Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Orang Yang Sudah Meninggal, sedang Ia Masih Hutang Puasa?

Orang Yang Sudah Meninggal, sedang Ia Masih Hutang Puasa?
Makalah Ke-28
            Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggal, sementara ia masih punya hutang puasa; apakah walinya menggantikan puasanya? Ada tiga pendapat tentang masalah ini:
·         Pertama, walinya tidak perlu menggantikan puasanya, baik puasa nadzar maupun puasa qadha Ramadhan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para sahabatnya, Malik, dan zhahir pendapat asy-Syafi’i.[1] Hujjah mereka adalah:
o    Firman Allah swt
Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.” (An-Najm: 39)
o    Sabda Rasulullah saw
“Apabila seorang anak Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”[2]
o    Diriwayatkan dari Ubadah bin Nasi, Rasulullah saw bersabda
Barang siapa sakit pada bulan Ramadhan dan terus sakit hingga meninggal dunia, maka tidak dibayarkan makanan (sebagai fidyah) untuknya, dan apabila ia sembuh dari sakitnya namun belum sempat untuk mengqadha puasanya hingga meninggal dunia, maka harus dibayarkan fidyah untuknya.”[3](Namun hadits ini tidak shahih)
·       Kedua, walinya menggantikan puasanya, baik puasa nadzar maupun puasa qadha, secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Tsaur salah satu dari dua pendapat asy-Syafi’i dan inilah pendapat yang dipilih oleh an-Nawawi, pendapat ahli hadits dan Ibnu Hazm.[4] Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:
o    Hadits Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
Barangsiapa meninggal dunia sementara masih memiliki utang puasa, maka walinyalah yang menggantikan puasanya.”[5]
o    Hadits Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Seorang laki-laki datang menghadap Nabi Muhammad saw seraya berkata, “Ibuku meninggal dunia sementara masih punya sebanyak satu bulan (dalam suatu riwayat: puasa nadzar) apakah aku boleh berpuasa untuknya? Rasulullah saw menjawab: “Ya, karena hutang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasi.”[6]
o    Hadits Ibnu Abbas ra, seorang wanita berlayar lalu bernadzar, jika Allah memberikan keselamatan kepadanya, maka ia akan berpuasa satu bulan penuh. Setelah Allah menyelamatkannya, ia belum sempat melaksanakan puasa nadzarnya hingga ajal menjemputnya. Kemudian datanglah anak perempuan atau saudara perempuan itu kepada Nabi saw, maka beliau memerintahkan agar menggantikan puasanya.[7]
·         Ketiga, hutang puasa nadzarnya digantikan, bukan qadha puasa Ramadhannya. Ini adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan Al-Laits.[8] Dalil mereka adalah:
o    Hadits Aisyah ra mengandung makna yang umum, kemudian dikhususkan dengan hadits Ibnu Abbas ra. Dengan demikian, yang dimaksud dengan puasa yang dilakukan oleh wali adalah puasa nadzar.
o    Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas ra, dan ia adalah perawi hadits yang lainnya tentang puasa untuk mayit, ia mengatakan “Apabila seseorang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian meninggal sebelum sempat mengqadha puasanya, maka (untuk mengganti puasanya) diberikan makanan (kepada orang miskin) atas namanya, dan tidak wajib mengqadhanya. Akan tetapi jika si Mayit punya Nadzar puasa, maka walinyalah yang mengqadhanya.”[9] Tidak diragukan lagi, Ibnu Abbas ra lebih mengetahui tentang makan hadits yang diriwayatkan sendiri.
Penulis berkata: Pendapat yang kuat, boleh berpuasa untuk mayit secara  mutlak, baik puasa qadha maupun puasa nadzar. Karena keumuman (dalam hadits Aisyah) tidak dapat dikhususkan dengan salah satu bagiannya (dalam hadits Ibnu Abbas ra), kecuali jika terjadi kontradiksi-seperti diterangkan dalam ushul fiqih-. Dan tidak ada kontradiksi disini. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam kitabnya Fathul Bari (VI/228), berkata, “Hadits Ibnu Abbas adalah gambaran tersendiri dimana seseorang bertanya tentang kasus yang dialaminya. Sementara hadits Aisyah adalah penjelasan tentang kaidah umum.
Kesimpulannya, orang yang mati dan masih memiliki hutang puasa. Maka kondisinya tidak terlepas dari salah satu dari tiga poin berikut ini:
1.       Udzur yang ada pada dirinya tetap ada sehingga tidak mampu mengqadha puasanya hingga ajal menjemputnya. Orang yang seperti ini tidak dibebani apapun, demikian pula pada ahli warisnya dan peninggalannya. Tidak mengganti puasanya, dan tidak pula memberi makan kepada orang miskin.[10]
2.       Udzur yang ada pada dirinya sudah hilang dan ia pun sudah sanggup untuk mengqadha puasanya, namun hingga ajal menjemputnya ia belum juga mengqadha puasanya. Untuk kondisi mayit seperti ini, walinya harus berpuasa untuknya.
3.       Ia meninggal dan masih punya hutang nadzar, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.
Sumber:
o   Shahih Fiqih Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, Jilid II


[1]  Al-Majmu’ (VI/412)
[2]  Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (1631)
[3]  Sanadnya dha’if, diriwayatkan Abdurrazzaq (7635)
[4]  Al-Majmu’ (VI/418)
[5]  Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1952) dan Muslim (1147)
[6]  Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari (1953) dan Muslim (1148)
[7]    Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3308) dan An-Nasa’i (3816) 
[8]    Fath al-Bari (IV/228)
[9]    Sanadnya shahih: diriwayatkan oleh Abu Dawud (2398) dan Ibnu Hazm (VII/7)
[10]  Al-Majmu’ (IV/414)

0 komentar:

Posting Komentar