KITAB WARISAN
SHAHIH FIQH SUNNAH
v
Definisinya , Ialah
ilmu tentang pokok pokok –fiqh dan perhitungan- yang berkaitan dengan harta
warisan dan yang berhak menerimanya, agar setiap orang yang memiliki hak
menerima haknya dari harta peninggalan.[1]
v
Faraidh
berasal dari sabda Rasulullah
v
Faraidh adalah bentuk jama’
dari Faradh yang berarti ketentuan, sebagaimana firman
Allah :
Yang artinya : bagian yang telah ditentukan untuk para ahli
waris.
v
Harta yang diwariskan biasa
disebut al irts, al mirats atau at tarikah
v
Keutamaannya, ilmu
yang paling tinggi nilainya dan paling besar dampaknya. Allah merinci dan
menjelaskan rambu rambunya, menetapkan bagian bagiannya dan Allah sendiri
yang membagi-bagi harta warisan tersebut. Dia lah yang Maha Mengetahui
tentang siapa yang berhak mendapat harta peninggalan daripada yang tidak
berhak. Perselisihan dan sengketa bisa terselesaikan.
v
Urgensi mempelajarinya, walaupun
hadits ini dan yang lainnnya lemah, tapi karena banyak jalur periwayatannya
maka diyakini bahwa hadits-hadits tersebut memang ada asalnya.
v
Hak-hak yang berkaitan
dengan warisan,
ü
Pengurusan mayat[2],
tanpa berlebihan dan tidak pula kikir. Didahulukan daripada pelunasan hhutang
karena ini setara dengan pakaian bagi orang hidup yang tidak boleh
ditinggalkan darinya.
ü
Hutang-hutang yang
berkaitan dengan harta peninggalan
seperti hhutang gadai dari harta peninggalan
ü
Hutang-hutang tanpa jaminan
yang menjadi tanggungan, baik berupa hak Allah seperti zakat, kafarat, atau
pusa, maupun hak sesama manusia, seperti pinjaman, upah dlsb.
ü
Melaksanakan wasiat –yang
tidak lebih dari sepertiga- dari sisa harta peninggalan. Wasiat adalah amal
kebajikan dalam kondisi keterbatasan harta maka tidak diragukan lagi pelunasan
hhutang (kewajiban) lebih didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Wasiat menyerupai warisan, karena
diambil dan diserahkan kepada pihak yang diberi wasiat tanpa dengan kompensasi,
sehingga berat bagi ahli waris untuk mengeluarkannya, dan wasiat itu bisa
dilalaikan. Berbeda dengan hutang, kerena jiwa merasa tentram untuk
melunasinya. Karena itu wasiat disebutkan lebih dahulu sebagai dorongan untuk
melaksanakannya dan sebagai peringatan bahwa itu sama dengan hutang dalam hal
wajib untuk seegera dilaksanakan.[3]
ü
Sisa harta peninggalan
dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai bagian bagian yang
telah ditentukan dalam kitabullah.
Permasalahan yang menyangkut harta
warisan tersebut bercabang-cabang, mengandung kerumitan dan sulit untuk membuat
kesimpulan hukum (istinbath) bagi kalangan yang tidak mendalam
pengetahuannya –di samping memerlukan dukungan pengetahuan tentang ilmu hitung.
v
Rukun pewarisan, ada
tiga. Jika semuanya ada maka terjadilah pewarisan, jika ada salah satu rukun
yang tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan :
ü
Orang yang mewariskan,
yaitu mayit (orang yang meninggal) atau yang dihukumi dengannya, seperti orang
hilang.
ü
Orang yang mewarisi, ahli
waris yang masih hidup setelah kematian orang yang mewariskan, atau yang
dihukumi sebagai orang yang hidup, seperti janin.
ü
Harta yang diwariskan,
yaitu apa apa yang ditinggalkan oleh mayat, baik harta maupun selainnya.
v
Syarat-syarat pewarisan
ü
Telah nyata kematian orang
yang mewariskan, atau telah dihukumi meninggal seperti orang yang hilang lalu
hakim menetapkan ia telah meninggal, atau diperkirakan, seperti janin yang
gugur karena tindak kekerasan terhadap ibunya yang mewajibkan denda berupa ghurrah[4].
ü
Telah nyata kehidupan orang
yang menwarisi setelah kematian orang yang mewariskan . atau dihukumi hidup
menurut perkiraan, seperti janin yang lahir prematur dalam keadaan hidup dalam
suatu masa yang bisa dilihat bahwa janin tersebut masih hidup ketika orang yang
mewariskan itu meninggal.
