بسم الله الرحمن الرحيم
Orang
Yang Boleh Tidak Berpuasa atau Berpuasa
Makalah Ke-27
Makalah Ke-27
1.
Orang
Sakit.
Sakit
adalah segala sesuatu berupa penyakit yang mengeluarkan seseorang dari batasa
sehat. [1]
Secara umum, para ulama bersepakat, orang yang sakit boleh tidak berpuasa. Jika
telah sembuh dari sakitnya, wajib mengganti puasa yang telah ditinggalkannya.
Asal hukum masalah ini adalah firman Allah swt Qs. Al-Baqarah ayat 185
“ Dan barang siapa sakit atau dalam
perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari
yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.”
Diriwayatkan
dari Salamah bin al-Akwa’ ra, ia berkata, “Tatkala turun firman Allah swt Qs.
Al-Baqarah ayat 184. Siapa yang ingin tidak berpuasa, ia boleh tidak berpuasa
dengan membayar fidyah, hingga turun ayat setelahnya.[2]
Pada firman Allah swt Qs. Al-Baqarah ayat 185.
Orang
yang sakit itu punya tiga kondisi:[3]
·
Sakitnya
ringan yang tidak berpengaruh dengan menjalankan puasa, dan tidak pula dengan
tidak berpuasa lebih meringankannya. Misalnya, flu ringan, sedikit pusing,
sakit gigi dan sejenisnya. Ia tidak boleh tidak berpuasa karena sakit ringan
seperti ini.
·
Sakitnya
bertambah parah atau kesembuhan penyakitnya tertunda, dan berat untuk berpuasa
tetapi puasa tersebut tidak berbahaya untuk dirinya, maka orang seperti ini
dianjurkan untuk tidak berpuasa dan dimakruhkan menjalankan puasa.
·
Sakit yang
membuat dirinya berat untuk berpuasa dan membahayakan kesehatannya yang bisa
menyebabkan kematiannya. Orang ini pada prinsipnya diharamkan untuk berpuasa.
Berdasarkan firman Allah swt dalam Qs. An-Nisaa’: 29 “ Janganlah kamu
membunuh dirimu sendiri.”
2.
Musafir
Orang yang sedang melakukan perjalanan
(yakni perjalanan yang sudah dibolehkan untuk mengqashar shalat,
disyariatkannya untuk tidak berpuasa berdasarkan firman Allah swt “Dan
barang siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah
baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang
lain.” (Qs. Al-Baqarah: 185)
3.
Kakek-kakek,
nenek-nenek dan orang sakit yang tidak bisa diharapkan kesembuhannya.
Para Ulama
telah bersepakat bahwa mereka ini dibolehkan untuk tidak berpuasa dan tidak
wajib mengqadhanya. Kemudian para ulama beselisih pendapat dalam menetapkan
kewajiban apa yang dibebankan kepada mereka, jika mereka tidak berpuasa. Jumhur
Ulama berpendapat bahwa mereka wajib memberi makan satu orang miskin dalam
setiap harinya. Menurut Malik, ia dianjurkan untuk memberi makan, tapi tidak
diwajibkan.[4]
Pendapat jumhur Ulama lebih kuat daripada pendapat Malik, berdasarkan firman
Allah swt “Dan wajib bagi orang-orang yang berat menjalankannya (jika mereka
tidak berpuasa) membayar fidyah, (yaitu): memberi makan seorang miskin.” (Qs.
Al-Baqarah: 184)
4.
Wanita Hamil dan
Menyusui
Apabila seorang wanita yang sedang hamil merasa
khawatir, jika ia berpuasa akan membahayakan janin yang ada di dalam
kandungannya, atau wanita yang sedang menyusui khawatir jika ia berpuasa akan
membuat air susunya sedikit atau akan membuat air susunya terhenti dan
seterusnya, maka ia boleh untuk tidak berpuasa menurut kesepakatan para ulama,
berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Sesungguhnya Allah swt telah mengurangi
setengah kewajiban shalat dan musafir, dan tidak mewajibkan puasa bagi musafir,
wanita yang sedang hamil, dan wanita yang sedang menyusui.”[5]
Para
ulama berselisih pendapat dalam menentukan apa yang diwajibkan kepadanya, jika
tidak berpuasa, dalam lima pendapat:
· Wajib mengqadha puasanya
dan memberi makan satu orang miskin dalam setiap harinya. Ini adalah pendapat
Malik, asy-Syafi’i dan Ahmad.[6]
Menurut Syafi’iyah dan Hanbaliyah, jika wanita tersebut tidak berpuasa hanya
karena khawatir terhadap dirinya saja, maka ia wajib mengqadha puasa.
