TEMA TEMA DALAM PEWARISAN
Ringkasan Shahih Fiqh Sunnah
Karya : Abu Malik Kamal bin as-Sayyid salim
v
Pewarisan Janin yang
Masih dalam Kandungan
Janin
termasuk ahli waris jika terpenuhi dua syarat :
ü
Diketahui dengan pasti
keberadaan janin dalam perut saat meninggalnya pemberi warisan, dan ini
diketahui dengan kelahirannya yang kurang dari enam bulan sejak kematian
pemberi warisan. Ayah ibu janin menikah dengan cara yang sah
ü
Terlahir secara utuh dalam
keadaan hidup dengan kehidupan nyata, hal ini dapat diketahui dengan
teriakannya, bersinnya, tangisannya dan sebagainya. Diriwayatkan dari Jabir dan
Al Miswar bin Makramah keduanya mengatakan, Rasulullah bersabda :
لايرث الصبي حتى يستهلّ
صارحا
“Seorang bayi tidak mewarisi kecuali
terlahir dalam keadaan menangis.”
v
Apa yang Dilakukan
Terhadap Harta Warisan, Bila Telah Dipastikan Kehamilan di Perut Ibunya[1]
1.
Bila janin itu bukan ahli
waris atau terhalang oleh ahli waris lainnya –berdasarkan semua pertimbangan-
maka tidak dialokasikan sedikitpun harta warisan tersebut untuknya, dan
langsung dibagikan tanpa menunggu kelahiran janin tersebut
2.
Bila janin ahli waris,
sementara tidak ada ahli waris lainnya atau terhalang olehnya dan orang yang
diwarisinya meninggal, fuqoha menetapkan bahwa seluruh warisan ditahan
karenanya hingga ia lahir agar perkaranya menjadi jelas
3.
Bila janin ahli waris,
sementara bersamanya ahli waris yang lain yang tidak terhalang olehnya, dan
mereka rela untuk tidak dibagikan terlebih dahulu hingga janin lahir, maka
harta warisan itu ditahan terlebih dahulu sampai kelahirannya
4.
Bila ahli waris menuntut
hak hak mereka, maka jumhur berpendapat dengan perincian berikut :
§
Orang yang tidak mewarisi
dengan keberadaan janin, walaupun berdasarkan perkiraan, maka ia tidak dapat
apa apa. Misalnya saudara laki laki mayit , bila diperkirakan janin tersebut
laki laki
§
Orang yang bagiannya tidak
mengalami perubahan-dengan perkiraan apapun- maka diberikan sesuai dengan
bagiannya, sedangkan sisanya ditahan. Misalnya, ibu dan istri dengan keberadaan
janin laki laki dari si mayit.
§
Orang yang bagiannya bisa
mengalami perubahan –dan ia termasuk ashabul furudh- diberi bagiannya yang
terkecil
v
Pewarisan orang yang
tenggelam, terbakar dan tertimpa reruntuhan
Bila ada dua orang atau lebih yang saling mewarisi
meninggal dunia pada suatu peristiwa maut yang menyebabkan kematian secara
massal, seperti tenggelamnya kapal yang menewaskan penumpangnya, bangunan
ambruk, kebakaran dan selainnya, maka mereka memiliki lima kondisi :
1.
Diketahuinya sebagian dari
mereka meninggal lebih dahulu daripada yang lainnya, maka yang meninggal
belakangan –walaupun selisih waktunya hanya sebentar- mewarisi yang meninggal
lebih dahulu berdasarkan ijma’ ulama.
2.
Dipastikan kematian mereka
bersamaan dalam satu waktu, maka tidak ada waris mewarisi di antara mereka
berdasarkan ijma’
3.
Kondisinya tidak diketahui
mati lebih dahulu, apakah mereka meninggal secara bersamaan ataukah sebagiannya
meninggal lebih dahulu dari pada yang lainnya.
4.
Sebagian dari mereka
diketahui mati lebih dahulu tapi tidak pasti
5.
Orang yang meninggal lebih
dahulu diketahui secara pasti, tapi kemudian terlupakan karena sudah lama atau
karena faktor lainnya.
Untuk ketiga
kondisi terakhir ini ada dua pendapat ulama[2]
:
ü
Pertama : tidak ada waris
mewaris di antara mereka. Ini merupakan madzhab jumhur : Abu Hanifah, Malik dan
Asy Syafi’i. pendapat ini disepkati oleh Abu Bakar, Umar bin Khottob, dan Zaid
bin Tsabit. Alasannya, sebab keberhakan masing masing dari keduanya terhadap
warisan sahabatnya (orang yang berhak diwarisi) tidak diketahui secara pasti.
Sedangkan keberhakan ini berlandaskan sebab. Apa yang sebabnya tidak meyakinkan
maka keberhakan itu tidak bisa ditetapkan.
ü
Kedua : masing masing dari
mereka mewarisi yang lainnya, kecuali harta yang diwarisinya dari sahabatnya
itu. artinya, iamewarisi dari hartanya yang lama. Adapun harta yang baru
diwarisinya dari sahabatnya –yang meninggal bersamanya- maka tidak boleh
dibagikan kecuali kepada para ahli warisnya masing masing yang masih hidup. Ini
madzhab Ahmad –saat terjadi sengketa dan perselisihan di antara para ahli
waris- dan pendapat ini diriwayatkan dari Ali dan Ibnu Mas’ud.
