• Ahlan Wa Sahlan

    Ahlan Wa Sahlan

    Selamat datang di ukmalislam.blogspot.com. Sebuah blog yang digarap oleh segenap mahasiswa di pesantren tinggi al-islam, bekasi.

    http://www.simplewpthemes.com/demo/poker/?p=250
  • Download Ceramah Gratis

    Download Ceramah

    Kajian Tematik berisi rekaman-rekaman kajian yang berhasil didokumentasikan oleh Studio Al-Islam di wilayah Jakarta dan Bekasi atau sekitarnya. Dengan cara ini, Anda yang tidak bisa hadir karena berhalangan atau berada di tempat yang jauh bisa mengikuti dan mendengarkannya.

    http://www.simplewpthemes.com/demo/poker/?p=248
  • Forum Diskusi Dan Tanya Jawab

    Forum Diskusi

    Berikut adalah tempat ngobrol untuk ikhwan semua, terkhusus mahasiswa pesantren tinggi Alislam. Silahan berikan partisipasi anda degna ikut andil menjadi member di halaman ini.

    http://www.simplewpthemes.com/demo/poker/?p=246

Kamis, 12 Desember 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category: ,

Najis yang Sering Dijumpai, namun Jarang Dikenali

Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid. Hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).


Pengetahuan tentang najis sangatlah penting bagi seorang muslim, karena berkaitan erat dengan ibadah. Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya kotoran biasa dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis oleh  syari’at.
Namun sangat disayangkan, banyak di antara kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini, walaupun sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari sisi pengertian maupun penjelasan serta macam-macamnya secara rinci. Namun terkadang, masih ada di antara kaum Muslim yang salah mengira dan menganggap sesuatu yang najis sebagai sesuatu yang bukan najis. Keadaan ini adalah kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Berikut ini adalah sesuatu atau hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis;
1       Madzi
Madzi adalah cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Para ulama bersepakat bahwa madzi itu najis sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’. Dan dalil yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303) dari hadits ‘Ali radiyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat yakni Miqdad bin Aswad, untuk menanyakan tentang madzi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau menjawab: “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” Ibnu Daqiiq al-‘Id rahimahullah mengatakan dalam kitab Ihkamul-Ihkam, “Dari hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi tersebut.”
Satu hal yang perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun perempuan. Namun lebih sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi rahimahullah dalam kitab Syarhul-Muslim.
2.       Wadzi
Wadzi adalah cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejang setelah buang air besar. Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam an-Nawawi rahimahullah di dalam kitab beliau al-Majmu’­ menukilkan ijma’ bahwa wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya madzi dan wadzi.”
3.       Darah Haidh dan Nifas
Darah haid dan nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum wanita. Namun mungkin ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas termasuk najis atau tidak, sementara ini adalah perkara yang sangat penting bagi mereka.
Dalil yang menunjukkan kenajisan darah haid adalah sebuah hadits dari Asma’ bintu Abu Bakar radiyallahu ‘anha. Beliau menceritakan, “Seorang wanita bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia lakukan?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya ia mengeriknya lalu membasuhnya, kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadist shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331, dan Muslim no. 110).
Imam as-Shan’ani rahimahullah di dalam Subulus-salaam setelah membawakan hadits di atas, beliau berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya darah haid.”
Para ulama pun telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam an-Nawawi menukilkan adanya ijma’ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya sama dengan darah haid.
4.       Bangkai
Begitupula dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabika kulit telah disamak maka itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no.105).
Dari hadits ini dapat dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan kenajisannya. Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
a.       Bangkai manusia dengan keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya mukmin itu tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371).
b.      Bangkai hewan laut dengan dalil firman Allah ta’aalaa: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut dan makanan dari hasil laut...” (QS. Al-Maidah: 96).
Imam ath-Thabari menukilkan dari Ibnu ‘Abbas tafsir dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan “shaidul-bahri” adalah binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan “tha’aamuhu” adalah binatang itu diambil dalam keadaan mati (bangkai).
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Hadits shahih diriwayatkan Ashabus-Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab beliau ash-Shahihah 1/480).
c.       Setiap hewan yang tidak memiliki darah, yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdasarkan hadits dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila jatuh lalat dalam bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah  ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR. Bukhari no. 3320).
Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dimaklumi bahwa lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak merusaknya.”
 