· Wajib mengqadha puasa saja. Ini adalah pendapat al-Auza’i,
ats-Tsauri, Abu Hanifah dan murid-muridnya, Abu Tsaur dan Abu Ubaid.[7]
Mereka menilai, wanita hamil dan menyusui sama hukumnya dengan orang musafir
karena ketiganya tercantum dalam hadits yang telah lalu, atau mereka
mengqiyaskan wanita hamil dan menyusui dengan orang sakit dan musafir.
· Wajib memberi makan
(memberi fidyah), tanpa mengqadha.
Pendapat ini adalah kebalikan pendapat yang
sebelumnya. Ini adalah pendapat Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar ra. Ini juga
madzhab Ishaq, dan pendapat yang dipilih oleh Imam Al-Bani rahimahullah.
·
Wanita hamil wajib mengqadha, sedangkan wanita
menyusui wajib mengqadha dan membayar fidyah. Ini adalah pendapat Malik, dan
satu pendapat dalam madzhab Syafi’iyah.[8]
·
Tidak wajib mengqadha dan tidak wajib pula
membayar fidyah. Ini adalah madzhab Ibnu Hazm.[9]
Pendapat Yang Paling Rajih: adalah bahwa wanita hamil dan menyusui
boleh tidak berpuasa tetapi harus memberi makan satu orang miskin dalam setiap
harinya, dan tidak perlu mengqadhanya. Ini pendapat Ibnu Abbas ra dan Ibnu Umar
ra.
Siapa Yang Wajib Tidak Berpuasa dan
Wajib Mengqadhanya
·
Wanita haid dan
Nifas
Para Ulama bersepakat, tidaklah sah
puasa yang dilaksanakan oleh wanita yang sedang haid dan nifas. Puasa tidak
diwajibka pada mereka, dan haram hukumnya bila melaksanakannya. Jika telah
suci, wajib bagi mereka mengqadha puasa yang ditinggalkannya.[10]
Diriwayatkan
dari Abu Sa’id al-Khudri ra, Nabi saw bersabda:
“Bukankah jika haid, mereka tidak
shalat dan berpuasa? Itulah kekurangan agama mereka.”
Diriwayatkan dari Aisyah ra, ia
berkata, “Kami mengalami haid pada masa Rasulullah saw, maka kami
diperintahkan untuk mengqadha puasa dan tidak diperintahkan untuk mengqadha
shalat.”[11]
Orang Yang Dilarang Tidak Berpuasa
Setiap
Muslim yang sudah baligh, berakal, sehat tidak sakit, bermukim tidak sedang
bepergian, dan wanita yang suci dari haid dan nifas.
Sumber:
o Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as- Sayyid Salim, jilid II
[1] Radd al-Mukhtar (II/98)
[2] Shahih, diriwayatkan oleh
al-Bukhari hadits (4507) dan Muslim (1145)
[3] Syarh al-Mumti’ (VI/352,
353), al- Mughni (III/16)
[4] Bidayah al-Mujtahid
(I/447), al-Mughni (III/79)
[5] Hasan, diriwayatkan oleh Ahmad
(IV/347)
[6] At-Tirmidzi meriwayatkannya dari
mereka (III/402-Tuhfah al-Ahwadzi)
[7] Bidayatul Mujtahid (I/446)
[8] Al-Muhalla (VI/165)
[9] Al-Muhalla (VI/263)
[10] Al-Mughni (III/142,
dan al- Majmu’ VI/259)
[11] Shahih, diriwayatkan oleh
Muslim (335)
0 komentar:
Posting Komentar