Alasannya, bahwa sebab keberhakan
masing masing dari mereka terhadap harta warisan yang lainnya sudah diketahui,
yaitu kehidupannya, sedangkan sebab yang menghalangi masih diragukan. Karenanya
harus berpatokan pada “kehidupannya” hingga memperoleh keyakinan yang lain.
sementara sebab yang menghalangi, yaitu “kematiannya” sebelum kematian orang
yang diwarisinya masih diragukan, maka penghalang tidak dapat ditetapkan dengan
keraguan, kecuali harta yang diwarisi oelh masing masing keduanya dari yang
lainnya (maka tidak boleh dibagikan) karena darurat. Wallahu a’lam.
v
Pewarisan Dzawil Arham
Yang dimaksud dengan dzawil arham ,
menurut pendapat yang menyatakan mereka mendapatkan bagian warisan adalah =
setiap kerabat yang tidak termasuk ahli waris yang mendapatkan bagian
tertentu yang telah ditetukan dalam
kitabullah, sunnah Nabi atau ijma’ umat, dan tidak pula hali waris ashobah yang
bisa mendapatkan harta warisan secara keseluruhan bila sendirian. [3]
Jika tidak terdapat ashabul furudh dan
tidak juga terdapat ashobah, maka para ulama berbeda pendapat, apakah dzawil
arham mewarisi atau tidak? Ada dua pendapat[4]
:
Ø
Pertama, tidak mewarisi
secara mutlak, dan harta peninggalan itu diserahkan kepada baitul mal. Ini
madzhab Malik, asy Syafi’I, satu riwayat dari Ahmad, dan golongan Dzahiriyah.
Ini juga pendapat Zaid bin Tsabit dan Ibnu Abbas dalam suatu riwayat darinya.
Hujjah mereka adalah :
§
Allah telah menetapkan
dalam ayat-ayat waris yang menjelaskan ashabul furudh dan ashobah, dan tidak
menyebutkan sedikitpun bagian untuk dzawil arham.
$tBur tb%x. y7/u $|Å¡nS ÇÏÍÈ
“Dan tidaklah Tuhanmu lupa.” (Maryam : 64)
§
Diriwayatkan, Nabi ditanya
tentang pewarisan bibi dari pihak bapak dan bibi dari pihak ibu, maka beliau
menjawab :
نزل جبريل و أخبرني ألاّ
ميراث للعمة و الخالة
“Jibril turun dan
memberitahukan kepadaku bahwa tidak ada warisan bagi bibi dari pihak bapak dan
bibi dari pihak ibu.”[5]
Ini hadits dhaif
Ø
Kedua, mereka diberi
warisan dan menempati posisi orang yang lebih dekat kepada mereka, sehingga :
paman dan bibi dari pihak ibu menempati posisi ibu, dan bibi dari pihak bapak
menempati posi bapak. Demikian seterusnya. Ini madzhab Abu Hanifah, Ahmad yang
masyhur dan madzhab ulama muta’akhir dari kalangan Malikiyah dan Syafi’iyyah.
Ini juga pendapat yang diriwayatkan dari Umar, Ali, Ibnu Umar, Abu Ubaidah,
Mu’adz dan Abu Darda’. Hujjah mereka adalah :
§
Keumuman firman Allah
4 (#qä9'ré&ur ÏQ%tnöF{$# öNåkÝÕ÷èt/ 4n<÷rr& <Ù÷èt7Î/ Îû É=»tFÏ. «!$# 3
“Orang-orang
yang mempunyai hubungan kerabat itu sebagiannya lebih berhak terhadap sesamanya
(daripada yang bukan kerabat)[6]
di dalam Kitab Allah.” (Al Anfal : 75)
§
Hadits yang diriwayatkan
dari Nabi, beliau bersabda :
الله و رسوله مولى من لا
مولى له ، و الخال وارث من لاوارث له
"Allah
dan Rasul-Nya adalah maula orang yang tidak punya maula. Paman dari pihak ibu
adalah pewaris bagi orang yang tidak mempunyai ahli waris.”[7]
§
Hadits yang diriwayatkan
dari al Miqdad, Nabi bersabda :
الخال
وارث من لا وارث له ، يعقل عنه و يرثه
“Paman
dari pihak ibu adalah pewaris bagi yang tidak mempunyai ahli waris : ia
membayar diatnya dan mewarisinya.”
Penulis
berkata : tampaknya pendapat yang menyatakan bahwa mereka mearisi adalah pendapat
yang lebih kuat, apalagi ketika pemerintahnya tidak adil atau tidak terdapat
baitul Mal. Wallaahu a’lam.
Catatan
: bila terdapat ashabul furudh –jika mereka tidak menghabiskan semua harta
warisan—maka masalah radd harus didahulukan. Bila si mayit mempunyai ahli waris
ashobah maka merekalah yang mendapat sisa warisan itu. dengan demikian, dzawil
arham tidak diberi warisan berdasarkan kedua pendapat tadi.
[1]
Ahkam ath Thifl, Ahmad al-‘asawi hlm. 82
[2] Al Mabsuth (30/27-28), terbitan Al Ma’rifah
[3] As Sirajiyyah (hlm. 265) dan Al Adzb al
Fa’idh (2/15)
[4] Al Umm (4/10) al Mabsuth (30/2)
[5]
Hasan karena banyak jalur periwayatannya, at Tirmidzi (2103), Ibnu Majah
(2737). Memiliki riwayat penguat dari ‘Aisyah yang diriwayatkan oleh at
Tirmidzi (2104) dan selainnya.
[6]
Maksudnya: yang jadi dasar waris mewarisi dalam Islam ialah hubungan kerabat,
bukan hubungan persaudaraan keagamaan sebagaimana yang terjadi antara muhajirin
dan anshar pada permulaan Islam.
[7] Hasan, karena banyak jalur periwatannya. Abu
Dawud (2899) dan Ibnu Majah (2634, 2738)
0 komentar:
Posting Komentar