بسم الله الرحمن الرحيم
Qiyam
Ramadhan (Tarawih)
Makalah
Ke-15
Keutamaan
dan Pensyariatannya
Shalat
Tarawih adalah sunnah muakkadah bagi laki-laki dan perempuan pada bulan
ramadhan. Ini adalah salah satu syiar agama yang paling nyata.[1]
Shalat
tarawih yang dimaksud disini adalah sebagaimana sabda Nabi saw:
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا
غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Barang siapa yang
mengerjakan qiyam ramadhan karena iman dan mengharapkan pahala, maka diampuni
dosanya yang telah lalu.”[2]
Rasulullah saw pernah
mengerjakannya bersama para sahabat pada beberapa malam, namun beliau tidak
terus menerus mengerjakannya, karena khawatir ini akan diwajibkan atas mereka dan
mereka tidak sanggup mengerjakannya.
Diriwayatkan
dari Aisyah ra bahwa Nabi saw shalat di masjid, lalu orang-orang mengikuti
shalat beliau. Kemudian beliau shalat pada malam berikutnya, dan orang-orang
bertambah banyak. Kemudian mereka berkumpul pada malam yang ketiga, namun Nabi
tidak keluar menemui mereka. Ketika subuh, beliau mengatkan, “Aku telah
melihat apa yang kalian lakukan. Tidak ada yang menghalangiku untuk keluar
mengimami kalian, Cuma aku khawatir bila shalat ini diwajibkan atas kalian.”
Hal itu terjadi pada bulan ramadhan (kemudian Rasulullah saw wafat dan keadaan
manusia tetap seperti itu).[3]
Berjamaah
dalam Shalat Tarawih
Diriwayatkan
dari Abu Dzar ra, ia berkata, “Kami berpuasa bersama Rasulullah saw pada bulan
ramadhan, dan beliau tidak pernah sedikit pun mengerjakan shalat malam bersama
kami dalam bulan tersebut, hingga tersisa tujuh hari. Kemudian beliau shalat
bersama kami hingga berlalu sepertiga malam. Kemudian beliau tidak shalat
bersama kami pada malam yang keempat. Kemudian beliau shalat bersama kami pada
malam berikutnya hingga berlalu separuh. Kami mengatakan, “Wahai Rasulullah,
alangkah baiknya jika engkau mengerjakan shalat malam bersama kami pada sisa
malam kami ini. Beliau menjawab, “Sesungguhnya jika seseorang shalat bersama
imam hingga imam pergi, maka ditulis pahala shalat malam dari sisa malamnya itu
. . .”[4]
Kondisinya tetap demikian hingga
zaman Umar bin Khattab ra. Kemudian dia mengumpulkan manusia untuk mengerjakan
shalat tarawih bersama seorang imam.
Kemudian amalan ini
berlanjut hingga sekarang. Oleh karena itu, para ulama bersepakat atas
disyariatkannya shalat berjamaah.
Jumlah
Rakaat Shalat Tarawih
Telah
dijelaskan bahwa Rasulullah saw tidak pernah menambah, baik pada bulan ramadhan
maupun di luar ramadhan, lebih dari sebelas rakaat, saat shalat malam di
rumahnya.
“Adapun
malam-malam dimana beliau mengerjakan shalat tarawih bersama para sahabatnya, tidak
disebutkan jumlah rakaatnya. Tidak ada shahih hadits yang menyebutkan batasan
jumlah rakaat shalat ini.”[5]
Oleh
karena itu, para ulama berselisih tentang pembatasan jumlah rakaatnya dalam
beberapa pendapat, diantaranya:
§
Sebelas rakaat.
Inilah yang dipilih oleh Nabi saw untuk dirinya.
Diriwayatkan dari as-Sa’ib bin Yazid, ia berkata, “Umar bin al-Khattab
memerintahkan Ubay bin Kaab dan Tamim ad Dari untuk mengimami khalayak dengan
melaksanakan sebelas rakaat. . .”[6]
§
Dua puluh rakaat selain witir.
Ini pendapat mayoritas ulama, diantaranya ats-Tsauri,
Ibnu al-Mubarak, asy-Syafi’i dan Ashabur ra’yi. Pendapat ini diriwayatkan dari
Umar, Ali dan para sahabat lainnya.[7]
§
Tiga puluh sembilan termasuk witir.
Ini adalah pendapat Malik[8],
dan ia berkata, “Ini adalah perkara yang sudah lama bagi kami.” Hujjahnya
adalah riwayat dari Dawud bin Qais, ia berkata, “Aku mendapati kaum Muslimin di
Madinah pada zaman Umar bin Abdul Aziz dan Aban bin ‘Utsman, mereka mengerjakan
shalat tiga puluh enam rakaat dan shalat witir tiga rakaat.”[9]
§
Empat puluh rakaat dan tujuh rakaat witir.
Al-Hasan bin ‘Ubaidillah berkata, “Abdurrahman bin
al-Aswad mengimami kami pada bulan ramadhan dengan empat puluh rakaat dan witir
tujuh rakaat.”[10]
Diriwayatkan dari Ahmad bin Hanbal bahwa beliau mengerjakan shalat malam pada
bulan ramadhan dengan jumlah rakaat yang tidak terbilang.[11]
Penulis berkata: adapun yang benar adalah sebagaimana
yang telah dijelaskan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah (XXII/272-273)
“Ini semua boleh. Keutamaan itu berbeda-beda menurut
kondisi orang yang shalat. Jika mereka termasuk orang yang mampu berdiri lama,
hendaklah ia mengerjakan sepuluh rakaat ditambah tiga rakaat sesudahnya,
sebagaimana dilakukan Nabi saw pada bulan ramadhan dan di luar ramadhan. Jika
tidak mampu berdiri lama mengerjakan dua puluh rakaat adalah lebih utama.
Itulah yang dilakukan kebanyakan kaum Muslimin. Jika mengerjakan empat puluh
rakaat, atau jumlah lainnya, maka hal itu boleh saja. Tidak ada jumlah rakaat
yang dilarang. Barangsiapa berpendapat bahwa Qiyam ramadhan dibatasi dengan
jumlah rakaat tertentu dari Nabi, tidak boleh ditambah dan tidak boleh
dikurangi, maka ia telah keliru . . .”
Penulis berkata: Fiqih hendaknya memang demikian.
Bandingkan antara ini dengan sebagian saudara-saudara kita yang memisahkan diri
dari jamaah shalat tarawih Masjidil Haram dan pergi setelah selesai sepuluh
rakaat. Wallahu a’lam.
Sumber:
o
Shahih Fiqih Sunnah, Abu
Malik Kamal bin as-Sayyid Salim, jilid 1.
0 komentar:
Posting Komentar