Jumat, 06 September 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category:

TEMA TEMA DALAM PEWARISAN


TEMA TEMA DALAM PEWARISAN
Ringkasan Shahih Fiqh Sunnah
Karya : Abu Malik Kamal bin as-Sayyid salim

v  Pewarisan Janin yang Masih dalam Kandungan
Janin termasuk ahli waris jika terpenuhi dua syarat :
ü  Diketahui dengan pasti keberadaan janin dalam perut saat meninggalnya pemberi warisan, dan ini diketahui dengan kelahirannya yang kurang dari enam bulan sejak kematian pemberi warisan. Ayah ibu janin menikah dengan cara yang sah
ü  Terlahir secara utuh dalam keadaan hidup dengan kehidupan nyata, hal ini dapat diketahui dengan teriakannya, bersinnya, tangisannya dan sebagainya. Diriwayatkan dari Jabir dan Al Miswar bin Makramah keduanya mengatakan, Rasulullah bersabda :
لايرث الصبي حتى يستهلّ صارحا
“Seorang bayi tidak mewarisi kecuali terlahir dalam keadaan menangis.”

v  Apa yang Dilakukan Terhadap Harta Warisan, Bila Telah Dipastikan Kehamilan di Perut Ibunya[1]
1.       Bila janin itu bukan ahli waris atau terhalang oleh ahli waris lainnya –berdasarkan semua pertimbangan- maka tidak dialokasikan sedikitpun harta warisan tersebut untuknya, dan langsung dibagikan tanpa menunggu kelahiran janin tersebut
2.       Bila janin ahli waris, sementara tidak ada ahli waris lainnya atau terhalang olehnya dan orang yang diwarisinya meninggal, fuqoha menetapkan bahwa seluruh warisan ditahan karenanya hingga ia lahir agar perkaranya menjadi jelas
3.       Bila janin ahli waris, sementara bersamanya ahli waris yang lain yang tidak terhalang olehnya, dan mereka rela untuk tidak dibagikan terlebih dahulu hingga janin lahir, maka harta warisan itu ditahan terlebih dahulu sampai kelahirannya
4.       Bila ahli waris menuntut hak hak mereka, maka jumhur berpendapat dengan perincian berikut :
§  Orang yang tidak mewarisi dengan keberadaan janin, walaupun berdasarkan perkiraan, maka ia tidak dapat apa apa. Misalnya saudara laki laki mayit , bila diperkirakan janin tersebut laki laki
§  Orang yang bagiannya tidak mengalami perubahan-dengan perkiraan apapun- maka diberikan sesuai dengan bagiannya, sedangkan sisanya ditahan. Misalnya, ibu dan istri dengan keberadaan janin laki laki dari si mayit.
§  Orang yang bagiannya bisa mengalami perubahan –dan ia termasuk ashabul furudh- diberi bagiannya yang terkecil

v  Pewarisan orang yang tenggelam, terbakar dan tertimpa reruntuhan
Bila ada dua orang atau lebih yang saling mewarisi meninggal dunia pada suatu peristiwa maut yang menyebabkan kematian secara massal, seperti tenggelamnya kapal yang menewaskan penumpangnya, bangunan ambruk, kebakaran dan selainnya, maka mereka memiliki lima kondisi :
1.       Diketahuinya sebagian dari mereka meninggal lebih dahulu daripada yang lainnya, maka yang meninggal belakangan –walaupun selisih waktunya hanya sebentar- mewarisi yang meninggal lebih dahulu berdasarkan ijma’ ulama.
2.       Dipastikan kematian mereka bersamaan dalam satu waktu, maka tidak ada waris mewarisi di antara mereka berdasarkan ijma’
3.       Kondisinya tidak diketahui mati lebih dahulu, apakah mereka meninggal secara bersamaan ataukah sebagiannya meninggal lebih dahulu dari pada yang lainnya.
4.       Sebagian dari mereka diketahui mati lebih dahulu tapi tidak pasti
5.       Orang yang meninggal lebih dahulu diketahui secara pasti, tapi kemudian terlupakan karena sudah lama atau karena faktor lainnya.

Untuk ketiga kondisi terakhir ini ada dua pendapat ulama[2] :
ü  Pertama : tidak ada waris mewaris di antara mereka. Ini merupakan madzhab jumhur : Abu Hanifah, Malik dan Asy Syafi’i. pendapat ini disepkati oleh Abu Bakar, Umar bin Khottob, dan Zaid bin Tsabit. Alasannya, sebab keberhakan masing masing dari keduanya terhadap warisan sahabatnya (orang yang berhak diwarisi) tidak diketahui secara pasti. Sedangkan keberhakan ini berlandaskan sebab. Apa yang sebabnya tidak meyakinkan maka keberhakan itu tidak bisa ditetapkan.

ü  Kedua : masing masing dari mereka mewarisi yang lainnya, kecuali harta yang diwarisinya dari sahabatnya itu. artinya, iamewarisi dari hartanya yang lama. Adapun harta yang baru diwarisinya dari sahabatnya –yang meninggal bersamanya- maka tidak boleh dibagikan kecuali kepada para ahli warisnya masing masing yang masih hidup. Ini madzhab Ahmad –saat terjadi sengketa dan perselisihan di antara para ahli waris- dan pendapat ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud.