Sudah semestinya setiap muslim mengetahui perkara-perkara penting dalam agamanya, khususnya tentang najis agar tidak terjatuh dalam kekeliruan dan kesalahan yang dapat merusak ibadahnya kepada Allah ta’aalaa. Wallahu a’lam bish-shawaab..
Read more

Jumat, 06 Desember 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category: ,

8 Waktu Mustajab untuk Bershalawat

Allah subhanahu wa ta’alaa berfirman : “Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan juga ucapkanlah salam untuknya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani).
Salah satu bukti kecintaan kita kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah bershalawat kepada beliau. Dan secara umum shalawat dibagi menjadi dua:
Pertama, shalawat mutlak, yaitu shalawat yang dikerjakan tanpa batas waktu dan tempat tertentu. Kita dianjurkan untuk banyak membaca shalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana yang Allah firmankan, “Sesungguhnya Allah dan malaikatnya bershalawat kepada Nabi, wahai orang-orang yang beriman, bershalawatlah kalian kepadanya dan juga ucapkanlah salam untuknya.” (QS. Al-Ahzab: 56).
Imam Bukhari berkata, “Abu ‘Aliyah mengutarakan bahwa yang dimaksud dengan shalawat Allah atas Nabi Muhammad adalah pujian-Nya terhadap beliau di hadapan para malaikat-malaikat-Nya. Sedang shalawat malaikat, adalah doa. Ibnu ‘Abbas menambahkan makna kata “yushalluuna” adalah “memberkahi”. Diriwayatkan juga dari Sufyan ats-Tsauri dan ulama semasa beliau  “Shalawat Rabb adalah rahmat sedang shalawat malaikat adalah istighfar.”
Semakin banyak shalawat yang kita lantunkan, semakin besar peluang untuk mendapat kesitimewaan yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam janjikan, beliau bersabda, “Orang yang paling dekat denganku pada hari kiamat adalah yang paling banyak bershalawat kepadaku.” (HR. At-Tirmidzi, dan dihasankan oleh Syaikh al-Albani).
Kedua, shalawat muqayyad, yaitu shalawat yang dikerjakan pada kesempatan khusus, baik dikerjakan pada waktu tertentu atau ketika melakukan amalan tertentu.
Ada beberapa keadaan, dimana kita dianjurkan untuk membaca shalawat:
Pertama, ketika tasyahud awal atau akhir, shalawat pada saat tasyahud awal hukumnya dianjurkan, sedangkan ketika tasyahud akhir hukumnya wajib. Dari Ka’ab bin Ujrah, bahwa para sahabat pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang tata cara shalawat ketika shalat. Beliau menjawab, “Ucapkanlah: Allahumma shalli ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad, kamaa shallaita ‘alaa Ibrahim, wa ‘alaa aali Ibrahim, innaka hamiidum-majii., Allahumma baarik ‘alaa Muhammad wa ‘alaa aali Muhammad kamaa baarakta ‘alaa Ibrahim, wa ‘alaa aali Ibrahim innaka hamiidum-majiid. 
Yang artinya adalah, “Ya Allah, bershalawatlah kepada Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah bershalawat kepada Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Luas. Ya Allah, berkahilah Muhammad dan keluarganya sebagaimana Engkau telah memberkahi Ibrahim dan keluarganya, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lahi Maha Luas.” (Muttafaqun ‘alaihi).
Kedua, ketika selesai adzan, Diriwayatkan dari Abdullah bin Amr bin Ash radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila kalian mendengar muadzin, jawablah adzannya. Kemudian shalawat untukku. Karena orang yang membaca shalawat untukku sekali maka Allah akan memberikan shalawat untuknya 10 kali.” (HR. Muslim).
Ketiga, ketika hari Jum’at, sejak malam hari Jum’at, kita dianjurkan memperbanyak membaca shalawat. Dari ‘Aus bin ‘Aus, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hari yang paling mulia adalah hari Jum’at. Pada hari ini, Adam diciptakan... karena itu, perbanyaklah membaca shalawat untukku. Karena shalawat kalian ditujukan kepadaku.” (HR. An-Nasa’i, Abu Dawud, Ibnu Majah, dan dishahihkan oleh al-Albani).
Keempat, setiap pagi dan sore, kita dianjurkan membaca shalawat minimal 10 kali. Dari Abu Darda’ radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang bershalawat kepadaku ketika shubuh 10 kali dan ketika sore 10 kali, maka dia akan mendapat syafa’atku pada hari kiamat.” (HR. Ath-Thabrani dan dishahihkan al-Albani dalam Shahih al-Jami’).
Kelima, ketika dalam majlis, ketika kita kumpul bersama banyak orang untuk memperbincangkan sesuatu, jangan lupa disertai dengan shalawat, Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika ada sekelompok kaum yang duduk bersama dan tidak mengingat Allah serta tidak bershalawat kepada Nabi mereka, maka itu akan menjadi bahan penyesalan baginya. Jika Allah berkehendak, Allah akan menghukum mereka, dan jika Allah berkehendak, Dia akan mengampuni mereka.” (HR. Ahmad, at-Tirmidzi, dan dishahihkan oleh Syuaib al-Arnauth).
Keenam, ketika menyebut nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, atau mendengar nama atau gelar beliau disebut, kita dianjurkan untuk membaca shalawat. Dari Abu Hurairah radiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Celakalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. At-Tirmidzi, dan dinilai hasan shahih oleh al-Albani).
Dari Husain bin Ali bin Abi Thalib radiyallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Orang yang bakhil, adalah orang yang ketika namaku disebut, dia tidak bershalawat untukku.” (HR. Ahmad dan sanadnya dinilai kuat oleh Syuaib al-Arnauth).
Ketujuh, ketika kita berdoa, maka mulailah doa dengan memuji Allah dan bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Umar bin Khattab radiyallahu ‘anhu meriwayatkan dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Sesungguhnya doa itu terkatung-katung antara langit dan bumi, dan tidak bisa naik, sampai dibacakan shalawat untuk Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi dan dihasankan oleh al-Albani).
Kedelapan, pada takbir kedua ketika shalat jenazah. Shalawat disyariatkan untu dibaca ketika takbir shalat jenazah. Imam asy-Sya’bi meriwayatkan bahw Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Takbir pertama shalat jenazah adalah memuji Allah. Takbir kedua bershalawat untuk Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Takbir ketiga doa untuk jenazah, dan takbir keempat salam.” (HR. Ibnu Abi Syaibah dalam kitan al-Mushannaf).
Inilah beberapa waktu yang disunnahkan bagi kita untuk membaca shalawat kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dan banyaknya manfaat dan keutamaan yang juga banya disebutkan dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.  Semoga dapat kita amalkan bersama dan menjadi amalan yang dapat kita andalkan di hadapan Allah ta’alaa.  
Wallahu a’lam bishshowaab..
Read more

