بسم الله الرحمن الرحيم
Hukum Shalat Dua Hari
Raya
Makalah Ke-23
Para Ulama berbeda pendapat tentang hukum shalat ‘Idain dalam tiga pendapat:
1. Pertama, hukumnya adalah fardhu ‘ain. Ini madzhab Abu
Hanifah, salah satu pendapat asy-Syafi’i, dan satu riwayat dari Ahmad. Dan ini
juga pendapat sebagian ulama Malikiyah, dan pendapat yang dipilih oleh Syaikhul
Islam.[1]
Hujjah mereka adalah:
§ Firman Allah swt dalam Qs. Al-Kautsar ayat 2
“ Maka dirikanlah
shalat karena Rabbmu, dan berkorbanlah.”
Perintah disini
menunjukkan kewajiban.
§ Firman Allah swt dalam Qs. Al-Baqarah: 185
“Dan hendaklah kamu
mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu.”
Perintah untuk
bertakbir pada dua hari raya, sudah barangtentu merupakan perintah untuk
mengerjakan shalat yang mencakup takbir wajib dan takbir tambahan.
§ Rutinitas Nabi saw yang selalu mengerjakan shalat ini pada dua
hari raya dan tidak pernah meninggalkannya sekalipun. Demikian pula rutinitas
para khalifahnya dan kaum Muslimin sepeninggalnya.
§ Perintah kepada kaum
Muslimin untuk pergi ke tempat pelaksanaan shalat, hingga kaum wanita,
gadis-gadis yang berada dalam pingitan dan wanita-wanita yang sedang haid-namun
Nabi saw memerintahkan kepada mereka agar menjauhi tempat shalat.
§ Shalat ‘Id dapat
menggugurkan shalat jumat, jika bertepatan pada hari yang sama, sebagaimana
telah dijelaskan. Sesuatu yang tidak wajib tentu tidak dapat menggugurkan
sesuatu yang wajib.
2.
Kedua, hukumnya
adalah fardhu kifayah. Apabila telah dikerjakan oleh sebagian orang, maka
gugurlah kewajiban tersebut atas sebagian yang lainnya. Ini adalah madzhab
Hanbaliyah dan sebagian Syafi’iyah.[2]
Hujjah mereka adalah dalil-dalil yang digunakan oleh pihak pertama, tetapi
mereka mengatakan shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain, karena tidak disyariatkan
padanya. Jadi, shalat ‘Id bukan fardhu ‘ain seperti shalat jenazah. Namun,
wajib khutbahnya dan wajib mendengarkannya sperti shalat jumat.
3.
Ketiga, hukumnya
adalah sunnah muakkadah, bukan wajib. Ini adalah madzhab Malik, asy-Syafi’i dan
mayoritas sahabat-sahabtnya.[3]
Hujjah mereka sebagai berikut:
o
Perkatan Nabi saw kepada
seorang badui. Ketika beliau menyebutkan shalat lima waktu, ia bertanya, “Adakah
kewajiban atasku selainnya? Beliau menjawab, “Tidak ada, kecuali engkau
mau mengerjakan yang sunnah.”
o
Shalat ‘Id adalaj shalat
yang memiliki ruku dan sujud. Namun, tidak disyariatkan adzan untuknya. Ia
tidak wajib berdasarkan syariat, seperti halnya shalat dhuha.
Pendapat yang Rajih
Adalah
pendapat yang pertama, berdasarkan dalil-dalil yang telah dijelaskan. Adapun
pendapat yang mengatakan shalat ‘Id hukumnya sunnah muakkad adalah pendapat
yang sangat lemah. Sedangkan pendapat yang mengatakan fardhu kifayah tidak
kuat. Fardhu kifayah adalah untuk perkara-perkara yang maslahatnya bisa
diwakilkan kepada sebagian orang, seperti penguburan mayit dan yang lainnya.
Sementara hari ‘Id tidak ada kemaslahatan tertentu yang bisa dilakukan oleh
sebagian orang saja. Bahkan pada shalat ‘Id kaum Muslimin lebih disyariatkan
berkumpul dibanding hari jumat. Karena Rasulullah saw memerintahkan kaum wanita
untuk menghadirinya, dan beliau tidak memerintahkan mereka untuk menghadiri
shalat jum’at. Rasulullah saw mengizinkan mereka untuk mendatangi shalat jumat,
namun beliau bersabda, “Shalat kalian di rumah-rumah kalian (wahai kaum
wanita) adalah lebih baik bagi kalian.”[4]
Wallahu a’lam.
Sumber:
o Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,
jilid 1.
0 komentar:
Posting Komentar