“Apabila salah seorang dari kalian datang ke masjid. Hendaklah dia membalikkan dan melihat sandalnya. Apabila ia melihat ada kotoran (tahi) padanya, hendaknya digosokkan ke tanah kemudian dipakai untuk shalat.” (Diriwayatkan oleh Imam Ahmad).
Pengetahuan tentang najis
sangatlah penting bagi seorang muslim, karena berkaitan erat dengan ibadah.
Jangan sampai karena ketidaktahuannya, benda yang sebenarnya kotoran biasa
dianggap najis dan sebaliknya menganggap remeh benda-benda yang dianggap najis
oleh syari’at.
Namun sangat disayangkan, banyak
di antara kaum muslimin yang belum mengetahui dengan benar masalah najis ini, walaupun
sebenarnya permasalahan ini telah banyak dibahas oleh para ulama, baik dari
sisi pengertian maupun penjelasan serta macam-macamnya secara rinci. Namun
terkadang, masih ada di antara kaum Muslim yang salah mengira dan menganggap
sesuatu yang najis sebagai sesuatu yang bukan najis. Keadaan ini adalah
kenyataan pahit yang kita dapati dalam kehidupan kaum muslimin.
Berikut ini adalah sesuatu atau
hal yang disepakati oleh para ulama sebagai najis;
1 Madzi
Madzi adalah
cairan yang hampir mirip dengan mani. Bedanya, madzi lebih encer dan tidak
pekat. Keluarnya madzi ini tidak terasa dan keluar ketika seseorang bersyahwat
sebelum dia bercampur dengan istrinya (jima’) atau di luar jima’.
Para ulama
bersepakat bahwa madzi itu najis sebagaimana dinukilkan Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.
Dan dalil yang menunjukkan najisnya madzi adalah hadits yang diriwayatkan oleh
Imam Bukhari (hadits no. 269) dan Imam Muslim (hadits no. 303) dari hadits ‘Ali
radiyallahu ‘anhu ketika ‘Ali menyuruh seorang shahabat yakni Miqdad bin Aswad,
untuk menanyakan tentang madzi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Beliau menjawab: “Hendaknya dia mencuci kemaluannya dan berwudhu.” Ibnu
Daqiiq al-‘Id rahimahullah mengatakan dalam kitab Ihkamul-Ihkam, “Dari
hadits ini diambil dalil tentang najisnya madzi, di mana Rasulullah shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk mencuci kemaluan yang terkena madzi
tersebut.”
Satu hal yang
perlu kita ketahui, madzi ini menimpa laki-laki maupun perempuan. Namun lebih
sering dan kebanyakan terjadi pada wanita seperti yang dikatakan Imam Nawawi
rahimahullah dalam kitab Syarhul-Muslim.
2.
Wadzi
Wadzi adalah
cairan yang keluar setelah kencing atau saat mengejang setelah buang air besar.
Hukum wadzi sama dengan madzi atau kencing, yaitu najis. Bahkan Imam an-Nawawi
rahimahullah di dalam kitab beliau al-Majmu’ menukilkan ijma’ bahwa
wadzi itu najis. Beliau mengatakan, “Telah bersepakat umat ini tentang najisnya
madzi dan wadzi.”
3.
Darah Haidh dan Nifas
Darah haid dan
nifas adalah dua hal yang secara umum dijumpai oleh kaum wanita. Namun mungkin
ada di kalangan mereka yang belum mengetahui, apakah darah haid dan nifas
termasuk najis atau tidak, sementara ini adalah perkara yang sangat penting
bagi mereka.
Dalil yang
menunjukkan kenajisan darah haid adalah sebuah hadits dari Asma’ bintu Abu
Bakar radiyallahu ‘anha. Beliau menceritakan, “Seorang wanita bertanya kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Ia berkata, “Ya Rasulullah, jika
salah seorang dari kami terkena darah haid pada pakaiannya, apa yang harus ia
lakukan?” Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Apabila
darah haid mengenai pakaian salah seorang dari kalian, hendaknya ia mengeriknya
lalu membasuhnya, kemudian ia shalat memakai pakaian tersebut.” (Hadist
shahih, diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari no. 330, 331, dan Muslim no. 110).
Imam
as-Shan’ani rahimahullah di dalam Subulus-salaam setelah membawakan
hadits di atas, beliau berkata, “Hadits ini merupakan dalil yang menunjukkan najisnya
darah haid.”
Para ulama pun
telah bersepakat bahwa darah haid itu najis dengan nash yang ada ini dan Imam
an-Nawawi menukilkan adanya ijma’ dalam hal ini. Adapun darah nifas, hukumnya
sama dengan darah haid.
4.
Bangkai
Begitupula
dengan bangkai, ulama sepakat tentang kenajisannya sebagaimana dinyatakan oleh
Imam Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, juga Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’.
Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Apabika kulit telah disamak maka
itu merupakan pensuciannya.” (HR. Muslim no.105).
Dari hadits ini
dapat dipahami bahwa kulit hewan yang telah mati (bangkai) itu najis sehingga
bila ingin disucikan harus disamak terlebih dahulu. Apabila kulitnya saja
dihukumi najis maka tentunya bangkainya lebih utama lagi untuk dihukumi akan
kenajisannya. Dikecualikan dari bangkai ini adalah:
a.
Bangkai manusia dengan
keumuman sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Sesungguhnya mukmin itu
tidak najis.” (HR. Bukhari no. 283 dan Muslim no. 371).
b.
Bangkai hewan laut dengan
dalil firman Allah ta’aalaa: “Dihalalkan bagi kalian binatang buruan laut
dan makanan dari hasil laut...” (QS. Al-Maidah: 96).
Imam ath-Thabari menukilkan dari Ibnu ‘Abbas tafsir
dari ayat di atas, yakni yang dimaksud dengan “shaidul-bahri” adalah
binatang laut itu diambil dalam keadaan hidup dan “tha’aamuhu” adalah
binatang itu diambil dalam keadaan mati (bangkai).
Dalam hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
beliau bersabda: “Laut itu suci airnya dan halal bangkainya.” (Hadits
shahih diriwayatkan Ashabus-Sunan dan dishahihkan Syaikh Albani dalam kitab
beliau ash-Shahihah 1/480).
c.
Setiap hewan yang tidak
memiliki darah, yakni darahnya tidak mengalir ketika hewan itu dibunuh atau
terluka seperti lalat, belalang, kalajengking dan lainnya. Berdasarkan hadits
dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam: “Apabila jatuh lalat dalam
bejana salah seorang dari kalian maka hendaklah
ia mencelupkan lalat tadi ke dalam air kemudian dibuangnya.” (HR.
Bukhari no. 3320).
Imam ash-Shan’ani rahimahullah berkata, “Dimaklumi bahwa
lalat akan mati apabila jatuh ke dalam air ataupun makanan terlebih lagi
apabila makanannya dalam keadaan panas. Maka seandainya lalat itu menajisi
makanan tersebut niscaya makanan tersebut rusak sedangkan Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam memerintahkan untuk memperbaiki makanan yang ada, tidak
merusaknya.”