Selasa, 03 Desember 2013

Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category: ,

Al-Qur’an dan Hari Akhir

Sungguh kiamat itu pasti datang. Nyaris Aku tidak merahasakannya kepadamu agar setiap orang mengetahui bahwa pada hari kiamat kelak, ia diberi balasan sesuai amalannya.” (QS. Thaha: 15)
Beriman kepada hari akhir adalah rukun iman ke-enam dari rangkaian rukun iman yang harus diyakini oleh setiap orang beriman. Seseorang tidak dikatakan beriman apabila menolak untuk mengimani keseluruhan rukun iman ini. Bila seseorang mengingkari salah satu rukun iman dari keenam rukun iman yang ada, maka batal seluruh imannya, termasuk iman kepada hari akhir.
Beriman kepada hari akhir adalah mempercayai dengan seyakin-yakinnya bahwa hari akhir itu akan datang dan mengamalkan semua konsekwensi yang ada. Termasuk mengimani adanya tanda-tanda sebelum datangnya hari kiamat tersebut, juga mengimani adanya kematian, serta apa yang terjadi sesudahnya berupa fitnah kubur, siksa dan kenikmatan yang ada didalamnya. Beriman dengan ditiupnya sangkakala, keluarnya semua makhluk dari kuburnya, kengerian dan kedahsyatan hari kiamat, mahsyar, dibukanya buku catatan amal, timbangan amal, jembatan shirat, telaga, dan lain sebagainya. Dan juga mengimani adanya surga dan segala kenikmatannya, dimana nikmat terbesarnya adalah melihat wajah Allah SWT. Demikian pula neraka dan siksanya, dimana siksa yang paling pedih adalah terhalangnya dari melihat wajah Allah SWT.
Al-Qur’anul karim banyak menyebutkan tentang peristiwa dan keadaan yang akan terjadi pada hari akhir, menekankan pada banyak tempat, dan selalu megingatkan tentangnya pada banyak kesempatan serta menyebutkannya dengan berbagai ungkapan dalam bahasa arab. Diantara perhatiannya adalah hari akhir selalu dikaitkan dengan beriman kepada Allah SWT. Seperti dalam firman Allah,
“Itulah yang dinasihatkan kepada orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan hari kemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui, sedang kamu tidak mengetahui.” (QS.Al-Baqarah : 232)
Termasuk bentuk perhatian al-Qur’an dengan hari akhir adalah dengan disebutkannya pada banyak tempat, tidaklah dalam satu muka dalam al-Qur’an kecuali akan disinggung permasalahan tentang hari akhir, tentang kedahsyatan peristiwa hari akhir, kengeriannya, dan peristiwa-peristiwa lain dengan berbagai ungkapan yang berbeda.
Dan diantara perhatiannya pula adalah hari akhir dinamai dengan bermacam-macam nama yang menunjukkan akan kebenarannya dan kepastian terjadinya, diantaranya adalah, al-Haqqah berarti yang benar-benar terjadi, al-Waqi’ah, yang pasti terjadi, al-Qiyamah, hari kiamat, dan lain sebagainya. Dan di antara nama-nama tersebut ada yang menunjukkan akan perihal kengerian yang akan terjadi pada hari akhir, seperti al-Ghasyiyah yang berarti hari pembalasan, ath-Thammah, malapetaka, ash-Shakhkhah, suara yang memekakkan dan al-Qari’ah, hari kiamat.
Termasuk nama hari akhir dalam al-Qur’an adalah yaumuddin, hari pembalasan, yaumul hisab, hari perhitungan, yaumul jam’i, hari pengumpulan, yaumul khulud, hari kekekalan, yaumul khuruj, hari keluar dari kubur, yaumul hasrah, hari penyesalan, dan yaumut tanad, hari panggil memanggil.
