Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

KITAB WARISAN SHAHIH FIQH SUNNAH


KITAB WARISAN
SHAHIH FIQH SUNNAH

v  Definisinya , Ialah ilmu tentang pokok pokok –fiqh dan perhitungan- yang berkaitan dengan harta warisan dan yang berhak menerimanya, agar setiap orang yang memiliki hak menerima haknya dari harta peninggalan.[1]
v  Faraidh berasal dari sabda Rasulullah
v  Faraidh adalah bentuk jama’ dari Faradh yang berarti ketentuan, sebagaimana firman Allah :
Yang artinya : bagian yang telah ditentukan untuk para ahli waris.
v  Harta yang diwariskan biasa disebut al irts, al mirats atau at tarikah
v  Keutamaannya, ilmu yang paling tinggi nilainya dan paling besar dampaknya. Allah merinci dan menjelaskan rambu rambunya, menetapkan bagian bagiannya dan Allah sendiri yang membagi-bagi harta warisan tersebut. Dia lah yang Maha Mengetahui tentang siapa yang berhak mendapat harta peninggalan daripada yang tidak berhak. Perselisihan dan sengketa bisa terselesaikan.
v  Urgensi mempelajarinya, walaupun hadits ini dan yang lainnnya lemah, tapi karena banyak jalur periwayatannya maka diyakini bahwa hadits-hadits tersebut memang ada asalnya.
v  Hak-hak yang berkaitan dengan warisan,
ü  Pengurusan mayat[2], tanpa berlebihan dan tidak pula kikir. Didahulukan daripada pelunasan hhutang karena ini setara dengan pakaian bagi orang hidup yang tidak boleh ditinggalkan darinya.
ü  Hutang-hutang yang berkaitan dengan harta peninggalan  seperti hhutang gadai dari harta peninggalan
ü  Hutang-hutang tanpa jaminan yang menjadi tanggungan, baik berupa hak Allah seperti zakat, kafarat, atau pusa, maupun hak sesama manusia, seperti pinjaman, upah dlsb.
ü  Melaksanakan wasiat –yang tidak lebih dari sepertiga- dari sisa harta peninggalan. Wasiat adalah amal kebajikan dalam kondisi keterbatasan harta maka tidak diragukan lagi pelunasan hhutang (kewajiban) lebih didahulukan daripada pelaksanaan wasiat.
Wasiat menyerupai warisan, karena diambil dan diserahkan kepada pihak yang diberi wasiat tanpa dengan kompensasi, sehingga berat bagi ahli waris untuk mengeluarkannya, dan wasiat itu bisa dilalaikan. Berbeda dengan hutang, kerena jiwa merasa tentram untuk melunasinya. Karena itu wasiat disebutkan lebih dahulu sebagai dorongan untuk melaksanakannya dan sebagai peringatan bahwa itu sama dengan hutang dalam hal wajib untuk seegera dilaksanakan.[3]
ü  Sisa harta peninggalan dibagikan kepada ahli waris yang berhak menerimanya sesuai bagian bagian yang telah ditentukan dalam kitabullah.
Permasalahan yang menyangkut harta warisan tersebut bercabang-cabang, mengandung kerumitan dan sulit untuk membuat kesimpulan hukum (istinbath) bagi kalangan yang tidak mendalam pengetahuannya –di samping memerlukan dukungan pengetahuan tentang ilmu hitung.
v  Rukun pewarisan, ada tiga. Jika semuanya ada maka terjadilah pewarisan, jika ada salah satu rukun yang tidak terpenuhi, maka tidak terjadi pewarisan :
ü  Orang yang mewariskan, yaitu mayit (orang yang meninggal) atau yang dihukumi dengannya, seperti orang hilang.
ü  Orang yang mewarisi, ahli waris yang masih hidup setelah kematian orang yang mewariskan, atau yang dihukumi sebagai orang yang hidup, seperti janin.
ü  Harta yang diwariskan, yaitu apa apa yang ditinggalkan oleh mayat, baik harta maupun selainnya.
v  Syarat-syarat pewarisan
ü  Telah nyata kematian orang yang mewariskan, atau telah dihukumi meninggal seperti orang yang hilang lalu hakim menetapkan ia telah meninggal, atau diperkirakan, seperti janin yang gugur karena tindak kekerasan terhadap ibunya yang mewajibkan denda berupa ghurrah[4].
ü  Telah nyata kehidupan orang yang menwarisi setelah kematian orang yang mewariskan . atau dihukumi hidup menurut perkiraan, seperti janin yang lahir prematur dalam keadaan hidup dalam suatu masa yang bisa dilihat bahwa janin tersebut masih hidup ketika orang yang mewariskan itu meninggal.
