TERTIB AHLI
WARIS DALAM PEMBAGIAN WARISAN
Dengan
wafatnya seseorang, maka hak kepemilikan terhadap harta dan kekayaannya akan
berpindah tangan kepada orang lain. Pihak pihak yang berhak tersebut mungkin
hanya berjumlah sedikit dan dalam lingkup yang sempit, namun juga tidak lepas
dari kemungkinan mereka berjumlah banyak dan luas lingkupnya. Maka Allah Yang
Maha Bijaksana telah menggariskan ketentuan yang tepat dalam mengatasi
kerumitan dan kepelikan dalam pembagian harta peninggalan dengan menetapkan
pihak pihak yang paling berhak memiliki harta peninggalan dengan bagian bagian
yang telah ditentukan. Berikut adalah susunan umum tertib ahli waris dalam
agama Islam;
1.
Ahli waris berdasarkan perkawinan, suami
atau istri
2.
Kerabat, yaitu hubungan nasab disebabkan kelahiran. Kerabat terbagi menjadi
beberapa bagian dengan rincian sebagai berikut;
a.
Ditinjau dari garis yang menghubungkan nasab
antara yang mewariskan dan mewarisi, kerabat digolongkan menjadi;
1)
Furu’, yaitu anak turun (cabang) dari si mati
2)
Ushul, leluhur (pokok) yang menyebabkan adanya si mati
3)
Hawasyi, keluarga yang dihubungkan dengan si mati melalui garis menyamping seperti
saudara, paman, bibi dan anak turunannya
b.
Ditinjau dari segi penerimaan saham saham
terbagi menjadi empat (4) golongan;
1)
Ashhabul furudh, golongan kerabat yang mendapatkan bagian tertentu
jumlahnya, seperti setengah, sepertiga, duapertiga, seperempat, seperenam, atau
seperdelapan. Jumlahnya ada sepuluh (10) yaitu ; ayah, ibu, kakek dari ayah,
nenek dari ibu, anak perempuan, cucu perempuan dari anak laki laki, saudari
kandung, saudari seayah, saudari seibu, dan saudara seibu.
2)
Ashobah, golongan kerabat yang tidak memperoleh bagian tertentu tapi mendapatkan
sisa dari peninggalan dari ashhabul furudh. Ashobah ada empat (4) pihak yang
semuanya adalah anak laki laki. Yaitu;
Ø Anak laki laki dan
cucu laki laki pancar anak laki laki bagaimanapun jauh menurunnya (juz’ul
mayyit)
Ø Ayah dan kakek shahih
(kakek dari ayah) betapapun jauh mendakinya (ashlul mayit)
Ø Saudara kandung,
saudara seayah dan anak laki laki mereka seberapapun jauh menurunnya (juz’ul
ab)
Ø Paman kandung, paman
seayah dan anak laki laki mereka betapa jauh menurunnya (juz’ul jadd)
3)
Golongan kerabat yang mendapat dua macam bagian,
yaitu fardh dan ushubah bersama sama. Yaitu ayah bila ia
mewarisi bersama far’ul waris yang perempuan. Dan kakek bila tidak ada ayah, dengan kondisi
yang sama.
4)
Dzawil arham, kerabat yang tidak termasuk ashhabul furudh dan
‘ashobah
Ø Cucu cucu pancar
perempuan betapapun jauhnya mereka menurun dan anak anaknya cucu cucu perempuan
pancar laki laki (orang yang dihubungkan dengan si mati, karena si mati sebagai
leluhur yang menurunkan)
Ø Kakek ghoiru
shohih (ayah dari ibu si mati dan ayah dari ayahnya ibu dst) dan nenek ghoiru
shohih (ibu dari ayahnya ibu dan nenek dari bapaknya ibu). Mereka adalah
orang yang dihubungkan nasabnya dengan si mati karena orang tersebut sebagai
leluhur yang menurunkan si mati
Ø Anak anaknya para
saudari, anak anak perempuan para saudara secara mutlak, anak anak perempuan
dari anak anak laki laki saudara kandun, anak anak laki lakinya saudara seibu
dan anak mereka – betapapun jauh menurunnya. (orang yang dihubungkan nasabnya
kepada ibu bapak si mati lantaran keduanya sebagai leluhur yang menurunkan
pihak yang dapat mempertemukan orang yang dinasabkan kepada si mati.
Ø Orang yang
dihubungkan nasabnya dengan kedua kakek (ayahnya ayah dan ayahnya ibu)
3.
Wala’, yaitu kekerabatan menurut hukum yang timbul
karena adanya perjanjian tolong menolong dan sumpah setia antara seseorang
dengan orang lain, mendapatkan ushubiyah sababaiyah yaitu ushubiyah yang bukan
disebabkan karena adanya pertalian nasab, tetapi disebabkan telah membebaskan
budak.
Setelah
mengurutkan dengan susunan seperti di atas, maka pada setiap bagiannya ada
pihak yang menghalalngi dan terhalangi dari mendapatkan warisan. Baik terhalangi
seluruh bagiannya ataupun hanya berkurang bagiannya. Dengan ringkasan sebagai
berikut;
1.
Perkawinan, suami dan istri tidak terhalangi
untuk mendapatkan pusaka meskipun dapat berkurang dengan keberadaan anak
2.
Kerabat dengan pengkhususan
a.
Ashhabul furudh
Ø Ayah menghalangi
kakek
Ø Ibu menghalangi nenek
Ø Anak perempuan
menghalangi cucu perempuan pancar laki laki
Ø Saudari sekandung
menghalangi saudari seayah dan saudari seibu
b.
Ashobah
Ø Anak laki laki
menghalangi cucu laki laki
Ø Anak laki laki dan
cucu laki laki, keduanya menghalangi saudara laki laki seluruhnya, paman
seluruhnya dan keturunannya. Juga menghalangi saudari seluruhnya
Ø Saudara sekandung
menghalangi saudara seayah dan saudara seibu
c.
Dzwali arham, akan mendapatkan pusaka dengan tidak adanya
dua pihak di atas. Dalam kehidupan umumnya, sangat jarang terjadi dzwail
arham mewarisi pusaka karena telah menjadi milik kerabat yang lebih dekat.
3.
Wala’, tidak mendapatkan pusaka dengan masih adanya pihak satu dan dua
Dari
susunan dan tertib di atas, sering terjadi bahwa ternyata jumlah keluarga yang
berhak menerima pusaka masihlah lengkap. Baik furu’, ushul maupun hawasyi
nya. Maka dalam Islam telah ditentukan pihak pihak yang paling berhak menerima
pusaka berdasarkan ketentuan hijab dan mahjub yaitu ; anak – ayah
– ibu – istri dan suami.
Penulis
menyimpulkan sebagaimana yang telah termaktub dalam Kompilasi hukum nikah dan
waris Indonesia pasal 174 ayat 2 yang menyebutkan, “Apabila semua ahli waris
ada maka yang berhak mendapatkan warisan hanya ; anak ayah, ibu, janda atau duda”
Wallahu
a’lam
Sumber
1.
Ilmu waris, Drs. Fatchur Rahman
2.
Pdf dalam Kompilasi hukum nikah dan waris
Indonesia
0 komentar:
Posting Komentar