ü
Mengetahui unsur-unsur yang
menyebabkan terjadinya pewarisan, yaitu pernikahan, kekerabatan atau wala’, dan
sudah jelas kekerabatan itu. serta mengetahui titik temu antara mayat dengan
yang mewarisinya.
v
Sebab-sebab pewarisan[5]
Secara bahasa sebab adalah apa yang
dapat menghantarkan kepada selainnya. Adapun menurut istilah, sebab adalah
sesuatu yang keberadaannya mengharuskan keberadaan lainnya, dan ketiadaannya
mengharuskan ketiadaan lainnya. Ada tiga sebab yang sudah disepakati, dan ada
satu yang masih diperselisihkan. Bila ada satu dari sebab-sebab berikut ini,
maka pewarisan terjadi dengan sendirinya.
ü
Pernikahan, walau
belum pernah terjadi persetubuhan. Adapun pernikahan yang tidak sah, maka tidak
terjadi pewarisan. Talak raj’I tidak menghalangi pewarisan, selama masih dalam
masa iddah
ü
Nasab, hubungan di
antara dua orang karena kesamaan garis keturunan, baik dejat maupun jauh. Nasab
ada tiga macam : ushul (asal, leluhur), furu’ (cabang, keturunan), hawasyi
(famili) . al ahzab 6]
ü
Wala’, perwalian
yang sebabnya adalah kenikmatan yang
diberikan oleh orang yang memerdekakan kepada hamba sahayanya dengan cara
dimerdekakan. Namun ini adalah pewarisan dari satu arah saja.
ü
Aspek keislaman, yang
berhak mewarisi karena sebab ini menurut kalangan yang berpendapat demikian
–Malikiyah dan Syafi’iyyah- adalah baitul mal dengan perincian mengenai hal
itu.
v
Penghalang pewarisan[6]
Sesuatu yang keberadaannya mengharuskan
ketiadaan yang lainnya. Imam yang empat telah sepakat, penghalang pewarisan ada
tiga, yaitu :
ü Perbudakan, berstatus sebagai budak. Karena semua harta
di tangannya adalah milik tuannya. Jika memberikan warisan kpadanya dari
kerabatnya, niscaya harta itu menjadi milik tuannya, dan itu berarti memberikan
warisan kepada orang asing dengan tanpa sebab. Itu adalah bathil menurut ijma’
ulama. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nabi bersabda :
ü Pembunuhan, menurut kesepakatan, pembunuh tidak mewarisi
harta orang yang dibunuhnya jika pembunuhan itu dengan cara yang bertalian
dengan qishos. Berdasarkan hadits Nabi :
Alasannya, karena dikhawatirkan ada
keinginan ahli waris itu untuk segera mendapatkan harta warisan dengan cara
membunuh orang yang akan diwarisinya. Adalah bijaksanan menghalanginya dari
warisan sebagai sanksi untuknya yang berlawanan dengan tujuan semula.
Bila pembunuhan tidak sengaja, jumhur
–kecuali Hanafiyah- berpendapat ia tidak mewarisi juga. Berdasarkan
pertimbangan, agar orang yang membunuh dengan sengaja tidak berdalih bahwa ia
membunuh dengan ketidak sengajaan.
Bila membunuh orang yang diwarisinya
karena qishos, hadd (hukuman tertentu) atau karena membela diri, maka ia tidak
diharamkan mendapatkan warisan, menurut jumhur ulama’ kecuali syafi’iyyah.
ü Perbedaan agama, berdasarkan sabda Nabi
v Apakah orang murtad mewarisi?
Yaitu, orang yang meninggalkan Islam
dengan kehendak dan kesadarannya, tidak mewarisi seorangpun di antara orang
orang yang antara dirinya dengan mereka terdapat salah satu sebab dari sebab
pewarisan. Tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha.
Golongan Malikiyah, Syafi’iyyah dan
Hanbaliyah –dalam pendapatnya yang masyhur- berpendapat orang murtad juga tidak
diwarisi oleh seorangpun di antara kaum muslimin atau selain agamanya (agama
yang dipilih setelah keluar dari Islam). Tapi semua hartanya menjadi fai’ (rampasan)
dan hak Baitul Mal kaum muslimin.
[1] Rangkuman sejumlah pendefinisan para ulama,
Nihayatul Muhtaj (6/2)
[2] Urutan yang dikemukakan ulama Hanbaliyah yang
juga merupakan pendapat golongan Hanafiyah. Adapun jumhur berpendapat pelunasan
hutang didahulukan
[3] Syarh as Sirajiyyah hlm. 4,5
[4]
Hamba sahaya laki laki atau perempuan yang dihargai dengan lima ekor unta, yag
diambil oleh ahli waris si janin
[5] Syarh ar rajabiyah, al maridini (hlm. 18)
[6] Syarh ar rajabiyah, hlm. 23
0 komentar:
Posting Komentar