Adapun hikmah dari perhatian yang begitu besar akan hari akhir dalam al-Qur’an ini adalah, bahwasanya beriman kepada hari akhir mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam mengarahkan manusia untuk selalu meningkatkan kwalitas amal ibadah, membangun komitmen untuk beramal shalih dan juga untuk bertakwa dan bertawakal kepada Allah ta’aalaa.
Hikmah tersebut terlihat dari cara al-Qur’an yang Allah ta’aalaa sebutkan dengan dikaitkannya hari akhir dengan amal shalih dalam banyak tempat, diantaranya,
Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian” (QS. At-Taubah: 18)
Dan juga firman Allah,
“Dan ini (al Qur’an) adalah kitab yang telah Kami turunkan yang diberkahi; membenarkan Kitab-Kitab yang (diturunkan) sebelumnya dan agar kamu memberi peringatan kepada (penduduk) Ummul Qura (Mekah) dan orang-orang yang di luar lingkungannya. orang-orang yang beriman kepada adanya kehidupan akhirat tentu beriman kepadanya (Al Quran) dan mereka selalu memelihara sembahyangnya.”  (QS. Al-An’am: 92)
Barangkali pula hikmah akan seringnya peringatan hari akhir adalah disebabkan seringnya manusia lalai dan lupa akan hari akhir, dan juga beratnya manusia berpisah dengan dunia, serta kecintaan mereka akan harta benda yang akan mereka tinggalkan di kemudian hari. Maka, beriman akan hari akhir dan terhadap apa yang ada di dalamnya dari siksaan, nikmat dan lain sebagainya akan mengurangi kecintaan seseorang akan dunia, berlebihan atasnya dan sebagai pendorong untuk berlomba-lomba melakukan ketaatan kepada Allah SWT. Allah berfirman,
“Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.(QS. At-Taubah : 38)
Dan tidak ada satupun keimanan yang bisa menghilangkan keberatan manusia terhadap urusan dunia setelah iman kepada Allah selain iman kepada hari akhir. Yaitu mengingat akan hilangnya harta yang dimiliki di dunia, hakikat harta benda di dunia adalah sebagai sarana untuk beribadah kepada Allah SWT. Mengimani bahwa harta yang digunakan untuk beribadah di jalan Allah akan diganti dengan harta yang lebih baik, lebih bernilai, lebih kekal abadi. Dan disaat yang sama ia berkeyakinan bahwa setiap yang keluar dari perintah Allah dalam kehidupan dunia, dengan tujuan mencapai harta dunia yang fana, tentu kelak ia akan dibalas di akhirat dengan siksa yang pedih.
Ketika seseorang beriman kepada hari akhir, tentu ia yakin bahwa setiap kenikmatan yang ada di dunia tidak mungkin bisa dibandingkan dengan kenikmatan akhirat. Di sisi lain bahwa kenikmatan dunia itu tidak sebanding dengan siksaan di akhirat walau hanya sekejap saja. Dan setiap siksa di dunia karena mempertahankan agama Allah, sungguh tak bisa dibandingkan dengan kepedihan siksa di akhirat. Dan siksa itu tidak ada artinya sama sekali jika dibandingkan dengan kenikmatan di akhirat walau sekejap saja. Wallaahu a’lam. 
(Disadur dari kitab Muqarrar at-Tauhid karya Dr. Abdul Aziz bin Muhammad Alu Abdi Lathif, Beriman Kepada Hari Akhir).
Read more
Posted by UKM Al-Islam 0 Comments Category: ,

