Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Orang Yang Boleh Tidak Berpuasa atau Berpuasa


بسم الله الرحمن الرحيم
Orang Yang Boleh Tidak Berpuasa atau Berpuasa
Makalah Ke-27

1.         Orang Sakit.
Sakit adalah segala sesuatu berupa penyakit yang mengeluarkan seseorang dari batasa sehat. [1] Secara umum, para ulama bersepakat, orang yang sakit boleh tidak berpuasa. Jika telah sembuh dari sakitnya, wajib mengganti puasa yang telah ditinggalkannya. Asal hukum masalah ini adalah firman Allah swt Qs. Al-Baqarah ayat 185
“ Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
                Diriwayatkan dari Salamah bin al-Akwa’ ra, ia berkata, “Tatkala turun firman Allah swt Qs. Al-Baqarah ayat 184. Siapa yang ingin tidak berpuasa, ia boleh tidak berpuasa dengan membayar fidyah, hingga turun ayat setelahnya.[2] Pada firman Allah swt Qs. Al-Baqarah ayat 185.
                Orang yang sakit itu punya tiga kondisi:[3]
·         Sakitnya ringan yang tidak berpengaruh dengan menjalankan puasa, dan tidak pula dengan tidak berpuasa lebih meringankannya. Misalnya, flu ringan, sedikit pusing, sakit gigi dan sejenisnya. Ia tidak boleh tidak berpuasa karena sakit ringan seperti ini.
·         Sakitnya bertambah parah atau kesembuhan penyakitnya tertunda, dan berat untuk berpuasa tetapi puasa tersebut tidak berbahaya untuk dirinya, maka orang seperti ini dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan menjalankan puasa.
·         Sakit yang membuat dirinya berat untuk berpuasa dan membahayakan kesehatannya yang bisa menyebabkan kematiannya. Orang ini pada prinsipnya diharamkan untuk berpuasa. Berdasarkan firman Allah swt dalam Qs. An-Nisaa’: 29 “ Janganlah kamu membunuh dirimu sendiri.”

2.      Musafir
Orang yang sedang melakukan perjalanan (yakni perjalanan yang sudah dibolehkan untuk mengqashar shalat, disyariatkannya untuk tidak berpuasa berdasarkan firman Allah swt “Dan barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)

3.                  Kakek-kakek, nenek-nenek dan orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
Para Ulama telah bersepakat bahwa mereka ini dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak wajib mengqadhanya. Kemudian para ulama beselisih pendapat dalam menetapkan kewajiban apa yang dibebankan kepada mereka, jika mereka tidak berpuasa. Jumhur Ulama berpendapat bahwa mereka wajib memberi makan satu orang miskin dalam setiap harinya. Menurut Malik, ia dianjurkan untuk memberi makan, tapi tidak diwajibkan.[4] Pendapat jumhur Ulama lebih kuat daripada pendapat Malik, berdasarkan firman Allah swt “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (Qs. Al-Baqarah: 184)
4.      Wanita Hamil dan Menyusui
Apabila seorang wanita yang sedang hamil merasa khawatir, jika ia berpuasa akan membahayakan janin yang ada di dalam kandungannya, atau wanita yang sedang menyusui khawatir jika ia berpuasa akan membuat air susunya sedikit atau akan membuat air susunya terhenti dan seterusnya, maka ia boleh untuk tidak berpuasa menurut kesepakatan para ulama, berdasarkan sabda Rasulullah saw:
Sesungguhnya Allah swt telah mengurangi setengah kewajiban shalat dan musafir, dan tidak mewajibkan puasa bagi musafir, wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang menyusui.”[5]
                Para ulama berselisih pendapat dalam menentukan apa yang diwajibkan kepadanya, jika tidak berpuasa, dalam lima pendapat:
·   Wajib mengqadha puasanya dan memberi makan satu orang miskin dalam setiap harinya. Ini adalah pendapat Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.[6] Menurut Syafi’iyah dan Hanbaliyah, jika wanita tersebut tidak berpuasa hanya karena khawatir terhadap dirinya saja, maka ia wajib mengqadha puasa.
·   Wajib mengqadha puasa saja. Ini adalah pendapat al-Auza’i, ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid.[7] Mereka menilai, wanita hamil dan menyusui sama hukumnya dengan orang musafir karena ketiganya tercantum dalam hadits yang telah lalu, atau mereka mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musafir.
·   Wajib memberi makan (memberi fidyah), tanpa mengqadha.
Pendapat ini adalah kebalikan pendapat yang sebelumnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Ini juga madzhab Ishaq, dan pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Bani rahimahullah.
·   Wanita hamil wajib mengqadha, sedangkan wanita menyusui wajib mengqadha dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat Malik, dan satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.[8]
·   Tidak wajib mengqadha dan tidak wajib pula membayar fidyah. Ini adalah madzhab Ibnu Hazm.[9]
Pendapat Yang Paling Rajih: adalah bahwa wanita hamil dan menyusui boleh tidak berpuasa tetapi harus memberi makan satu orang miskin dalam setiap harinya, dan tidak perlu mengqadhanya. Ini pendapat Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra.

Siapa Yang Wajib Tidak Berpuasa dan Wajib Mengqadhanya
·        Wanita haid dan Nifas
Para Ulama bersepakat, tidaklah sah puasa yang dilaksanakan oleh wanita yang sedang haid dan nifas. Puasa tidak diwajibka pada mereka, dan haram hukumnya bila melaksanakannya. Jika telah suci, wajib bagi mereka mengqadha puasa yang ditinggalkannya.[10]
                Diriwayatkan dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Nabi saw bersabda:
“Bukankah jika haid, mereka tidak shalat dan berpuasa? Itulah kekurangan agama mereka.”
Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia berkata, “Kami mengalami haid pada masa Rasulullah saw, maka kami diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha shalat.”[11]
Orang Yang Dilarang Tidak Berpuasa
                Setiap Muslim yang sudah baligh, berakal, sehat tidak sakit, bermukim tidak sedang bepergian, dan wanita yang suci dari haid dan nifas.

Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as- Sayyid Salim, jilid II


[1]  Radd al-Mukhtar (II/98)
[2]  Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari hadits (4507) dan Muslim (1145)
[3]  Syarh al-Mumti’ (VI/352, 353), al- Mughni (III/16)
[4]  Bidayah al-Mujtahid (I/447), al-Mughni (III/79)
[5]  Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad (IV/347)
[6]  At-Tirmidzi meriwayatkannya dari mereka (III/402-Tuhfah al-Ahwadzi)
[7]  Bidayatul Mujtahid (I/446)
[8]  Al-Muhalla (VI/165)
[9]  Al-Muhalla (VI/263)
[10]  Al-Mughni (III/142, dan  al- Majmu’ VI/259)
[11]  Shahih, diriwayatkan oleh Muslim (335)

0 komentar:

Posting Komentar