhab Abu Hanifah, salah satu pendapat asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Dan ini juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul Islam.[1] Hujjah mereka adalah:
§  Firman Allah swt dalam Qs. Al-Kautsar ayat 2
“ Maka dirikanlah shalat karena Rabbmu, dan berkorbanlah.”
Perintah disini menunjukkan kewajiban.
§  Firman Allah swt dalam Qs. Al-Baqarah: 185
“Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”
Perintah untuk bertakbir pada dua hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk mengerjakan shalat yang mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.
§  Rutinitas Nabi saw yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua hari raya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas para khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.
§  Perintah kepada kaum Muslimin untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita, gadis-gadis yang berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid-namun Nabi saw memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat.
§  Shalat ‘Id dapat menggugurkan shalat jumat, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana telah dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan sesuatu yang wajib.

2.       Kedua, hukumnya adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyah.[2] Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyariatkan padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain seperti shalat jenazah. Namun, wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya sperti shalat jumat.

3.       Ketiga, hukumnya adalah sunnah muakkadah, bukan wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan mayoritas sahabat-sahabtnya.[3] Hujjah mereka sebagai berikut:

o   Perkatan Nabi saw kepada seorang badui. Ketika beliau menyebutkan shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah kewajiban atasku selainnya? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau mau mengerjakan yang sunnah.”
o   Shalat ‘Id adalaj shalat yang memiliki ruku dan sujud. Namun, tidak disyariatkan adzan untuknya. Ia tidak wajib berdasarkan syariat, seperti halnya shalat dhuha.

Pendapat yang Rajih
                Adalah pendapat yang pertama, berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun pendapat yang mengatakan shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat yang sangat lemah. Sedangkan pendapat yang mengatakan fardhu kifayah tidak kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang maslahatnya bisa diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit dan yang lainnya. Sementara hari ‘Id tidak ada kemaslahatan tertentu yang bisa dilakukan oleh sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih disyariatkan berkumpul dibanding hari jumat. Karena Rasulullah saw memerintahkan kaum wanita untuk menghadirinya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri shalat jum’at. Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk mendatangi shalat jumat, namun beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum wanita) adalah lebih baik bagi kalian.”[4] Wallahu a’lam.

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid 1.


[1]  Al-Fath ar-Rabbani bi Tartib Musnad Ahmad, karya Syaikh al-Banna (VI/119)
[2]  Al-Mughni (II/304)
[3]  Al-Majmu’ (V/2)
[4]  Sunan al-Baihaqi (III/132)

0 komentar:

Posting Komentar