Lentera yang Terbakar

Bismillahirrahmanirrahim..

 “Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaikan, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca al-Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir?”  

(QS. Al-Baqarah: 44)

Dalam mengomentari ayat ini, Qatadah berkata, “Allah berfirman: Mengapa kalian melakukan yang demikian wahai ahlul kitab,  kalian memerintahkan manusia kepada kebaikan namun kalian sendiri melupakan diri kalian sendiri. Padahal bersamaan dengan itu kalian membaca kitab dan kalian mengetahui perintah Allah yang ada di dalamnya. Mengapa kalian tidak berfikir terhadap apa yang terjadi pada diri kalian sendiri?. Maka bangunkanlah diri kalian dari tidur yang lelap, sadarlah kalian dari kebutaan kalian.
Sedangkan sabahat Ibnu Abbas, beliau menafsirkan makna “sedang kamu melupakan dirimu” adalah mereka meninggalkan diri mereka sendiri. Sedangkan kata “padahal kamu membaca al-Kitab” adalah mereka mencegah manusia dari kekafiran dengan apa yang ada dalam kenabian Nabi Muhammad shalallahu alaihi wa sallam serta janji yang ada dalam kitab Taurat, “sedangkan kalian meninggalkan diri kalian sendiri”, Yaitu kalian mengkufuri apa yang ada di dalamnya dari perjanjian-Ku kepada kalian tentang membenarkan Rasulullah shalallahu alaihi wa sallam. Dan juga kalian membatalkan janji-Ku serta mengingkari apa yang kalian ketahui dalam kitab-Ku.
Dalam riwayat yang lain dari jalan Adh-Dhahak, Ibnu Abbas berkata tentang tafsir dari ayat ini, yaitu kalian memerintahkan manusia untuk masuk kedalam agama Muhammad dan ajaran lainnya mulai dari perintah shalat, sedangkan kalian melupakan diri kalian sendiri. 
Yang dimaksud pada ayat ini adalah, Allah mencela perbuatan mereka dan memperingatkan mereka dari kesalahan mereka yaitu tentang hak diri mereka ketika memerintahkan kepada kebaikan sedangkan mereka sendiri tidak melakukannya. Yang dimaksud di sini bukanlah celaan terhadap perbuatan mereka yang memerintahkan kepada yang kebaikan, karena sesungguhnya memerintahkan kepada kebaikan adalah merupakan perbuatan yang ma'ruf dan hal itu wajib bagi setiap orang yang berilmu. Tetapi kewajiban yang pertama bagi orang yang berilmu adalah mengerjakannya disertai dengan memerintahkannya kepada orang lain dan tidak menyelisihinya, sebagaimana perkataan Nabi Syu’aib alaihis sallam,

"Syu'aib berkata: "Hai kaumku, bagaimana pendapatmu jika aku mempunyai bukti yang nyata dari Tuhanku dan dianugerahi-Nya aku dari pada-Nya rezki yang baik (patutkah aku menyalahi perintah-Nya)? dan aku tidak berkehendak menyalahi kamu (dengan mengerjakan) apa yang aku larang. Aku tidak bermaksud kecuali (mendatangkan) perbaikan selama Aku masih berkesanggupan. dan tidak ada taufik bagiku melainkan dengan (pertolongan) Allah. Hanya kepada Allah Aku bertawakkal dan Hanya kepada-Nya-lah Aku kembali" . (QS. Hud: 8).
 
