Kamis, 12 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

Qiyam Ramadhan (Tarawih)


بسم الله الرحمن الرحيم
Qiyam Ramadhan (Tarawih)
Makalah Ke-15
Keutamaan dan Pensyariatannya
           
Shalat Tarawih adalah sunnah muakkadah bagi laki-laki dan perempuan pada bulan ramadhan. Ini adalah salah satu syiar agama yang paling nyata.[1]
Shalat tarawih yang dimaksud disini adalah sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang mengerjakan qiyam ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni dosanya yang telah lalu.”[2]
            Rasulullah saw pernah mengerjakannya bersama para sahabat pada beberapa malam, namun beliau tidak terus menerus mengerjakannya, karena khawatir ini akan diwajibkan atas mereka dan mereka tidak sanggup mengerjakannya.
Diriwayatkan dari Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti shalat beliau. Kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, dan orang-orang bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga, namun Nabi tidak keluar menemui mereka. Ketika subuh, beliau mengatkan, “Aku telah melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar mengimami kalian, Cuma aku khawatir bila shalat ini diwajibkan atas kalian.” Hal itu terjadi pada bulan ramadhan (kemudian Rasulullah saw wafat dan keadaan manusia tetap seperti itu).[3]

Berjamaah dalam Shalat Tarawih
            Diriwayatkan dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Kami berpuasa bersama Rasulullah saw pada bulan ramadhan, dan beliau tidak pernah sedikit pun mengerjakan shalat malam bersama kami dalam bulan tersebut, hingga tersisa tujuh hari. Kemudian beliau shalat bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Kemudian beliau tidak shalat bersama kami pada malam yang keempat. Kemudian beliau shalat bersama kami pada malam berikutnya hingga berlalu separuh. Kami mengatakan, “Wahai Rasulullah, alangkah baiknya jika engkau mengerjakan shalat malam bersama kami pada sisa malam kami ini. Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama imam hingga imam pergi, maka ditulis pahala shalat malam dari sisa malamnya itu . . .”[4]
Kondisinya tetap demikian hingga zaman Umar bin Khattab ra. Kemudian dia mengumpulkan manusia untuk mengerjakan shalat tarawih bersama seorang imam.
Kemudian amalan ini berlanjut hingga sekarang. Oleh karena itu, para ulama bersepakat atas disyariatkannya shalat berjamaah.

Jumlah Rakaat Shalat Tarawih

Telah dijelaskan bahwa Rasulullah saw tidak pernah menambah, baik pada bulan ramadhan maupun di luar ramadhan, lebih dari sebelas rakaat, saat shalat malam di rumahnya.
“Adapun malam-malam dimana beliau mengerjakan shalat tarawih bersama para sahabatnya, tidak disebutkan jumlah rakaatnya. Tidak ada shahih hadits yang menyebutkan batasan jumlah rakaat shalat ini.”[5]
Oleh karena itu, para ulama berselisih tentang pembatasan jumlah rakaatnya dalam beberapa pendapat, diantaranya:
§  Sebelas rakaat.
Inilah yang dipilih oleh Nabi saw untuk dirinya. Diriwayatkan dari as-Sa’ib bin Yazid, ia berkata, “Umar bin al-Khattab memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim ad Dari untuk mengimami khalayak dengan melaksanakan sebelas rakaat. . .”[6]
§  Dua puluh rakaat selain witir.
Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya ats-Tsauri, Ibnu al-Mubarak, asy-Syafi’i dan Ashabur ra’yi. Pendapat ini diriwayatkan dari Umar, Ali dan para sahabat lainnya.[7]
§  Tiga puluh sembilan termasuk witir.
Ini adalah pendapat Malik[8], dan ia berkata, “Ini adalah perkara yang sudah lama bagi kami.” Hujjahnya adalah riwayat dari Dawud bin Qais, ia berkata, “Aku mendapati kaum Muslimin di Madinah pada zaman Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin ‘Utsman, mereka mengerjakan shalat tiga puluh enam rakaat dan shalat witir tiga rakaat.”[9]
§  Empat puluh rakaat dan tujuh rakaat witir.
Al-Hasan bin ‘Ubaidillah berkata, “Abdurrahman bin al-Aswad mengimami kami pada bulan ramadhan dengan empat puluh rakaat dan witir tujuh rakaat.”[10] Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau mengerjakan shalat malam pada bulan ramadhan dengan jumlah rakaat yang tidak terbilang.[11]
Penulis berkata: adapun yang benar adalah sebagaimana yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (XXII/272-273)
“Ini semua boleh. Keutamaan itu berbeda-beda menurut kondisi orang yang shalat. Jika mereka termasuk orang yang mampu berdiri lama, hendaklah ia mengerjakan sepuluh rakaat ditambah tiga rakaat sesudahnya, sebagaimana dilakukan Nabi saw pada bulan ramadhan dan di luar ramadhan. Jika tidak mampu berdiri lama mengerjakan dua puluh rakaat adalah lebih utama. Itulah yang dilakukan kebanyakan kaum Muslimin. Jika mengerjakan empat puluh rakaat, atau jumlah lainnya, maka hal itu boleh saja. Tidak ada jumlah rakaat yang dilarang. Barangsiapa berpendapat bahwa Qiyam ramadhan dibatasi dengan jumlah rakaat tertentu dari Nabi, tidak boleh ditambah dan tidak boleh dikurangi, maka ia telah keliru . . .”
Penulis berkata: Fiqih hendaknya memang demikian. Bandingkan antara ini dengan sebagian saudara-saudara kita yang memisahkan diri dari jamaah shalat tarawih Masjidil Haram dan pergi setelah selesai sepuluh rakaat. Wallahu a’lam.

Sumber:
           
o   Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid 1.


[1]  Radd al-Mukhtar (I/472)
[2]  HR. al-Bukhari (37)
[3]  Shahih, diriwayatkan oleh al-Bukhari (1129) dan Muslim (761)
[4]  Shahih, diriwayatkan oleh Abu Dawud (1375)
[5]    Al-Mushabih fi Shalah at-Tarawih, as-Suyuthi
[6]    Sanadnya shahih, diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwaththa’ (I/115)
[7]    Syarh as-Sunnah (IV/20), al-Mughni (I/208)
[8]    Al-Mudawwanah (I/193)
[9]    Shahih, diriwayatkan oleh Ibnu Abu Syaibah (II/393)
[10]  Ibid
[11]  Kasyaf al-Qanna’ (I/425)

0 komentar:

Posting Komentar