Orang Yang Sudah Meninggal, sedang Ia
Masih Hutang Puasa?
Makalah Ke-28
Makalah Ke-28
Para
ulama berbeda pendapat tentang orang yang meninggal, sementara ia masih punya
hutang puasa; apakah walinya menggantikan puasanya? Ada tiga pendapat tentang
masalah ini:
·
Pertama, walinya tidak perlu menggantikan puasanya, baik puasa nadzar maupun
puasa qadha Ramadhan. Ini adalah pendapat Abu Hanifah dan para sahabatnya,
Malik, dan zhahir pendapat asy-Syafi’i.[1]
Hujjah mereka adalah:
o
Firman Allah
swt
“Dan bahwasanya seorang
manusia tiada memperoleh selain dari apa yang telah diusahakannya.”
(An-Najm: 39)
o
Sabda
Rasulullah saw
“Apabila seorang anak
Adam meninggal dunia, maka terputuslah amalannya kecuali tiga perkara: sedekah
jariyah, ilmu yang bermanfaat, atau anak shalih yang mendoakannya.”[2]
o Diriwayatkan dari Ubadah bin Nasi, Rasulullah saw
bersabda
“Barang siapa sakit pada
bulan Ramadhan dan terus sakit hingga meninggal dunia, maka tidak dibayarkan
makanan (sebagai fidyah) untuknya, dan apabila ia sembuh dari sakitnya namun
belum sempat untuk mengqadha puasanya hingga meninggal dunia, maka harus
dibayarkan fidyah untuknya.”[3](Namun
hadits ini tidak shahih)
·
Kedua, walinya menggantikan puasanya, baik puasa nadzar maupun puasa qadha,
secara mutlak. Ini adalah pendapat Abu Tsaur salah satu dari dua pendapat
asy-Syafi’i dan inilah pendapat yang dipilih oleh an-Nawawi, pendapat ahli
hadits dan Ibnu Hazm.[4]
Mereka berargumen dengan dalil-dalil berikut ini:
o Hadits Aisyah ra, Rasulullah saw bersabda:
“Barangsiapa meninggal
dunia sementara masih memiliki utang puasa, maka walinyalah yang menggantikan
puasanya.”[5]
o Hadits Ibnu Abbas ra, ia berkata, “Seorang
laki-laki datang menghadap Nabi Muhammad saw seraya berkata, “Ibuku meninggal
dunia sementara masih punya sebanyak satu bulan (dalam suatu riwayat: puasa
nadzar) apakah aku boleh berpuasa untuknya? Rasulullah saw menjawab: “Ya,
karena hutang kepada Allah lebih wajib untuk dilunasi.”[6]
o
Hadits Ibnu
Abbas ra, seorang wanita berlayar lalu bernadzar, jika Allah memberikan
keselamatan kepadanya, maka ia akan berpuasa satu bulan penuh. Setelah Allah
menyelamatkannya, ia belum sempat melaksanakan puasa nadzarnya hingga ajal
menjemputnya. Kemudian datanglah anak perempuan atau saudara perempuan itu
kepada Nabi saw, maka beliau memerintahkan agar menggantikan puasanya.[7]
·
Ketiga, hutang puasa nadzarnya digantikan, bukan qadha puasa Ramadhannya. Ini
adalah pendapat Ahmad, Ishaq, Abu Ubaid, dan Al-Laits.[8]
Dalil mereka adalah:
o
Hadits Aisyah
ra mengandung makna yang umum, kemudian dikhususkan dengan hadits Ibnu Abbas
ra. Dengan demikian, yang dimaksud dengan puasa yang dilakukan oleh wali adalah
puasa nadzar.
o Diriwayatkan secara shahih dari Ibnu Abbas ra, dan
ia adalah perawi hadits yang lainnya tentang puasa untuk mayit, ia mengatakan “Apabila
seseorang sakit pada bulan Ramadhan, kemudian meninggal sebelum sempat
mengqadha puasanya, maka (untuk mengganti puasanya) diberikan makanan (kepada
orang miskin) atas namanya, dan tidak wajib mengqadhanya. Akan tetapi jika si
Mayit punya Nadzar puasa, maka walinyalah yang mengqadhanya.”[9] Tidak
diragukan lagi, Ibnu Abbas ra lebih mengetahui tentang makan hadits yang
diriwayatkan sendiri.
Penulis berkata: Pendapat yang kuat, boleh
berpuasa untuk mayit secara mutlak, baik
puasa qadha maupun puasa nadzar. Karena keumuman (dalam hadits Aisyah) tidak
dapat dikhususkan dengan salah satu bagiannya (dalam hadits Ibnu Abbas ra),
kecuali jika terjadi kontradiksi-seperti diterangkan dalam ushul fiqih-. Dan
tidak ada kontradiksi disini. Oleh karena itu, al-Hafidz Ibnu Hajar dalam
kitabnya Fathul Bari (VI/228), berkata, “Hadits Ibnu Abbas adalah
gambaran tersendiri dimana seseorang bertanya tentang kasus yang dialaminya.
Sementara hadits Aisyah adalah penjelasan tentang kaidah umum.
Kesimpulannya, orang yang mati dan masih memiliki hutang puasa. Maka
kondisinya tidak terlepas dari salah satu dari tiga poin berikut ini:
1.
Udzur yang
ada pada dirinya tetap ada sehingga tidak mampu mengqadha puasanya hingga ajal menjemputnya.
Orang yang seperti ini tidak dibebani apapun, demikian pula pada ahli warisnya
dan peninggalannya. Tidak mengganti puasanya, dan tidak pula memberi makan
kepada orang miskin.[10]
2.
Udzur yang
ada pada dirinya sudah hilang dan ia pun sudah sanggup untuk mengqadha
puasanya, namun hingga ajal menjemputnya ia belum juga mengqadha puasanya.
Untuk kondisi mayit seperti ini, walinya harus berpuasa untuknya.
3.
Ia meninggal
dan masih punya hutang nadzar, maka ahli warisnya berpuasa untuknya.
Sumber:
o
Shahih Fiqih
Sunnah, karya Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim,
Jilid II
[1] Al-Majmu’ (VI/412)
[2] Shahih, diriwayatkan oleh
al-Bukhari (1631)
[3] Sanadnya dha’if, diriwayatkan
Abdurrazzaq (7635)
[4] Al-Majmu’ (VI/418)
[5] Shahih, diriwayatkan oleh Al-Bukhari
(1952) dan Muslim (1147)
[6] Shahih, diriwayatkan oleh
Al-Bukhari (1953) dan Muslim (1148)
[7] Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (3308)
dan An-Nasa’i (3816)
[8] Fath al-Bari (IV/228)
[9] Sanadnya shahih: diriwayatkan oleh Abu Dawud
(2398) dan Ibnu Hazm (VII/7)
[10] Al-Majmu’ (IV/414)
0 komentar:
Posting Komentar