ü  Mengetahui unsur-unsur yang menyebabkan terjadinya pewarisan, yaitu pernikahan, kekerabatan atau wala’, dan sudah jelas kekerabatan itu. serta mengetahui titik temu antara mayat dengan yang mewarisinya.
v  Sebab-sebab pewarisan[5]
Secara bahasa sebab adalah apa yang dapat menghantarkan kepada selainnya. Adapun menurut istilah, sebab adalah sesuatu yang keberadaannya mengharuskan keberadaan lainnya, dan ketiadaannya mengharuskan ketiadaan lainnya. Ada tiga sebab yang sudah disepakati, dan ada satu yang masih diperselisihkan. Bila ada satu dari sebab-sebab berikut ini, maka pewarisan terjadi dengan sendirinya.
ü  Pernikahan, walau belum pernah terjadi persetubuhan. Adapun pernikahan yang tidak sah, maka tidak terjadi pewarisan. Talak raj’I tidak menghalangi pewarisan, selama masih dalam masa iddah
ü  Nasab, hubungan di antara dua orang karena kesamaan garis keturunan, baik dejat maupun jauh. Nasab ada tiga macam : ushul (asal, leluhur), furu’ (cabang, keturunan), hawasyi (famili) . al ahzab 6]
ü  Wala’, perwalian yang sebabnya adalah  kenikmatan yang diberikan oleh orang yang memerdekakan kepada hamba sahayanya dengan cara dimerdekakan. Namun ini adalah pewarisan dari satu arah saja.
ü  Aspek keislaman, yang berhak mewarisi karena sebab ini menurut kalangan yang berpendapat demikian –Malikiyah dan Syafi’iyyah- adalah baitul mal dengan perincian mengenai hal itu.
v  Penghalang pewarisan[6]
Sesuatu yang keberadaannya mengharuskan ketiadaan yang lainnya. Imam yang empat telah sepakat, penghalang pewarisan ada tiga, yaitu :
ü  Perbudakan, berstatus sebagai budak. Karena semua harta di tangannya adalah milik tuannya. Jika memberikan warisan kpadanya dari kerabatnya, niscaya harta itu menjadi milik tuannya, dan itu berarti memberikan warisan kepada orang asing dengan tanpa sebab. Itu adalah bathil menurut ijma’ ulama. Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Nabi bersabda :
ü  Pembunuhan, menurut kesepakatan, pembunuh tidak mewarisi harta orang yang dibunuhnya jika pembunuhan itu dengan cara yang bertalian dengan qishos. Berdasarkan hadits Nabi :
Alasannya, karena dikhawatirkan ada keinginan ahli waris itu untuk segera mendapatkan harta warisan dengan cara membunuh orang yang akan diwarisinya. Adalah bijaksanan menghalanginya dari warisan sebagai sanksi untuknya yang berlawanan dengan tujuan semula.
Bila pembunuhan tidak sengaja, jumhur –kecuali Hanafiyah- berpendapat ia tidak mewarisi juga. Berdasarkan pertimbangan, agar orang yang membunuh dengan sengaja tidak berdalih bahwa ia membunuh dengan ketidak sengajaan.
Bila membunuh orang yang diwarisinya karena qishos, hadd (hukuman tertentu) atau karena membela diri, maka ia tidak diharamkan mendapatkan warisan, menurut jumhur ulama’ kecuali syafi’iyyah.
ü  Perbedaan agama, berdasarkan sabda Nabi
v  Apakah orang murtad mewarisi?
Yaitu, orang yang meninggalkan Islam dengan kehendak dan kesadarannya, tidak mewarisi seorangpun di antara orang orang yang antara dirinya dengan mereka terdapat salah satu sebab dari sebab pewarisan. Tanpa ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha.
Golongan Malikiyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliyah –dalam pendapatnya yang masyhur- berpendapat orang murtad juga tidak diwarisi oleh seorangpun di antara kaum muslimin atau selain agamanya (agama yang dipilih setelah keluar dari Islam). Tapi semua hartanya menjadi fai’ (rampasan) dan hak Baitul Mal kaum muslimin.



[1]  Rangkuman sejumlah pendefinisan para ulama, Nihayatul Muhtaj (6/2)
[2]  Urutan yang dikemukakan ulama Hanbaliyah yang juga merupakan pendapat golongan Hanafiyah. Adapun jumhur berpendapat pelunasan hutang didahulukan
[3]  Syarh as Sirajiyyah hlm. 4,5
[4] Hamba sahaya laki laki atau perempuan yang dihargai dengan lima ekor unta, yag diambil oleh ahli waris si janin
[5]  Syarh ar rajabiyah, al maridini (hlm. 18)
[6]  Syarh ar rajabiyah, hlm. 23

0 komentar:

Posting Komentar