Maka perbuatan memerintahkan kepada kebaikan adalah suatu kewajiban, begitu juga mengerjakannya. Kedua hal ini tidak bisa menggugurkan satu sama lainnya menurut pendapat yang paling benar dari pendapat para ulama salaf maupun khalaf. Sebagian yang lain berpendapat bahwa orang yang masih melakukan suatu kemaksiatan maka ia tidak boleh mencegah orang lain dari hal itu, dan ini adalah pendapat yang lemah, mereka berdalih dengan ayat ke-44 dari surah Al-Baqarah di atas, padahal ayat ini tidak bisa menjadi hujah untuk mereka.

Yang benar adalah bahwa seorang yang alim harus memerintahkan kepada kebaikan meskipun ia sendiri tidak melakukannya, ia harus mencegah dari yang mungkar meskipun ia sendiri masih mengerjakannya.
Said bin Jubair berkata, "Seandainya seseorang tidak memerintahkan kepada perbuatan ma'ruf dan tidak mencegah dari yang mungkar hingga tidak ada sesuatupun (kesalahan) pada dirinya, maka tidak akan ada orang yang mengerjakan amar ma'ruf nahi mungkar".

Tetapi keadaan seperti ini adalah keadaan yang tercela karena mereka meninggalkan ketaatan dan mereka melakukan kemaksiatan sedangkan mereka mengetahui akan hal itu. Dalam hal ini banyak sekali hadits yang mencela perbuatan seperti ini. Diantara hadits itu adalah :
1.             Sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang diriwayatkan oleh Ath-Thabrani:
Dari Jundub bin Abdillah, Rasulullah bersabda, "Permisalan orang yang 'alim yang mengajari manusia suatu kebaikan dan dia sendiri tidak tidak mengamalkannya adalah seperti lentera yang menerangi manusia sementara ia membakar dirinya sendiri."

2.             Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Hibban dalam shahihnya:
Dari Anas bin Malik, ia berkata, ketika Rasulullah melakukan mi'raj, beliau melewati suatu kaum yang mereka menggunting bibir mereka sendir, lalu Nabi bertanya, "Siapa mereka Ya Jibril?" Jibril menjawab, "Mereka adalah para penceramah dari ummatmu yang memerintahkan kepada kebaikan sementara mereka melupakan diri mereka sendiri, maka apakah mereka tidak berfikir?"  

3.             Hadits riwayat Imam Ahmad dalam Musnadnya, bahwa Rasulullah bersabda:
"Pada hari kiamat nanti didatangkan seorang lelaki yang ia dilemparkan ke dalam neraka, maka terburailah ususnya, dan ia berputar-putar di dalam neraka seperti keledai yang memutar gilingan. Maka berkumpullah ahli neraka, dan mereka berkata kepadanya: “Wahai fulan, apa yang terjadi pada dirimu? Bukankah dahulu kamu ketika di dunia memerintahkan kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang munkar? Maka orang itu berkata: “Aku memerintahkan kalian kepada yang ma'ruf sedangkan aku sendiri tidak melaksanakannya dan aku melarang kalian dari yang munkar sedangkan aku sendiri mengerjakannya". Al-Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan hadits yang semisalnya. 

4.          Hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu 'Asakir, bahwa Rasulullah bersabda:
"Sesungguhnya manusia dari ahli jannah melihat kepada manusia yang berada di neraka, mereka bertanya: “Karena apa kalian masuk neraka? Demi Allah, tidaklah kami masuk surga kecuali dengan apa yang kalian ajarkan kepada kami. Maka mereka menjawab, “Sesungguhnya kami mengatakan tetapi kami sendiri tidak mengerjakannya."

Maka, kewajiban utama bagi orang berilmu adalah mengamalkan ilmunya. Hal ini merupakan perkara yang ma’ruf dan pokok bagi penuntut ilmu, karena kewajiban akan ilmu adalah mengamalkannya. Kemudian mengajak manusia kepada kebaikan tanpa meniadakan amalan tersebut karena setiap muslim berkewajiban untuk mengajak kepada yang ma’ruf dan  mencegah dari yang mungkar. Wallahu a’lam..
Read more