Alasannya, bahwa sebab keberhakan masing masing dari mereka terhadap harta warisan yang lainnya sudah diketahui, yaitu kehidupannya, sedangkan sebab yang menghalangi masih diragukan. Karenanya harus berpatokan pada “kehidupannya” hingga memperoleh keyakinan yang lain. sementara sebab yang menghalangi, yaitu “kematiannya” sebelum kematian orang yang diwarisinya masih diragukan, maka penghalang tidak dapat ditetapkan dengan keraguan, kecuali harta yang diwarisi oelh masing masing keduanya dari yang lainnya (maka tidak boleh dibagikan) karena darurat. Wallahu a’lam.

v  Pewarisan Dzawil Arham
Yang dimaksud dengan dzawil arham , menurut pendapat yang menyatakan mereka mendapatkan bagian warisan adalah = setiap kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapatkan bagian tertentu  yang telah ditetukan dalam kitabullah, sunnah Nabi atau ijma’ umat, dan tidak pula hali waris ashobah yang bisa mendapatkan harta warisan secara keseluruhan bila sendirian. [3]
Jika tidak terdapat ashabul furudh dan tidak juga terdapat ashobah, maka para ulama berbeda pendapat, apakah dzawil arham mewarisi atau tidak? Ada dua pendapat[4] :
Ø  Pertama, tidak mewarisi secara mutlak, dan harta peninggalan itu diserahkan kepada baitul mal. Ini madzhab Malik, asy Syafi’I, satu riwayat dari Ahmad, dan golongan Dzahiriyah. Ini juga pendapat Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas dalam suatu riwayat darinya. Hujjah mereka adalah :
§  Allah telah menetapkan dalam ayat-ayat waris yang menjelaskan ashabul furudh dan ashobah, dan tidak menyebutkan sedikitpun bagian untuk dzawil arham.

$tBur tb%x. y7/u $|Å¡nS ÇÏÍÈ
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Maryam : 64)

§  Diriwayatkan, Nabi ditanya tentang pewarisan bibi dari pihak bapak dan bibi dari pihak ibu, maka beliau menjawab :
نزل جبريل و أخبرني ألاّ ميراث للعمة و الخالة

“Jibril turun dan memberitahukan kepadaku bahwa tidak ada warisan bagi bibi dari pihak bapak dan bibi dari pihak ibu.”[5] Ini hadits dhaif

Ø  Kedua, mereka diberi warisan dan menempati posisi orang yang lebih dekat kepada mereka, sehingga : paman dan bibi dari pihak ibu menempati posisi ibu, dan bibi dari pihak bapak menempati posi bapak. Demikian seterusnya. Ini madzhab Abu Hanifah, Ahmad yang masyhur dan madzhab ulama muta’akhir dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah. Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Abu Ubaidah, Mu’adz dan Abu Darda’. Hujjah mereka adalah :
§  Keumuman firman Allah
4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3
“Orang-orang yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya (daripada yang bukan kerabat)[6] di dalam Kitab Allah.” (Al Anfal : 75)

§  Hadits yang diriwayatkan dari Nabi, beliau bersabda :
الله و رسوله مولى من لا مولى له ، و الخال وارث من لاوارث له

"Allah dan Rasul-Nya adalah maula orang yang tidak punya maula. Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.”[7]

§  Hadits yang diriwayatkan dari al Miqdad, Nabi bersabda :
الخال وارث من لا وارث له ، يعقل عنه و يرثه

“Paman dari pihak ibu adalah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris : ia membayar diatnya dan mewarisinya.”

Penulis berkata : tampaknya pendapat yang menyatakan bahwa mereka mearisi adalah pendapat yang lebih kuat, apalagi ketika pemerintahnya tidak adil atau tidak terdapat baitul Mal. Wallaahu a’lam.

Catatan : bila terdapat ashabul furudh –jika mereka tidak menghabiskan semua harta warisan—maka masalah radd harus didahulukan. Bila si mayit mempunyai ahli waris ashobah maka merekalah yang mendapat sisa warisan itu. dengan demikian, dzawil arham tidak diberi warisan berdasarkan kedua pendapat tadi.


[1] Ahkam ath Thifl, Ahmad al-‘asawi hlm. 82
[2]  Al Mabsuth (30/27-28), terbitan Al Ma’rifah
[3]  As Sirajiyyah (hlm. 265) dan Al Adzb al Fa’idh (2/15)
[4]  Al Umm (4/10) al Mabsuth (30/2)
[5] Hasan karena banyak jalur periwayatannya, at Tirmidzi (2103), Ibnu Majah (2737). Memiliki riwayat penguat dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh at Tirmidzi (2104) dan selainnya.
[6] Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat, bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin dan anshar pada permulaan Islam.
[7]  Hasan, karena banyak jalur periwatannya. Abu Dawud (2899) dan Ibnu Majah (2634, 2738)

0 komentar:

Posting Komentar